Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PSIKOLOGI AGAMA
“KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA”

DOSEN : Nurfadilah, M.Ag

DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 3)

 Nur Faizi Hasyim (30500118008)


 Syamsinar (30500118019)
 Yusniar (30500118030)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Pelajaran : 2021 – 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmatNYA


sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Samata-Gowa, 5 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Kriteria Orang yang Matang Beragama........................................................3
B. Ciri-ciri dan Sikap Keberagamaan..............................................................10
C. Faktor faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama.......................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan.................................................................................................18
B. Kritik dan Saran..........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu dari sepuluh kecenderungan era global (Naisbitt dan


Abdurdenc, 1990: 3) adalah kebangkitan kembali agama. Setelah kurang lebih
200 tahun sejak munculnya Revolusi lndustri di lnggris abad ke 18, banyak orang
khususnya di wilayah. Barat melupakan agama dan mengagungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek temyata tidak banyak membawa
kedamaian hidup, maka masyarakat dari pelbagai belahan dunia sadar untuk
mengkaji kembali agama-agama setelah mereka tinggalkan beberapa waktu.

Khususnya di Indonesia, paling tidak sejak dekade 1985-an, kita


menyaksikan bahwa kehidupan keberagamaan masyarakat telah berkembang
begitu pesat, yang seringkali diistilahkan dengan era santrinisasi. Era santrinisasi
ini Nurcholish Madjid (1997: 62), dengan meminjam istilah Naisbitt, sebagai
Mega Kecenderungan Indonesia, yang prosesnya "telah melaju tanpa bisa
dikendalikan oleh siapa pun." Perkembangan kehidupan agama tersebut dapat kita
saksikan secara kasat mata, mulai dari menjamurnya tempat-tempat ibadah serta
lembaga-lembaga sosial keagamaan di pelbagai sudut kampung dan kawasan,
ramainya sholat Jum'at dan Tarwih, bergaungnya pembacaan ayat-ayat suci al-
Qur'an setiap saat, banyaknya wanita menggunakan jilbab, padamya jamaah
majelis-majelis taklim, pengajian dan istighasah akbar serta kajian-kajian ke-
Islaman yang begitu marak di media elektronik maupun media cetak serta terus
meningkatnya jumlah jamaah haji setiap tahun. Apabila dinilai secara kuantitas,
maka kita akan cepat menyimpulkan bahwa perkembangan kehidupan agama di
Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa, dan boleh jadi
perkembangan ini tidak bisa dibendung oleh siapapun maupun melalui kekuatan
apapun. Kita dapat berasumsi bahwa perkembangan kehidupan agama (Islam) di
Indonesia saat ini adalah perkembangan terbesar dalam sepanjang sejarah Islam

1
masuk ke Nusantara, yang melebihi perkembangan Islam pada abad 13 sampai
dengan 16 Masehi di saat kejayaan kerajaan-kerajaan Islam.1

Namun ironisnya, pada saat yang sama pula, kita juga menyaksikan
perilaku-perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran agama yang
diyakininya. Ungkapan ini mudah saja kita buktikan dalam kehidupan
nyata, dimana kita setiap saat juga menyaksikan tindakan tak terpuji mulai dari
kenakalan anak-anak dan remaja seperti tawuran antar geng, penggunaan narkoba
yang sudah merambah di semua lini masyarakat, korupsi, kolusi, perselingkuhan,
seks bebas, pencurian, pemerkosaan, perusakan lingkungan alam, merajalelanya
praktik-praktik perdukunan dan klenik serta semakin ramainya pula tempat-
tempat yang dimitoskan.2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kriteria orang yang matang beragama ?


2. Bagaimana ciri-ciri dan sikap keberagamaan ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan beragama ?

C. Tujuan

1. Agar dapat mengetahui kriteria orang yang matang beragama.


2. Agar dapat mengetahui ciri-ciri dan sikap keberagamaan.
3. Agar dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan
beragama.

1
Mulyono, “Kematangan Jiwa Beragama”, Jurnal Psikoogi Agama, Vol. 9 No. 1 (2008),
104.
2
Ibid., h. 105.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kriteria Orang yang Matang Beragama

Menurut penelitian Allport (1967), bahwa ada enam ciri-ciri sentimen


beragama yang matang, yaitu adanya differensiasi, dinamis, produktif,
komprehensif, integral, dan keikhlasan dalam pengabdian kepada Tuhan.
Berdasarkan pendapat Allport tersebut, maka dapat dikembangkan bahwa
karakteristik orang yang telah matang jiwa beragamanya, adalah jika seseorang
memiliki enam kriteria, yaitu: (1) differensiasi yang baik, (2) motivasi kehidupan
beragama yang dinamis, (3) pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan
produktif, ( 4) pandangan hidup yang komprehensif, (5) pandangan hidup yang
integral, (6) semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan (Aziz, 1991: 50).
Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:3

a. Differensiasi yang Baik

Differensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan


makin majemuk suatu aspek psikis yang dimiliki seseorang. Semua pengalaman,
rasa dan kehidupan beragama makin lama semakin matang, semakin kaya,
kompleks dan makin bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam
memecahkan pelbagai permasalahan yang dihadapi berlandaskan ke-Tuhanan.
Penghayatan yang berhubungan dengan Tuhan makin dirasakan bervariasi dalam
pelbagai suasana dan nuansa. Dalam kesendiriannya, ia mencari dan merasakan
kerinduan kepada Tuhan. Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan
keinginan yang bergolak pada situasi dan kondisi yang berbeda tersebut
merupakan differensiasi kesadaran beragama. Harapan akan surga dan keridhaan
Tuhan, kecemasan dan ketakutan terhadap api neraka dan siksaan Tuhan, cinta
kasih terhadap sesama pemeluk agama serta kebencian terhadap hawa nafsu dan

3
Ibid.

3
godaan syetan, kesemuanya itu merupakan hasil differensiasi kesadaran beragama
yang terpolakan ke dalam suatu sistem mental.4

Kesadaran beragama yang terdifferensiasi merupakan perkembangan


tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi
terhadap pelbagai rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus-
menerus. Mulai dari peniruan dan identifikasi terhadap kehidupan Rasulullah saw.
Sebagai uswah hasanah, meneladani kesantunan orangtua maupun kehebatan
tokoh agama yang diidolakan, sosialisasi dengan masyarakat sekitamya,
timbulnya pemikiran-pemikiran dan pengolahan sendiri melalui pengalaman
keagamaan, akhirnya bercabang dan beranting menjadi kesadaran beragama yang
kaya dan rimbun.5
Kesadaran beragama yang tidak terdifferensiasi menunjukkan sikap dan
tingkah laku keagamaan yang tidak kritis, statis dan menerima nasib. Ia menerima
ajaran agama tanpa pengolahan serta mempercayai begitu saja, apa yang
diutarakan oleh guru maupun tokoh agama. Ia merasa puas terhadap keimanan
yang dimilikinya. Kesadaran beragama yang tidak terdifferensiasi nampak
sederhana, miskin wawasan, kurang kritis, kurang dinamis dan kurang terintegrasi
di dalam kepribadiannya. Sikapnya bersifat reaktif, tidak lentur, mudah terbawa
arus atau masa bodoh terhadap situasi sosial politik kemasyarakatan dan
perubahan lingkungan. Seringkali nampak adanya kebencian, dengki, hasud, iri
hati, kecemasan, prasangka terhadap suku dan agama lain sebagai akibat tidak
tersalurkan atau penekanan konflik batin ke alam bawah sadar serta tidak
terolahnya permasalahan, pertentangan dan perbedaan paham yang dijumpai
dalam kehidupan sehari hari.6

b. Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis

Dari sudut psikologi, motivasi kehidupan beragama pada mulanya berasal


dari pelbagai dorongan, baik biologis, psikis maupun sosial. Dorongan biologis,
seperti rasa lapar, rasa haus, kemiskinan, penderitaan, penjajahan dan penindasan.
4
Ibid., h. 106.
5
Ibid.
6
Ibid., h. 107.

4
Orang akan termotivasi mendekatkan diri kepada Tuhan saat dilanda kekurangan,
kemiskinan, bencana alam, sakit atau penderitaan lainnya. Dalam Al-Kitab
maupun Al-Qur'an secara implisit diterangkan bahwa Bani Israel akan taat
mengikuti perintah-perintah Nabi maupun Tuhan di saat di landa krisis maupun
ditindas bangsa lain seperti bangsa Falistin dan Babilonia. Sebaliknya, kalau
mereka sudah terbebaskan dari penindasan maupun hidup dalam kemakmuran,
watak Bani Israel akan muncul yaitu suka membakang terhadap ajaran para
nabinya bahkan berusaha membunuhnya (wa yaqtulu al-anbiya'), seperti yang
menimpa Nabi Zakaria, as. dan putranya, Yahya, as.7

Inilah watak asli manusia, dia akan dekat kepada Tuhan saat dilanda
berbagai bencana dan menjauhkan dari Tuhan ketika kemakmuran telah datang
sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Saba' yaitu kejadian bencana
banjir (sailul 'arim) yang melanda negeri Saba' (Yaman). Sifat manusia tersebut
dinyatakan dalam Al-Qur'an:

َّ ‫سهُ الش َُّّر َج ُزوعًا () َوإِ َذا َم‬


() ‫سهُ ا ْل َخ ْي ُر َمنُوعًا‬ َّ ‫ق َهلُوعًا () إِ َذا َم‬ َ ‫إِنَّ اإْل ِ ْن‬
َ ِ‫سانَ ُخل‬

Artinya:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.


Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan (harta) ia amat kikir.” (Q.S. Al-Ma’arij: 19-21)8

Dorongan psikologis, seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan


diri, rasa ingin tahu, harga diri dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan
beragama, sering ditemukan banyak pemuda-pemudi aktif mendekatkan diri
kepada Tuhan dikala memiliki pengharapan jatuh cinta pada lawan jenisnya, atau
mereka mengharapkan agar Tuhan memberikan jodoh yang baik. Banyak hasil
observasi menunjukkan bahwa para pelajar maupun mahasiswa akan lebih disiplin
beribadah di saat-saat mendekati ujian, tetapi mereka akan mengurangi bahkan

7
Ibid.
8
Q.S. Al-Ma’arij: 19-21.

5
melupakannya di saat ujian sudah berlalu. Demikian juga untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan psikologis yang lain.9

Dinamika rasa keagamaan yang matang bergantung pada seberapa jauh


kesadaran beragama menjadi sistem mental di antara berbagai sistem kejiwaan
yang membentuk kepribadian seseorang. Semakin matangnya motivasi beragama
yang terns mengalami perkembangan tersebut sebagaimana dijelaskan firman
Allah berikut:10
ْ ‫ض َحنِيفًا ۖ َو َما أَنَا ِمنَ ا ْل ُم‬
َ‫ش ِر ِكين‬ َ ‫ت َواأْل َ ْر‬ َّ ‫إِنِّي َو َّج ْهتُ َو ْج ِه َي لِلَّ ِذي فَطَ َر ال‬
ِ ‫س َما َوا‬

Artinya:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan


langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-An’am: 79)11

c. Pelaksanaan Ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif

Tanda ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada


konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab
dengan mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan dan berusaha secara
maksimal meninggalkan larangan-larangan-Nya. Pelaksanaan kehidupan
beragama atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan ke-Tuhanan dan
keimanan. Pengertian ibadah mencakup pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan,
tata cara, perintah, kewajiban, dan larangan dalam hubungannya dengan Tuhan,
manusia, masyarakat, dan alam. Ibadah yang menekankan realisasi hubungan
manusia dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti khusus. Formalitas, tata
cara dan peraturan ibadah khusus telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu
yang disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan.
Ibadah dalam arti luas mencakup seluruh kehendak, cita-cita, sikap, dan tingkah
laku manusia berdasarkan penghayatan ke-Tuhanan disertai niat atau kesengajaan
dengan ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki kesadaran beragama
9
Ibid., h. 108.
10
Ibid., h. 110.
11
Q.S. Al-An’am: 79.

6
yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan
penuh tanggung jawab dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. Tiada
kebahagiaan yang lebih mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah agama
secara konsisten (istiqamah).12

Bagi orang yang belum matang seringkali muncul gejolak yang kuat untuk
melaksanakan ibadahnya, namun kurang konsisten dan kurang terintegrasi dengan
perilaku keagamaan lainnya, misalnya kadang-kadang gejolak ibadahnya karena
dipengaruhi oleh orang lain. Ia melaksanakan ibadah dan mengendalikan
kehidupan moralnya secara kaku, kadang-kadang terlalu berlebihan
mengharapkan bahkan memaksa orang lain agar beribadah dan bermoral seperti
dirinya. Orang yang tidak melaksanakan ibadah sebagaimana ia sendiri
melaksanakannya akan dimusuhi. Sikap demikian dapat disebut sok-agamis, sok
moralis. Ada pula orang yang hanya tekun melaksanakan ibadah secara parsial
atau sporadis seperti melaksanakan puasa sunnah berbulan-bulan tanpa shalat atau
suka berderma akan tetapi tidak pemah mengeluarkan zakat. Mereka yang belum
matang kesadaran beragamanya menunjukkan tingkah laku keagamaan yang kaku,
labil, dan kurang disertai rasa tanggung jawab.
Dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan, orang yang memiliki
kesadaran ·beragama yang matang benar-benar menghayati hubungan tersebut
dan tiap kali terjadi penghayatan barn. Ibadahnya bersifat subyektif, kreatif dan
dinamis. Ia selalu berusaha menghannoniskan hubungannya dengan Tuhan,
manusia lain dan alam sekitamya melalui sikap dan tingkah lakunya. Sikap dan
tingkah laku itu adalah perilaku moralitas agama.13

d. Pandangan Hidup yang Komprehensif

Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan


komprehensif. Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada
keteraturan. Keteraturan ini berasal dari analisis terhadap fakta yang ternyata
mempunyai hubungan satu sama lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu

12
Ibid.
13
Ibid., h. 111.

7
bukan hanya benda materi, akan tetapi keteraturan itu meliputi pula alam
perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai
kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan
pilihan tingkah lakunya secara pasti.14

Agama seperti juga filsafat mampu memberikan jawaban, keteraturan dan


hukum atau kaidah secara rasional dan logis. Bahkan agama lebih luas dan lebih
mendalam daripada filsafat, karena agama tidak hanya memberikan pegangan
hidup yang logik dan rasional saja, akan tetapi memberikan pula dinamika
penyaluran dan kepuasan bagi dorongan emosional. Agama memberikan jawaban
terhadap masalah kematian, hid up sesudah mati, alam akhirat dan rasa ke
Tuhanan. Agama memberikan dorongan dan motivasi lebih kuat dan lebih
bermakna terhadap semangat dan arti hidup.15

Bagi orang yang matang beragamanya, maka memahami dan melakukan


agama tidak sekedar bersifat formalitas dan parsial, tetapi berusaha memahami
dan melaksanakan agama secara logika, perasaan dan tindakan. Bahkan memasuki
wilayah agama secara utuh. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah subhana wa
ta’ala. berikut:16

‫ش ْي ٰطَ ِن ۚ إِنَّهۥُ لَ ُك ْم َعد ٌُّو‬ ۟ ‫س ْل ِم َكٓافَّةً َواَل تَتَّبِ ُع‬


ِ ‫وا ُخطُ ٰ َو‬
َّ ‫ت ٱل‬ ۟ ُ‫ٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
۟ ُ‫وا ٱد ُْخل‬
ِّ ‫وا فِى ٱل‬
ٌ‫ُّمبِين‬

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 208)17

e. Pandangan Hidup yang Integral

14
Ibid., h. 113.
15
Ibid., h. 114.
16
Ibid.
17
Q.S. Al-Baqarah: 208.

8
Kesadaran beragama yang matang ditandai adanya pandangan hidup yang
komprehensif yang dapat mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan
hidup. Filsafat hidup yang komprehensif itu meliputi berbagai pola pandangan,
pemikiran dan perasaan yang luas. Di samping komprehensif, pandangan dan
pegangan hidup itu harus terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup
yang menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif,
afektif dan psikomotorik. Dalam kesadaran beragama, integrasi tercermin pada
keutuhan pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan antara Islam (amal shaleh),
keimanan (keyakinan dan pemikiran) serta ihsan (perasaan/kalbu). Pandangan hid
up yang matang bukan hanya keluasan cakupannya saja, akan tetapi mempunyai
landasan terpadu yang kuat dan harmonis (Aziz, 1991: 58).18

Pegangan hidup keagamaan yang komprehensif dan terintegrasi dengan


harmonis bukan hanya mampu menghadapi permasalahan hidup empat belas abad
yang lalu ketika Nabi saw terakhir diturunkan, akan tetapi dapat menjadi
pegangan bagi manusia yang hidup pada masa kini yang ditandai kepesatan
perkembangan sains dan teknologi. Norma serta hasil penemuan sains dan
teknologi dapat bertentangan dengan penafsiran norma kepercayaan dan
kebiasa:.m perilaku keagamaan. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang
terintegrasi akan berusaha mengolah penentangan itu dengan menganalisis
kembali penafsiran ajaran agama dan meneliti norma penemuan baru dengan
kritis, sehingga menghasilkan pandangan baru yang dapat dijadikan pegangan. la
menyadari, bahwa pada dasamya agama dan sains tidaklah bertentangan, bahkan
hams bekerja sama dan saling mendukung, karena keduanya sama-sama mencari
kebenaran.19
Pandangan orang yang matang jiwa beragamanya akan terbuka lebar dan
berusaha mencari, menafsirkan dan menemukan nilai-nilai baru ajaran agamanya
agar dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai perkembangan
zaman. Dalam pencarian penafsiran-penafsiran baru setiap orang akan
memandang permasalahan sesuai dengan tingkat kematangan kesadaran beragama
yang dimilikinya. Ttap-tiap orang memiliki kematangan kesadaran beragama
18
Ibid.
19
Ibid., h. 115.

9
berbeda, karena perbedaan pengalaman hidup. Akibatnya, penghayatan dan
perasaan ke-Tuhanan, keimanan dan peribadatannya bersifat subyektif dan
pribadi. Walaupun keirnanan dan peribadatan bagi orang yang ma tang beragama
bersifat pribadi dan subyektif secara sosial keagamaan ia tetap senang hati
bergabung dengan orang-orang yang taat beragama di sekitamya tanpa
memamerkan kelebihannya di muka umum (Syarif, 2003: 50-53).20

f. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan

Ciri terakhir dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang
ialah adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan dan cara-
cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. la selalu
menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga
menemukan keyakinan lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan
ditingkatkan agar menemukan keledzatan ibadah dan kesyahduan penghayatan
"kehadiran" Tuhan. Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan
peribadatannya, belum sebagaimana mestinya dan belum sempuma (Aziz, 1991:
59).21

Gambaran tentang Tuhan tiap kali dirasakan masih merupakan suatu


hipotesis hasil pemikiran yang tidak terlepas dati orientasi ruang dan waktu.
Gambaran itu tiap kali bukanlah Tuhan sebenamya. la berusaha terus mencari dan
mendapatkan keimanan yang lebih tepat. Keimanan yang lebih tepat pun ternyata
belum mencapai kebenaran yang sempurna. Kesempurnaan itu sendiri tidak
mungkin dicapai seumur hidupnya. la hanya mampu mendekatinya. Setiap
beribadah ia merasa dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu demikian dekat sehingga
lebih dekat daripada urat nadi di lehemya. Bahkan akhimya kedekatan itu tidak
dapat digambarkan dengan kata-kata kepada orang lain.
Orang yang memiliki jiwa beragama yang matang, meyakini sepenuhnya
akan keberadaan Tuhan, walaupun kedudukan Tuhan berada pada wilayah yang
amat jauh yang tak terjangkau sekaligus dekat sekali tetapi tidak pemah

20
Ibid.
21
Ibid., h. 116.

10
bersentuhan. Namun bagi orang yang matang jiwa agamanya, akan berus aha baik
secara logika maupun kalbu untuk menghayati akan "kedekatan" dan "kehadiran
Tuhan'' setiap saat.22

D. Ciri-ciri dan Sikap Keberagamaan

Berdasarkan temuan psikologi agama, latar belakang psikologis, baik


diperoleh berdasarkan faktor intern maupun hasil pengaruh. lingkungan memberi
ciri pada pola tingkah laku dan sikap seseorang dalam bertindak. Pola seperti itu
memberi bekas pada sikap seseorang terhadap agama. William James melihat
adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman
keagamaan yang dimilikinya itu.

Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience William James


menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu: 1) tipe orang yang sakit jiwa, dan 2) tipe orang yang sehat
jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan yang berbeda.23

1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)

Menurut William James, sikap keberagarnaan orang yang sakit jiwa ini
ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan
keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan
melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang
berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia
dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka
ini meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang antara
lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang
sulit diungkapkan secara ilmiah.

Latar belakang itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan sikap


yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu

22
Ibid.
23
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), h. 109.

11
penderitaan yang mereka alami sebelurnnya. William James menggunakan istilah
the suffering. Mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang fanatik
terhadap agama yang diyakininya.24

William Starbuck, seperti yang dikemukakan oleh William James


berpendapat, bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Alasan ini pula tampaknya yang
menyebabkan dalam psikologi agama dikenal dua sebutan, yaitu the sick soul dan
the suffering. Tipe yang pertama dilatarbelakangi oleh faktor intern (dalam diri)
sedangkan yang kedua adalah karena faktor ekstern (penderitaan).

a. Faktor intern yang diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap


keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:
1) Temperamen

Temperamen merupakan salah-satu unsur dalam membentuk


kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan
kejiwaan seseorang. Tingkah laku yang didasarkan kondisi
temperamen memegang peranan penting dalam sikap keagamaan.
seseorang. Seseorang yang melancholic akan berbeda dengan orang
yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya
terhadap ajaran aganaa. Demikian pula halnya dengan mereka yang
memiliki tipe kepribadian yang lainnya.

2) Gangguan jiwa

Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam


sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman
keagamaan yang ditampilkannya tergantung dari gejala gangguan jiwa
yang mereka idap. Umpamanya: para schizoprenia, paranoia,
psychostenia, dan pengidap gangguan jiwa lainnya.

24
Ibid., h. 110.

12
3) Konflik dan keraguan

Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai


keagamaan memengaruhi sikap keagamaannya. Mungkin berdasarkan
kesimpulannya ia akan memilih salah-satu agama yang diyakininya
ataupun meninggalkannya sama sekali.25 Keyakinan agama yang
dianut berdasarkan pemilihan yang matang sesudah terjadinya konflik
kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini
dapat memengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat,
fanatik ataupun agnostis hingga ke ateis.26

4) Jauh dari Tuhan

Orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya


akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi
cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari curahan rahmat Tuhan. Perasaan
ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan serta
berupaya mengabdikan diri secara sungguhsungguh. Hal ini
menyebabkan terjadi semacam perubahan sikap keagamaan pada
dirinya. Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami:
kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:

a) Pesimis

Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk


berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima. Mereka
menjadi tahan menderita dan segala penderitaan menyebabkan
peningkatan ketaatannya. Penderitaan dan kenikmatan yang mereka
terima mereka percayai sepenuhnya sebagai azab dan rahmat Tuhan.
Mereka cenderung lehih mawas diri dan terlibat dalam masalah
pribadi masing-masing dalam mengamalkan ajaran agama.

25
Ibid.
26
Ibid., h. 111.

13
b) Introvert

Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala


marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan
kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat. Dengan demikian,
mereka berusaha untuk menebusnya dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui pensucian diri. Cara bermeditasi kadang-
kadang merupakan pilihan dalam memberi kenikmatan yang dapat
dirasakan oleh jiwanya.

c) Menyenangi paham yang ortodoks

Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya


menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi
paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.27

d) Mengalami proses keagamaan secara non-graduasi

Proses timbulnya keyakinan terhadap ajaran agama umumnya


tidak berlangsung melalui prosedur yang biasa, yaitu dari tidak | tahu
menjadi tahu dan kemudian mengamalkannya dalam bentuk amalan
rutin yang wajar. Tindak keagamaan yang mereka lakukan didapat
dari proses pendekatan, mungkin karena rasa berdosa, ataupun
perubahan keyakinan maupun petunjuk Tuhan. Jadi, timbulnya
keyakinan beragama pada mereka ini berlangsung melalui proses
pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba.

b. Faktor ekstern yang diperkirakan turut memengaruhi sikap keagamaan


secara mendadak, adalah:
1) Musibah

27
Ibid.

14
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan
seseorang. Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran
pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa
sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang
cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan
kepada dirinya.

Tafsiran seperti itu tak jarang memberi wawasan baru baginya


untuk kembali hidup ke jalan agama, sehingga makin berat musibah
yang dialaminya akan makin tinggi tingkat ketaatannya kepada agama.
Bahkan mungkin pula mereka yang mengalami peristiwa semacam itu
akan menjadi seorang penganut agama yang fanatik. Misalnya, seorang
menyadari bahwa bila ingin melakukan suatu perjalanan lazimnya
diawali dengan melafalkan doa-doa tertentu. Bila ia menyadari
musibah yang menimpa dirinya dalam suatu perjalanan tidak membaca
doa sama sekali karena lupa atau karena memang tidak mengenal doa
sama sekali, maka ada kecenderungan musibah tersebut dihubung-
hubungkannya dengan peringatan Tuhan kepadanya. Dengan demikian,
kemungkinan setelah musibah itu berlalu ia akan mulai mempelajari
doa-doa dimaksud dan mengamalkannya dengan tekun. 28 Bahkan
mungkin pula ia menjadi pengamal doa yang fanatik, hingga seakan
batinnya belum merasa tenang jika doa dimaksud belum dilafalkan saat
akan mengadakan perjalanan. Keterikatannya kepada doa-doa tersebut
terkadang menjadi berlebihan.

Kasus serupa juga dapat terjadi pada mereka yang terkena. musibah
lainnya dan menilai penderitaan itu sebagai bentuk kutukan atau kualat,
baik terhadap orangtua maupun tokoh-tokoh keagamaan. Mungkin saja
musibah itu kebetulan menimpa mereka, setelah sebelumnya terjadi
pelanggaran terhadap larangan atau nasihat yang ada hubungannya
dengan ajaran agama. Akibat musibah seperti itu tak jarang pula

28
Ibid.

15
menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan mendorong
mereka untuk mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.29

2) Kejahatan

Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik


sebagai pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan
mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan-itu mereka
tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan
sejenak dengan menenggak minuman keras, judi maupun berfoya-foya.
Namun, upaya untuk menghilangkan keguncangan batin tersebut sering
tak berhasil. Karena itu, jiwa mereka menjadi labil dan terkadang
dilampiaskan dengan tindakan yang brutal, pemarah, mudah
tersinggung, dan berbagai tindakan negatif lainnya.

Perasaan seperti itu biasanya terus menghantui diri mereka hingga


menyebabkan hidup mereka tidak pernah mengalami ketenangan dan
ketenteraman. Sesekali mungkin saja timbul perasaan kemanusiaannya
yang fitri seperti rasa kasih sayang, iba, menyesal, rasa berdosa, rasa
tidak berharga karena kehilangan harga diri, rasa dikucilkan
masyarakat, dan sebagainya.

Perasaan-perasaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk


mencari penyaluran yang menurut penilaiannya dapat memberi
ketenteraman batin. Lazimnya, mereka ini akan kembali kepada
agama. Kesadaran ini sering mendorong orang untuk bertobat. Sebagai
penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak jarang orang-
orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan
fanatik.

2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)

29
Ibid., h. 113.

16
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck
yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion
Psychology adalah:30

a. Optimis dan Gembira

Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama


dengan perasaan Optimis. Pahala menurut pandangannya adalah
sebagai hasil jerih payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala
bentuk musibah dan penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan
kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan
Tuhan terhadap dosa manusia. Mereka yakin bahwa Tuhan bersifat
Pengasih dan Penyayang dan bukan pemberi azab.

b. Ekstrovet dan tak mendalam

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini
menyebabkan mereka mudah rnelupakan kesan-kesan buruk dan luka
hati yang tergores sebagai ekses religiusitas tindakannya. Mereka
selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari
kungkungan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang
kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai
akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa
mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.

c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet, maka mereka


cenderung:

1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.


2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.

30
Ibid., h. 114.

17
3) Menekarkan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara
sosial.
5) Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan
kebiaraan.

Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam


pendirian, ketetapan dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun
negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui masih banyak juga orang
dewasa yang berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan itu bisa ' saja ke
arah acuh tak acuh terhadap agama, atau ke arah ketaatan terhadap agama.
Salah-satu bentuk perubahan dalam keyakinan dan kepercayaan suatu agama
yang terpenting adalah “konversi agama”.31

E. Faktor faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama

Penggambaran tentang kematangan beragama, tidak terlepas dari


kriteria kematangan kepribadian. Kematangan beragama hanya terdapat pada
orang-orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi,
kepribadian yang matang, belum tentu disertai dengan kematangan beragama.
Oleh karena itu beberapa factor menurut Dr. Singgih D. Gunarsa yang
mempengaruhi kepribadian terkait dengan kematang beragama seseorang adalah
(Jalaluddin, 1997:108).

a. Faktor Intern

Faktor Intern adalah factor yang terdapat pada diri anak itu sendiri, yang
meliputi konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik,
kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat
khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat
tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.

b. Faktor Lingkungan
31
Ibid., h. 115.

18
Selanjutnya yang termasuk pengaruh faktor lingkungan adalah keluarga
dan sekolah. Selain itu, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi
perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang
itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku
serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan
pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas,
kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan
sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya
dengan kematangan beragama.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan pendapat Allport tersebut, maka dapat dikembangkan bahwa


karakteristik orang yang telah matang jiwa beragamanya, adalah jika
seseorang memiliki enam kriteria, yaitu: (1) differensiasi yang baik, (2)
motivasi kehidupan beragama yang dinamis, (3) pelaksanaan ajaran agama
secara konsisten dan produktif, (4) pandangan hidup yang komprehensif,
(5) pandangan hidup yang integral, (6) semangat pencarian dan
pengabdian kepada Tuhan (Aziz, 1991: 50).
Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan keinginan yang bergolak
pada situasi dan kondisi yang berbeda tersebut merupakan differensiasi
kesadaran beragama.
a. Pelaksanaan Ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif Tanda
ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada
konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara
bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama sesuai
kemampuan dan berusaha secara maksimal meninggalkan
larangan-larangan-Nya.
b. Pandangan Hidup yang Komprehensif Kepribadian yang matang
memiliki filsafat hidup yang utuh dan komprehensif. Bahkan
agama lebih luas dan lebih mendalam daripada filsafat, karena
agama tidak hanya memberikan pegangan hidup yang logik dan
rasional saja, akan tetapi memberikan pula dinamika penyaluran
dan kepuasan bagi dorongan emosional.
c. Pandangan Hidup yang Integral Kesadaran beragama yang matang
ditandai adanya pandangan hidup yang komprehensif yang dapat
mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup. Di
samping komprehensif, pandangan dan pegangan hidup itu harus

20
terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup yang
menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi
fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Walaupun keimanan dan peribadatan bagi orang yang ma tang
beragama bersifat pribadi dan subyektif secara sosial keagamaan ia
tetap senang hati bergabung dengan orang-orang yang taat
beragama di sekitamya tanpa memamerkan kelebihannya di muka
umum (Syarif, 2003: 50-53).
d. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan Ciri terakhir
dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah
adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan
dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam
sekitar.
2. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience William James
menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:
1) tipe orang yang sakit jiwa.
2) tipe orang yang sehat jiwa.
Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul) Menurut William James,
sikap keberagarnaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang
pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu.
Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran
agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang
secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa
seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal.
Mereka ini meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan
batin yang antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin
ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang
fanatik terhadap agama yang diyakininya.

21
3. Faktor Intern adalah factor yang terdapat pada diri anak itu sendiri, yang
meliputi konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik,
kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental,
bakat khusus), emosionalitas.
Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-
nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan
memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan
unsur dalam kepribadian seseorang.

F. Kritik dan Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya.
Untuk itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Allport, Gordon W. 1967. The Individual and his Religion. New York: Macmillan
Company.

Mulyono. (2008). Kematangan Jiwa Beragama. Jurnal Psikoogi Agama, Vol. 9


No. 1.

Madjid, Nurcholish. 1997. Tradisi: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di


Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Prof. Dr. H. Jalaluddin. 2018. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.

Syarif, Adnan. 2003. Psikologi Qur'ani. Bandung: Pustaka Hidayah.

Dikutip dari, http://etheses.uin-malang.ac.id/766/6/10410053%20Bab%202.pdf


(diakses pada 9 Oktober 2021)

Q.S. Al-Ma’arij: 19-21

Q.S. Al-An’am: 79

Q.S. Al-Baqarah: 208

Daftar Pertanyaan:

1. Nila Harniati (30500118025) : Apa kaitan antara faktor makanan (rasa


lapar) dengan kematangan beragama ?
2. Nurul Annisaa (30500118002) : Bagaimana ciri-ciri orang yang sakit jiwa
dan sehat jiwa dalam pandangan psikologi ?

23
3. Ahmad Maulana (30500118013) : Bagaimana konteks kepribadian yang
matang ?

24

Anda mungkin juga menyukai