Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH SHIRAH NABAWIYAH

WAFATNYA RASULULLAH SAW

oleh:
Azkia Fachrina Hanifa
201910401011071
J-32

pembimbing:
dr. Gita Sekar Prihanti,M.Pd,Ked

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Shirah nabawiyah merupakan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW.

Mempelajari shirah Nabi maka akan menciptakan rasa cinta kepada Nabi

Muhammad SAW dan para sahabat serta akan membuat kita mengetahui hukum

yang disebutkan oleh suatu ayat Al Quran. Sebab, setiap ayat memiliki asbabun

nuzul (sebab turunnya ayat) melalui peristiwa yang melatar belakangi turunnya

ayat itu. Al-Qur’an merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada nabi

Muhammad SAW.

Dengan mempelajari Shirah Nabawiyah kita dapat mengetahui bagaimana

Rasulullah memahami dan merespon perintah-perintah Allah. Shirah nabawiyah

berisi perincian kisah hidup Rasulullah yakni asal muasal, suku dan nasab dan

keadaan masyarakat sebelum beliau dilahirkan berlanjut saat beliau lahir, masa

kecil, masa remaja, masa dewasa serta perjuangan beliau dalam menegakkan

islam hingga akhir hayatnya. Shirah nabawiyah bersumber dari al quran, hadist

nabi, riwayat para sahabat nabi Muhammad SAW.

Penulis memilih kisah “wafatnya Rasulullah SAW” untuk dijadikan bahan

refleksi diri karena didalamnya banyak terdapat pelajaran dan hikmah yang bisa

kita ambil. Salah satunya adalah bagaimana Rasulullah menyiapkan diri untuk

bertemu ajalnya.
BAB II

WAFATNYA RASULULLAH SAW

Tiga bulan sekembalinya Rasulullah dari haji wada’, Rasalullah SAW


mengeluh sakit. Pertama kali beliau mengeluhkan sakit ini di rumah Maimunah
Ummul Mukminin. Beliau menderita sakit selama 10 hari dan wafat pada hari
Senin, 12 Rabi’ul awal. Beliau wafat dalam usia 63 tahun. Disebutkan dalam
riwayat yang shahih, bahwa beliau mulai mengeluh sakit sejak tahun ke-7 hijriyah
selepas penaklukan Khaibar, setelah beliau mencicipi sepotong daging kambing
yang telah dibubuhi racun yang dihidangkan oleh seorang wanita Yahudi, istri
Sallam bin Misykam. Meski beliau tidak sempat menelannya, akan tetapi
pengaruh racun masih membekas atas diri beliau. Beliau meminta kepada istri-
istrinya agar diizinkan dirawat di rumah Aisyah Ummul Mukminin. Aisyah
mengusap tubuh Rasulullah SAW dengan tangan beliau sendiri, karena
keberkahannya, dan membacakan surat Al-Mu’awidzataini (Al-Falaq) untuk
beliau.
Ketika menejlang wafat dan sakit beliau bertambah parah, beliau berkata
kepada para sahabat: Kemarilah, aku akan tuliskan untuk kalian satu pesan yang
kalian tidak akan sesat setelahnya.” Namun para sahabat berselisih pendapat,
sebagian dari mereka ingin memberikan alat tulis, dan sebagian lainnya, khawatir
hal itu akan memberatkan beliau. Kelihatannya disana, terdapat indikasi yang
menguatkan bahwa perintah memberikan alat tulis kepada beliau bukanlah wajib
namun merupakan pilihan bagi mereka. Ketika Umar berkata: “Cukuplah bagi
Kitabullah!”, Rasulullah SAW tidak mengulangi perintah beliau tersebut.
Sekiranya apa yang hendak beliu tulis itu adalah perkara yang penting, niscaya
beliau akan mewasiatkannya kepada mereka sebagaimana beliau mewasiatkan
secara lisan agar mengeluarkan kaum Musyrikin dari Jazirah Arab dan
memuliakan para utusan dan delegasi. Sekiranya apa yang hendak beliau tulis
adalah perkara wajib, niscaya beliau tidak akan membiarkan para sahabat
berselisih pendapat, karena beliau tidak akan menunda penyampaian risalah hanya
karena penyelisihan orang-orang yang menyelisihinya. Dan para sahabat selalu
berdiskusi dengan beliau dalam sebagian urusan, selama beliau belum
menetapkan keputusan apapun dalam urusan tersebut.
Pada hari Kamis, empat hari sebelum beliau wafat, Ia memanggil Fatimah
dan membisikkkan sesuatu kepadanya, lalu Fatimah menangis. Setelah itu,
Rasulullah kembali membisikkan sesuatu kepadanya dan kali ini ia tersenyum.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Fatimah menceritakan bahwa Rasulullah
mengabarkan bahwa beliau akan wafat, maka iapun menangis, kemudian
Rasulullah mengabarkan bahwa dialah yang paling awal menyusul, maka iapun
tersenyum. Dan hal ini termasuk tanda-tanda nubuwat
Sakit yang Ia derita sangat memberatkan beliau, sehingga menghalangi
beliau untuk keluar mengimami shalat. Beliau berkata: “Perintahkanlah Abu
Bakar agar megimami shalat.” Akan tetapi, Aisyah berusaha meralat perintah
beliau supaya orang-orang tidak berempati terhadap Ayahnya. Aisyah berkata:
“Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang yang sangat halus perasaannya, lemah
suaranya, dan suka menangis apabila membaca Al-Qur’an. Namun beliau tetap
bersikeras dengan perintah tersebut, maka Abu Bakar-pun maju mengimami
shalat. Rasulullah SAW keluar dengan dipapah oleh Al-Abbas dan Ali bin Abi
Thalib, lalu mengimami shalat kemudian berkhutbah. Dalam khutbah tersebut,
beliau memuji Abu Bakar dan menjelaskan keutamaannnya dan beliau
mengisyaratkan kepada pilihan yang diberikan Allah kepadanya antara dunia dan
akhirat, dan beliau lebih memilih akhirat.
Khutbah terakhir beliau, lima hari sebelum beliau wafat adalah sebagai
berikut: “Sesungguhnya seorang hamba ditawarkan kepadanya dunia dan
perhiasannya namun ia lebih memilih akhirat.” Abu Bakar mengerti apa yang
dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa yang beliau maksud adalah diri beliau
sendiri, maka Abu Bakar pun menangis sehingga orang-orang terheran-heran
karena mereka tidak mengerti apa yang diketahui oleh Abu Bakar.
Rasulullah SAW menyingkap tirai kamar Aisyah pada shalat Fajar pada
hari beliau wafat, lalu beliau menatap kaum Muslimin dalam shaf-shaf mereka
sedang mengerjakan shalat. Rasulullah SAW tersenyum dan tertawa seolah-olah
beliau ingin mengucapkan selama tinggal kepada mereka. Hampir-hampir saja
kaum Muslimin menghentikan shalat mereka karena gembira menyambut
keluarnya beliau, dan Abu Bakar mundur ke belakang karena mengira bahwa
Rasulullah SAW hendak mengerjakan shalat. Namun beliau mengisyaratkan
kepada mereka agar terus menyempurnakan shalat mereka, kemudian beliau
masuk ke dalam kamar dan menutup kembali tirainya.
Fatimah masuk menemui beliau dan berkata: “Duhai, betapa sulitnya
wahai Ayahku.” Rasulullah berkata kepadanya: “Tidak ada kesulitan bagi
Ayahmu setelah hari ini.” Kemudian Usamah bin Zaid masuk menemui beliau,
lalu beliau mendoakannya dengan isyarat, beliau hanya diam tidak bisa berbicara,
karena beratnya sakit yang Ia derita.
Menjelang wafat, Rasulullah SAW bersandar di dada Aisyah. Aisyah
mengambil siwak dari saudaranya, yakni Abdurrahman, ia mematahkannya
dengan ujung giginya dan memberikannya kepada Rasulullah lalu beliau bersiwak
dengannya. Beliau mencelupkan tangan ke dalam bejana berisi air lalu mengusap
wajahnya seraya berkata: “Laa ilaaha illallah, sesungguhnya kematian itu pasti
diiringi sekarat (sakaratul maut)”. Dengan suara serak beliau berkata: “Bersama
orang-orang yang diberi nikmat atas mereka.” Lalu beliau berkata: “Yaa Allah
bersama Ar-Rafiq Al-A’laa!” Mengertilah Aisyah bahwa beliau diberi pilihan dan
beliau memilih bersama Ar-Rafiq Al-A’laa.
Rasulullah SAW wafat, sementara kepala beliau dalam pangkuan Aisyah
RA ketika dhuha sudah meninggi. Ada yang mengatakan waktu tergelincirnya
matahari. Abu Bakar masuk menemui jenazah beliau (saat Rasulullah wafat, ia
berada di As-Sanah), Abu Bakar menyingkap penutup wajah Nabi kemudian
memeluk dan menciumnya lalu keluar menemui kaum Muslimin. Kaum Muslimin
pun ada yang percaya dan ada yang tidak percaya ketika mendengar berita itu.
Abu Bakar melihat Umar sedang berbicara di hadapan manusia, ia mengingkari
berita wafatnya Rasulullah SAW. Kemudian orang-orang mendatangi Abu Bakar,
lalu Abu Bakar berbicara: “Amma ba’du, barangsiapa diantara kalian yang
menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa
di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup
dan tidak akan mati.” Allah berfirman;
Orang-orang menjadi tenang dan Umarpun terduduk di atas tanah, ia tidak
kuasa lagi bertumpu pada kedua kakinya. Seolah-olah mereka baru mendengar
ayat tersebut pada hari itu. Fatimah pun berkata:
“Duhai Ayahku, sambutlah panggilan Rabbmu,
Duhai Ayahku, surga Firdauslah tempat bermukimmu,
Duhai Ayahku, kepada maliakat Jibrillah kami mengadu”
Shalawat, keselamatan, keberkatan, dan nikmat semoga Allah curag
curahkan atas Nabi-Nya, atas keluarga beliau, dan segenap sahabat beliau. Segala
puji bagi Allah Rabb sekalian alam.

BAB III
REFLEKSI DIRI
Rasulullah wafat pada tahun 11 hijriyah dan saat berusia 63 tahun karena
sakit yang dialaminya. Begitu indah kisah wafat Rasul. Begitu indah reaksi para
sahabat dan kaum Muslimin saat itu menerima kabar wafat Rasulullah. Hal ini
menyadarkan saya bahwa setiap insan memiliki batas kehidupannya, setiap insan
akan bertemu dengan ajalnya. Nabi Muhammad SAW yang merupakan manusia
paling sempurna saja memiliki batas akhir kehidupannya, apalagi kita yang hanya
manusia biasa, banyak akan dosa.

Kematian adalah takdir seluruh makhluk, Seperti dalam firman Allah Ta’ala
dalam QS. Ali Imran: 185 (yang artinya), “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.” Maka alangkah beruntungnya apabila kita sebagai
manusia memanfaatkan umur kita dengan sebaik baiknya dengan mengimani
Allah, menjauhi larangannya, selalu berbuat baik seperti yang dicontohkan
Rasullullah yang selalu mensyiarkan agama Allah hingga akhir hayatnya.

Rasulullah SAW begitu mulia. Ia yang telah Allah janjikan surga namun tak
pernah berhenti mengejar surga setiap detik hembusan nafasnya hingga hembusan
nafas terakhirnya. Ia yang Allah muliakan senantiasa bersabar, ihklas dalam
menjalani penyakitnya hingga beliau wafat tanpa adanya rasa mengeluh bahkan
senantiasa selalu mensyukurinya. Kesabaran dan ketaatannya lah yang menjadi
tauladan diri yang tidak pernah luput dari mengeluh dan sering lupa akan syukur.

Bahkan saat Rasulullah SAW dalam keadaan sakit, beliau tidak pernah
meninggalkan shalat bahkan beliau memaksakan diri untuk tetap mengimami dan
memberikan khutbah untuk kaumnya dengan keadaan lemah dan berjalan tertatih-
tatih hingga sampai di mimbar. Namun diri ini masih saja enggan bersegera
melaksanakan panggilan Allah meski nikmat sehat masih Allah berikan.

Disaat menahan rasa sakitnya pun, Rasulullah SAW tak pernah sedetik pun
melupakan umatnya. Tak pernah sedetikpun mengabaikan umatnya. Ia
memikirkan bagaimana nasib umatnya. Begitu romantisnya Rasul terenyum dan
tertawa bahagia melihat umatnya masih tegalk berdiri shalat menyembah Allah
SWT meski beliu tak mampu lagi berdiri mengimaminya. Sedangkan diri, sering
lupa akan Rasulullah SAW. Sering lupa akan tauladannya, sering lupa akan
mendoakannya.
Rasulullah SAW tak pernah berhenti menyiarkan agama Allah SWT hingga
akhir nafasnya. Meski raga tak kuat lagi, agama Allah tetaplah utama baginya.
Sedangkan diri ini, masih saja enggan untuk berani menyiarkan agama-Nya.
Enggan membela agama-Nya hanya karena takut dengan omongan orang lain.

Sabar, tawakal, ikhlas yang Rasulullah SAW contohkan dketika


mengahadapi sakitnya, membuat diri ini sadar bahwa ujian Allah SWT bukanlah
untuk dicaci, dikeluhkanc ataupun membuat diri ini menyerah dan menjauh dari-
Nya. Rasulullah yang telah Allah janjikan surga, tetap berusaha menjadi pribadi
yang mengejar surga dengan akhlakul karimahnya. Baginya, meski ditawakan
dunia dengan segala perhiasannya, akhirtalah tempat yang ia pilih. Sedang diri ini,
yak tak terjamin surga bagi diri, masih enggan bersikeras mengejar surga dan
masih sering mengejak dunia yang nyatanya duania ini memiliki akhir.

DAFTAR PUSTAKA

DR. Akram Dhiya’ AAl-Umuri.2010. Shahih Sirah Nabawiyah. Jakarta. Pustaka


as-Sunnah

Anda mungkin juga menyukai