Anda di halaman 1dari 19

El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

HUKUM WADH’I DALAM SINKRONISASINYA DENGAN HUKUM


TAKLIF
Nurul Mahmudah
Institut Agama Islam Negeri Metro
Nurulmahmudah@metrouniv.ac.id

Muhammad Syakir Alkautsar


Institut Pesantren KH.Abdul Chalim Mojokerto
Syakir.alkautsar@gmail.com

Murni Fatmawati
Institut Agama Islam Negeri Metro
murnifatma207@gmail.com

Khelvin Neralis
Institut Agama Islam Negeri Metro
khelvinneralis@gmail.com

Abstrak:Hukum wadh’i merupakan Ilmu yang mendefinisikan hukum Islam yaitu usul fikih.Fokus penelitian
ini(1)Bagaimana pengertian Hukum Wadh’i (2)Sebutkan macam-macamnya (3)Apa perbedaan Hukum Wadh’i
dengan Hukum Taklifi (4)Bagaimana keterkaitannya dengan Hukum Taklifi. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa: (1) Hukum wadh’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang bagi yang lain. (2) Macam-macam Hukum wadh’i ada tiga, yaitu sebab, syarat, dan
mani’. Sementara itu, menurut sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hukum wadh’i tidak hanya
mengandung tiga macam sebagaimana yang dijelaskan diatas, tetapi juga termasuk dalam hukum wadh’i ialah
Azimah dan rukhsah, sah dan batal. (3) jika Hukum at-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukkallaf
untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.Maka hukum al-
wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang
gila. (4) Kaitan hukum Taklifi dengan hukum Wadh’i, Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat memahami
bahwa, pembagian hukum Syariah menjadi dua hukum di atas, maka sangat memungkinkan ada suatu perbuatan
yang secara taklifi hukumnya haram, namun secara wadh’i hukumnya sah. Sebab haram dan sah adalah dua
“jenis” hukum yang berbeda dan pada hakikatnya tidak terkait satu sama lain.

Kata Kunci: hukum wadh’i, hukum taklifi, Ushul Fiqh


1
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bahwa utama dari studi Ushul Fiqh adalah
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat bagaimana menyimpulkan hukum syara’
terlepas dari aturan dan norma-norma dari sumber-sumbernya.Oleh karena
yang berlaku menurut hukum syara’. begitu pentingnya kedudukan hukum
Pembahasan tentang Hukum syara’ dalam pembahasan ini, maka lebih
Syara’adalah salah satu dari beberapa dulu perlu dijelaskan
ojek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan
hakikat hukum syara’ dalam yang mengandung persyaratan, sebab atau
pembahasan ini, maka lebih dulu perlu mani’ dinamakan ‘hukum wadh’i”.
dijelaskan kakikat hukum syara’ itu Perbuatan baik adalah perbuatan yang
sendiri serta sebagai macamnya. dianggap baik menurut akal karena ada
Istilah hukum syara’ bermakna manfaatnya, sedangkan perbuatan jelek
hukum-hukum yang digali dari syari’at adalah perbuatan yang dianggap jelek
Islam. Berbicara tentang hukum syara’ oleh akal karena ada bahayanya. Adapun
melibatkan pembicaraan yang segala hukum-hukum Allah atas perbuatan orang
sesuatu yang berhubungan dengannya, mukallaf ukurannya adalah menurut akal
seperti pembicaraan tentang segala mereka sendiri, baik atau jelek.
sesuatu yang berhubungan dengannya. Hukum itu adakalanya berhubungan
Hukum syara’ itu ada dua macam dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
yaitu hukum syara’ yang berhubungan tuntutan, pilihan atau berbentuk
dengan perbuatan mukallaf yang ketetapan, dan hukum yan berhubungan
mengandung tuntutan dan kebolehan yang dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
dinamakan “hukum taklifi” dan yang ketetapan dengan hukum Wadh’i.
berhubungan dengan perbuatan mukallaf Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini
kami akan membahas mengenai hukum
2
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Wadh’I, macam-macam hukum wadh’i, pemaknaan ini, maka dapat dipahami


perbedaan hukum wadh’I dengan hukum bahwa hukum wadh`i merupakan tatakan
taklifi, dan keterkaitanya hukum wadh’I atau ukuran bagi hukum taklifi. Al-
dengan hukum taklifi. wadh`dapat dimaknai dengan tatakan dan
model selain karena maknanya dekat, juga
Pengertian Hukum Wadh’i fungsi hukum al-wadh`i adalah tatakan

Kata al-wadh` merupakan masdar dari dan ukuran bagi hukum taklifi.

wadha`a, dapat diartikan dengan Kemudian, Hukum wadh`i sebagai

penurunan, penjatuhan, pukulan, tatakan dan ukuran bagi hukum taklifi

pemalsuan, atau rekayasa, pengarangan dapat dipahami dengan memposisikan

dan peletakan. Dalam definisi hukum hukum taklifi sebagai inti dari hukum

syara’, kata al-wadh`yang mewakili syara’. Peritah berpuasa Ramadan adalah

hukum wadh`I,berarti peletakan, yakni hukum taklifi. Hukum ini kemudian

peletakan sesuatu menjadi hukum syara’ diukur atau diletakkan di atas hukum

Berbagai literatur usul fikih berbahasa wadh`i.

Indonesia menerjemahkan al-wadh` Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-nam

dengan kata “ketetapan”.1 berpendapat dalam karyanya yang

Dalam bahasa Indonesia, selain makna berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh,

“peletakan”, kata al-wadh` dalam definisi bahwasanya hukum wadh’i sebagaimana

hukum juga bisa diartikan dengan Allah berfirman yangberhubungan dengan

“tatakan”, yang dekat maknanya dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu

kata peletakan. Al-wadh` juga dapat yang lainnya, syaratnya, larangannya,

dimaknai dengan ukuran. Dengan kemudahannya, hukum asal yang telah


ditetapkan oleh syari’ (Allah). Hukum ini
dinamakan hukum wadh’i karena dalam
1
Ahmad Sholihin Siregar,Al-Wadh’i Dan
Tekstualnya dalam Al-Qur’an,(AL-QADHA hukum tersebut terdapat dua hal
jurnal Islam Dan Perundang-Undangan Vol.4 No.2
2017)hal. 56. yangsaling berhubungan dan berkaitan.
2
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Seperti hubungan sebab akibat, syarat,


dan lain- lain. Tapi pendapat lain Hukum Wadh’i
mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i Pada dasarnya, Hukum wadh’i
adalah hukum yang menghendaki dan merupakan Ilmu yang mendefinisikan
menjadikan sesuatu sebagai sebab (al- hukum Islamyaitu usul fikih. Dalam usul
sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al- fikih, hukum didefinisikan sebagai
mani’), atau menganggapsebagai sesuatu khitabullah al-muta’alliq bi af’ali al-
yang sah (shahih)rusak ataubatal (fasid), mukallafin bil iqtidha’ aw al-wadh (titah
‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah Tuhan yang berhubungan dengan
menurut Imam Amidi, Ghazali, dan perbuatanorang-orang mukallaf baik
Syathibi. tuntutan atau ketetapan).3
Dan Sesungguhnya Allah SWT Kita dapat memahami bahwa, Titah
menjadikan syari’at itu kabar gembira dan Allah yang berhubungan dengan tingkah
kemudahan bagi hambanya, dari keadaan laku mukalaff dalam bentuk tuntutan dan
yang lemah, dan segala urusan yang pemberian pilihan untuk berbuat atau
darurat. Hukum wadh’Isebagaimana telah tidak berbuat dinamakan hukum taklifi.
disebutkan dalam kitab Al-wadhih, Titah Allah yang berhubungan dengan
fiiUsulil Fiqih, yang ditulis sesuatu yang berkaitan dengan hukum-
olehMuhammad Sulaiman Abdullah al- hukum taklifi dimanakan hukum wadh’i.4
Assqar. Bahwasanya Allah SWT dalam Definisi ini merupakan yang paling
kitabnya, dengan menjadikan sebuah umum digunakan dalam Usul Fikih.
perintah, menjadi tanda atas perintah yang Wahbah lebih setuju dengan definisi
2
lainnya. hukum para fukaha’ sebagai atsar
(bekas/perwujudan) dari titah Allah yang
2
Syamsarina,Eksistensi Hukum
3
Wadh’I,Dalam Syari’at,(Jurusan Syari’ah dan Ahmad, Al-Wadh’i Dan Tekstualnya
Ekonomi Islam SekolahTinggi Agama Islam dalam Al-Qur’an ,hal. 57.
4
Negeri(STAIN) Kerinci Al-Qishthu Vol.14 No.1 Amir Syarifuddin, Ushul
2016)hal. 49. Fiqh,(Jakarta:Kencana 2009)hal. 394.
3
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

berhubungan dengan perbuatan mukallaf adalah khitab yang menjelaskan sifat


baik tuntutan, pilihan atau wad’an. Baik suatu perbuatan baik perbuatan tersebut
untuk dipenuhi atau dipilih atau wadh’). dituntut untuk dikerjakan atau
Khitab itu sendiri merupakan pengarahan ditinggalkan.Akan tetapi tentu saja
ucapan kepada seseorang yang dituju keterikatan tersebut tidak hanya
dalam hal ini mukallaf dengan tujuan agar menjelaskan perbuatan dari segi
dapat dipahami. Oleh sebab itulah,Ilmu tuntutannya, akan tetapi juga termasuk
yang mendefinisikan hukum Islam adalah ketetapan yang berhubungan dengan
usul fikih. sebab, syarat, penghalang, dan sebagainya
Khitab itu sendiri merupakan yang merupakan bagian dari hukum
pengarahan ucapan kepada seseorang wadh’i, karena ia juga merupakan khitab
yang dituju dalam hal ini mukallaf dengan dan disepakati sebagai hukum.5
tujuan agar dapat dipahami. Karena Hukum wadh’i adalah perintah Allah
itulah,menurut Wahbah, hukum itu bukan yang berkaitan dengan penetapan sesuatu
khitab itu sendiri, akan tetapi bekas atau sebagai sebab, syarat, atau penghalang
pemahaman yang muncul dari khitab bagi yang lain. Sebagian ulama
tersebut. Akan tetapi, khitab juga dapat menambah cakupan hukum wadh’i
dipahami sebagai ucapan yang tujukukan dengan memasukkan tema sah, batal, dan
kepada seoseorang. Berdasarkan hal rusak (fasad). Akan tetapi, pembahasan
tersebut, dapat dipahami bahwa hukum mengenai sah, batal, dan rusak tidak
adalah khitab itu sendiri, seperti yang hanya termasuk hukum wadh’i melainkan
didefinisikan dalam sebagian besar juga termasuk kedalam hukum Taklifi.6
literatur usul fikih.
Wahbah Zuhaili berpendapat dalam
5
karyanya yang berjudul Ushul al-Fiqh al- Ahmad, Al-Wadh’i Dan Tekstualnya
dalam Al-Qur’an,hal. 58.
Islami yang dimaksud dengan khitab yang 6
Zulhas’ari Mustafa,Determinasi Al-
Ahkam Al-Syari’ah dalam Tradisi Hukum
berkaitan dengan perbuatan mukallaf Islam,(al-daulah Vol.1 No.1 2013)hal. 49.
4
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Jadi dapat kita simpulkan bahwa perjalanan ke Baitullah. barangsiapa


hukum wadh’i adalah hukum yang mengingkari (kewajiban haji), Maka
berkaitan dengan duahal, yaitu sebab yang Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak
disebabkan. Seperti orang yang junub memerlukan sesuatu) dari semesta
menyebabkan orang tersebutharus mandi, alam.”.
dan adanya orang yang memiliki harta Macam-Macam Hukum Wadh’i
yang sudah mencapai Nisabmenyebabkan Hukum Wadh’i adalah ketentuan
orang tersebut harus berzakat, demikian Syari’at dalam bentuk menetapkan
juga halnya yang mampu untuk naikhaji, sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, atau
7
Firman Allah QS. Ali Imran: 97) sebagai mani’.8Kelangsungan hukum

ۖ َ‫ت ﻣَ ﻘَ ﺎ مُ إِﺑـْ ﺮَا ﻫِﻴ ﻢ‬ٌ ‫ت ﺑـَ ﻴِّﻨَﺎ‬ٌ َ ‫ﻓِﻴ ﻪِ آ‬ taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut.
Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada
‫َوﻣَ ْﻦ دَ َﺧ ﻠَﻪُ ﻛَﺎ َن آ ِﻣ ﻨًﺎ ۗ َو ِﱠِ ﻋَ ﻠَﻰ‬ sebabnya, juga telah memenuhi syarat-
ِ‫ْﺖ ﻣَ ِﻦ ا ْﺳ ﺘَﻄَﺎعَ إِﻟَﻴْ ﻪ‬ ِ ‫ﱠﺎس ِﺣ ﱡﺞ ا ﻟْﺒـَ ﻴ‬ ِ ‫اﻟ ﻨ‬ syaratnya dan telah terhindar dari segala

‫َﲏﱞ ﻋَ ِﻦ‬ ِ ‫ِﻴﻼ ۚ َوﻣَ ْﻦ َﻛ ﻔَ َﺮ ﻓَﺈِ ﱠن ا ﱠَ ﻏ‬ ً ‫َﺳ ﺒ‬


mani’(pengahalang), maka perbuatan itu
dinyatakan sudah memenuhi ketentuan
‫ﲔ‬
َ ‫ا ﻟْﻌَﺎ ﻟَ ِﻤ‬ hukum.9 Hukum wadh’i terbagi menjadi 3
macam yaitu:
Artinya :“Padanya terdapat tanda-
tanda yang nyata, (di antaranya) maqam a. Sebab
Ibrahim; barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) menjadi amanlah Dia;
8
Satria Effendi,Ushul
mengerjakan haji adalah kewajiban Fiqh,(Jakarta:Kencana,2005)hal. 61.
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) 9
Nurul Mahmudah dan Supiah Supiah, “Study of
orang yang sanggup mengadakan Sociology in Jurisprudence of Women’s
Leadership,” Al-Mizan 14, no. 2 (1 Desember
2018): 162–79,
7
Syamsarina, Eksistensi Hukum https://doi.org/10.30603/am.v14i2.741.
Wadh’I,Dalam Syari’at,hal. 50.
5
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Sebab adalah, sesuatu hal tertentu (musabbab). Demikian juga sakit atau
yang dijadikan sebagai pangkal adanya bepergian menjadi sebab
hukum, artinya dengan adanya sebab diperbolehkannya tidak berpuasa dibulan
maka terwujudlah hukum. Sebab adalah Ramadhan (Q.S. Al-Baqarah;185), dan
sesuatu hal yang nyata lagi pasti yang bepergian jauh menjadi sebab
dijadikan sebagai pertanda hukum syara’ diperbolehkannya mengqasar shalat (Q.S
yang merupakan akibatnya. Oleh karena Annisa;101).Hukum haram adalah apa
itu adanya sebab mewajibkan adanya yang dipertujukan atau disebut
akibat, dan tiada akibat tanpa diawali oleh (musabbab). Contohnya shalat, jika shalat
sebab, tidak dikerjakan makan hukumnya haram
(dosa). Karena shalat hukumnya wajib
Misalnya firman Allah dalam surah
Al-Isra’ ayat 78, menyatakan: untuk dikerjakan bagi setiap muslim.

‫ﺲ‬
ِ ‫ﺸ ْﻤ‬
‫ﱠﻼ ةَ ﻟِ ُﺪ ﻟُﻮ ِك اﻟ ﱠ‬
َ ‫أَﻗِ ِﻢ اﻟ ﺼ‬ Sebab itu sendiri menurut Abu Zahrah
terbagi menjadi dua. Pertama,sebab yang
‫ْﻞ‬
ِ ‫َﻖ اﻟ ﻠﱠﻴ‬ِ ‫إِﱃَٰ ﻏَ ﺴ‬ bukan merupakan hasil perbuatan

Artinya : “Dirikanlah Shalat setelah manusia, atau dengan kata lain sebab yang

matahari tergelincir sampai dijadikan Allah sebagai tanda adanya

gelap”.(Q.S. Al-Isra’ ;78) hukum. Seperti waktu shalat telah tiba


menjadi sebab wajibnya melaksanakan
Ayat tersebut menjelaskan tentang
shalat. Kedua, sebab yang merupakan
waktu shalat zuhur. Kewajiban
hasil perbuatan manusia, maksudnya
melaksanakan shalat zuhur manakala
timbulnya suatu sebab dikarenakan
matahari telah condong ke barat.
perbuatan manusia, seperti perjalanan
Condongnya matahari adalah merupakan
sebab, dan kewajiban melaksanakan
shalat zuhur adalah sebagai akibatnya

6
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

(jauh) pada bulan puasa menimbulkan dapat diketahui adanya munasabah atau
sebab bolehnya berbuka puasa.10 keserasian antara petunjuk dengan hukum.
Dimanakan “illat” bila dapat diketahui
Bila kita perhatikan mengenai
adanya musabah atau keserasian
hubungan sebab dengan musabab dari
hubungan antara petunjuk dengan hukum.
segi nyatanya keserasian hubungan,
Semua “illat” dapat disebut sebab, tetapi
secara rasional terlihat ada dua macam
tidak semua sebab dapat dinamakan
hubungan, pertama, tidak diketahui secara
“illat”. Hal ini berarti “sebab “ itu lebih
jelas oleh akal keserasian hubungan antara
umum dari pada “illat”.11
keduanya. Bentuk seperti ini disebut
“sebab” seperti hubungan masuknya Dari definisi (sabab) sebab diatas
bulan Ramadhan dengan datangnya berlaku sebagaimana berlaku bagi “illat”.
kewajiban puasa. Kita tidak tahu kenapa Definisi tersebut mengandung dua
demikian; dalam hal ini kita serahkan saja prinsip;
kepada kehendak Allah. Tetapi bila
Pertama, bahwa sebab tidak dengan
keserasian hubungan itu jelas dan dapat
sendirinya berkedudukan sebagai sebab,;
diketahui oleh akal manusia, maka
karena hukum syar’i dalam bentuk taklifi
petunjuk adanya hukum itu disebut “illat”.
adalah taklif atau beban hukum dari Allah
Dengan demikian jelaslah, bahwa SWT. Yang menetapkan beban hukum itu
walaupun sebab itu mempunyai kesamaan adalah Allah sendiri. Allah-lah yang
dengan ‘illat, yaitu sama-sama tergantung menjadikan sebab yang berkaitan dengan
padanya pengetahuan kita tentang hukum, hukum, menjadi sebab.
tetapi terdapat perbedaan yang jelas antara
keduanya. Dinamakan “sebab” bila tidak 11
Muhammad Syakir Al Kautsar, “TRADISI
COLONGAN SUKU USING BANYUWANGI;
TELAAH KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESORT
10
Musnad Razin,Ushul BANYUWANGI PERSPEKTIF URF” 5, no. 1
Fiqh,(Yogyakarta:STAIN Jurai Siwo Metro (2020): 16.
Lampung,2014)hal. 21.
7
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Kedua, sebab itu sama sekali tidaklah dikarenakan bahwa sebab bukanlah
berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sendirinya berpengaruh terhadap
taklifi; sebab itu hanyalah semata hukum ; yang berpengaruh terhadap ada
pertanda atau petunjuk untuk menjelaskan atau tidak adanya hukum adaah syari’
adanya hukum taklifi itu. Dengan begitu (perbuatan hukum) sendiri. Seseorang
sebab itu tidak dapat berlaku dengan melakukan akad perkawinan membawa
sendirinya.12 akibat hukum lain, diantaranya berupa
kewajiban mahar dan nafkah, suka atau
Dalam bentuk ini perlu kita perhatikan
tidak suka bagi melakukan akad
beberapa hal :
perkawinan itu. Karena itu ia tidak dapat
1. Suatu sebab bila ada yang menetapkan sesuatu menyalahi akibat
berbentuk tuntutan atau izin berbuat, hukum yang dilakukannya, seperti
maka hukum yang diakibatkannya berjanji tidak akan memberi nafkah.
berbentuk hak-hak yang dapat diterima;
3. Menetapkan suatu sebab,
seperti pernikahan menjadi sebab untuk
melazimkanadanya kesengajaan yang
hak mewarisi. Tetapi sebaliknya bilas
menetapkan kepada musabab karena kita
sebab itu sesuatu yang terlarang, maka
mengetahui secara pasti sebab itu tidak
hukum yang diakibatkannya merupakan
akan menjadi sebab dengan sendirinya
hukuman yang harus ditanggungnya;
dari segi keberadaannya, tetapi menjadi
seperti merusak harta orang lain menjadi
sebab dengan sendirinya dari segi
sebab bagi kewajiban mengganti.
timbulnya sesuatu yang lain sebagai
2. Setiap sebab mengakibatkan akibatnya. Karena itu lazimlah bahwa
sesuatu hukum yang disebut musabab, denga nada kesengajaan menetapkan
meskipun pelaku yang melakukan sebab sebab,maka ada kesengajaan untuk
itu tidak menghendaki adanya. Hal ini

12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,hal. 396.
8
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

menetapkan musabab yang untuk mencegah kerusakan yang lebih


ditimbulkannya.13 luas, meskipun dalam pelaksanaanya ada
jiwa yang korban atau darah yang
4. Hukum syara’ sesungguhnya
tertumpah.14
ditetapkan untuk mendatangkan
kemaslahatan atau menolak kerusakan. Dari 5 penjelasan diatas kita dapat
Itulah yang menjadi musababnya secara mengambil kesimpulan bahwa, kerusakan
pasti. Bila kita bahwa sebab-sebab itu timbul dari sebab itu sendiri; tetapi timbul
hanya ditetapkan untuk tujuan musabab, dari sebab lain yang bersamaan dengan
maka lazimlah bahwa dengan ada itu. Begitu pula maslahat yang timbul dari
kesengajaan kepada sebab, tentu ada sebab yang terlarang sebenarnya bukanlah
kesengajaan kepada musabab. timbul dari sebab yang terlarang itu
sendiri, tetapi dari sebab lain yang
5. Sebab yang terlarang adalah sebab
kebetulan sama dengan itu; seperti nikah
yang akan mendatangkan kerusakan,
fasid yang menimbulkan hubungan nasab
bukan mendatangkan maslahat. Misalkan
dan hak kewarisan.15
tugas amar ma’ruf nahi munkar adalah
sesuatu yang telah ditetapkan dalam b. Syarat
agama. Ia adalah sebab untuk
Yang dimaksud dengan Syarat adalah
menegakkan agama dan mewujudkan
suatu yang karenanya baru ada hukum
syi’ar-syi’ar Islam. Ia bukanlah sebab
dan dengan ketiadaannya tidak ada
syar’i untuk melenyapkan harta atau jiwa
hukum. Misalnya haul (genap satu tahun)
meskipun kadang-kadang dapat mengarah
adalah syarat wajibnya zakat harta
kepada hal itu dalam pelaksanaannya.
perniagaan. Tidak ada haul tidak ada pula
Menetapkan sanksi hukuman bertujuan
14
untuk suatu kemaslahatan atau sebab Nurul Mahmudah, “TRADISI DUTU PADA
PERKAWINAN ADAT SUKU HULONDHALO”
5, no. 2 (2018): 8.
13 15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,hal. 398. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,hal. 339.
9
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

kewajiban zakat. Contoh lain misalnya 3) Syarat syar’i ( syarat berdasarkan


wudhu sebagaimana sabda Nabi SAW;16 penetapan syara’), seperti sucinya
badan menjadi syarat wajibnya shalat.
“Allah tidak menerima shalatnya
Nisab menjadi syarat wajibnya zakat.
seseorang apabila berhadast, hingga ia
Bentuk ketiga ini lah yang menjadi
berwudhu” (HR. Bukhari)
pokok pembahasan disini.
Wudhu merupakan syarat sahnya
Kita dapat mengetahui bahwa secara
shalat, dengan demikian shalat dipandang
garis besarnya syarat merupakan
sah manakala orang yang bersangkutan
pelengkap bagi sebab atau pelengkap bagi
wudhu terlebih dahulu sebelum ia
musabab.
mendirikan shalat. Artinya tanpa wudhu
shalatnya tidak sah sebab syaratnya belum Para ulama membagi syarat menjadi
terpenuhi. dua,yaitu :

Pembagian Syarat ada 3 yaitu:17 1. Syarat syar’i

1) Syarat ‘aqli (seperti kehidupan menjadi Syarat syar’i atau syarat hakiki yaitu
syarat untuk dapat mengetahui. syarat-syarat yang dibuat untuk
Adanya paham menjadi syarat untuk menyempurnakan urusan syari’at. Syari’at
adanya taklif atau beban hukum). ini terbagi menjadi 2;18

2) Syarat ‘adi (berdasarkan atas kebiasan 1) Syarat untuk menyempurnakan sebab,


yang berlaku) seperti; bersentuhnya api misalnya ; haul (tempo mengeluarkan
dengan barang yang dapat terbakar zakat) menjadi syarat untuk
menjadi syarat berlangsungnya mengeluarkan zakat atas benda yang
kebakaran. telah mencapai nisab. Nisab
merupakan sebab wajibnya zakat,
16
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal, 22.
17 18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,hal. 400. Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 23.
10
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

karena nisab menjadi indicator 1) Syarat yang diciptakan untuk


(petunjuk) adanya kekayaan seseorang. kesempurnaan masyrut, misalnya
dalam jual beli disyaratkan supaya
2) Syarat untuk menyempurnakan
kontan, atau barang yang dibeli itu
musabab, misalnya bersuci adalah
supaya diantar kerumah. Syarat seperti
syarat yang menyempurnakan shalat
ini boleh dipandang sah.
manakala telah tiba waktunya. Tiba
waktunya shalat merupakan sebab 2) Syarat yang tidak sesuai tidak jelas
wajibnya melaksanakan shalat. berlawanan atau tidak sesuai dengan
Sedangkan shalat itu sendiri adalah masyrut. Dalam hubungan ini harus
sebagai musababnya. Musabab-dalam dibedakan antara ibadat dan
hal ini shalat-tidak akan sempurna mu’amalat. Untuk urusan ibadat segala
manakala tidak ada syaratnya, dan syarat yang tidak sesuai dengan
inilah yang dimaksud syarat sebagai maksud atau tujuan dari masyrut tidak
penyempurna musabab. Jadi dibenarkan, sebab dalam urusan ibadat
kebermaknaan shalat (hakekat shalat) seseorang tidak diperkenankan
dipandang sempurna bila terpenuhi mengadakan sesuatu syarat atas
semua rukunnya dan demikian juga kemauannya sendiri. Dalam urusan
dengan syaratnya. mu’amalat berlaku prinsip, segala
sesuatu itu diperbolehkan kecuali
2. Syarat Ja’li
apabila ada larangan. Oleh sebab itu
Syarat Ja’li adalah syarat yang dibuat oleh
jual beli atas sesuatu barang tertentu,
yang bersangkutan untuk terealisasinya
misalnya jual beli radio (alat elektronik
perbuatan yang dimaksud. Dalam hal ini
tertentu)dengan syarat garansi waktu
ada tiga macam;19
tertentu diperbolehkan.

c. Mani’
19
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 24.
11
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Mani’ ialah sesuatu yang karena shalat, bahkan dilarang shalat


adanya tidak ada hukum atau selakipun fisik dan mentalnya
membatalkan sebab hukum. Dari memungkinkan orang yang
pengertian ini dpatlah diketahui bersangkutan melakukan
bahwa mani’ itu ada dua macam, shalat.20
yaitu;
2. Mani’ terhadap sebab hukum
1. Mani’ terhadap hukum, dalam hal
Dalam hal ini yaitu mani’ yang
ini ada tiga bagian:
mempengarahi atau menghalangi sebab.
1) Mani’ (halangan) yang Misalnya seseorang telah berkewajiban
membebaskan hukum taklifi. membayar zakat akan tetapi ia
Misalnya orang gila , sebab mempunyai huntang sampai mengurangi
orang yang gila bukanlah nisab zakat makai ia tidak wajib
orang yang mukallaf. Selama membayar zakat karena harta miliknya
ini ia dalam keadaan gila. tidak sampai nisab lagi. Memiliki harta
Karena itu, ia tidak wajib sampai nisab adalah sebab wajibnya
mengqadha hukum-hukum zakat. Dalam hal keadaan ia mempunyai
taklifi yang tidak banyak hutang menjadi penghalang
dikerjakannya. terhadap sebab adanya hukum wajib
zakat.21
2) Mani’ yang membebaskan
hukum taklifi, sekalipun masih Dari penjelasan tentang hukum
mungkin untuk melakukan wadh’I yang berkaitan dengan sebab,
hukum taklifi. Misalnya syarat, dan mani’ yang telah dikemukakan
seorang wanita yang sedang sebelumnya, dapat disimpukan bahwa
menstruasi atau habis
melahirkan bayi tidak wajib 20
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 25.
21
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 26.
12
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

suatu hukum syara ‘ baru ada dan dapat Hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum
berlaku, apabila telah terpenuhi tiga unsur ada hukum sebelum hukum yang
utama, yaitu;22 disyari’atkan Allah, sehingga seluruh
mukallaf wajib mengikuti sejak hukum
1) Adanya sabab’ agar lahirnya hukum
tersebut disyarti’atkan. Imam Al-Badhawi
syara’,
(ahli ushul syafi’iyah), mengatakan bahwa
2) Terdapatnya semua syarat yang azimah itu adalah “Hukum yang
ditetapkan untuk berlakunya hukum ditetapkan tidak berbeda dengan dalil
syara’ dan, yang ditetapkan karena ada udzur”.
Misalnya, jumlah rakaat shalat Zuhur
3) Tidak adanya satu mani’ pun yang
adalah empat rakaat ini ditetapkan oleh
menghalangi berlakunya hukum syara’
Allah sejak semula, dimana sebelumnya
tersebut.
tiak ada hukum tentang rakaat, disebut
Sementara itu, menurut sebagian sebagai Azimah. Apabila ada dalil lain
ulama ada yang berpendapat bahwa yang menunjukan bahwa orang-orang
hukum wadh’i tidak hanya mengandung tetentu boleh mengerjakan shalat zuhur
tiga macam sebagaimana yang dijelaskan dua rakaat, seperti orang musafir, maka
diatas, tetapi juga termasuk dalam hukum hukum itu disebut sebagai Rukhsah.
wadh’i ialah Azimah dan rukhsah, sah dan Dengan demikian, para ahli ushul fiqh
batal. mendefinisikan rukhsah dengan “Hukum
yang ditetapkan berbeda dengan dalil
3. Azimah (Hukum yang disyari’atkan
yang ada karena ada udzur”.23
Allah) dan Rukhsah (Keringanan)
4. Sah dan batal
Azimah adalah hukum-hukum yang
disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh

22 23
Rahman Dahlan,Ushul Chaerul Uman, Ushul Fiqih
Fiqh,(Jakarta:Amzah,2014),hal. 74. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2013)hal. 250.
13
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Lafal sah dapat diartikan lepas Para ulama berpendapat, setiap


tanggung jawab atau gugur kewajiban di perbuatan apakah ibadah maupun
dunia serta memperoleh pahala dan muamalah bertujuan untuk mencapai
ganjaran di akhirat. Shalat kemaslahatan hidup manusia di dunia dan
dikatakan sah karena telah dilaksanakan diakhirat. Dalam hal ini termasuk semua
sesuai dengan yang diperintahkan syara’ macam perjanjian yang mengandung dua
dan akan mendatangkan pahala di akhirat. tujuan pokok, yaitu memenuhi tuntutan
Sebaliknya lafal batal dapat diartikan syara’ dan mencapai mewujudkan
dapat diartikan tidak melepaskan kemaslahatan hidup.
tanggung jawab, tidak menggugurkan
Perbedaan Hukum Wadh’i dengan
kewajiban didunia dan di akhirat tidak Hukum Taklifi
memperoleh pahala.24
Selanjutnya mengenai beberapa
Kalau perbuatan yang dituntut syara’ perbedaan antara hukum taklifi danhukum
dikatakan sah , maka orang yang wadh’i yang dapat disimpulkan dari
melaksanakannya dikatakan telah pembagian hukum diatas. Perbedaan
menunaikan tuntutan, lepaslah dari yangdimaksud, antara lain ialah:25
tanggung jawab, tidak dituntut hukuman,
1) Dalam hukum at-taklif terkandung
baik di akhirat kelak. Sebalik nya
tuntutan untuk melaksanakan,
perbuatan yang tidak memenuhi
meninggalkan, atau memilih berbuat
persyaratan dan rukun serta bertentangan
atau tidak berbuat. Dalam hukum al-
dengan ketentuan syara’ tidak dapat
Wadh’i hal ini tidak ada, melainkan
menghapuskan kewajiban, yang
mengandung keterkaitan antara kedua
melakukannya pun dituntut, naik di dunia
persoalan, sehingga salah satu di
maupun di akhirat.

25
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul
24
Chaerul Uman, Ushul Fiqih 1,hal. 249. Fiqih,(Bandung:Pustaka Setia,2015)hal. 316.
14
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

antara keduannya bisa dijadikan hal seperti ini tidak dipersoalkan,


sebab, penghalang, atau syarat. karena musyaqqah dan harajdalam
hukum al-wadh’i adakalanya dapat
2) Hukum at-taklif merupakan tuntutan
dipikul mukallaf (seperti
langsung pada mukkallaf untuk
mengahadirkan saksi sebagai syarat
dilaksanakan, ditinggalkan, atau
dalam pernikahan). Dan adakalanya
melakukan pilihan untuk berbuat atau
di luar kemampuan mukallaf (seperti
tidak berbuat. Sedangkan hukum al-
tergelincirnya matahari bagi wajibnya
wadh’i tidak dimaksudkan agar dapat
shalat zuhur).
dilaksanakan hukum at-taklif.
Misalnya zakat itu hukumnya wajib 4) Hukum at-taklifditujukan kepada para
(hukum at-taklif). Akan tetapi, mukallaf, yaitu orang yang telah
kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan baligh dan berakal; sedangkan hukum
apabila harta tersebut tidak mencapai al-wadh’i ditujukan kepada manusia
unkuran satu nisab dan belum haul. mana saja, baik telah mukallaf,
Ukuran satu nisab merupakan maupun belum, seperti anak kecil dan
penyebab (hukum al-wadh’i) wajib orang gila.
zakat dan haul merupakan syarat
Kaitannya Hukum Wadh’i danHukum
(hukum at-taklif) wajib zakat. Taklifi

3) Hukum at-taklif harus sesuai dengan Sebelum kita masuk ke materi


kemampuan mukallaf untuk keterkaitannya hukum wadh’i dan hukum
melaksanakan atau meninggalkannya, taklifi, kita pahami terlebih dahulu
karena dalam hukum at-taklif tidak penjelasan dibawah ini;26
boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan
kesempitan (haraj) yang tidak
mungkin dipikul oleh mukllaf.
26
Isnan Ansthory, Dilarang Tapi
Sedangkan dalam hukum al-wadh’i Sah,(Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019)hal. 9
15
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Para ulama umumnya sepakat untuk (‫)اﻟﺒﻂﻻن‬,dan (5) ‘Azimah ‫اﻟﻌﺰﯾﻤﺔ‬


membedakan hukum syariah menjadi dua
rukhshoh.‫اﻟﺮﺧﺼﺔ‬
jenis; hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Berdasarkan penjelasan diatas kita
Hukum taklifi (‫ )اﻟﺤﻜﻤﺎﻟﺘﻜﻠﯿﻔﻲ‬sendiri
dapat memahami bahwa, pembagian
didefinisikan sebagai hukum yang
hukum Syariah menjadi dua hukum di
berlandaskan khithab (doktrin) syaari’
atas, maka sangat memungkinkan ada
(Allah) yang terkait dengan perbuatan
suatu perbuatan yang secara taklifi
mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah,
hukumnya haram, namun secara wadh’i
larangan), atau berupa takhyir (pilihan).
hukumnya sah. Sebab haram dan sah
Dari definisi ini, mayoritas ulama
adalah dua “jenis” hukum yang berbeda
kemudian membedakan hukum taklifi
dan pada hakikatnya tidak terkait satu
menjadi 5 hukum; wajib, mandub, haram,
samalain.27
makruh, dan mubah.
PENUTUP
Sedangkan hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah perintah Allah
(‫)اﻟﺤﻜﻤﺎﻟﻮﺿﻌﻲ‬ adalah hukum yang
yang berkaitan dengan penetapan sesuatu
berlandaskan khithab (doktrin)
sebagai sebab, syarat, atau penghalang
syari’(Allah) yang terkait dengan
bagi yang lain. Sebagian ulama
perbuatan mukallaf berdasarkan suatu
menambah cakupan hukum wadh’i
hukum yang lain. Dan juga bisa disebut
dengan memasukkan tema sah, batal, dan
dengan hukum bagi hukum perbuatan
rusak (fasad). Akan tetapi, pembahasan
(hukm al-hukm li al-fi’li). Di mana
mengenai sah, batal, dan rusak tidak
hukum jenis ini kemudian dibedakan
hanya termasuk hukum wadh’i melainkan
menjadi 5 jenis: (1) Sabab,(‫)اﻟﺴﺒﺐ‬
juga termasuk kedalam hukum Taklifi.
(2)Syarath, (‫)اﻟﺸﺮط‬, (3)Mani’(‫)اﻟﻤﺎﻧﻊ‬
27
(4)shihhah (‫اﻟﺼﺤﺔ‬ dan buthlan Isnan Ansthory, Dilarang Tapi Sah,hal.
10.
16
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

Macam-macam Hukum wadh’I ada kesempitan (haraj) yang tidak


tiga, yaitu sebab, syarat, dan mani’. mungkin dipikul oleh mukllaf.
Sementara itu, menurut sebagian ulama 4. Hukum at-taklif ditujukan kepada para
ada yang berpendapat bahwa hukum mukallaf, yaitu orang yang telah baligh
wadh’i tidak hanya mengandung tiga dan berakal.
macam sebagaimana yang dijelaskan Hukum Wadh’i :
diatas, tetapi juga termasuk dalam hukum 1. hukum al-Wadh’i hal ini tidak ada,
wadh’i ialah Azimah dan rukhsah, sah dan melainkan mengandung keterkaitan
batal. antara kedua persoalan, sehingga salah
perbedaan hukum taklifi dan hukum satu di antara keduannya bisa dijadikan
wadh’i , sebab, penghalang, atau syarat.
Hukum Taklifi : 2. hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan
1. hukum at-taklif terkandung tuntutan agar dapat dilaksanakan hukum at-
untuk melaksanakan, meninggalkan, taklif.
atau memilih berbuat atau tidak 3. hukum al-wadh’i hal seperti ini tidak
berbuat. dipersoalkan, karena musyaqqah dan
2. Hukum at-taklif merupakan tuntutan haraj dalam hukum al-wadh’i
langsung pada mukkallaf untuk adakalanya dapat dipikul mukallaf
dilaksanakan, ditinggalkan, atau (seperti mengahadirkan saksi sebagai
melakukan pilihan untuk berbuat atau syarat dalam pernikahan).
tidak berbuat. 4. hukum al-wadh’i ditujukan kepada
3. Hukum at-taklif harus sesuai dengan manusia mana saja, baik telah
kemampuan mukallaf untuk mukallaf, maupun belum, seperti anak
melaksanakan atau meninggalkannya, kecil dan orang gila.
karena dalam hukum at-taklif tidak Kaitan atau hubungan dari hukum
boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan Taklifi dengan hukum Wadh’i,
Berdasarkan penjelasan diatas kita
17
El Ahli: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume : I No 2 Desember 2020

E-ISSN : 2722-225X

dapat memahami bahwa, pembagian


Mustafa, Zulhas’ari. 2013. Determinasi
hukum Syariah menjadi dua hukum di
Al-Ahkam Al-Syari’ah dalam
atas, maka sangat memungkinkan ada Tradisi Hukum Islam, al-daulah
Vol.1 No.1
suatu perbuatan yang secara taklifi
hukumnya haram, namun secara Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh,
Jakarta:Kencana
wadh’i hukumnya sah.
Razin,Musnan. 2014. Ushul Fiqh,
Yogyakarta: STAIN Jurai Siwo
DAFTAR PUSTAKA
Metro Lampung

Dahlan, Rahman. 2014.Ushul Fiqh,


Siregar, Ahmad Sholihin.2017. Al-Wadh’i
Jakarta:Amzah
Dan Tekstualnya dalam Al-
Qur’an,AL-QADHA jurnal Islam
Syafe’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul
Dan Perundang-Undangan Vol.4
Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
No.2
Uman, Chaerul. 2013 . Ushul Fiqih
Syamsarina, 2016. Eksistensi Hukum
1,Bandung: Pustaka Setia
Wadh’I,Dalam Syari’at,Jurusan
Syari’ah dan Ekonomi
Ansthory, Isnan, 2019. Dilarang Tapi
Sah,Jakarta: Rumah Fiqih
Islam SekolahTinggi Agama Islam
Publishing,
Negeri(STAIN) Kerinci Al-
Qishthu Vol.14 No.1

Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh,


Jakarta:Kencana

18

Anda mungkin juga menyukai