oleh:
Azkia Fachrina Hanifa
201910401011071
J-32
pembimbing:
dr. Gita Sekar Prihanti,M.Pd,Ked
PENDAHULUAN
Mempelajari shirah Nabi maka akan menciptakan rasa cinta kepada Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat serta akan membuat kita mengetahui hukum
yang disebutkan oleh suatu ayat Al Quran. Sebab, setiap ayat memiliki asbabun
nuzul (sebab turunnya ayat) melalui peristiwa yang melatar belakangi turunnya
ayat itu. Al-Qur’an merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW.
berisi perincian kisah hidup Rasulullah yakni asal muasal, suku dan nasab dan
keadaan masyarakat sebelum beliau dilahirkan berlanjut saat beliau lahir, masa
kecil, masa remaja, masa dewasa serta perjuangan beliau dalam menegakkan
islam hingga akhir hayatnya. Shirah nabawiyah bersumber dari al quran, hadist
refleksi diri karena didalamnya banyak terdapat pelajaran dan hikmah yang bisa
kita ambil. Salah satunya adalah bagaimana Rasulullah menyiapkan diri untuk
bertemu ajalnya.
BAB II
BAB III
REFLEKSI DIRI
Rasulullah wafat pada tahun 11 hijriyah dan saat berusia 63 tahun karena
sakit yang dialaminya. Begitu indah kisah wafat Rasul. Begitu indah reaksi para
sahabat dan kaum Muslimin saat itu menerima kabar wafat Rasulullah. Hal ini
menyadarkan saya bahwa setiap insan memiliki batas kehidupannya, setiap insan
akan bertemu dengan ajalnya. Nabi Muhammad SAW yang merupakan manusia
paling sempurna saja memiliki batas akhir kehidupannya, apalagi kita yang hanya
manusia biasa, banyak akan dosa.
Kematian adalah takdir seluruh makhluk, Seperti dalam firman Allah Ta’ala
dalam QS. Ali Imran: 185 (yang artinya), “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.” Maka alangkah beruntungnya apabila kita sebagai
manusia memanfaatkan umur kita dengan sebaik baiknya dengan mengimani
Allah, menjauhi larangannya, selalu berbuat baik seperti yang dicontohkan
Rasullullah yang selalu mensyiarkan agama Allah hingga akhir hayatnya.
Rasulullah SAW begitu mulia. Ia yang telah Allah janjikan surga namun tak
pernah berhenti mengejar surga setiap detik hembusan nafasnya hingga hembusan
nafas terakhirnya. Ia yang Allah muliakan senantiasa bersabar, ihklas dalam
menjalani penyakitnya hingga beliau wafat tanpa adanya rasa mengeluh bahkan
senantiasa selalu mensyukurinya. Kesabaran dan ketaatannya lah yang menjadi
tauladan diri yang tidak pernah luput dari mengeluh dan sering lupa akan syukur.
Bahkan saat Rasulullah SAW dalam keadaan sakit, beliau tidak pernah
meninggalkan shalat bahkan beliau memaksakan diri untuk tetap mengimami dan
memberikan khutbah untuk kaumnya dengan keadaan lemah dan berjalan tertatih-
tatih hingga sampai di mimbar. Namun diri ini masih saja enggan bersegera
melaksanakan panggilan Allah meski nikmat sehat masih Allah berikan.
Disaat menahan rasa sakitnya pun, Rasulullah SAW tak pernah sedetik pun
melupakan umatnya. Tak pernah sedetikpun mengabaikan umatnya. Ia
memikirkan bagaimana nasib umatnya. Begitu romantisnya Rasul terenyum dan
tertawa bahagia melihat umatnya masih tegalk berdiri shalat menyembah Allah
SWT meski beliu tak mampu lagi berdiri mengimaminya. Sedangkan diri, sering
lupa akan Rasulullah SAW. Sering lupa akan tauladannya, sering lupa akan
mendoakannya.
Rasulullah SAW tak pernah berhenti menyiarkan agama Allah SWT hingga
akhir nafasnya. Meski raga tak kuat lagi, agama Allah tetaplah utama baginya.
Sedangkan diri ini, masih saja enggan untuk berani menyiarkan agama-Nya.
Enggan membela agama-Nya hanya karena takut dengan omongan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA