E-ISSN : 2722-225X
Murni Fatmawati
Institut Agama Islam Negeri Metro
murnifatma207@gmail.com
Khelvin Neralis
Institut Agama Islam Negeri Metro
khelvinneralis@gmail.com
Abstrak:Hukum wadh’i merupakan Ilmu yang mendefinisikan hukum Islam yaitu usul fikih.Fokus penelitian
ini(1)Bagaimana pengertian Hukum Wadh’i (2)Sebutkan macam-macamnya (3)Apa perbedaan Hukum Wadh’i
dengan Hukum Taklifi (4)Bagaimana keterkaitannya dengan Hukum Taklifi. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa: (1) Hukum wadh’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang bagi yang lain. (2) Macam-macam Hukum wadh’i ada tiga, yaitu sebab, syarat, dan
mani’. Sementara itu, menurut sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hukum wadh’i tidak hanya
mengandung tiga macam sebagaimana yang dijelaskan diatas, tetapi juga termasuk dalam hukum wadh’i ialah
Azimah dan rukhsah, sah dan batal. (3) jika Hukum at-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukkallaf
untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.Maka hukum al-
wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang
gila. (4) Kaitan hukum Taklifi dengan hukum Wadh’i, Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat memahami
bahwa, pembagian hukum Syariah menjadi dua hukum di atas, maka sangat memungkinkan ada suatu perbuatan
yang secara taklifi hukumnya haram, namun secara wadh’i hukumnya sah. Sebab haram dan sah adalah dua
“jenis” hukum yang berbeda dan pada hakikatnya tidak terkait satu sama lain.
E-ISSN : 2722-225X
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bahwa utama dari studi Ushul Fiqh adalah
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat bagaimana menyimpulkan hukum syara’
terlepas dari aturan dan norma-norma dari sumber-sumbernya.Oleh karena
yang berlaku menurut hukum syara’. begitu pentingnya kedudukan hukum
Pembahasan tentang Hukum syara’ dalam pembahasan ini, maka lebih
Syara’adalah salah satu dari beberapa dulu perlu dijelaskan
ojek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan
hakikat hukum syara’ dalam yang mengandung persyaratan, sebab atau
pembahasan ini, maka lebih dulu perlu mani’ dinamakan ‘hukum wadh’i”.
dijelaskan kakikat hukum syara’ itu Perbuatan baik adalah perbuatan yang
sendiri serta sebagai macamnya. dianggap baik menurut akal karena ada
Istilah hukum syara’ bermakna manfaatnya, sedangkan perbuatan jelek
hukum-hukum yang digali dari syari’at adalah perbuatan yang dianggap jelek
Islam. Berbicara tentang hukum syara’ oleh akal karena ada bahayanya. Adapun
melibatkan pembicaraan yang segala hukum-hukum Allah atas perbuatan orang
sesuatu yang berhubungan dengannya, mukallaf ukurannya adalah menurut akal
seperti pembicaraan tentang segala mereka sendiri, baik atau jelek.
sesuatu yang berhubungan dengannya. Hukum itu adakalanya berhubungan
Hukum syara’ itu ada dua macam dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
yaitu hukum syara’ yang berhubungan tuntutan, pilihan atau berbentuk
dengan perbuatan mukallaf yang ketetapan, dan hukum yan berhubungan
mengandung tuntutan dan kebolehan yang dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
dinamakan “hukum taklifi” dan yang ketetapan dengan hukum Wadh’i.
berhubungan dengan perbuatan mukallaf Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini
kami akan membahas mengenai hukum
2
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
Kata al-wadh` merupakan masdar dari dan ukuran bagi hukum taklifi.
dan peletakan. Dalam definisi hukum hukum taklifi sebagai inti dari hukum
peletakan sesuatu menjadi hukum syara’ diukur atau diletakkan di atas hukum
Dalam bahasa Indonesia, selain makna berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh,
“tatakan”, yang dekat maknanya dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
ۖ َت ﻣَ ﻘَ ﺎ مُ إِﺑـْ ﺮَا ﻫِﻴ ﻢٌ ت ﺑـَ ﻴِّﻨَﺎٌ َ ﻓِﻴ ﻪِ آ taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut.
Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada
َوﻣَ ْﻦ دَ َﺧ ﻠَﻪُ ﻛَﺎ َن آ ِﻣ ﻨًﺎ ۗ َو ِﱠِ ﻋَ ﻠَﻰ sebabnya, juga telah memenuhi syarat-
ِْﺖ ﻣَ ِﻦ ا ْﺳ ﺘَﻄَﺎعَ إِﻟَﻴْ ﻪ ِ ﱠﺎس ِﺣ ﱡﺞ ا ﻟْﺒـَ ﻴ ِ اﻟ ﻨ syaratnya dan telah terhindar dari segala
E-ISSN : 2722-225X
Sebab adalah, sesuatu hal tertentu (musabbab). Demikian juga sakit atau
yang dijadikan sebagai pangkal adanya bepergian menjadi sebab
hukum, artinya dengan adanya sebab diperbolehkannya tidak berpuasa dibulan
maka terwujudlah hukum. Sebab adalah Ramadhan (Q.S. Al-Baqarah;185), dan
sesuatu hal yang nyata lagi pasti yang bepergian jauh menjadi sebab
dijadikan sebagai pertanda hukum syara’ diperbolehkannya mengqasar shalat (Q.S
yang merupakan akibatnya. Oleh karena Annisa;101).Hukum haram adalah apa
itu adanya sebab mewajibkan adanya yang dipertujukan atau disebut
akibat, dan tiada akibat tanpa diawali oleh (musabbab). Contohnya shalat, jika shalat
sebab, tidak dikerjakan makan hukumnya haram
(dosa). Karena shalat hukumnya wajib
Misalnya firman Allah dalam surah
Al-Isra’ ayat 78, menyatakan: untuk dikerjakan bagi setiap muslim.
ﺲ
ِ ﺸ ْﻤ
ﱠﻼ ةَ ﻟِ ُﺪ ﻟُﻮ ِك اﻟ ﱠ
َ أَﻗِ ِﻢ اﻟ ﺼ Sebab itu sendiri menurut Abu Zahrah
terbagi menjadi dua. Pertama,sebab yang
ْﻞ
ِ َﻖ اﻟ ﻠﱠﻴِ إِﱃَٰ ﻏَ ﺴ bukan merupakan hasil perbuatan
Artinya : “Dirikanlah Shalat setelah manusia, atau dengan kata lain sebab yang
6
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
(jauh) pada bulan puasa menimbulkan dapat diketahui adanya munasabah atau
sebab bolehnya berbuka puasa.10 keserasian antara petunjuk dengan hukum.
Dimanakan “illat” bila dapat diketahui
Bila kita perhatikan mengenai
adanya musabah atau keserasian
hubungan sebab dengan musabab dari
hubungan antara petunjuk dengan hukum.
segi nyatanya keserasian hubungan,
Semua “illat” dapat disebut sebab, tetapi
secara rasional terlihat ada dua macam
tidak semua sebab dapat dinamakan
hubungan, pertama, tidak diketahui secara
“illat”. Hal ini berarti “sebab “ itu lebih
jelas oleh akal keserasian hubungan antara
umum dari pada “illat”.11
keduanya. Bentuk seperti ini disebut
“sebab” seperti hubungan masuknya Dari definisi (sabab) sebab diatas
bulan Ramadhan dengan datangnya berlaku sebagaimana berlaku bagi “illat”.
kewajiban puasa. Kita tidak tahu kenapa Definisi tersebut mengandung dua
demikian; dalam hal ini kita serahkan saja prinsip;
kepada kehendak Allah. Tetapi bila
Pertama, bahwa sebab tidak dengan
keserasian hubungan itu jelas dan dapat
sendirinya berkedudukan sebagai sebab,;
diketahui oleh akal manusia, maka
karena hukum syar’i dalam bentuk taklifi
petunjuk adanya hukum itu disebut “illat”.
adalah taklif atau beban hukum dari Allah
Dengan demikian jelaslah, bahwa SWT. Yang menetapkan beban hukum itu
walaupun sebab itu mempunyai kesamaan adalah Allah sendiri. Allah-lah yang
dengan ‘illat, yaitu sama-sama tergantung menjadikan sebab yang berkaitan dengan
padanya pengetahuan kita tentang hukum, hukum, menjadi sebab.
tetapi terdapat perbedaan yang jelas antara
keduanya. Dinamakan “sebab” bila tidak 11
Muhammad Syakir Al Kautsar, “TRADISI
COLONGAN SUKU USING BANYUWANGI;
TELAAH KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESORT
10
Musnad Razin,Ushul BANYUWANGI PERSPEKTIF URF” 5, no. 1
Fiqh,(Yogyakarta:STAIN Jurai Siwo Metro (2020): 16.
Lampung,2014)hal. 21.
7
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
Kedua, sebab itu sama sekali tidaklah dikarenakan bahwa sebab bukanlah
berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sendirinya berpengaruh terhadap
taklifi; sebab itu hanyalah semata hukum ; yang berpengaruh terhadap ada
pertanda atau petunjuk untuk menjelaskan atau tidak adanya hukum adaah syari’
adanya hukum taklifi itu. Dengan begitu (perbuatan hukum) sendiri. Seseorang
sebab itu tidak dapat berlaku dengan melakukan akad perkawinan membawa
sendirinya.12 akibat hukum lain, diantaranya berupa
kewajiban mahar dan nafkah, suka atau
Dalam bentuk ini perlu kita perhatikan
tidak suka bagi melakukan akad
beberapa hal :
perkawinan itu. Karena itu ia tidak dapat
1. Suatu sebab bila ada yang menetapkan sesuatu menyalahi akibat
berbentuk tuntutan atau izin berbuat, hukum yang dilakukannya, seperti
maka hukum yang diakibatkannya berjanji tidak akan memberi nafkah.
berbentuk hak-hak yang dapat diterima;
3. Menetapkan suatu sebab,
seperti pernikahan menjadi sebab untuk
melazimkanadanya kesengajaan yang
hak mewarisi. Tetapi sebaliknya bilas
menetapkan kepada musabab karena kita
sebab itu sesuatu yang terlarang, maka
mengetahui secara pasti sebab itu tidak
hukum yang diakibatkannya merupakan
akan menjadi sebab dengan sendirinya
hukuman yang harus ditanggungnya;
dari segi keberadaannya, tetapi menjadi
seperti merusak harta orang lain menjadi
sebab dengan sendirinya dari segi
sebab bagi kewajiban mengganti.
timbulnya sesuatu yang lain sebagai
2. Setiap sebab mengakibatkan akibatnya. Karena itu lazimlah bahwa
sesuatu hukum yang disebut musabab, denga nada kesengajaan menetapkan
meskipun pelaku yang melakukan sebab sebab,maka ada kesengajaan untuk
itu tidak menghendaki adanya. Hal ini
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,hal. 396.
8
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
1) Syarat ‘aqli (seperti kehidupan menjadi Syarat syar’i atau syarat hakiki yaitu
syarat untuk dapat mengetahui. syarat-syarat yang dibuat untuk
Adanya paham menjadi syarat untuk menyempurnakan urusan syari’at. Syari’at
adanya taklif atau beban hukum). ini terbagi menjadi 2;18
E-ISSN : 2722-225X
c. Mani’
19
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 24.
11
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
suatu hukum syara ‘ baru ada dan dapat Hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum
berlaku, apabila telah terpenuhi tiga unsur ada hukum sebelum hukum yang
utama, yaitu;22 disyari’atkan Allah, sehingga seluruh
mukallaf wajib mengikuti sejak hukum
1) Adanya sabab’ agar lahirnya hukum
tersebut disyarti’atkan. Imam Al-Badhawi
syara’,
(ahli ushul syafi’iyah), mengatakan bahwa
2) Terdapatnya semua syarat yang azimah itu adalah “Hukum yang
ditetapkan untuk berlakunya hukum ditetapkan tidak berbeda dengan dalil
syara’ dan, yang ditetapkan karena ada udzur”.
Misalnya, jumlah rakaat shalat Zuhur
3) Tidak adanya satu mani’ pun yang
adalah empat rakaat ini ditetapkan oleh
menghalangi berlakunya hukum syara’
Allah sejak semula, dimana sebelumnya
tersebut.
tiak ada hukum tentang rakaat, disebut
Sementara itu, menurut sebagian sebagai Azimah. Apabila ada dalil lain
ulama ada yang berpendapat bahwa yang menunjukan bahwa orang-orang
hukum wadh’i tidak hanya mengandung tetentu boleh mengerjakan shalat zuhur
tiga macam sebagaimana yang dijelaskan dua rakaat, seperti orang musafir, maka
diatas, tetapi juga termasuk dalam hukum hukum itu disebut sebagai Rukhsah.
wadh’i ialah Azimah dan rukhsah, sah dan Dengan demikian, para ahli ushul fiqh
batal. mendefinisikan rukhsah dengan “Hukum
yang ditetapkan berbeda dengan dalil
3. Azimah (Hukum yang disyari’atkan
yang ada karena ada udzur”.23
Allah) dan Rukhsah (Keringanan)
4. Sah dan batal
Azimah adalah hukum-hukum yang
disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh
22 23
Rahman Dahlan,Ushul Chaerul Uman, Ushul Fiqih
Fiqh,(Jakarta:Amzah,2014),hal. 74. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2013)hal. 250.
13
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
25
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul
24
Chaerul Uman, Ushul Fiqih 1,hal. 249. Fiqih,(Bandung:Pustaka Setia,2015)hal. 316.
14
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
E-ISSN : 2722-225X
18