Anda di halaman 1dari 31

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEPEMIMPINAN

SULTAN ISKANDAR MUDA DI KERAJAAN ACEH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

"Sejarah Pendidikan Islam"

Dosen Pengampu :

Maryono, S.Th.I..M.Pd.I

Disusun Oleh :

Arfiyan Muzakkir
NIM : 2015120020033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALI BIN ABI THALIB
SURABAYA
2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aceh merupakan daerah yang pertama menerima Islam di nusantara. Dalam sejarah
perkembangan Islam di nusantara, kerajaan Islam Peureulak merupakan kerajaan Islam yang
pertama, kemudian baru muncul kerajaan-kerajaan lain yang sangat berjasa besar dalam
mengembangkan Islam di wilayah Asia tenggara.

Setelah Perlak dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan Aceh Darussalam


mencapai masa kejayaannya, kemegahan, kemakmuran, dan kedamaian selalu tercipta dalam
kehidupan sehari-hari, terutama pada masa sultan Iskandar Muda, sultan ini telah menjadikan
Aceh sebagai pusat berbagai kegiatan kerajaan Aceh, baik yang berhubungan dengan
kegiatan dalam negeri maupun luar negeri.

Masa sultan Iskandar muda memerintah Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah
sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah
perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang
dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain
pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan olah
raga. Di saat sultan Iskandar muda memegang tampuk kekuasaan Aceh merupakan pusat
pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan. Agama Islam benar-benar
meresap ke dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak berlebihan kiranya Aceh mendapat
julukan serambi Mekkah.

Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis dalam karya mereka
tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda memegang kekuasaan, Aceh
adalah pusat Ilmu pendidikan dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang masyhur di antara
kerajaan-kerajaan lain. Kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, dan agama di raih melalui
lembaga pendidikan meunasah. Lembaga ini bukan hanya tempat ibadah semata melainkan
juga sebagai pusat yang multi-fungsi, baik untuk pendidikan, musyawarah, kenduri,
mengadili pelanggar hukum, menerapkan hukuman, pos keamanan, dan tempat istirahat
masyarakat.1

1
Abdul Hadi, "Dinamika Sistem Pendidikan Di Aceh" ,Vol. 2, No. 3 (2014), 180-181.

1
Kemajuan dan kejayaan kerajaan Aceh tidak bisa dipisahkan dari kemajuan
pendidikannya, karena pendidikanlah yang menentukan kejayaan dan kemakmuran suatu
bangsa. Untuk meningkatkan pendidikan agama dalam kerajaan Aceh, para sultan Aceh telah
menempuh berbagai kebijakan antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh sultan Iskandar
Muda, sebagaimana yang termaktub dalam Qanun Meukuta Alam, yakin menyusun lembaga-
lembaga pendidikan dalam tiga bidang dan tugas khusus: masalah pendidikan, pengajaran
dan pengembangan Ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain, 1)
Balai Setia Hukama; 2) Balai Setia Ulama; dan 3) Balai Jamiah Himpunan Ulama, yakni
semacam Studi Club atau tempat para Ulama berkumpul dan mendiskusikan masalah-
masalah pendidikan dan pengajaran serta pengembangan Ilmu Pengetahuan.

Dalam rangka mencerdaskan rakyat kerajaan Aceh Darussalam membangun sarana-


sarana pendidikan untuk semua tingkatan pendidikan: meunasah (setingkat SD atau madrasah
Ibtidaiyah), Rangkang (setingkat SLTP) atau madrasah Tsanawiyah), Dayah (setingkat SMU
dan madrasah Aliyah), dayah tgk Chik (setingkat Perguruan Tinggi/akademi), Jami’ah
Baiturrahman (fakultas).

Di zaman kerajaan Aceh Darussalam, ibukota Banda Aceh merupakan pusat kegiatan
pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan Asia Tenggara, pada saat itu ada tiga tempat
yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, yaitu mesjid Baiturrahim, mesjid Baitul Musyahadah,
dan mesjid Jami’ Baiturrahman. Banyak pelajar datang menuntut Ilmu ke Aceh baik dari
Minangkabau maupun dari Asia Tenggara. Sebuah Qanun yang mengatur para pelajar dari
2
luar Aceh di buat dengan membubuhkan sebuah pasal yang khusus mengatur hal tersebut.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan pada masa sultan Iskandar Muda,
berkembang pula kebudayaan di kerajaan Aceh, terutama dalam bidang kesusastraan. Di
bidang ini, Aceh telah menjadi pusat pengembangan kesusastraan Melayu pada umumnya.
Berbagai buku ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang dihasilkan, dari masa
kepemerintahan sultan Iskandar Muda, terdiri dari buku-buku yang berbahasa Aceh, Melayu
atau bahasa Arab. Buku-buku tersebut memuat berbagai bidang kajian, seperti sejarah, agama
dan sastra, buku-buku yang dihasilkan pada masa ini antara lain merupakan tulisan yang
memiliki nilai-nilai sejarah, misalnya hikayat Malem Dagang, sebuah epos yang
menceritakan kehidupan Iskandar Muda: penyerangan ke Johor, kegiatan dalam
pemerintahan, keadaan istana kerajaan, kemajuan kerajaan Aceh secara umum pada saat itu.

2
Ibid., 4-5

2
Dari sekian banyak buku-buku agama dan buku-buku sastra yang sampai sekarang naskahnya
masih dijumpai, sebagian besar berasal dari masa keemasan kerajaan Aceh.

Pada masa Iskandar Muda terdapat tiga bahasa resmi yang berkembang di Aceh,
yaitu bahasa Aceh, Bahasa Melayu dan bahasa Arab. Ketiga bahasa tersebut memiliki fungsi
yang berbeda. Bahasa Aceh merupakan bahasa nasional Kerajaan Aceh Darussalam dan
lazim dipergunakan oleh rakyat dalam pergaulan seharihari. Bahasa Melayu adalah bahasa
yang paling banyak digunakan dalam komunikasi di kerajaan Aceh masa Iskandar Muda,
bahasa ini memiliki beberapa fungsi yaitu: Pertama, Bahasa istana; kedua, Bahasa Sarakata,
ketiga, Bahasa ilmu pengetahuan; keempat, Bahasa pengantar pengajaran; kelima, Bahasa
pengucapan pasaran; keenam, Bahasa penghubung antara wilayah kerajaan; ketujuh, Bahasa
media dakwah; kedelapan, Bahasa diplomasi; dan kesembilan, Bahasa surat menyurat.

Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi, karena bahasa ini merupakan bahasa
agama yaitu Al-Qur`an dan Hadits, bahasa bacaan dalam shalat dan bahasa azan. Selain itu
bahasa Arab juga berfungsi sebagai bahasa penghubung antar ulama, bahasa pengantar pada
dayah-dayah di tingkat menengah atas, bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa penghubung
antara negara-negara Islam.

Pada masa sultan Iskandar Muda dalam Kerajaan Aceh Darussalam telah muncul
sejumlah ulama dan pengarang yang menyusun berbagai kitab dalam bermacam ilmu
pengetahuan, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab, kitab-kitab karangan mereka
meliputi bidang ilmu fikih, tauhid/filsafat, tasawuf, akhlak, ilmu falak, mantiq, sejarah Islam
dan bahasa Arab. Kitab-kitab ini dipergunakan menjadi bacaan di sekolahsekolah dari
berbagai jenjang pendidikan, baik meunasah, rangkang, dayah, teungku chik, ataupun di
Jami’ah Baiturrahman. Dan kitab-kitab mereka dipergunakan sebagai buku pelajaran agama
Islam di seluruh kepulauan nusantara yang berbahasa Melayu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah masuknya Islam di kerajaan Aceh


2. Bagaimana pendidikan Islam ( media, metode, lembaga) pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda di kerajaan Aceh?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Bagaimana Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Aceh

3
2. Mengetahui Bagaimana Pendidikan Islam (media, metode, lembaga) Pada Masa
Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Acah.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah


sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu
kemudian diolah, dianalisis, diambil keputusan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahan.3
Metode penelitian ini bermaksud untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan usaha yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.4

1. Jenis, Sifat Penelitian


a. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kepustakaan, yaitu kajian pustaka dengan mengambil


data-data tertulis dari buku, jurnal, kamus, maupun berbagai literatur yang
terdapat dalam perpustakaan.5 Studi kepustakaan merupakan kegiatan yang
diwajibkan dalam penelitian. Khususnya penelitian akademik yang tujuan
utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis.
Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama yaitu
mencari dasar pijakan atau pondasi untuk memperoleh dan membangun landasan
teori, kerangka berpikir, dan menentukan dugaan sementara atau disebut juga
hipotesis.6 Lebih dari itu, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang mengedepankan data-data kualitatif berupa: ayat-ayat Al-Qur’an,
penafsiran al-Qur’an, hadist Nabi, pendapat-pendapat para sahabat serta kaidah
maupun teori ilmu pengetahuan.7

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang dilakukan


dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, dan memerifikasi serta
mensistematikan data dan fakta guna memperoleh kesimpulan yang kuat terkait
dengan permasalahan

3
Wardi, Metode penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 2002), 24.
4
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: 2001), 90.
5
Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), 4.
6
Mestika Zaid, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 5.
7
Ibid., 23.

4
Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Kepemimpinan Sultan Iskandar Muada Di
Kerajaan Aceh.8

2. Sumber Data

Sesuai dengan jenis penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan, maka sumber data
yang diambil dalam penelitian ini adalah dari buku-buku dan kitab-kitab yang
berkaitan dengan tema penelitian. Sumber data tersebut dikelompokan menjadi dua,
yaitu Data Primer dan Data Sekunder.

a. Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data pokok dalam penelitian ini, yaitu
Al-Qur’an.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder yang diambil adalah dari buku-buku literatur, karya
ilmiah, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan

Supaya pembahasan nanti lebih sitematis dan mengarah pada tujuan yang ingin
peneliti capai, maka peneliti menyajikan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan tentang: latar belakang, rumusan
masalah, tujuan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Yang kesemuanya itu
tetap mengacu kepada rumusan masalah yang dibuat dan selalu menjadi tumpuan dalam
mencari jawaban dalam penelitian.

Bab II landasan teori, dalam bab ini peneliti membagi menjdi empat bagian:(1)
sejarah masuknya islam di kerajaan Aceh, (2), media pembelajaran, (3), metode
pembelajaran, (4) lemabaga pendidikan. Peneliti akan menjabarkan tentang sejarah masuknya
Islam di kerajaan Aceh, yang kedua pengertian media pembelajaran, macam-macam media.
yang ketiga peneliti akan menjelaskan tentang pengertian metode pembelajaran, macam-
macam metode pembelajaran. Yang ketiga peneliti akan menjelaskan tentang pengertian
lembaga pendidikan serta macam-macam lembaga pendidikan.

8
Ahmad Anwar, Prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta: 2000), 2.

5
Bab III pembahasan, dalam bab ini peneliti membagi menjdi empat bagian:(1) sejarah
masuknya islam di kerajaan Aceh, (2), media pembelajaran kerajaan Aceh pada masa Sultan
Iskandar Muda, (3)metode pembelajaran kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda, (4)
lemabaga pendidikan kerajaan Acah pada masa Sultan Iskandar Muda. Peneliti akan
menjabarkan tentang bagaiman sejarah masuknya Islam di kerajaan Aceh. Yang kedua
peneliti akan menjabarkan tentang pengertian media pembelajaran, macam-macam media.
Yang ketiga peneliti akan menjelaskan tentang pengertian metode pembelajaran, macam-
macam metode pembelajaran. Yang keempat peneliti akan menjelaskan tentang pengertian
lembaga pendidikan serta macam-macam lembaga pendidikan yang terjadi pada masa
kerajaan Aceh.

Bab IV analisa, dalam bab ini peneliti akan menganalisa tentang media dan sarana
pendidikan, metode pendidikan, dan lembaga pendidikan yang terjadi pada masa kerajaan
Acah.

Bab V penutup, dalam bab ini akan berisikan tentang saran dan kesimpulan dari
beberapa bab yang telah dijabarkan, dengan tujuan untuk memberika ilmu pengetahuan
kepada para pembaca tentang media, metode dan lembaga apa saja yang digunakan dalam
mengajar pada masa kerajaan Aceh.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pendidikan Islam

Beragam arti dan definisi pendidikan telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan.
Meskipun rumusan tentang pendidikan tersebut sangat bergantung pada subyektifitas masing-
masing perumus, namun sebagai langkah awal untuk memahami sebuah konsep, definisi
masih tetap diperlukan.

Pendidikan (education: Inggris; education: Latin) menurut Jamil Shaliba adalah


pengembamgan fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai kesempurnaannya
sedikit demi sedikit.9

Sedangkan Ahmad D. Marimba pun mengajukan definisi bahwasanya pendidikan


jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.10

Meskipun definisai pendidikan di atas sangat beragam, namun pada dasarnya


memiliki esensi yang sama. Salah satunya adalah bahwa pendidikan merupakan sebuah
proses yang mempunyai tujuan, sasaran, ataupun target tertentu. Sebagai sebuah proses,
pendidikan tidak hanya terbatas pada pengembangan pribadi anak didik secara sadar oleh
pendidik, sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba. pendidikan juga
merupakan proses seseorang menuju kesempurnaan diri yang di pengaruhi oleh berbagai hal,
seperti lingkungan alam, kebudayaan, maupun seluruh pengalaman hidupnya.

Selain istilah tarbiyah dan ta’lim, konsep pendidikan dalam islam dapat juga
menggunakan istilah ta’dib sebagaimana diusulkan oleh Muhammad al Naquib al-Attas.
Istilah ta’dib berasal dari kata “ ‫ “ ادب‬yang berarti tata karma atau budi pekerti yang luhur.11
Menurut Naquib al Attas, adaba mengandung pengertian pengenalan dan pengakuan tentang
hakekat bahwa pengaturan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan derajat
tingkatannya, serta tempat seseosrang yang tepat dalam hubunganya dengan hakekat
(sesuatu) menurut kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang.
Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang di kenali,

9
Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi jilid I, Daar al kitab al lubnani, Kairo, 1978, hal. 266
10
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980 cet. Ke 4, hal. 19
11
Abi al Fadl Jamal al Diin M bin M Ibn Mandzur, Lisan al Arab Jilid I.,hal. 206

7
sedangkan pengakuan berarti tindakan (amal) yang lahir sebagai akibat dari penemuan tempat
yang tepat dari apa yang dikenali tersebu.12

B. Media Pembelajaran Pendidikan Islam

1. Definisi Media Pembelajran

Kata "media" berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
"medium", yang secara harfiah berarti "perantara atau pengantar". Dengan demikian, media
merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.

Bila media adalah sumber belajar, maka secara luas media dapat diartikan dengan
manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan
dan keterampilan.

Dalam proses belajar mengajar kehadiran media merupakan arti yang cukup penting.
Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan
menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada
anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang
kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan
bahan dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Dengan demikian, anak didik lebih
mudah mencerna bahan daripada tanpa bantuan media.

Media salah satu alat komunikasi dalam penyampaian pesan tentunya sangat
bermanfaat jika diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran, media yang digunakan
dalam proses pembelajaran tersebut disebut sebagai media pembelajaran. Jadi televisi, film,
foto, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya
adalah media komunikasi apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang
bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pembelajaran maka media itu
disebut media pembelajaran.

Media pembelajaran ini salah satu komponen proses belajar mengajar yang memiliki
peranan sangat penting dalam menunjang keberhasilan proses. Penggunaan media
pembelajaran juga dapat memberikan rangsangan bagi siswa untuk terjadinya proses belajar
dikuatkan oleh pendapat Miarso bahwa: “ Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan

12
Syeh M. Al Naquib al Attas, hal 62.

8
kemauan si belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja,
bertujuan, dan terkendali”.13

2. Jenis Media Pembelajaran

Menurut Rudy Brets Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal


Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional
ada 7 (tujuh) klasifikasi media, yaitu:

1. Media audio visual gerak, seperti: film suara, pita video, film televisi.
2. Media audio visual diam, seperti: film rangkai suara, dsb.
3. Audio semi gerak seperti: tulisan jauh bersuara.
4. Media visual bergerak, seperti: film bisu.
5. Media visual diam, seperti: halaman cetak, foto, microphone, slide bisu.
6. Media audio, seperti: radio, telepon, pita audio.
7. Media cetak, seperti: buku, modul, bahan ajar mandiri.

C. Metode Pembelajaran Islam dan Macam-macamnya

1. Pengetian Metode Pembelajaran

Metode (metoda) berasal dari bahasa Yunani, yakni metha dan hodos. Metha berarti
melalui atau melewati. Sedangkan hodos berarti jalan atau cara.36 Jadi, metode berarti jalan
atau cara yang harus di lewati atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting
sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Metode merupakan cara yang memungkinkan materi
pendidikan diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap
tingkah lakunya.

Karenanya, ia harus memilih metode yang tepat sesuai dengan usia dan kemampuan
anak didik dam tetap mangacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan as-
sunnah. Menurut Abdurrahman An Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, dalam
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang dapat
mendidik jiwa, menyentuh perasaan, dan dapat membangkitkan semangat anaka didik,
metode tersebut di antaranya:

13
Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rinela Cipta, 2010). 120

9
2. Macam-macam Metode Pemebelajaran

1. Metode hiwar(percakapan,dialog) al-Qur’an dan Nabawi


2. Metode kisah al-Qur’an dan Nabawi
3. Metode amtsal atau perumpamaan
4. Metode keteladanan
5. Metode pembinaan
6. Metode ibrah dan mau’idzah
7. Metode pembiasaan
8. Metode targhib dan tarhib

Pada dasarnya, seluruh metode dalam pendidikan Islam di atas sangat efektif dalam
membina kepribadian anak didik serta memotovasi mereka untuk tidak pernah bosan dalam
mengembangkan diri.Tinggal bagaimana para pendidik dan orang tua memilihkan metode
yang paling tepat dan efektif bagi mereka. Dengan mengaplikasikan metode yang tepat dalam
pendidikan Islam, para generasi muslim dimungkinkan terbuka hatinya untuk menerima
petunjuk Ilahi dan merealisasikannya di sepanjang hidupnya.

C. Lembaga Pendidikan Islam

1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk
pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian
keilmuan atau melakukan sesuatu usaha.14 Dalambahasa Inggris, lembaga disebut Institute
(dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu,
sedangkan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak disebut Institution, yaitu suatu
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga
dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata.

Secara terminologi dari kutipan Ramayulis oleh Hasan Langgulung, bahwa lembaga
pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat abstrak, suatu konsepsi yang terdiri
dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak,
termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari
individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu

14
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 367.

10
dan tempattempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid,
sekolah, kuttab dan sebagainya.15

Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam menurut Hasbullah


adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan
proses pembudayaan. Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat
atau bangsa. Dalam operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan
perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat
menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber
konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang
intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat.16

2. Macam-macam Lembaga Pendidikan

Ditinjau dari aspek penanggung jawab, menurut Hasbullah lembaga pendidikan Islam
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu

a. Lembaga Pendidikan Islam Informal (keluarga)

Keluarga adalah sebuah lembaga pendidikan islam yang paling dasar. Orang tua
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak-anak mereka. Lembaga pendidikan pada
keluarga tidak memiliki suatu organisasi yang ketat, dan tidak adanya program waktu dan
evaluasi.

Dibalik semua itu, pendidikan pada keluarga menjadi sorotan yang sangat penting,
karena keluarga menjadi awal anak menerima sebuah ilmu yang sangat berpengaruh pada
kedepannya. Jika seorang anak tumbuh pada suatu keluarga yang memiliki latar belakang
baik, maka kedepannya anak tersebut akan tumbuh dengan baik, begitupun sebaliknya. Maka
dari itu orang tua harus benar-benar menjaga anak-anaknya agar tidak tumbuh pada jalan
yang salah. Hal ini bertepatan dengan firman Allah:

َٰٓ
َ ‫اسَ ََوٱ ۡل ِح َج‬
ٌَ‫ارَة َُ َعلَ ۡي َهاَ َملَ ِئ َكة‬ َ ‫َوأ َ ۡه ِلي ُك ۡمَن َٗار‬
َُ َّ‫اَوقُودُهَاَٱلن‬ َ ُ‫ََٰٓيأَيُّ َهاٱلَّذِينَََ َءا َمنُواَْقُ ََٰٓواَْأَنف‬
َ ‫س ُك ۡم‬
٦ََ‫َويَ ۡف َعلُونَ َ َماَيُ ۡؤ َم ُرون‬
َ ‫ّللََ َمآََٰأ َ َم َر ُه َۡم‬ ُ ۡ‫ َََّّلَيَع‬ٞ‫ظَ ِشدَاد‬ٞ ‫ِغ ََل‬
ََّ ‫صونَ َٱ‬

15
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 277.
16
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 38-39.

11
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Hal ini sama seperti yang dipraktekan oleh Rasululloh dalam mendakwahkan islam,
Beliau memulai dakwahnya kepada keluarga beliau sendiri yaitu Khadijah, Ali bin Abi
Thalib. Keluarga merupakan orang pertama, dimana sifat kepribadian akan tumbuh dan
terbentuk. Seorang akan menjadi warga baik di masyarakat, bergantung pada sifat yang
tumbuh pada keluarga tersebut dimana anak itu dibesarkan.

b. Lembaga Pendidikan Islam Formal

Lembaga pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang memiliki tempat


tertentu, teratur, sistematis, memiliki batasan waktu tertentu dan memiliki aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah.

Sementara Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan formal kepada


lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya seidelenggarakan secara sengaja,
berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar
mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.17

c. Lembaga Pendidikan Islam Nonformal

Lembaga pendidikan nonformal adalah sebuah lembaga yang memiliki tempat


tertentu namun tidak terikat dengan peraturan-peraturan yang diberikan oleh pemerintah.
Menurut abu ahmadi mengartikan lembaga pendidikan non formal kepada semua bentuk
pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, dan terencana diluar kegiatan
lembaga sekolah (lembaga pendidikan formal) dengan tetap menumbuhkan nafas Islami di
dalam proses penyelenggaraannya.18

Lembaga pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik


dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan
17
Abu Ahmadi dan Nur uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipata, 1991), 171-172.
18
Ibid., 173.

12
sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan non formal juga dikelompokkan ke dalam
pendidikan luar sekolah yang hal ini diatur dalam PP No. 73 tahun 1991. Pendidikan luar
sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun
tidak.19 Yang termasuk jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang
diselenggarakan di luar sekolah baik di lembaga pemerintah, non pemerintah, maupun sektor
swasta.

19
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Medan; IAIN Press, 2002) 167.

13
BAB III

PEMBAHASAN

A. Biografi Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda merupakan salah seorang raja Aceh Darussalam yang terbesar.
Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Islam yang terletak di ujung utara Pulau
Sumatera ini, mengalami puncak kejayaannya. Pada waktu kelahirannya ada yang menulis
tahun 1588 dan 1590, sedangkan A. Hasyim menulis 1593 (1001 H).20 Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti mengenai tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda. Namun dari hasil
identifikasi dari beberapa sumber ada yang menegaskan bahwa ia lahir sekitar tahun 1583
M.21 Menurut sebuah manuskrip (MS). Sultan lahir pada hari Senin Rabiul Awal 999 H.
yang bila dicocokkan dengan tahun Masehi jatuh pada hari Selasa (bukan hari Senin) tanggal
27 Januari 1591. Adapun Transkipsi dari pada MS tersebut adalah sebagai berikut:

“Bismillahirrahmanirrahim. Bahwasannya pada tarikh tahun 999 Hijriah, pada dua


belas rabi‟ul awwal , hari Isnin, pada waktu dhuha, telah dilahirkan Allah ta‟ala
seorang hamba yang kuat lagi perkasa bernama Abdullah Sulaiman ibn Mansur
yaitu dalam Dar al Dunia Madinat al Salatin al-Asyih al-Kubra, Bandar al-Ma‟mur
Aceh Darussalam, yaitu pada zaman paduka Sri Sultan Ala ad-Din Mansur Syah
ibn Ahmad, raja Perak. Maka pada hari itu disembelih kambing satu dan pada
waktu dicecap dengan kurma, air zam-zam, delima, pisang, buah zahib. Maka pada
hari ke tujuh disembelih lembu, „akikah dan dicukur rambut dan ditimbang dengan
emas. Maka diberi sedekah pada fakir miskin serta khanduri. Hadir para alim
ulama membaca do‟a selamat. Maka pada hari itulah dinamakan oleh Sultan Ala
ad-Din Mansur Syah, Raja Perak Pocut Abdullah Sulaiman Mansur yang akan
memegang kerajaan Aceh. Kemudian maka berkata al-Syaikh Abd‟l-Khair: inilah
Iskandar Muda Mansur al-Asyi. Kemudian maka berkata al-Syekh Muhammad
Yamin: Inilah Mahkota Alam Mansur. Kemudian tuan kita yang mengimani,
mengempu? Negeri bahwa angin, Mahkota Alam Iskandar Perkasa Alam Syah al-
Kuat, intiha, dengan Mukhtasar Tadzkirat tabaqat Mahkota Alam oleh Wazir al
sabil al-Mijahid-Ulama, Teungku di–Mele, Sayyid Abdullah ibn ahmad ibn Ali ibn
Abdul Rahman ibn Usman ibn Hasan ibn Wandi Mule Sayidi Laila al-Habib Syarif

20
H. Harun Nasution, dkk. Ensiklopedia Islam Indonesia,(Jakarta, 1992, Penerbit Djambatan), hlm. .441
21
Denys Lombard, hlm. 233

14
Abdullah ibn Said Abdullah alHabib Syarif Ibrahim Sultan Jamal al-alam Badr. Al-
Munir al-Jamal Lail.22

Menurut catatan R.A Hoesein Djajadiningrat dalam buku yang dikarang oleh Rusdi
Sufi, menyebutkan bahwa Sultan „Alauddin Ri‟ayat Syah Sayyid alMukammil (1588-1604)
telah mempunyai enam orang anak, di antaranya empat orang laki-laki dan dua orang putri.
Anak laki-laki diberi nama Maharaja Di Raja, Sultan Muda, Sultan Husen, dan Sultan
Abangta Merah Upak. Anak pertama meninggal pada waktu ia masih hidup, sedangkan anak
kedua diangkat menjadi tangan kanannya dalam memerintah Kerajaan Aceh, dan anak yang
ketiga ditetapkan sebagai sultan di Pedir dan putra yang terakhir meninggal di Kerajaan
Johor. Kini giliran anak perempuan yang diberi nama Putri Raja Indra Bangsa dan Raja Putri.
Putri Raja Indra Bangsa merupakan putri kesayangan dari Sultan„Alauddin Ri‟ayat Syah
Sayyid al-Mukammil. Ia telah dinikahkan dengan Sultan Mansyur, cucu dari Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Qahhar (yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537-1571). Dari
pernikahannya pada tahun 1590, lahirlah seorang bayi laki-laki yang telah diberi nama Darma
Wangsa Tun Pangkat, yang kini bergelar Sultan Iskandar Muda.23

B. Masa Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usianya yang
terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636,
atau hanya selama 29 tahun. Tetapi semua itu masih dalam perdebatan di antara kalangan ahli
sejarah. Mengacu pada Bustan alSalatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6
Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607. Masa kekuasaannya tersebut dikenal sebagai
masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai
dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan sangat
disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa
kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.24

C. Tahun Wafatnya Sultan Iskandar Muda

Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, “Sultan Iskandar Muda” telah


mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 Desember 1636 M. Kematiannya ini disebabkan
karena racun yang diberikan oleh wanita Makasar atas dasar perintah dari orang-orang

22
Rusdi Sufi, hlm. 32-33
23
Ibid, hal. 33
24
Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, (Banda Aceh, Maret 1984, Museum Negeri Aceh), hlm. 175

15
Portugis. Sebelum ia mangkat, sultan memerintahkan kepada ajudannya untuk
menyingkirkan anak laki-laki yang merupakan putra satu-satunya, karena tindakan anak
tersebut tidak disukai. Menurur R.A Hoesein Djajadiningrat bahwa sultan telah menghukum
putranya sendiri karena kejahatan yang telah dilakukannya, dan sultan sangat takut suatu hari
akan terjadi pertumpahan darah di Aceh bila ia meninggal. Mungkin hal tersebut ada
hubungannya dengan penunujukkan Iskandar Tsani sebagai pengganti Sultan Iskandar
Muda.25

B. Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Aceh

Pada abad ke-16, Aceh mulai memegang peranan penting dibagin utara pulau
Sumatra. Pengaruh Aceh ini meluas dari Barus di sebelah utara hingga sebelah selatan di
daerah Indrapura. Indrapura sebelum di bawah pengaruh Aceh, yang tadinya merupakan
daerah pengaruh Minangkabau. Yang menjadi pendiri kerajaan Aceh adalah Sultan Ibrahim
(1514-1528), ia berhasil melepaskan Aceh dari Pidie. Aceh menerima Islam dari Pasai yang
kini menjadi bagian wiliyah Aceh dan pergantian agama diperkiraan terjadi mendekati
pertengahan abad ke-14.41.

Kerajaan Aceh yang letaknya di daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten
Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Aceh mengalami kemajuan ketika saudagar-
saudagar Muslim yang sebelumnya dagang di Malaka kemudian memindahkan
perdagangannya ke Aceh, ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511. Ketika Malaka di
kuasa Portugis tahun 1511, maka daerah pengaruhnya yang terdapat di Sumatera mulai
melepaskan diri dari Malaka. Hal ini sangat menguntungkan kerajaan Aceh yang mulai
berkembang. Di bawah kekuasaan Ibrahim, kerajaaan Aceh mulai melebarkan kekuasaannya
ke daerah-daerah sekitarnya. Operasi-operasi militer diadakan tidak saja dengan tujuan
agama dan politik, akan tetapi juga dengan tujuan ekonomi.

Kebesaran kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Alauddin Riayat Syah. Kekuasaannya
sampai ke wilayah Barus. Dua putra Alauddin Riayat Syah kemudian diangkat menjadi
Sultan Aru dan sultan Parlaman dengan nama resmi Sultan Ghori dan Sultan Mughal. Dalam
menjaga keutuhan kerajaan Aceh, maka di mana-mana di daerah pengaruh kekuasaan Aceh
terdapat wakil-wakil Aceh. Aceh menjalin hubungan yang baik dengan Turki dan negara-
negara Islam lain di Indonesia, hal ini terbukti di mana ketika Aceh mengahadapi balatentara

25
R.A Housein Djajadiningrat, hlm. 175

16
Portugis Aceh meminta bantuan Turki tersebut. Dalam membangun aggkatan perangnya yang
baik hal ini pun berkat bantuan Turki.

Kejayaan kerajaan Aceh pada puncaknya ketika diperintahkan oleh Iskandar Muda. Ia
mampu menyatukan kembali wilayah yang telah memisahkan diri dari Aceh ke bawah
kekuasaannya kembali. Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur
dan Barat Sumatera. Dari Aceh tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minangkabau.
Dimasa pemerintahannya, Sultan Iskandar muda tidak bergantung kepada Turki Usmani.
Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerjasama dengan musuh Portugis, yaitu
Belanda dan Inggris.

Setelah Iskandar Muda digantikan oleh penggantinya, Iskandar Tsani, bersikap lebih
libeh, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun.
Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetap tatkala beberapa sultan perempuan
menduduki singgasana tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan
kesultanan menjadi terpecah belah. Pada abad 18 Aceh hanya sebagai kenangan masa silam
dari bayngannya sendiri. Akhirnya kesultanan Aceh menjadi mundur.26

C. Pendidikan Islam (Media, Metode, Lembaga) Pada Masa Kepemimpinan Sultan


Iskandar Muda

1. Media Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Iskanda Muda

Kata "media" berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
"medium", yang secara harfiah berarti "perantara atau pengantar". Dengan demikian, media
merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.

Bila media adalah sumber belajar, maka secara luas media dpat diartikan dengan
manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan
dan keterampilan.

Dalam proses belajar mengajar kehadiran media merupakan arti yang cukup penting.
Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan
menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada
anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang
kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan

26
Rahaya Permana,"Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia",Vol. 2, No. 5 (2002), 34.

17
bahan dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Dengan demikian, anak didik lebih
mudah mencerna bahan daripada tanpa bantuan media.27

b. Macam-macam Media

 Media cetak.28

Dan diantara media cetak yang dijadikan bahan ajar untuk mendidik peserta didik pada
masa Sultan Iskandar Muda yaitu:

a. Kitab bahasa Arab


b. Kitab fiqhi
c. Kitab tauhid
d. Kitab aqidah
e. Kitab tarikh
f. Kitab tafsir
g. Kitab hadits
h. Kitab nahwu.29

2. Metode Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Iskanda Muda

Metode (metoda) berasal dari bahasa Yunani, yakni metha dan hodos. Metha berarti
melalui atau melewati. Sedangkan hodos berarti jalan atau cara. Jadi, metode berarti jalan
atau cara yang harus di lewati atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting
sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Metode merupakan cara yang memungkinkan materi
pendidikan diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap
tingkah lakunya.

Karenanya, ia harus memilih metode yang tepat sesuai dengan usia dan kemampuan
anak didik dam tetap mangacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan as-
sunnah. Menurut Abdurrahman An Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, dalam
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang dapat
mendidik jiwa, menyentuh perasaan, dan dapat membangkitkan semangat anaka didik.

27
Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rinela Cipta, 2010). 120
28
Ibid., 121
29
Muhsina Ibarahim,"Dayah, Masjid, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan Dan Lembaga Dakwah Aceh",
Vol, 2. No 3 (2001), 33.

18
b. Macam-macam Metode Pendidikan Islam

a. Metode ceramah
b. Metode diskusi
c. Metode kerja kelompok
d. Tanya jawab
e. Pemberian tugas
f. Eksperimen
g. Demontrasi
h. Sosiodrama
i. Drill (latihan)30

3. Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Iskanda Muda

Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk
pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian
keilmuan atau melakukan sesuatu usaha.31 Dalambahasa Inggris, lembaga disebut Institute
(dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu,
sedangkan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak disebut Institution, yaitu suatu
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga
dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata.

Secara terminologi dari kutipan Ramayulis oleh Hasan Langgulung, bahwa lembaga
pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat abstrak, suatu konsepsi yang terdiri
dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak,
termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari
individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu
dan tempattempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid,
sekolah, kuttab dan sebagainya.32

Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam menurut Hasbullah


adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan
proses pembudayaan. Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat
atau bangsa. Dalam operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan
perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat

30
Mohammad Latif, Strategi Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Membina Siswa Banda Aceh, Skripsi
(Banda Aceh: UIN Ar-rniry, 2015)
31
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 367.
32
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 277.

19
menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber
konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang
intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat.33

b. Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Iskandar Muda

1) Lembaga pendidikan Islam formal


a. Daar al-Tafsir wal Hadis (Fakultas Tafsir dan Hadis)
b. Daar al-Thib (Fakultas Kedokteran)
c. Daar al-Kimiya (Fakultas Kimia)
d. Daar al-Taarikh (Fakultas Sejarah)
e. Daar al-Hisaab (Fakultas Matematika)
f. Daar al-Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)
g. Daar al-Aqli (Fakultas Ilmu Logika)
h. Daar al-Ziraah (Fakultas Pertanian)
i. Daar al-Ahkaam (Fakultas Hukum)
j. Daar al-Falsafah (Fakultas Filosofi)
k. Daar al-Kalam (Fakultas Teologi)
l. Daar al-Wizaarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
m. Daar al-Khazanah Bait al-Maal (Fakultas Keuangan/Akuntansi Negara)
n. Daar al-Ardh (Fakultas Pertambangan)
o. Daar al-Nahwu (Fakultas Sastera Arab)
p. Daar al-Mazahib (Fakultas Perbandingan Mazhab) dan
q. Daar al-Harb (Fakultas Ilmu Militer)

Kemudian, para tenaga pengajar di Jami’ah ini tidak saja terdiri dari ulama-ulama
lokal asal Aceh, namun banyak ulama-ulama besar yang bukan berketurunan Aceh, seperti
Syeikh Nuruddin ar-Raniry (hidup di akhir abad ke-16 hingga akhir abad ke-17), Syeikh
Syamsuddin Assumatrani (1630 M) dan Syeikh Hamzah al-Fansury (1600 M) menjadi Guru
Besar di sana dan disebabkan berwibawanya Jami’ah ini, banyak penuntut yang belajar disini
datang dari berbagai penjuru dunia tidak saja dari Aceh, tetapi juga berasal dari Pulau Jawa
dan bahkan dari Tanah Melayu, Malaysia.34

2) Lembaga Pendidikan Islam Nonformal

33
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 38-39.
34
Ibid.,hlm 39-40

20
Diantara lembaga pendidikan Nonformal, dimana lembaga tersebut juga merupakan
pusat pengembangan pendidikan Islam di Kerajaan Aceh adalah:

a. Balai Seutia Hukama, yaitu lembaga ilmu pengetahuan, tempat perkumpulan


para ulama, ahli fikir dan cendikiawan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
b. Balai Jamaah Himpunan Ulama, yaitu departemen yang mengurus masalah
pendidikan dan pengajaran, atau bisa disebut juga kelompok studi para ulama
untuk bertukar fikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan.35
c. Meunasah (madrasah), terdapat di kampung dan berfungsi seperti sekolah
dasar. Materi yang diajarkan meliputi menulis dan membaca huruf Arab, ilmu
agama, bahasa melayu, akhlak, dan sejarah Islam.
d. Rangkang, setingkat madrasah tsanawiyah. Jenjang pendidikan ini
diselenggarakan ditiap mukim. Materi yang diajarkan adalah bahasa Arab,
fikih, ilmu bumi, sejarah ilmu hisab, akhlak, dan lain-lain.
e. Dayah, terdapat di daerah setingkat madrasah aliyah, terkadang dilaksanakan
di masjid, materi yang diajarkan bahasa Arab, fikih, tauhid, tasawuf, ilmu
bumi, sejarah dan tata negara, ilmu pasti, dan faraid.
f. Dayah Teuku Cik, disamakan dengan perguruan tinggi. Pada jenjang ini
diajarkan fikih, tafsir, hadits, tauhid, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantik, ilmu falak, dan filsafat.

35
Abdul Hadi, "Dinamika Sistem Pendidikan Di Aceh" , Vol. 10, No. 2 (2016), 64.

21
BAB IV

ANALISA

Masa sultan Iskandar muda memerintah Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah
sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah
perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang
dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain
pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan olah
raga.

Di saat sultan Iskandar muda memegang tampuk kekuasaan Aceh merupakan pusat
pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan. Agama Islam benar-benar
meresap ke dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak berlebihan kiranya Aceh mendapat
julukan serambi Mekkah. Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis dalam
karya mereka tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda memegang
kekuasaan, Aceh adalah pusat Ilmu pendidikan dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang
masyhur di antara kerajaan-kerajaan lain.

Dalam diskursus pendidikan Islam, ada beberapa istilah bahasa Arab yang sering
digunakan para pakar dalam memberikan definisi Pendidikan Islam, walaupun terkadang
dibedakan, namun juga terkadang disamakan yakni al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim Sayid
Muhammad al-Naquib al-Attas lebih memilih istilah al-ta’dib untuk memberikan pengertian
pendidikan dibanding istilah lainnya, karena al-ta’dib menunjukkan pendidikan untuk
manusia saja, sementara istilah al-tarbiyah dan alta’lim berlaku untuk makhluk lain
(hewan).36 Sementara Abdurrahman al-Nahlawi berpendapat bahwa istilah yang paling tepat
untuk mendefinisikan pendidikan adalah istilah al-tarbiyah.37 Sedangkan tokoh pendidikan
lainnya, Abdul Fattah Jalal berpendapat lain bahwa al-ta’lim merupakan istilah yang lebih
tepat untuk memberikan definisi pendidikan.38

36
Syekh Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, yang diterjemahkan oleh Haidar
Baqir dengan judul, Konsep Pendidikan Islam, Suatu Kerangka Fikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: Mizan, 1990), hal. 75.
37
Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyat wa Ashalibiha, yang diterjemahkan oleh
Shihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), hal 20.
38
Abdul Fattah Jalal, Min Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, yang diterjemahkan oleh Hery Noer Aly dengan judul,
Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: Diponegoro, 1988),hal 75.

22
Media Pendidikan Islam

Mengenai pengertian alat pendidikan, para ahli memiliki pandangan yang berbeda-
beda yaitu, menurut Sutari Imam Barnadib bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan,
perbuatan atau situasi/benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan.1Menurut Ahmad D. Marimba alat pendidikan sebagai segala sesuatu atau apa
yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan. Namun batasan alat pendidikan yang
dikemukakan banyak ahli pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan dalam pendidikan. Menurut Association For Education and Communication
Technologi (AECH), media ialah segala bentuk yang diprogramkan untuk suatu proses
penyaluran informasi.

Dan menurut Education Association, media merupakan benda yang dimanipulasikan,


dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik
dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas program instruksional.
Sedangkan dalam bahasa Arab, media adalah perantara (‫ )وسا َئل‬atau pengantar pesan dari
pengirim kepada penerima pesan. Tapi jjika dihubungkan pengertian alat dan media
pendidikan adalah jalan atau materi pendidikan kepada anak didik agar terwujud kepribadian
siswa yang baik.39 Dan diantara metode pendidikan Islam yang digunakan pada masa Sulatan
Iskandar Muda hanya satu yaitu:

 Media Cetak

Dan diantara media cetak yang dijadikan bahan ajar untuk mendidik peserta didik pada
masa Sultan Iskandar Muda yaitu:

i. Kitab bahasa Arab


j. Kitab fiqhi
k. Kitab tauhid
l. Kitab aqidah
m. Kitab tarikh
n. Kitab tafsir
o. Kitab hadits
p. Kitab nahwu

39
Fatah Syukur , Teknologi Pendidikan, (Semarang: Rasail, 2004 ), hal. 125.

23
Metode Pendidikan Islam

Dalam pengertian letterlijk, kata "metode" berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari
meta yang berarti "melalui", dan hodos yang berarti "jalan". Jadi, metode berarti "jalan yang
dilalui". Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang
digunakan kata al-tariqah, manhaj, dan al-wasilah. Altariqah berarti jalan, manhaj berarti
sistem, dan wasilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian, kata Arab yang dekat
dengan arti metode adalah al-tariqah.

Muhammad Athiyah alAbrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk
memperoleh pemahaman pada peserta didik. Abd al-Aziz mengartikan metode dengan cara-
cara memperoleh informasi, pengetahuan, pandangan, kebiasaan berpikir, serta cinta kepada
ilmu, guru, dan sekolah. Jadi teknik merupakan pengejawantahan dari metode, sedangkan
40
metode merupakan penjabaran dari asumsi-asumsi dasar dari pendekatan materi al-Islam.
Dan diantara metode pendidikan Islam pada masa Sulatan Iskandar Muda yaitu:

a. Metode ceramah
b. Metode diskusi
c. Metode kerja kelompok
d. Tanya jawab
e. Pemberian tugas
f. Eksperimen
g. Demontrasi
h. Sosiodrama
i. Drill (latihan

Lembaga Pendidikan Islam

Menurut Hasbullah lembaga pendidikan Islam adalah wadah atau tempat


berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat atau bangsa. Dalam
operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan
kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber konflik antara
pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya

40
Abd Rahman Shaleh 'Abd Allah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an, terj. Arifin HM, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), hlm. 198.

24
berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat.41 Dan lembaga yang ada
pada masa Sulatan Iskandar Muda terbagi mejadi dua formal dan non formal.

Pertama lebaga Islam formal:

a. Daar al-Tafsir wal Hadis (Fakultas Tafsir dan Hadis)


b. Daar al-Thib (Fakultas Kedokteran)
c. Daar al-Kimiya (Fakultas Kimia)
d. Daar al-Taarikh (Fakultas Sejarah)
e. Daar al-Hisaab (Fakultas Matematika)
f. Daar al-Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)
g. Daar al-Aqli (Fakultas Ilmu Logika)
h. Daar al-Ziraah (Fakultas Pertanian)
i. Daar al-Ahkaam (Fakultas Hukum)
j. Daar al-Falsafah (Fakultas Filosofi)
k. Daar al-Kalam (Fakultas Teologi)
l. Daar al-Wizaarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
m. Daar al-Khazanah Bait al-Maal (Fakultas Keuangan/Akuntansi Negara)
n. Daar al-Ardh (Fakultas Pertambangan)
o. Daar al-Nahwu (Fakultas Sastera Arab)
p. Daar al-Mazahib (Fakultas Perbandingan Mazhab) dan
q. Daar al-Harb (Fakultas Ilmu Militer)

Kedua lembaga Islam nonformal:

a. Balai Seutia Hukama, yaitu lembaga ilmu pengetahuan, tempat perkumpulan


para ulama, ahli fikir dan cendikiawan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
b. Balai Jamaah Himpunan Ulama, yaitu departemen yang mengurus masalah
pendidikan dan pengajaran, atau bisa disebut juga kelompok studi para ulama
untuk bertukar fikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan.42

41
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), hal 38-39.
42
Abdul Hadi, "Dinamika Sistem Pendidikan Di Aceh" , Vol. 10, No. 2 (2016), 64.

25
c. Meunasah (madrasah), terdapat di kampung dan berfungsi seperti sekolah
dasar. Materi yang diajarkan meliputi menulis dan membaca huruf Arab, ilmu
agama, bahasa melayu, akhlak, dan sejarah Islam.
d. Rangkang, setingkat madrasah tsanawiyah. Jenjang pendidikan ini
diselenggarakan ditiap mukim. Materi yang diajarkan adalah bahasa Arab,
fikih, ilmu bumi, sejarah ilmu hisab, akhlak, dan lain-lain.
e. Dayah, terdapat di daerah setingkat madrasah aliyah, terkadang dilaksanakan
di masjid, materi yang diajarkan bahasa Arab, fikih, tauhid, tasawuf, ilmu
bumi, sejarah dan tata negara, ilmu pasti, dan faraid.
f. Dayah Teuku Cik, disamakan dengan perguruan tinggi. Pada jenjang ini
diajarkan fikih, tafsir, hadits, tauhid, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantik, ilmu falak, dan filsafat.

26
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masa sultan Iskandar muda memerintah Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah
sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah
perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang
dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain
pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan olah
raga.

Dalam diskursus pendidikan Islam, ada beberapa istilah bahasa Arab yang sering
digunakan para pakar dalam memberikan definisi Pendidikan Islam, walaupun terkadang
dibedakan, namun juga terkadang disamakan yakni al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim Sayid
Muhammad al-Naquib al-Attas lebih memilih istilah al-ta’dib untuk memberikan pengertian
pendidikan dibanding istilah lainnya, karena al-ta’dib menunjukkan pendidikan untuk
manusia saja, sementara istilah al-tarbiyah dan alta’lim berlaku untuk makhluk lain (hewan).
Sementara Abdurrahman al-Nahlawi berpendapat bahwa istilah yang paling tepat untuk
mendefinisikan pendidikan adalah istilah al-tarbiyah. Sedangkan tokoh pendidikan lainnya,
Abdul Fattah Jalal berpendapat lain bahwa al-ta’lim merupakan istilah yang lebih tepat untuk
memberikan definisi pendidikan.

Mengenai pengertian alat pendidikan, para ahli memiliki pandangan yang berbeda-
beda yaitu, menurut Sutari Imam Barnadib bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan,
perbuatan atau situasi/benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan.1Menurut Ahmad D. Marimba alat pendidikan sebagai segala sesuatu atau apa
yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan. Namun batasan alat pendidikan yang
dikemukakan banyak ahli pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan dalam pendidikan. Menurut Association For Education and Communication
Technologi (AECH), media ialah segala bentuk yang diprogramkan untuk suatu proses
penyaluran informasi.

Dalam pengertian letterlijk, kata "metode" berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari
meta yang berarti "melalui", dan hodos yang berarti "jalan". Jadi, metode berarti "jalan yang
dilalui". Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang

27
digunakan kata al-tariqah, manhaj, dan al-wasilah. Altariqah berarti jalan, manhaj berarti
sistem, dan wasilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian, kata Arab yang dekat
dengan arti metode adalah al-tariqah.

Muhammad Athiyah alAbrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk
memperoleh pemahaman pada peserta didik. Abd al-Aziz mengartikan metode dengan cara-
cara memperoleh informasi, pengetahuan, pandangan, kebiasaan berpikir, serta cinta kepada
ilmu, guru, dan sekolah. Jadi teknik merupakan pengejawantahan dari metode, sedangkan
metode merupakan penjabaran dari asumsi-asumsi dasar dari pendekatan materi al-Islam.

Menurut Hasbullah lembaga pendidikan Islam adalah wadah atau tempat


berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat atau bangsa. Dalam
operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan
kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber konflik antara
pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya
berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat

28
DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas Muhammad Naquib, 1990 The Concept of Education in Islam, yang diterjemahkan
oleh Haidar Baqir dengan judul, Konsep Pendidikan Islam, Suatu Kerangka Fikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan.
Al Attas Al Naquib, 62.

Al-Nahlawi Abdurrahman, 1995. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyat wa Ashalibiha, yang


diterjemahkan oleh Shihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah
dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press.
Anwar Ahmad, 2000. Prinsip Metodologi Research, Yogyakarta.

Abu Ahmadi dan Nur uhbiyati, 1991. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipata.

Daulay Haidar Putra, 2002. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, Medan;
IAIN Press.
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 367.

Djajadiningrat Housein, hlm. 175.

Fattah Jalal Abdul, 1988. Min Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, yang diterjemahkan oleh Hery
Noer Aly dengan judul, Azas-Azas Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro.
Hasbullah,1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Hadi Sutrisno, 2001. Metodologi Research, Yogyakarta.

Hasbullah, 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, akarta: PT. Raja Grafindo.

Jamal al Diin M Abi al Fadl, Lisan al Arab Jilid I.

Lombard Denys, 233.

Marimba Ahamd D, 1980. Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung

M. Shabri Abd. Majid, Revitalisasi Pendidikan Aceh, Jurnal Pencerahan. Volume 10, Nomor
2, September 2016. 63-64.
Nasution Harun, dkk.1992 Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Rahman Shaleh Abdullah, 2003 Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an, terj. Arifin
HM, Jakarta: Rineka Cipta.
Rusdi Sufi, 32-33.

Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.

29
Sutikno Sobry, 2010. Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT Refika Aditama.

Syukur Fatah, 2004 Teknologi Pendidikan, Semarang: Rasail.

Shaliba Jamil, 1978. Al Mu’jam al Falsafi jilid I, Daar al kitab al lubnani, Kairo.

Wardi, 2002. Metode penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos.

Tanzeh Ahmad, 2011. Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta: Teras.

Zaid Mestika, 2004. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zain Aswan, 2010 Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rinela Cipta.

30

Anda mungkin juga menyukai