Anda di halaman 1dari 11

FETISISME KOMODITAS, KONSUMERISME DAN

GAYA HIDUP PELUANG SERTA TANTANGAN BAGI


“DESAINER KREATIF”

Pemakalah pada Seminar Hasil Karya Tugas Akhir Mahasiswa FSRD ISI Denpasar. Tema
"Life Style” Kerjasama Bentara Budaya Bali dengan FSRD ISI Denpasar, Gianyar, Bali, 15
Juni 2011

1
FETISISME KOMODITAS, KONSUMERISME DAN
GAYA HIDUP PELUANG SERTA TANTANGAN BAGI
“DESAINER KREATIF”
Oleh:
I Made Gede Arimbawa

I PENDAHULUAN

Sebuah komunitas dengan masalah sosial dan budayannya tidak mungkin


secara absolut dapat hidup statis, stagnan dan terisolir. Masalah sosial dan budaya
akan mengalami perubahan atau pergeseran dalam fungsi waktu dengan laju yang
bervariasi. Disadari ataupun tidak gelombang pergeseran atau perubahan besar telah
terjadi, seakan memperlihatkan sisi lain dari realitas yang tidak selamanya sejalan
dengan rencana atau konsep-konsep yang telah dibangun untuk mendasarinya
(Soekamto, 1993). Menurut Koening (1957) bahwa perubahan tersebut disebabkan
karena terjadi modifikasi baik internal maupun eksternal. Sehingga memungkinkan
akan muncul perbedaan dan membentuk sub-sub kebudayaan (sub-culture) yang
disebabkan oleh berbagai motivasi atau faktor pendorong (Hebdige, 1987).
Terjadinya perubahan dan perkembangan secara kebetulan atau direncanakan karena
termotivasi oleh pengaruh dari luar sebagai akibat terjadinya interaksi dengan unsur
kebudayaan lainnya atau penemuan baru. Perubahan tersebut kemungkinan dapat
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur kebudayaan material yang pernah ada,
dipertahankannya unsur-unsur masa lalu dan terjadi proses adaptasi dengan unsur-
unsur baru (Pujilaksono, 2009).
Perubahan yang terjadi melingkup kehidupan manusia, baik bersifat fisiologis,
demografi, maupun perubahan sosial-budaya. Oleh karena hal tersebut, maka sering
terjadi perbedaan gaya hidup atau lifestyle yang meliputi kebiasaan-kebiasaan yang
berbeda antar generasi, adanya perbedaan dalam cara berfikir dan bertindak antara
masyarakat satu dengan yang lainnya atau dari generasi ke generasi berikutnya,
misalnya dalam cara berpakaian, dulu gadis Bali kebanyakan memakai kain dan

2
kebayak, namun sekarang karena pengaruh budaya luar (Amerika), maka kebiasaan
tersebut banyak ditinggalkan dan beralih mengunakan celana jeans ketat dan t-shirt
yang dirasa lebih praktis. Pakaian kebayak hanya digunakan dalam upacara agama
Hindu atau upacara lain yang terkait dengan adat di Bali. Dalam kondisi perbedaan
yang ekstrim dapat dilihat pada fenomena kaum muda yang menjadi stigma bagi
kaum tua, misalya: ngebut, modifikasi kendaraan, seks bebas, ber-tatto, membuat
banyak lubang pada daun telinga, pewarnaan rambut, rambut gimbal dan sebagainya.
Fenomena tersebut dapat menjadi budaya tanding yang memiliki perbedaan dengan
budaya dominan. Pada akhir modernitas, dalam lingkungan kaum “berduit” muncul
fenomena gaya hidup konsumtif yang berorientasi pada “pemujaan atau subordinasi
terhadap komoditas” dengan tujuan pamer; ingin menjadi penonton dan sekaligus
ditonton. Dalam konteks tersebut, maka “gaya” dan uang atau kapital mulai menjadi
modus keberadaan manusia modern.
Wacana tentang gaya hidup merupakan fenomena yang sangat kompleks,
dinamis dan labil. Memahami persoalan tersebut ibarat memasuki rumah yang
memiliki banyak pintu. Artinya persoalan tersebut dapat didekati dari berbagai aspek
untuk dapat mencapai inti permasalahan. Fenomena tersebut juga terkait dengan
berbagai fenomena lain, seperti dalam tulisan ini penulis mengkaitkan dengan
fetisisme komoditas dan konsumerisme, serta melihat bahwa fenomena gaya hidup
tidak hanya memiliki stigmatik tetapi juga mengandung sisi positif, sehingga dapat
menjadi peluang dan tantangan bagi para “desainer kreatif”

II PEMBAHASAN

2.1 Fetisisme Komoditas dan Gaya Hidup

Istilah fetisisme atau fetisism (bahasa Inggris) berhasal dari kata “fetis” dan
“ism. Fetis dalam bahasa Portugis; feitico yang berarti: pesona, daya pikat, atau sihir
dan “ism” berati faham atau bentuk relegi yang berdasarkan kepercayaan. Jadi
fetisisme adalah suatu bentuk relegi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya
“jiwa” dalam benda-benda tertentu, sehingga melahirkan suatu bentuk ritual untuk

3
memuja benda-benda yang dianggap berjiwa (Pujilaksono, 2009). Kepercayaan
tersebut sebenarnya sudah ada sejak jaman purba, yakni tentang adanya ruh atau
kekuatan-kekuatan metafisis yang dimiliki oleh suatu materi yang dikenal dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme. Suatu benda dianggap memiliki kekuatan
magis atau bertuah dan dapat menyelamatkan atau merusak kehidupannya. Atas dasar
kepercayaan tersebut, maka berkembang gejala simbolisasi dan penghargaan atau
pemujaan terhadap suatu benda. Perilaku tersebut dalam terminologi antropologi
disebut fetisisme.
Rupanya faham atau kepercayaan tersebut juga masih berlanjut dan tumbuh
subur pada abad modern sekarang ini yang diklaim sebagai abad penuh kerasionalan.
Jadi evolusi fetisisme komoditas hingga berwujud seperti sekarang, sebenarnya
diawali pada manusia pra-modern. Ketika pengetahuan modern dapat mencerahkan
pola pikir manusia, namun bersamaan dengan hal tersebut juga terjadi transformasi
pemujaan terhadap materi sebagai sumber pemuas kebutuhan psikis. Mulanya terjadi
pemujaan terhadap ” alam benda” beralih kepada pemujaan terhadap produk-produk
kreasi manusia.
Fenomena yang berkembang di abad modern tersebut, secara esensial tidak jauh
berbeda dengan jaman dulu, hanya “beda kemasan”. Pada jaman dahulu orang merasa
lebih percaya diri (PD), “merasa kebal” atau anggapan lainnya di luar nalar dengan
membawa benda tertentu, seperti “batu, kayu atau tulang binatang yang dianggap
bertuah”. Kini keadaannya juga demikian, mereka dengan mengendarai kendaraan “ber-
merk dengan harga yang mahal” mereka akan merasa prestisenya terkatrol. Namun
esensinya sama-sama menumuja benda. Terkait dengan hal tersebut, Karl Marx dalam
Piliang ( 2003) menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan segala sesuatu yang
dipuja tanpa alasan akal sehat dalam hubungan dengan komoditas. Termasuk di
dalamnya ‘pemujaan’ terhadap ikon-ikon modern, seperti rambut Elvis Presley, jaket
Michel Jackson, tas atau pakaian dalam Madonna yang dianggap mempunyai kekuatan
atau pesona tertentu sehingga orang mau membeli dengan harga yang sangat mahal.

4
Sedangkan gaya hidup atau life style berasal dari kata ” life dan style ”. Life
artinya hidup atau kehidupan. Sedangkan style adalah gaya; ragam; corak; macam;
tipe, dalam seni atau desain adalah cara menyusun atau mengorganisasikan elemen-
elemen sehingga menghasilkan komposisi yang bermakna (Piliang, 2003). Gaya
hidup berbeda dengan cara hidup (way of life). Cara hidup ditampilkan dengan ciri-
ciri seperti : norma, ritual, pola-pola tatanan sosial yang dekat dengan pengertian
budaya dominan, berasal dari pekerjaan, gender, lokalitas, etnisitas dan umur. Gaya
hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan
orang lain. Pilihan gaya hidup yang dibuat oleh seseorang merupakan pergulatan diri
dalam pencarian pencitraan dan sensibilitas dengan lingkungan di mana dia hidup.
Dalam kaitan dengan fetisisme dan dilihat dari perspektif semiotika, bahwa
semua mahkluk ciptaan Tuhan dalam menghadapi realita kehidupan, umumnya
dilandasi oleh dua sistem, yaitu sistem penerimaan dan pemberian. Namun manusia
selain terlibat dua sistem tersebut, juga mempunyai kelebihan untuk menciptakan
sistem komunikasi dengan matra baru yang menyesuaikan dengan lingkungan
realitas, yaitu kemampuan untuk menciptakan “sistem simbol” dan sekaligus dipakai
untuk menandai salah satu perbedaan manusia dengan binatang (Cassirer, 1944). Jadi
dengan kelebihan tersebut, maka cara pandang manusia terhadap objek berupa benda
atau produk, selain bernilai guna sebagai elemen menunjang aktivitas hidup (utilitarian
elemen), suatu benda atau produk juga dapat bernilai simbolik, yakni sebagai tanda
untuk mengkonumikasikan dan mempertontonkan status sosial dan identitas dirinya
kepada orang lain. Dengan meminjam gagasan Ibrahim (2007) dapat pula dikatakan,
bahwa benda yang digunakan oleh manusia, pada dasarnya merupakan sarana
komunikasi artifaktual untuk menunjukkan identitas sosial dan sekaligus
membedakan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini berarti, suatu benda tidak hanya
memiliki makna denotatif, tetapi juga makna konotatif (Barther, 2004)
Fitishisme dalam gaya hidup pada tatanan dunia modern membuat
keterjeratan manusia pada nilai simbolik (konotatif), sehingga pada akhir semua
yang dimiliki akan menjadi budaya tontonan (a culture of spectacle). Semua orang
5
ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Dalam gaya hidup seperti itu, terjadi
pemaknaan berlebihan terhadap komoditas di luar konteks utilitas, karena dianggap
memiliki kekuatan mutlak atas kehidupan manusia. Di sinilah gaya mulai menjadi
modus keberadaan manusia modern: Kamu bergaya maka kamu ada! Kalau kamu
tidak bergaya, siap-siaplah untuk dianggap “tidak ada”: diremehkan, diabaikan, atau
mungkin dilecehkan. Itulah sebabnya mungkin orang sekarang perlu bersolek atau
berias diri. Jadilah “masyarakat pesolek atau perlente” (dandy society). … Kini gaya
hidup demikian bukan lagi monopoli artis, model, pragawan (wati), atau selebriti
yang memang sengaja mempercantik diri untuk tampil di panggung. Namun gaya
hidup golongan penganut dandysm kini sudah meniru secara kreatif untuk
ditampilkan dalan kehidupan sehari-hari, seperti: ke mall, tempat kerja, ke kampus,
seminar, arisan, dan lain sebagainya (Ibrahim, 2004).

2.2 Konsumerime dan Gaya Hidup


Salah satu permasalahan yang menjangkiti mayarakat masa kini terutama di
perkotaan adalah gaya hidup konsumerisme. Kalau melihat asal katanya konsumsi,
tentu setiap manusia tidak bisa lepas dari kebiasaan ini karena sifat manusia yang
membutuhkan instrumen pemenuhan kebutuhannya. Namun istilah konsumerisme
lebih menekankan pada gaya hidup yang menganggap barang (materi) sebagai ukuran
kebahagiaan, prestise, dan sebagainya. Konsumsi dilakukan tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat kefaedahan atau utilitas saja, melainkan
mengonsumsi brand yang dicitrakan dari materi atau produk tersebut, sehingga
mereka merasa memperoleh prestise dari tindakan tersebut. Kecenderungan
konsumerisme merupakan prilaku pemakaian barang yang tidak menurut kebutuhan,
tetapi hanya berdasarkan tuntutan gengsi semata. Sehingga untuk mengakomodir
motif kebutuhan konsumen tersebut, maka para produsen/desainer menciptakan
produk-produk yang dikategorikan Emotional Product Motives, seperti: Product
emulation (persaingan), Pride (Kebanggaan), Recreation (kesukaan), dan Being
Destinative (Eksklusif).

6
Menurut Piliang (2003) budaya konsumerime merupakan jantung dari
kapitalisme —sebuah budaya yang di dalamnya berisi berbagai dusta, ilusi, halusinasi,
obsesi, kesemuan, artifisialitas, dan kedangkalan yang dikemas dalam wujud komoditi
lewat strategi hipersemiotika yang kemudian dikontruksikan secara sosial melalui
komunikasi ekonomi (iklan, show, dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic
power) kapitalisme— sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self
consciousness) yang sesungguhnya adalah pencitraan palsu.
Di dalam kehidupan modern, gaya hidup konsumerisme mendorong manusia
untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta stratifikasi
sosial seseorang. Chaney (2004) menyebutkan bahwa kapitalisme konsumsi benar-
benar telah ikut berperan penting dalam memoles gaya hidup dan membentuk
masyarakat konsumtif. Dalam konteks tersebut, maka wajar jika setiap orang bercita-
cita menyingkirkan kemiskinan dan sebaliknya ingin menjadi kaya. Cita-cita menjadi
kaya semakin kuat, karena pengaruh sistem ekonomi kapitalis neoliberal, kapitalisme
lanjut atau kapitalisme transnasional (Chang dan Gredel, 2008). Kapitalisme lanjut
berkaitan dengan ideologi pasar, bahkan melahirkan fundamentalisme pasar sehingga
uang memiliki posisi amat penting.
Dalam kapitalisme, uang menempati posisi sebagai ekuivalen universal dalam
masyarakat, karena uang mampu mengabstraksikan keinginan manusia dan memainkan
peranan tanpa batas. Dengan kata lain, orang bisa berbuat apa saja dengan uang. Selain
mampu mengabstraksikan keinginan manusia, uang juga memiliki nilai partikular
tertentu (nilai yang bisa diukur dengan benda). Nilai partikular dalam uang inilah yang
membuat orang berusaha dengan susah payah untuk mendapatkannya. Hal tersebut bisa
disederhanakan sebagai berikut: saya menginginkan sebuah benda, tetapi benda tersebut
hanya bisa saya miliki kalau saya memiliki uang yang mengandung nilai abstrak dan bisa
ditukarkan dengan benda tersebut. Di sini, barang diabstraksikan dengan nilai beli uang
(Hartono, 2007).
Kecenderungan untuk hidup bermewah-mewahan dan glamor yang sebelumnya
merupakan pola hidup golongan kaya, namun kini telah menular di kalangan menengah.
7
Masyarakat di kalangan tersebut bahkan berusaha meraih semua itu dengan berbagai
cara, mulai dari membeli barang dengan cara kredit hingga bekerja lebih keras (kerja
lembur yang melampaui fase ergotropik) untuk dapat membeli produk-produk yang up to
date meskipun produk-produk tersebut belum tentu menjadi kebutuhan mereka. eluruh
model baik disektor makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, mobil dan lain-lainnya
yang ditawarkan melalui iklan dengan berbagai propaganda yang menggiyurkan, seolah-
olah memaksa masyarakat untuk membeli. Konsumerisme pada perkembangannya
menggiring konsumen untuk menjadi belanja gaya hidup yang dirumuskan dalam iklan,
ketimbang belanja fungsi sebuah barang. Gaya hidup mengkondisikan setiap orang untuk
membeli ilusi-ilusi tentang status, kelas, posisi sosial, dan prestise. Kondisi peniruan
tidak terhindarkan, mengingat bahwa manusia memang memiliki hasrat, namun acap kali
tidak tahu apa yang dihasratinya, sehingga manusia sering berpaling pada orang lain
untuk menentukan pilihan. Hasrat tidak muncul dari imperatif ego, melainkan sering kali
berdasarkan pada peniruan terhadap apa yang dipertontokan oleh orang lain (Adian,
2006).
Kondisi masyarakat saat ini disebut pula masyarakat konsumtif (Baudrillard,
2004). Karena itu, pusat perbelanjaan merupakan arena sosial bagi pengembangan
hasrat, bahkan bisa pula disebut sekolah tempat mengajarkan dan mempraktekkan
cara-cara menjadi homo consumer dan homo hedonicus. Manusia sebagai konsumen
secara tidak langsung diperdaya dan terjebak pada fetisisme komoditas dan
menggunakan pasar sebagai tempat “sucinya”. Di sinilah manusia yang berbudaya
konsumtif melakukan ritual dalam bentuk kegiatan belanja (Atmadja, 2008).
Dampak dari pola kehidupan berdasarkan fitisisme, konsumerisme yang
diakumulasikan dalam gaya hidup dapat menimbulkan keranjingan atau “aholic”
untuk terus berhasrat memenuhi kedahagaan pada materi. Ketika mereka melintasi
dan memasuki pusat-pusat perbelanjaan (mall, boutique, show room mobil, counter
Hand phone, toko perhiasan, gerai makanan siap saji atau fast food dan sebagainya)
mereka selalu berhasrat untuk membeli barang-barang dengan motif abstrak, entah itu
dibutuhkan ataupun tidak. Jika hasrat untuk pemenuhan gaya hidup tersebut semakin
8
intensif, maka tidak menutup kemungkinan dapat memicu kemunculan pelbagai
kejahatan sistemik. Sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi, penipuan, pencurian,
dan sebagainya bukan disebabkan oleh kemiskinan, namun keserakahan untuk
terpuaskannya hasrat meraih materi (Maulana, 2010)

2.3 Peluang dan Tantangan Bagi “Desainer Kreatif”


Mencermati kondisi tersebut, maka untuk mengekspresikan gaya hidup
dibutuhkan aneka produk atau benda sebgai simbol status sosial bersifat dimanis
mengikuti mobilitas sosial atau kenaikan pendapatan seseorang. Penonton sama-sama
terjebak pada budaya tontonan. Mereka berprinsip sama, yakni kepuasan karena ditonton
dan menonton orang lain. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan. Sebagai
peluang karena desainer memiliki segmen pasar yang luas untuk menawarkan hasil
kreativitasnya dalam berbagai inovasi, guna memenuhi hasrat konsumen yang selalu
menuntut kebaruan, kenikmatan, kemantapan gaya hidup dan citra diri sebagai objek
tontonan (Atmadja, 2008).
Pada judul tulisan ini penulis memberi tanda kutif pada “desainer kreatif”
maksudnya para desainer kreatif dan bertanggung jawab dalam mendesain suatu produk
fungsional atau berupa media informasi yang tidak menawarkan pencitraan palsu.
Kemunculan Desain atau informasi yang ditawarkan hendaknya bersifat mendidik,
memandu dan mencerdaskan konsumen. Dalam mendesain hendaknya
mengimplementasikan prinsip-prinsip desain dengan baik, benar dan jujur. Tanda-tanda
yang ditanamkan diupayakan agar dapat membangkitkan kesadaran konsumen akan
fungsi produk, bukan mengarahkan pada makna konotatif yang paslu. Hal inilah yang
merupakan tantangan untuk pengembangan desain di masa depan.

III SIMPULAN
Manifestasi dari gaya hidup seseorang pada zaman modern, ternyata masih
terkait dengan fetisisme yang sebenarnya telah menggejala sejak zaman pra-modern,
hanya saja ada perbedaan pada objek fetisnya. Dahulu alam benda dijadikan sumber
pemuas kebutuhan psikis, namun kini produk-produk kreasi manusia ditempatkan

9
sebagai pemuas. Selain itu dalam gaya hidup juga tercermin ada konsumerisme. Ditandai
dengan cara pemenuhan barang yang tidak berorientasi pada nilai kefaedahan atau utilitas
saja, melainkan mengonsumsi brand yang dicitrakan dari materi atau produk tersebut.
Sehingga gaya hidup konsumerisme tak terhelakan dapat menimbulkan masyarakat yang
konsumtif dan berdampak negatif. Keterkaitan ketiga hal tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:

Fetisisme Konsumerisme

Memuja benda yang


Gaya Hidup Konsumtif
dianggap berjiwa.

Tujuan: Barang pemuas, prestise, bergaya dan lain-lain

10
DAFTAR PUSTAKA

Adian, G. 2006. “Hiperfilsafat”. Dalam A. Adlin ed., Menggeledah Hasrat: Sebuah


Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra.
Atmadja, N.B. 2008. Bali pada Era Globalisasi Pulau Seribu Pura tidak Seindah
Penampilannya. Yogyakarta: LKiS.
Barthes, R. 2004. Mitologi. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana
Baudrillard, J.P. 2004. Masyarakat Konsumsi. (Wahyunto Penerjemah). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Cassirer, E. 1944. An Essay On Man, Yale University Press.
Chaney, D. 2004. Life Styles Sebuah Pengantar Komprehensif. (Nuraeni
Penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
Chang, H.J dan Gredel. H 2008. Membongkar Mitos Neolib Upaya Merebut Kembali
Makna Pembangunan. (Muh. Gusti Zainal Penerjemah). Yogyakarta: INSIST
Press.
Hartono, A. 2007. Deluze + Guattari Skizoanalisis Sebuah Pengantar Geneologi
Hasrat. Yogyakarta: Jalasutra
Hebdige, D. 1987 Subculture, The Meaning of Style. England: Clays Ltd, St Ives plc.
Ibrahim, I. . 2004. “Kata Pengantar ‘Kamu Bergaya Maka Kamu Ada!”: Masyarakat
Pesolek dan Ladang Permainan Gaya Hidup”. Dalam D. Chaney, Life Styles
Sebuah Pengantar Komprehensif. (Nuraeni Penerjemah). Yogyakarta:
Jalasutra.
Koening, S. 1957. Mand and Society, basic of Sociology second edition . New York:
Banners Inc
Maulana,Y. 2006 Fetisisme Komoditas Tubuh, dan Perilaku Politik [cited 2010 April
23] Available from: URL: http://www.yusufmaulana.com/2010/04/ fetisisme-
komoditas-tubuh-dan-perilaku.html
Piliang, A.Y. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta : Penerbit Jalasutra.
Pujilaksono,S. 2009 Pengantar Antropologi. Malang: UMM Press.
Soekanto, S, 1993. Kamus sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali

11

Anda mungkin juga menyukai