Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS GAYA HIDUP DALAM MASYARAKAT

Dosen Pengampu : Asri Neli Putri M.Pd.E

Disusun Oleh
Diah Santika (20306011006)
Sukma Setia Ningsih (20306011015)

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


(STKIP) ‘AISYIYAH RIAU
PEKAN BARU
TH 2023
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana guna memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh
ibu Asri neli putri M.Pd.E selaku dosen pengampu sekaligus sumber inspirasi bagi penulis
didalam mata kuliah sosiologi ekonomi Tugas ini berjudul “Analisis Gaya hidup dalam
masyarakat”

Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan
sahabatnya yang setia yang telah mempersembahkan hidupnya untuk Pendidikan umat
manusia melalui ucapan, perbuatan, contoh teladan, bimbingan dan petunjuknya, agar dapat
melaksanakan fungsi khekalifaannya di muka bumi ini.

Selanjutnya semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, informasi serta dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
memperluas wawasan paada mata kuliah sosiologi ekonomi ini khususnya. Harapan kami
semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca. Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini, kedepanya.

Pekanbaru, 08 JUNI 2023

penulis
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gaya Hidup
B. Habitat Perkembangan Gaya Hidup
C. Gaya Hidup dan Gender
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era masyarakat modern, apalagi di era masyarakat post-modern, bagaimana
seseorang menampilkan dirinya di hadapan orang lain, dan bagaimana seseorang
membangun identitas di hadapan lingkungan sosialnya dalam banyak hal dipengaruhi
oleh gaya hidup dan konstruksi dirinya menyikapi tuntutan masyarakat dan
kepentingan yang mela- tarbelakanginya. Sementara itu, gaya hidup seperti apa yang
dikembangkan dan ditampilkan seseorang dalam lingkungan sosialnya, umumnya
dipengaruhi oleh ekspansi kekuatan kapital atau industri budaya yang sengaja
merancang dan mendorong perkembangan gaya hidup untuk kepentingan akumulasi
modal dan keuntungan.
Gaya hidup (life style) berbeda dengan cara hidup (way of life). Cara hidup
ditampilkan dengan ciri-ciri, seperti nor- ma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dan
mungkin juga suatu komunitas dialek atau cara berbicara yang khas. Sementara itu,
gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang ia
konsumsi, dan bagaimana ia bersikap atau berperilaku ketika ada di hadapan orang
lain. Gaya hidup bukan sekadar aktivitas di atau mengisi waktu luang. Gaya hidup
tumbuh dan dikembangkan oleh kekuatan kapital untuk kepentingan membangun
pangsa pasar, memperbesar keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam
mengonsumsi berbagai produk industri budaya.
Warga masyarakat yang terperangkap dalam pusaran dan perkembangan gaya
hidup, ketika melakukan proses reflektif, bernegosiasi antara diri dan tuntutan pasar
sering kali tidak berdaya ditelikung cengkeraman kekuatan kapitalis yang secara
kreatif senantiasa menawarkan produk-produk industri budaya yang menarik dan
seolah harus menjadi kebutuhan konsumen. Kebutuhan untuk menampilkan citra diri
secara personal, kedirian, keunikan atau image-nya di hadapan kelompok sosialnya,
sering kali menyebabkan ma- syarakat terbelenggu dalam pusaran gaya hidup yang
seolah tak pernah putus. Seseorang ketika memutuskan membeli handphone baru,
sering kali bukan karena handphone lama yang ia miliki telah rusak atau tidak lagi
bisa digunakan,
melainkan lebih banyak didorong karena kebutuhan untuk menjaga citra diri, image
bahwa ia bukan termasuk yang ketinggalan zaman atau karena ia sebetulnya tengah
berusaha menjaga citra sebagai bagian dari kelompok kelas sosial atas yang
selayaknya memiliki handphone seri terbaru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gaya Hidup
Dalam kajian Sosiologi Ekonomi, perilaku konsumsi dan aspek budaya sering
kali dipahami sebagai dua hal yang tak terpisahkan. Perilaku seseorang membeli
produk budaya, mengonsumsi produk budaya dan memanfaatkannya, se lain
dipengaruhi berbagai faktor sosial: kelas, perbedaan usia, gender, dan lain-lain,
yang tak kalah penting perilaku konsumsi acapkali juga dipengaruhi dan dibentuk
oleh gaya hidup. Yang dimaksud gaya hidup di sini adalah adaptasi aktif individu
terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan
bersosialisasi dengan orang lain. Gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan,
pandang- an dan pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan
untuk hidup. Cara berpakaian, cara kerja, pola konsumsi, bagaimana individu
mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup.
Gaya hidup dipengaruhi oleh keterlibatan seseorang dalam ke- lompok sosial, dari
seringnya berinteraksi dan menanggapi berbagai stimulus di sana (Adlin (Ed.),
2006: 36-39)
Menurut Piliang (dalam Adlin (Ed.), 2006: 81), beberapa sifat umum dari gaya
hidup, antara lain: (1) gaya hidup sebagai sebuah pola, yaitu sesuatu yang
dilakukan atau tampil secara berulang-ulang; (2) yang mempunyai massa atau
pengikut sehingga tidak ada gaya hidup yang sifatnya personal; ;dan (3)
mempunyai daur hidup (life cicle), artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak,
surut, dan mati. Gaya hidup dibentuk, diubah, dikembangkan sebagai hasil dari
interaksi antara disposisi habitus dengan batas serta berbagai kemungkinan
realitas.
Gaya hidup adalah pola-pola Tindakan yang membedakan satu orang dengan
yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, menurut Piliang (dalam Adlin, 2006: 71),
selalu ada hubungan timbal balik dan tidak dapat dipisahkan antara keberadaan
citra (image) dan gaya hidup (life style). Gaya hidup adalah cara manusia mem-
berikan makna pada dunia kehidupannya, membutuhkan medium dan ruang untuk
mengekspresikan makna tersebut, yaitu ruang bahasa dan benda-benda, yang di
dalamnya citra mempunyai peran yang sangat sentral. Di pihak lain, citra sebagai
sebuah kategori di dalam relasi simbolis di antara manusia dan dunia objek,
membutuhkan aktualisasi dirinya ke dalam berbagai dunia realitas, termasuk gaya
hidup.
Seseorang yang memutuskan untuk membeli sebuah tas merek Hermes, Louis
Voiton, atau yang lain, misalnya, apakah ia melakukan karena semata didorong
kebutuhan untuk me- miliki tas sebagai wadah dompet, lipstik, dan barang-barang
pernik lainnya, ataukah lebih didorong keinginan untuk menunjukkan dari mana
kelas sosial dia berasal? Ketika se- seorang mengonsumsi sesuatu, bukan sekadar
karena ingin membeli fungsi pertama atau fungsi inheren dari produk yang
dibelinya itu, tetapi sebetulnya ia juga berkeinginan untuk membeli fungsi sosial
yang lain yang disebut Adorno (1960) sebagai ersatz, nilai pakai kedua sebuah
produk (lihat: Evers, 1988). Artinya, seseorang membeli tas, tidak selalu karena ia
butuh tempat berbagai barang miliknya, tetapi bisa juga karena didorong tujuan-
tujuan sosial yang lain: prestise, kepentingan untuk memperoleh modal sosial
sebagai tiket menjalin relasi dengan peer-group-nya, dan lain sebagainya. Seperti
dikatakan Adorno, bahwa komodifikasi budaya atau kebudayaan yang
diindustrialisasikan-yang dirancang berdasarkan kalkulasi-kalkulasi keuntungan-
hanya akan menghasilkan penipuan massa (lihat: Ibrahim (Ed.), 2004: 328)
Dalam perspektif Sosiologi Ekonomi, membeli dan mengonsumsi produk-
produk budaya, bukan sekadar aktivitas ekonomi: mengonsumsi produk atau
menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiel, tetapi
lebih dari itu aktivitas ini juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas, dan
komunikasi atau dalam istilah John Storey disebut bagian dari budaya pop
(Storey, 2007: 169).Menurut Machin & Leeuwen (2005), berbeda dengan
individual style (gaya pribadi) dan social style (gaya sosial), yang dimaksud life
style (gaya hidup) di sini adalah gabungan dari kedua gaya pribadi dan gaya sosial
yang muncul pada wilayah sosial tertentu, merupakan aktivitas bersama dalam
mengisi waktu senggang, dan sikap dalam menghadapi isu sosial tertentu.
Dalam berbagai kasus, seseorang biasanya menggunakan gaya hidup dalam
kehidupannya sehari-hari untuk mengidentifikasi dan menjelaskan secara lebih
luar mengenai identitas dan afiliasi orang tersebut (Chaney, 2003). Gaya hidup
menunjukkan aspek homogenitas yang lebih kecil. dan meningkatkan aspek
pilihan seorang individu dalam bersikap, berpakaian termasuk memilih aktivitas
pleasure berdasarkan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan, dan perbedaan
asal negara (Machin & Leewen, 2005).
B. Habitat Perkembangan Gaya Hidup
Di masyarakat, gaya hidup biasanya tumbuh bersamaan dengan globalisasi,
perkembangan pasar bebas, dan transfor- masi kapitalisme konsumsi. Melalui
dukungan iklan, budaya populer, media massa, dan transformasi nilai modern
yang dilakukan, kapitalisme konsumsi akan memoles gaya hidup dan membentuk
masyarakat konsumen. Gaya hidup dan perilaku konsumtif ibaratnya adalah dua
sisi mata uang yang menjadi habitat subur bagi perkembangan kapitalisme. Di
masyarakat post-modern, tidak ada orang yang bergaya tanpa modal atau hanya
mengandalkan simbol-simbol budaya. Seseorang dikatakan memiliki gaya hidup
yang modern, ketika ia mengonsumsi dan memamerkan simbol-simbol ekonomi
yang berkelas, dan melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan dana tidak
sedikit. Seseorang yang mi- num kopi di Starbuck atau Exelso yang harga
secangkirnya sekitar 50 ribu rupiah, tentu lebih bergaya bila dibandingkan orang
yang minum kopi di warung pinggir jalan dengan harga cuma sepersepuluhnya.
Di banyak masyarakat, gaya hidup cenderung berkembang cepat, karena
didorong keterbukaan, pluralisme tindakan, dan aneka ragam otoritas. Di era
masyarakat konsumen, orang cenderung bersedia mengeluarkan banyak uang
untuk membiayai penampilan, karena biaya yang mereka keluarkan adalah bentuk
investasi dalam rangka membangun citra diri dan makna personal yang dinilai
lebih penting.
Ciri atau karakteristik yang menandai perkembangan masyarakat post-modern
yang sering kali terperangkap ke dalam pusaran gaya hidup dan citra diri yaitu:
Pertama, ketika budaya tontonan (a culture of spectacle) menjadi cara dan media
bagi warga masyarakat mengekspresikan dirinya. Kedua, ketika di masyarakat
tumbuh dan berkembang ke- lompok masyarakat pesolek (dandy society) yang
lebih mementingkan penampilan diri dari pada kualitas kompetensi yang
sebenarnya. Ketika gelar lebih penting daripada pengetahuan atau ketika baju
yang keren lebih penting daripada keahlian, maka di sanalah akan muncul
masyarakat pesolek. Ketiga, estetisasi penampilan diri, yakni ketika gaya dan
desain menjadi lebih penting dari pada fungsi. Seseorang yang menempatkan
dirinya kelas elite, niscaya akan rela koceknya puluhan juta rupiah hanya sekadar
untuk membeli tas branded Louis Voiton daripada membeli tas kulit biasa yang
cuma 300-500 ribu rupiah karena yang lebih dipenting kan adalah bagaimana ia
menjaga image pada penampilan dirinya di hadapan publik. Keempat,
penampakan luar atau lookism. Artinya, bila seseorang lebih baik dalam tampilan.
maka orang itu cenderung akan dinilai sebagai orang yang lebih sukses dalam
kehidupan daripada orang yang berpe- nampilan kumuh, kucel, dan jauh dari
keren.
Di masyarakat post-modern, perkembangan gaya hi dup yang makin
kapitalistik tidak hanya tumbuh di wilayah profan atau hanya terkait dengan hal-
hal yang duniawi, tetapi juga telah merambah ke wilayah yang sakral, kehidupan
umat beragama. Dominasi dan penetrasi kekuatan kapitalis, dewasa ini tidak
hanya di mal-mal, fashion, fastfood atau pada produk-produk industri budaya
yang menjadi simbol atau aksesori penampilan yang berkelas, tetapi juga telah
merambah wilayah agama. Spiritualisme baru seperti wisata religius, umrah
bersama kiai beken, dan exclusive moslem fashion, merupakan bentuk kemasan
kapitalisme yang diolah dalam bungkus ritual agama, namun tidak bisa menutupi
kenyataan bahwa berbagi produk spiritualisme baru ini tujuannya adalah untuk
mencari keuntungan.
Serbuan gaya hidup lewat globalisasi industri media massa, televisi, dan
industri iklan, selain merambah wilayah agama, dalam beberapa hal juga
merambah ke ruang-ruang privat. Bahkan, di televisi atau media massa populer
lain, kita sekarang dengan mudah melihat iklan-iklan yang menawarkan produk
produk kecantikan. Di program televisi swasta dan televisi kabel, berbagai reality
show yang menampilkan acara kencan buta, perselingkuhan, dan lain sebagainya
kini juga bukan lagi hal yang asing. Pendek kata, diera masyarakat post-modern
sepertinya tidak ada lagi ru- ang atau ranah kehidupan manusia yang steril dari
penetrasi kekuatan kapitalisme yang menawarkan kemasan gaya hidup.

C. Gaya Hidup dan Gender


Gaya hidup merupakan cara-cara terpola dalam meng- investasikan aspek-
aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolis, sekaligus
merupakan cara bermain dengan identitas. Dengan menampilkan gaya hidup yang
dipilih, seseorang bukan hanya untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan dirinya
sendiri, tetapi sekaligus juga sebagai cara untuk memperlihatkan atau meneguhkan
dari kelompok sosial manakah mereka sebetulnya ingin dipersepsi orang lain:
sebuah bentuk permainan identitas sosial yang dikembangkan seseorang untuk
menampilkan citra dirinya.

Gaya hidup adalah bagian dari ciri masyarakat modern, terlebih masyarakat
post-modern. Gaya hidup didefinisikan sebagai pola-pola tindakan yang
membedakan satu orang de- ngan yang lain. Gaya hidup bukan monopoli kelas
menengah ke atas, tetapi lintas kelas. Gaya hidup juga bukan hanya monopoli
kaum perempuan, tetapi juga menjadi kebutuhan -laki. Kaum lelaki yang termasuk
metroseksual, sering kali tidak kalah konsumtif dibandingkan kaum perempuan
yang suka berdandan dan selalu ingin tampil modis, wing, dan bergaya. Kaum
laki-laki juga sering kali ingin tampil macho, berkelas atau bergaya dengan cara
mengonsums berbagai produk industri budaya yang berkelas, yang menjad bagian
dari identitas sosialnya. Tetapi, dalam beberapa hal, gaya hidup yang ditampilkan
masyarakat sering kali berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Sebuah studi yang dilakukan Mintel menemukan bahwa dalam hal pakaian,
kaum perempuan (79) umumnya lebih memiliki keinginan dan kebutuhan untuk
tampil modis daripada kaum laki-laki (40). Sementara itu, kaum laki-laki, dalam
banyak hal lebih menyukai mendengarkan musik daripada kaum perempuan (27),
dan kaum laki-laki (34) juga lebih menyukai jalan-jalan dan minum daripada
kaum perempuan (19). Bagi kaum laki-laki, hangout di jeda me- reka bekerja
kemudian minum kopi di resto-resto yang ada di berbagai mal sering kali lebih
banyak dilakukan daripada kaum perempuan. Kaum perempuan (30), dalam
banyak hal lebih senang dan fokus pada penampilan pribadi daripada laki-laki (3).
Kaum laki-laki umumnya lebih menyukai olah- raga dan memiliki hobi tertentu
daripada kaum perempuan. Kaum laki-laki juga lebih menyukai kendaraan dan
lebih mementingkan memiliki kendaraan tertentu sebagai alat transportasi
sekaligus aksesoris untuk memperlihat siapa dirinya daripada perempuan yang
cenderung lebih menyukai tabungan.

Bagi kekuatan kapitalis, dibandingkan laki-laki, perem puan dalam banyak


kasus memang lebih sering dijadikan objek penawaran dan target pangsa pasar. Di
mata kekuatan industry budaya, tampaknya telah disadari benar bahwa
kebanyakan perempuan cenderung lebih mengedepankan penampilan dan kesan
luar, serta cenderung berperilaku seolah-olah di atas panggung. Terlepas bahwa
dalam kenyataan kaum laki-laki belakangan ini juga makin banyak yang tampil
metrosek- sual, tetapi nyaris semua kaum perempuan memang lebih suka
berdandan, bersolek untuk mempercantik diri. Boleh dikata tidak ada bagian dari
tubuh perempuan yang steril dari sentuhan dan tawaran berbagai produk industri
budaya. Perempuan yang kebanyakan takut dengan efek penuaan, kulit yang mulai
keriput dan flek yang muncul di wajah, maka jangan heran jika alokasi anggaran
untuk perawatan tubuh perempuan umumnya cukup besar.

Dalam konteks pemasaran produk, gaya hidup sering kali dipahami dalam dua
pengertian. Pertama, gaya hidup bukan kategori statis, melainkan harus berfokus
pada tren sosial, baik dalam variabel struktural maupun sikap. Kedua, analisis
tentang gaya hidup harus berfokus pada implikasi-implikasi kultural dari tren
sosial. Dengan kata lain, terlepas apakah yang dibidik atau yang menjadi target
pasar itu kaum laki-laki atay perempuan, bagi kekuatan kapitalis atau kekuatan
industri budaya, biasanya sejak awal telah diskenario sedemikian rupa bahwa
yang namanya gaya hidup dan keinginan konsumen bukanlah hal yang statis,
melainkan sesuatu yang terus- menerus harus berubah, konsumen senantiasa
diskenario untuk selalu haus akan produk-produk industri budaya yang up-to-date,
dan konsumen dikonstruksi sedemikian rupa agar tidak pernah jenuh untuk terus
menguras kocek-nya guna membeli dan mengonsumsi produk-produk industri
budaya yang membanjiri pasar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gaya hidup (life style) berbeda dengan cara hidup (way of life). Gaya hidup tumbuh
dan dikembangkan oleh kekuatan kapital untuk kepentingan membangun pangsa
rasar, memperbesar keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam
mengonsumsi berbagai produk industri budaya. Beberapa sifat umum dari gaya hidup,
antara lain: (1) gaya hidup sebagai sebuah pola: (2) yang mempunyai massa; dan (3)
mempunyai daur hidup (life cicle).
Ciri atau karakteristik yang menandai perkembangan masyarakat post-modern
yang sering kali terperangkap ke dalam pusaran gaya hidup dan citra diri, yaitu:
Pertama, ketika budaya tontonan (a culture of spectacle) menjadi cara dan media bagi
warga masyarakat mengekspresikan dirinya. Kedua, ketika di masyarakat tumbuh dan
berkembang kelompok masyarakat pesolek (dandy society) yang lebih mementingkan
penampilan diri daripada kualitas kompetensi yang sebenarnya. Ketiga, estetisasi
penampilan diri. Keempat, penampakan luar atau lookism.
Gaya hidup bukan monopoli kelas menengah ke atas, tetapi lintas kelas. Gaya
hidup juga bukan hanya monopoli kaum perempuan, tetapi juga menjadi kebutuhan
laki-laki. Kaum laki-laki yang termasuk metroseksual, sering kali tidak kalah
konsumtif dibandingkan kaum perempuan yang suka berdandan dan selalu ingin
tampil modis, wangi, dan bergaya. Menurut David Chaney (2004), tema-tema khas
yang acap kali diperbincangkan dalam diskusi tentang gaya hidup, antara lain: (1)
penampakan luar (surfaces); (2) kedirian (selves); dan (3) sensibilitas (sensibilities).
B. SARAN
Sebagai seorang manusia tidak dapat dipungkiri tidak luput dari kesalahan dan khilaf.
Maka besar kemungkinan dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan baik dari dalam segi penulisan kata ataupun kurangnya referensi yang
dimiliki oleh penulis. Maka dari itu saran ataupun kritik sangat diperlukan untuk
dapat membangun kreativitas dalam penulisan makalah selanjutnya
C. DAFTAR PUSTAKA
Buku Sosiologi ekonomi Dr.Bagong Suyanto

Anda mungkin juga menyukai