Anda di halaman 1dari 14

ULUMUL HADIS

Tentang
SEJARAH PEMBUKUAN HADIS
Dosen Pengampu
HJ. Rustini N. M. Ag

Oleh : surida
Nim : 0130401120

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) AMBON


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Quran dan
kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut.
Al-Quran sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga
terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang
baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang
pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan
secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi
Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan
kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Quran satu-satunya sumber informasi yang
tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang
masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan
belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Quran yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis
untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah
awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang
tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang
merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu
masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai
bagian dari referensi penting setelah Al-Quran. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang
kemudian disebut dengan hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Sejarah Perkembangan Hadits ?
2. Bagaimana Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits ?
3. Bagaimana Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW ?
4. Bagaimana Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin ?
5. Bagaimana Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar ?
6. Bagaimana Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III ?
7. Bagaimana Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalaha sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits.
2. Untuk Mengetahui Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits.
3. Untuk Mengetahui Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW.
4. Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin.
5. Untuk Mengetahui Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar.
6. Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III.a
7. Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sejarah Perkembangan hadist


Sejarah perkembang hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat darigenerasi ke
generasi). Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya
di zaman Nabi SAW.meneliti dan membina hadits.

B. Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits


Berdasarkan referenesi yang kami dapat dalam buku dan internet yaitu para ulama dalam
upaya berusaha untuk mengembangkan hadits dan membinanya serta segala hal yang
mempengaruhi hadits tersebut sehingga para Ulama Muhaddisin membagi sejarah hadits dalam
beberapa bagian, yaitu sejarah perkembangan hadist pra dan pasca kodifikasi. Kemudian dibagi
lagi dalam tujuh periode.
Berikut periodisasi sejarah hadits yang membaginya pada lima periode :
1. Periode pertama : masa Rasullulah semenjak Rasullulah diangkat jadi Rasul sampai wafatnya
Masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam
2. Periode kedua : masa KhulafaAr-Rasyidin (11 H - 40 H)Masa membatasi dan penyedikitan
periwayatan
3. Periode ketiga : Masa Sahabat kecil dan Tabiin Masa perkembangan dan penyebarluasan
periwayatan hadits.
4. Periode keempat : Masa abad II dan III Hijriyah Masa pembukuan dan penulisan.
5. Periode kelima : Masa Mutaakhir Masa Penyempurnaan penyususnan hadits

C. Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW


Pada periode ini sejarah hadist disebut Ashr al Wahyiwa al Takwin ( masa turunnya
wahyu dan pembentukan masyarakat islam ). Pada saat inilah Hadist lahir berupa sabda (aqwal),
afal da taqrir. Nabi yang berfungsi menerangkan al-quran dalam rangka menegakkan syariat
islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi SAW.memberikan ceramah, pengajian,khotbah, atau penjelasan
terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak lansung adalah mendengar
dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan daerah yang datang kepada Nabi SAW.
Pada masa Nabi SAW.kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan,
hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulsi dikalangan sahabat masih kuran, Nabi
menekankan untuk menhafal, memahami, memelihara, mematrekan, dan memantapkan hadits
dalam amalan seharisehari, serta mentabligkannya kepada oranglain.
Tidak dituliskannya hadits secara resmi pada masa nabi, buakn berarti tidak ada sahabat yang
menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits,
diantaranya ;
1. Abdullah Ibn Amr Ibn Ash
2. Ali Ibn Abi Thalib
3. Anas Ibn Malik
Disamping itu, ketika Nabi SAW.menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau
sering mengirimkan surat-surat seruanpemberitahuan , antara lain kepada pejabat didaerah dan
tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik ditimur, utara, dan barat.
Surat-surat terserbut merupakan koleksi hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada
masa Nabi SAW.telah dilakukan penulisan hadits di kalanagn sahabat.

D. Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin


Perkembangan hadits pada masa khulafaal-Rasyidin ini disebut juga sebagai Ashr-At-
Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah. Yaitu masa pembatasan dan penyedikitan periwayat .
(Agus Solahudin.2011. hal 34)
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah SAW. Berpesan kepada para sahabat
agar berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits serta mengajarkan kepada orang lain,
sebagaimana sabdanya, Yang ArtiNya:

telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan Sunah Rasul-Nya.
(Mudasir.1999.hal 95)
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebar secara terbatas.
Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu,
Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits dan sebaliknya Umar
menekankan agar para sahabat mengerahankan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-
Quran*. Pembatasan tersebut dimaksud agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rosulullah SAW.dalam berbagai urusan. Segala periwayatan yang
mengatasnamakan Rosulullah SAW harus dengan mendatangkan saksi.*
Pada masa itu, khalifah Umar memiliki gagasan untuk membukukan hadits, namun maksdu
tersebut diurungkan setelah beliau melakukan istikharah.
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan
tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun, langkah
yang diterapkan tidaklah setegas Khalifah Umar Ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan,
Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada
zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya periwayatan hadits pada masa pemerintahan
ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan masa
penyebaran sebuah hadits. Hal ini disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih
lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas
juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
Sementara pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasinya pemerintahan Islam telah berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat.
Terjadinya peperangan antara beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai
pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negative dalam periwayatan
hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits.
Dengan demikian, tidak seluruh periwayatan hadits dapat dipercaya periwayatannya.
Dalam prakteknya, ada dua tipologi cirri-ciri periwayatan hadits dalam perkembangannya yang
dilakukan para sahabat, yakni :
1. Dengan lafadz asli, lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW.yang mereka hafal benar lafazh
dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari
Nabi SAW.(Maslani.2009.hal )

E. Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar


Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar in disebut juga Ashr Intisyar
al-Riwayah ila A-Amshr. Yaitu masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits. Pada masa
ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke Negara Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada
tahun 93 H meluas sampai ke Spanyol.hal ini besamaan dengan berangkatnya para sahabat ke
daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan
penyebaran ilmu hadits.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi SAW.diharuskan
berangkat keseluruh pelosok daerah daulah Islamiyah untuk menanyakan hadist kepada sahabat-
sahabat besar yang sudah tersebar diwiayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini,
disamping tersebarnya periwayatan untuk mencari haditspun menjadi ramai. Karena
meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga hadits diberbagai
daerah diseluruh negeri. Diantara bendarawan hadits yan banyak menerima, menghafal, dan
mengembanhkan atau meriwayatkan hadits adalah :
1. Abu Hurairah
2. Abdullah Ibn Umar
3. Aisyah
4. Abdullah Ibn Abbas
5. Jabir Ibn Abdullah
6. Abu Said Al-Khudri
Adapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pedidikan, dan
pengembangan hadits diantaranya terdapat di Madinah, Mekkah, Bashrah, Syam, dan Mesir.
Pada periode ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak beranggung.
Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali. r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi
beberapa golongan. Yakni, : Ali Ibn Abi Thalib, Khawarij, dan Jumruh.
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-yang berasal dari Rasulullah SAW.untuk mendukung golongan
mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadits palsu dan menyebarkannya kepada
masyarakat.(Agus Solehudin.2011.hal 38)

F. Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III


Periode ini disebut ASAHR AL-Kitabah Al-Tadwin, yakni masa penulisan dan
pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau secara peroranga sebelum abad II
H. hadist sudah banyak ditulis baik pada masa tabiin sahabt kecil, sahabat besar dan bahkan
sejak masa nabi SAW
Para penulis hadist yang menonjol sebelum abad II H. dari kalangan tabiin adalah; Aban
ibn Usman (100H), Abdullah ibn Hurmus (100H), Abdullah ibn Muhammad ibn Ali (99H),
Abdullah ibn Rabbah (90H), Abdullah ibn Masud (79H), Abd al-Rahman ibn Aidh (80H) dan
lain-lainnya, yang menurut M.M. Azmi, penulis sebelum abad II H. meliputi 86 orang tabiin
diakhir abad ke-I H, 48 orang tabiin pada masa sebelum akhir masa tabiin, 50 orang dari
kalangan sahabat.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tahun 101 H.
.
1. Dorongan bagi Usaha Pentadwinan Hadist
a. Pada akhir abad I H. para penghafal hadist semakin berkurang karena sudah banyak yang
meninggal dunia.
b. Periwayatan secara lisan dengan berperang dan ingatan dalam keseragaman lafazh dan makna
tidak bisa berlangsung sangat lama, sebabnya ialah:
1) Factor intern: kondis kaum muslimin sendiri dalam menghafal riwayat dan memelihara hafalan
tersebut makin lama berkurang, dikarenakan antara lain:
a) Semangat penghafal berkurang karena pengaruh kadar iman yang berada pada dada kaum
muslimin melemah.
b) Perubahan watak, pengaruh, pengaruh campuran ras dan berubahnya keadaan masyarakat dan
kehidupan.
2) Factor ekstern: pengaruh yang dating dari luar, antara lain:
a) Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sector kehidupan sosail,
ekonomi, dan politik.
b) Tidak henti- hentinya terdapat serangan dari kaum yang sengaja merusak Hadist dengan jalan
mengaburkan Hadist hadist yang sebenarnya.
Oleh karena itu terasa perlunya diselenggarakan pencatatan hadist dengan tidak mengabaikan
hafalan dan ingatan.
c. Mulai tahun 40H, periwayatan hadist dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadist yang
dilakukan oleh orang orang kafir, munafik dan zindiq, didorong oleh peristiwa yang terjadi
dikalangan umat islam.
d. Pada masa tabiin tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-quran dan hadist, sehingga
tidak menimbulkan kesamaran tentang al-quran sebagai dasar tasyri yang pertama yang telah
dibukukan, maka hadist oun yang berfungsi sebagai interpretasi al-quran, secara otomatis harus
dibukukan pula.
e. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya scope pengenalan
umat dan pertemuan peradaban antara orang islam dengan anak-anak negeri yang kemudian
menjadi wilayah islam.
f. Pada umat islam sudah tersedia potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan
dan pembukuan hadist.

2. Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadits


a. Segi kepentingan agama
1) Tujuan tadwin hadist ditinjau dari kepentingan agama berpangkal pada masalah pemeliharaan
syariat.
b. Dari segi kebutuhan umat:
1). Untuk pelaksanaan agama, maka umat islam memerlukan sekali pedoman praktis yang
secara mudah dan efisien.
2). Untuk istinbath bagi persoalan-persoalan kehidupan.
3). Untuk menghindari kekaburan umat islam tentang hadist.
Aktifitas tadwin hadist secara resmi dimulai pada masa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz
(khalifah ke-8 dari daulah ummayah) yang terkenal adil dan wara serta ahli dalam berbagai ilmu.
Untuk merealisasikan niatnya itu, pertama tama beliau meminta kepada gubernur
madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, supaya membukukan hadist Nabi
SAW yang terdapat pada Amarah binti Abd al- Rahman ibn saad ibn Zurarah ibn Ades.
Surat Umar ibn Abd al- Azis yang ditujukan kepada gubernur dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a) Perintah meneliti dan membukukan hadist Rasul SAW dengan ketentuan jangan diterima selain
hadist rasul.
b) Perintah untuk menyebar luaskan hadist hadist tersebut dengan jalan mengadakan majlis
majlis ilmu, supaya hadist tidak lenyap karna menjadi rahasia.
Aktifitas pentadwinan hadist secara resmi dan intensif berlangsung selama abad ke II dan
III H, yakni aktifitas sampai terkumpulnya seluruh hadis dalam diwan-diwan hadist. Pelopor
mudawid adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al Zuhri,
seorang tabiI yang ahli dalam bidnang fiqih dan hadist. Dan Pelopor tadwin dengan seleksi
adalah Ishaq ibn Rawaih yang diikuti dan disempurnakan oleh al- Bukhari dan Muslim.
Fase-fase Pentadwinan :
a) Fase Tadwin masa pertama
Pada fase ini para Mudawwin mengadakan tadwin dengan memasukkan ke dalam diwannya
semua hadist, baik sabda Nabi SAW maupun fatwa sahabt dan tabiin.
Jadi meliputi hadist marfu, mauquf dan Maqthu. Corak tadwin ini berlangsung selama abad II
H. Kitab kitab yang disusun pada masa ini tidak sampai pada masa kita sekarang kecuali kitab
al- Muwatha susunan Malik ibn Anas.
b) Fase Tadwin dengan Kualifikasi
Pada awal abad III H. para ulama melaksankan tadwin hadis dengan memisahkan antara sabda
Nabi SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin (kualifikasi).
System penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun Hadist dalam kitab-kitab
berdasarkan nama sahabat perawi. Sedangkan di dalam menerbitkan nma sahabat ada yang
menerbitkan menurut tertib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama islam dan ada pula
yang tidak memperhatikan tertiban ini.
c) Fase Tadwin dengan seleksi
Hal yang mendorong usaha tadwin dengan seleksi ini dalah karena meluasnya pemalsuan hadist
di akhir abad II H, dan awal abad III H. Untuk menanggulangi hal itu bangkitlah para ulama
untuk lebih mengintensifikasikan dalam hal-hal:
Penelitian dan pembahasan tentang perawi hadist dari berbagai segi: keadilan, ke dhabitan, yang
hal ini diambil dari biografi para perawi.
Penyahihan hadist atas kaidah-kaidah ilmu hadist yang membedakan anatara hadist-hadist yang
shahih dan yang dhaif.
Corak tadwin dengan seleksi menghasilakan dua jenis diwan hadist.
a) Kitab Shahih, yakni kitab-kitab yang penyusunnya tidak memasukkan ke dalamnya selain dari
hadist shahih saja. Kitab shahih antara lain: (1) shahih Bukhari, (2) shahih Muslim, (3) shahih al-
Mustadrak Hakim, (4) shahih Ibn Hibban, (5) shahih Ibn Khuzaimah, (6) shahih Abu Awanah,
dan (7) shahih Ibn Jarud.
b) Kitab sunan,yakni kitab yang oleh penyusunannya tidak dimasukkan kedalamnya hadist-hadist
munkar dan yang sderajatnya. Kitab sunan antara lain: (1) sunan Abu Dawud, (2) sunan
Turmudzu, (3) sunan al-NasI, (4) sunan Ibn Majah, (5) sunan al-Damiri, (6) sunan al-Dailami,
(7) sunan Baihaqi, dan (8) sunan al-Daruqhuthi.
Diantara kitab-kitab yang terkenal adalah: (1) Al-jami al-sahih al- Bukhari, (2) Al-jami
al-shahih Muslim, (3) sunan al-NasaI, (4) sunan Abu Dawud, (5) sunan al-turmudzu,dan (9)
sunan Ibn Majah. Keenam kitab inilah yang terkenal dengan sebutan: al-kutub al-sittah,yakni
kitab-kitab pokok yang enam.
Berikut ini akan diuraikan sekedarnya mengenai kitab-kitab shahih dan sunan yang enam
(al-kutub al-sittah):
1) Shahih Bukhari
Dengan syarat dan proses keshahihan (tasbih) yang tinggi seperti tersebut di atas
ditambah dengan keistimewaan yang menonjol dalam bidang hafalan dan keahliannya dalam
meniliti perawi, maka al-Bukhari telah membawa aljami al-shahih-nya ke tempat yang tertinggi
diantara kitab-kitab hadist. Dialah kitab hadist yang paling shahih sesudah al-quran.
Demikian para ulama ahli hadist bersepakat dalam menilai kitab hadist ini.
Penyusunan kitab-kitab pembantu
Disamping telah melaksanakan penyusunan kitab-kitab hadist (kitab materi), para ulama
Muhaditsin telah berhasil pula menyusun kitab pembantu, yang dalam hal ini terdiri dari: (1)
Kitab Ulumul Hadist, (2) Kitab Penunjuk,dan (3) Kitab Problema. Kitab Ulumul Hadist adalah
kitab-kitab yang berisi tentang ilmu Hadist (Fiqh al-Hadist). Kitab Problema adalah kitab yang
berisi uraian yang bermaksud menghilangkan problematika yang timbul dari masa ke masa yang
memberi pengaruh negative pada Hadist, berupa kitab-kitab sanggahan, analis dan tangkisan.

G. Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir.


Periode ini disebut Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-JamiI wa al-Syarh
wa al-Takhrij wa al-Bahts,yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan, pengumpulan,
penyerahan, pentakhrijan dan pembahasan yang berlangsung sejak abad IV sampai 656 H.
Ulama yang hidup pada mulai abad IV disebut ulama Mutaakhir, sedangkan ulama yang
hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin.
Corak periwayatan Hadits pada masa mutaqaddimin dengan penukilan langsung dari para
penghafal, sedangkan pada masa Mutaakhir para ulama mencukupkan periwayatan dengan
menukil dan mengutip dari kita-kitab Hadits yang ditadwin oleh para ulama-ulama abad II dan
III H.
Bertolak dari hasil tadwin itulah maka ulama-ulama di abad IV H memperluas system
dan corak tadwin, menerbitkan penyusunan, penyusun spesialisasi dan kitab-kitab komentar serta
kita-kitab gabungan dan lain-lainnya.
Aktivitas tadwin Hadits abad IV disebut aktivita tadwin bada tadwin. Dari keseluruhan aktivitas
tersebut dapat dapat diklasifikasikan dan disimpulkan sebagai berikut :
1. Tadwin Hadits dengan perluasan dan penyempurnaan system dan corak :
a. Tadwin Hadits dengan mengumpulkan Hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kita-
kitab shahih.
b. Tadwin Hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat salah satunya
yang kebetulan tidak dishahihkan ileh beliau, kitabnya disebut Mustadrak
c. Tadwin istikhraj, yaitu dengan mengumpulkan hadits-hadits yang dimbilkan dari sesuatu
kitab,misalnya dari al-jami al-shahih al-Bukhari, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri yang
lain dari sanad yang terdapat pada kitab yang disebut Mutakhraj.
d. Tadwin Athraf
e. Tadwin dengan usaha mengumpulkan Hadits yang didapat dari suatu kitab, kemudian
dikumpulkan dari suatu kitab lain dengan diterangkan siapa perawinya dan bagaimana nilainya.
Kitab dengan tadwin cara ini disebut Kitab takhrij.
f. Tadwin dengan menambah Hadits yang terdapat dalam kitab sebelumnya menjadi sebuah kitab
tertentu yang disebut Kitab Zawaid
g. Tadwin Hadits dengan menggabungkan Hadits yang terhimpun pada kitab lainnya. Misalnya isi
kitab-kitab shahih,kitab hasil tadwin dengan cara penggabungan ini disebut kitab Jami dan kalau
lebih luas lagi disebut Jawami.
h. Tadwin dengan komentar, penafsiran dan pembahasan secara luas dan mendalam dari isi kitab
Hadits tertentu yang disebut Kitab Syarah.
i. Tadwin dengan meringkas isi dari kitab Hadits tertentu yang disebut Kitab Mukhatashar.
2. Penyusunan kitab Hadits secara spesialisasi, maksdunya tadwin dengan mengkhususkan ke
dalam diwan-diwan tersebut. Materi-materi Hadits dalam bidang-bidang tertentu :
a. Tadwin Hadits Hukuk, yaitu khusus membukukan Hadits mengenai Hukum.
b. Tadwin Hadits Targhib, yaitu mengumpulkan hadits mengenai keutamaan amal,
menggemarkan perbuatan baik dan menjauhkan perbuatan terlarang.
c. Tadwin Hadits Qudsi, yaitu menghimpun hadits Qudsi yang disabdakan oleh Nabi
SAW.dengan menisbahkan perkataan itu kepada Allah SWT.
d. Tadwin Hadits Adzkar, yaitu menghimpun hadits adzkar.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Sejarah perkembang hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat darigenerasi ke
generasi.
periodisasi sejarah hadits yang membaginya pada lima periode :
1. Periode pertama : masa Rasullulah semenjak Rasullulah diangkat jadi Rasul sampai wafatnya
Masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam
2. Periode kedua : masa KhulafaAr-Rasyidin (11 H - 40 H)Masa membatasi dan penyedikitan
periwayatan
3. Periode ketiga : Masa Sahabat kecil dan Tabiin Masa perkembangan dan penyebarluasan
periwayatan hadits.
4. Periode keempat : Masa abad II dan III Hijriyah Masa pembukuan dan penulisan.
5. Periode kelima : Masa Mutaakhir Masa Penyempurnaan penyususnan hadits
Pada periode ini sejarah hadist disebut Ashr al Wahyiwa al Takwin ( masa turunnya
wahyu dan pembentukan masyarakat islam ). Pada saat inilah Hadist lahir berupa sabda (aqwal),
afal da taqrir. Nabi yang berfungsi menerangkan al-quran dalam rangka menegakkan syariat
islam dan membentuk masyarakat Islam
Perkembangan hadits pada masa khulafaal-Rasyidin ini disebut juga sebagai Ashr-At-
Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah. Yaitu masa pembatasan dan penyedikitan periwayat
Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar in disebut juga Ashr Intisyar
al-Riwayah ila A-Amshr. Yaitu masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits
Perkembangan Hadist pada masa abad II dan III H Periode ini disebut ASAHR AL-Kitabah
Al-Tadwin, yakni masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara
resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau
secara peroranga sebelum abad II H. hadist sudah banyak ditulis baik pada masa tabiin sahabt
kecil, sahabat besar dan bahkan sejak masa nabi SAW
Perkembangan Hadist Masa Mutaakhir ini Periode ini disebut Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib
wa al-Istidrak wa al-JamiI wa al-Syarh wa al-Takhrij wa al-Bahts,yaitu masa pembersihan,
penyusunan, penambahan, pengumpulan, penyerahan, pentakhrijan dan pembahasan yang
berlangsung sejak abad IV sampai 656 H. Ulama yang hidup pada mulai abad IV disebut ulama
Mutaakhir, sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin.

B. Saran
Dengan adaNya makalah ini saya berharap dengan mengetahui sejarah perkembangan hadits
agar umat Islam lebih bersifat inskusif terhadap beberapa hasanan pemikiran tentang segala hal.
Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan
zaman.

Anda mungkin juga menyukai