PSIKOLOGI AGAMA
“KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA”
DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 3)
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Kriteria Orang yang Matang Beragama........................................................3
B. Ciri-ciri dan Sikap Keberagamaan..............................................................10
C. Faktor faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama.......................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan.................................................................................................18
B. Kritik dan Saran..........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
masuk ke Nusantara, yang melebihi perkembangan Islam pada abad 13 sampai
dengan 16 Masehi di saat kejayaan kerajaan-kerajaan Islam.1
Namun ironisnya, pada saat yang sama pula, kita juga menyaksikan
perilaku-perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran agama yang
diyakininya. Ungkapan ini mudah saja kita buktikan dalam kehidupan
nyata, dimana kita setiap saat juga menyaksikan tindakan tak terpuji mulai dari
kenakalan anak-anak dan remaja seperti tawuran antar geng, penggunaan narkoba
yang sudah merambah di semua lini masyarakat, korupsi, kolusi, perselingkuhan,
seks bebas, pencurian, pemerkosaan, perusakan lingkungan alam, merajalelanya
praktik-praktik perdukunan dan klenik serta semakin ramainya pula tempat-
tempat yang dimitoskan.2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
Mulyono, “Kematangan Jiwa Beragama”, Jurnal Psikoogi Agama, Vol. 9 No. 1 (2008),
104.
2
Ibid., h. 105.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ibid.
3
godaan syetan, kesemuanya itu merupakan hasil differensiasi kesadaran beragama
yang terpolakan ke dalam suatu sistem mental.4
4
Orang akan termotivasi mendekatkan diri kepada Tuhan saat dilanda kekurangan,
kemiskinan, bencana alam, sakit atau penderitaan lainnya. Dalam Al-Kitab
maupun Al-Qur'an secara implisit diterangkan bahwa Bani Israel akan taat
mengikuti perintah-perintah Nabi maupun Tuhan di saat di landa krisis maupun
ditindas bangsa lain seperti bangsa Falistin dan Babilonia. Sebaliknya, kalau
mereka sudah terbebaskan dari penindasan maupun hidup dalam kemakmuran,
watak Bani Israel akan muncul yaitu suka membakang terhadap ajaran para
nabinya bahkan berusaha membunuhnya (wa yaqtulu al-anbiya'), seperti yang
menimpa Nabi Zakaria, as. dan putranya, Yahya, as.7
Inilah watak asli manusia, dia akan dekat kepada Tuhan saat dilanda
berbagai bencana dan menjauhkan dari Tuhan ketika kemakmuran telah datang
sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Saba' yaitu kejadian bencana
banjir (sailul 'arim) yang melanda negeri Saba' (Yaman). Sifat manusia tersebut
dinyatakan dalam Al-Qur'an:
Artinya:
7
Ibid.
8
Q.S. Al-Ma’arij: 19-21.
5
melupakannya di saat ujian sudah berlalu. Demikian juga untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan psikologis yang lain.9
Artinya:
6
yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan
penuh tanggung jawab dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. Tiada
kebahagiaan yang lebih mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah agama
secara konsisten (istiqamah).12
Bagi orang yang belum matang seringkali muncul gejolak yang kuat untuk
melaksanakan ibadahnya, namun kurang konsisten dan kurang terintegrasi dengan
perilaku keagamaan lainnya, misalnya kadang-kadang gejolak ibadahnya karena
dipengaruhi oleh orang lain. Ia melaksanakan ibadah dan mengendalikan
kehidupan moralnya secara kaku, kadang-kadang terlalu berlebihan
mengharapkan bahkan memaksa orang lain agar beribadah dan bermoral seperti
dirinya. Orang yang tidak melaksanakan ibadah sebagaimana ia sendiri
melaksanakannya akan dimusuhi. Sikap demikian dapat disebut sok-agamis, sok
moralis. Ada pula orang yang hanya tekun melaksanakan ibadah secara parsial
atau sporadis seperti melaksanakan puasa sunnah berbulan-bulan tanpa shalat atau
suka berderma akan tetapi tidak pemah mengeluarkan zakat. Mereka yang belum
matang kesadaran beragamanya menunjukkan tingkah laku keagamaan yang kaku,
labil, dan kurang disertai rasa tanggung jawab.
Dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan, orang yang memiliki
kesadaran ·beragama yang matang benar-benar menghayati hubungan tersebut
dan tiap kali terjadi penghayatan barn. Ibadahnya bersifat subyektif, kreatif dan
dinamis. Ia selalu berusaha menghannoniskan hubungannya dengan Tuhan,
manusia lain dan alam sekitamya melalui sikap dan tingkah lakunya. Sikap dan
tingkah laku itu adalah perilaku moralitas agama.13
12
Ibid.
13
Ibid., h. 111.
7
bukan hanya benda materi, akan tetapi keteraturan itu meliputi pula alam
perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai
kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan
pilihan tingkah lakunya secara pasti.14
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 208)17
14
Ibid., h. 113.
15
Ibid., h. 114.
16
Ibid.
17
Q.S. Al-Baqarah: 208.
8
Kesadaran beragama yang matang ditandai adanya pandangan hidup yang
komprehensif yang dapat mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan
hidup. Filsafat hidup yang komprehensif itu meliputi berbagai pola pandangan,
pemikiran dan perasaan yang luas. Di samping komprehensif, pandangan dan
pegangan hidup itu harus terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup
yang menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif,
afektif dan psikomotorik. Dalam kesadaran beragama, integrasi tercermin pada
keutuhan pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan antara Islam (amal shaleh),
keimanan (keyakinan dan pemikiran) serta ihsan (perasaan/kalbu). Pandangan hid
up yang matang bukan hanya keluasan cakupannya saja, akan tetapi mempunyai
landasan terpadu yang kuat dan harmonis (Aziz, 1991: 58).18
9
berbeda, karena perbedaan pengalaman hidup. Akibatnya, penghayatan dan
perasaan ke-Tuhanan, keimanan dan peribadatannya bersifat subyektif dan
pribadi. Walaupun keirnanan dan peribadatan bagi orang yang ma tang beragama
bersifat pribadi dan subyektif secara sosial keagamaan ia tetap senang hati
bergabung dengan orang-orang yang taat beragama di sekitamya tanpa
memamerkan kelebihannya di muka umum (Syarif, 2003: 50-53).20
Ciri terakhir dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang
ialah adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan dan cara-
cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. la selalu
menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga
menemukan keyakinan lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan
ditingkatkan agar menemukan keledzatan ibadah dan kesyahduan penghayatan
"kehadiran" Tuhan. Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan
peribadatannya, belum sebagaimana mestinya dan belum sempuma (Aziz, 1991:
59).21
20
Ibid.
21
Ibid., h. 116.
10
bersentuhan. Namun bagi orang yang matang jiwa agamanya, akan berus aha baik
secara logika maupun kalbu untuk menghayati akan "kedekatan" dan "kehadiran
Tuhan'' setiap saat.22
Menurut William James, sikap keberagarnaan orang yang sakit jiwa ini
ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan
keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan
melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang
berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia
dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka
ini meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang antara
lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang
sulit diungkapkan secara ilmiah.
22
Ibid.
23
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), h. 109.
11
penderitaan yang mereka alami sebelurnnya. William James menggunakan istilah
the suffering. Mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang fanatik
terhadap agama yang diyakininya.24
2) Gangguan jiwa
24
Ibid., h. 110.
12
3) Konflik dan keraguan
a) Pesimis
25
Ibid.
26
Ibid., h. 111.
13
b) Introvert
27
Ibid.
14
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan
seseorang. Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran
pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa
sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang
cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan
kepada dirinya.
Kasus serupa juga dapat terjadi pada mereka yang terkena. musibah
lainnya dan menilai penderitaan itu sebagai bentuk kutukan atau kualat,
baik terhadap orangtua maupun tokoh-tokoh keagamaan. Mungkin saja
musibah itu kebetulan menimpa mereka, setelah sebelumnya terjadi
pelanggaran terhadap larangan atau nasihat yang ada hubungannya
dengan ajaran agama. Akibat musibah seperti itu tak jarang pula
28
Ibid.
15
menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan mendorong
mereka untuk mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.29
2) Kejahatan
29
Ibid., h. 113.
16
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck
yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion
Psychology adalah:30
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini
menyebabkan mereka mudah rnelupakan kesan-kesan buruk dan luka
hati yang tergores sebagai ekses religiusitas tindakannya. Mereka
selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari
kungkungan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang
kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai
akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa
mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
30
Ibid., h. 114.
17
3) Menekarkan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara
sosial.
5) Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan
kebiaraan.
a. Faktor Intern
Faktor Intern adalah factor yang terdapat pada diri anak itu sendiri, yang
meliputi konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik,
kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat
khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat
tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
b. Faktor Lingkungan
31
Ibid., h. 115.
18
Selanjutnya yang termasuk pengaruh faktor lingkungan adalah keluarga
dan sekolah. Selain itu, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi
perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang
itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku
serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan
pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas,
kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan
sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya
dengan kematangan beragama.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
20
terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup yang
menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi
fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Walaupun keimanan dan peribadatan bagi orang yang ma tang
beragama bersifat pribadi dan subyektif secara sosial keagamaan ia
tetap senang hati bergabung dengan orang-orang yang taat
beragama di sekitamya tanpa memamerkan kelebihannya di muka
umum (Syarif, 2003: 50-53).
d. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan Ciri terakhir
dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah
adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan
dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam
sekitar.
2. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience William James
menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:
1) tipe orang yang sakit jiwa.
2) tipe orang yang sehat jiwa.
Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul) Menurut William James,
sikap keberagarnaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang
pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu.
Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran
agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang
secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa
seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal.
Mereka ini meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan
batin yang antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin
ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang
fanatik terhadap agama yang diyakininya.
21
3. Faktor Intern adalah factor yang terdapat pada diri anak itu sendiri, yang
meliputi konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik,
kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental,
bakat khusus), emosionalitas.
Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-
nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan
memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan
unsur dalam kepribadian seseorang.
Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya.
Untuk itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Allport, Gordon W. 1967. The Individual and his Religion. New York: Macmillan
Company.
Q.S. Al-An’am: 79
Daftar Pertanyaan:
23
3. Ahmad Maulana (30500118013) : Bagaimana konteks kepribadian yang
matang ?
24