Anda di halaman 1dari 17

RELASI ANTARA SYARIAT, AKHLAQ DAN TASAWWUF;

HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA. HAKIKAT DAN


MAHABBAH, DAN KESELERASAN ANTARA SYARIAT DAN
TASAWWUF

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

TEOSOFI

Dosen Pengampu

Muhammad Amiruddin,Lc., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Fatimatus sholihah (17930002)


2. Hamidah Nur’Aini Muslim (17930027)

JURUSAN FARMASI

KELAS A

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AKADEMIK 2019-2020


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Secara garis besar, ajaran Agama Islam mengandung tiga hal pokok,
yaitu : aspek psikis atau disebut tasawwuf, norma atau hukum disebut
syariah, aspek perilaku (behavioral) disebut akhlak. Ketiganya merupakan
satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Artinya, Tasawwuf tanpa syari’ah
dan akhlak adalah omong kosong, demikian juga Tasawwuf harus berdiri
diatas pondasi Syariah, dan keduanya haruslah dijalin dengan akhlak.
Syari’ah tanpa akhlak adalah kemunafikan, Tasawwuf tanpa akhlak adalah
kesesatan.

Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yang melakukan perbuatan


baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu
termasuk ke dalam kategori kafir. Seseorang yang mengaku beraqidah atau
beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang itu
disebut fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan
syariah tetapi dengan landasan aqidah yang tidak lurus disebut munafik.

Pada dasarnya tasawwuf bersifat batin. Sedangkan yang bersifat lahir


adalah syari’ah/ syari’at, dan akhlak merupakan bentuk implementasi dari
syariat dan tasawwuf. Syari’at merupakan ajaran islam yang tersimpul dalam
ibadah yang mengambil bentuk sholat, puasa, zakat, haji dan ajaran- ajaran
mengenai akhlak islam. Aspek lahir (syari’at), akhlak dan aspek batin
(tasawuf) tidak dapat dipisahkan sehingga antara syari’at dan tasawuf
memiliki keterkaitan yang sangat erat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana relasi antara syariat, akhlaq dan tasawwuf serta hubungan


antara ketiganya?

2. Bagaimana hakikat dan mahabbah serta keselarasan antara syariat dan


tasawwuf?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui relasi antara syariat, akhlaq dan tasawwuf serta


hubungan antara ketiganya?

2. Untuk mengetahui hakikat mahabbah serta keselarasan antara syariat dan


tasawwuf?
BAB II
2.1 Relasi antara Syariat, Akhlaq dan Tasawwuf serta Hubungan antara
Ketiganya

A. Pengertian syariat

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur


seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan,
syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.
Secara umum Syariah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit
(Syaltut, 1996):

a. Syariah dalam Arti Luas


Dalam arti luas “al-syariah” berarti seluruh ajaran Islam yang
berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku
batin, sistem kepercayaan, doktrinal, maupun tingkah laku konkrit,
ilegal-normal yang individual dan kolektif.
b. Syariah dalam Arti sempit
Sedangkan dalam arti sempit “al-syariah” berarti norma-norma
yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku
kolektif. Berdasarkan pengertian ini, “al-syariah” dibatasi hanya
meliputi ilmu fikih dan usul fikih.
B. Pengertian akhlaq

Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al


akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak
adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana
perbuatan itu lahir secara spontan tanpa berfikir untung atau rugi
(Asmaran, 2002).
Akhlak merupakan manivestasi nilai dari syariat dan Islam.
Akhlak merupakan konsep kajian terhadap kajian akhlak adalah tingkah
laku manusia, atau tepatnya nilai dari tingkah lakunya, yang bisa bernilai
baik (mulia) atau sebaliknya bernilai buruk (tercela). Kualitas
keberagamaan seseorang justeru ditentukan oleh nilai akhlaknya (Hajjaj,
2013).
Akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya
beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusyu`annya;
berjuang dilihat dari kesabarannya; haji dari kemabrurannya; ilmu dilihat
dari konsistensinya dgn perbuatan; harta dilihat dari aspek dari mana dan
untuk apa; jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan bukan apa
yang diterima. Akhlak Islam bersifat sacral, absolut, imperatif, akurat,
universal dan memiliki makna ukhrawi (Hajjaj, 2013).
Dikatakan sacral, karena norma-normanya berhubungan dan
terkait dgn Allah serta merupakan ibadah kepadaNya. Dikatakan absolut,
dalam pengertian memiliki kemutlakan sebagai standar baik dan buruk,
benar atau salah secara baku dan tidak berubah-ubah baik karena
perbedaan budaya masyarakat maupun perkembangan waktu. Dikatakan
imperatif, karena norma-normanya mengikat dan memaksa (Asmaran,
2002).
Dikatakan akurat, karena norma-normanya itu sangat tepat
sebagai alat untuk mengendalikan manusia dan selaras dgn kepentingan
penataan kehidupan yang damai dan harmonis. Dikatakan universal,
karena berlaku dimanapun dan kapanpun. Dan bersifat ukhrawi, dalam
pengertian bahwa keuntungan dari pelaksanaannya tidak hanya dirasakan
sekarang di dunian ini saja tetapi nanti juga di akhirat (Asmaran, 2002).

C. Pengertian tasawwuf
Tasawwuf menurut istilah (terminologi) berdasarkan pendapat
dari Al-Junaidi adalah kegiatan membersihkan hati dari yang mengganggu
perasaan manusia , memadamkan kelemahan, menjauhi keinginan hawa
nafsu, mendekati hal hal yang di ridhai Allah, bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memberikan nasihat kepada semua orang, memegang dengan erat
janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah
dalam hal syari'at (Suteja, 2015).
Pengertian tasawwuf menurut para ulama:
a. Syekh Abdul Qadir al-Jailani (470-561 H) (1077-1166 M)
Berpendapat bahwa tasawwuf adalah mensucikan hati dan
melepaskan nafsu dari pangkalnya denngan khalawt, riyadloh, taubah
dan ikhlas (Alba, 2012).
b. Al-Junaidi (298 H)
Berpendapat bahwa tasawwuf adalah membersihkan hati dari yang
mengganggu perasaan, memadamkan kelemahan, menjauhi seruan
hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada
ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua manusia,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti
contoh Rasulullah dalam hal syari‟at.(Alba, 2012).
c. Syaikh Ibnu Ajibah (18 M)
Mendefinisikan tasawwuf sebagai ilmu yang membawa seseorang
agar bisa bersama dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui penyucian
jiwa batin dan mempermanisnya dengan amal shaleh dan jalan
tasawwuf tersebut diawalai dengan ilmu, tengahnya amal dan akhirnya
adalah karunia Ilahi (Alba, 2012).
D. Hubungan antara Syariat, Akhlaq, dan Tasawwuf
1. Hubungan antara Syariat dan Tasawwwuf

Menurut sebagian ulama, syari’at/syari’ah dan tasawwuf


merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena
keduanya merupakan perwujudan kesadaran ilmu yang mendalam.
Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek
lahiriyah, sedangkan tasawwuf mencerminkan perwujudan pengalam iman
pada aspek batiniyah. Aspek lahir dan batin keduanya tidak dapat
dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa
aspek batin adalah kemunafikan, sedangkan aspek batin tanpa aspek lahir
adalah bid’ah (Kartanegara, 2006).

Ungkapan diatas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain,


sebagai berikut:

Ibn ‘Ujaibat dalam kitabnya iqazh al-Himam fi Syarb al- Hikam


menyebutkan: Tiada tasawwufn kecuali dengan fiqh, karena hukum-
hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan
tiada fiqh kecuali dengan tasawwuf, karena tiada amal yang diterima
kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-
benarnya, dan keduanya (tasawwuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai
dengan iman.

Imam Malik menegaskan : Barang siapa yang bertasawwuf tanpa


mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barang siapa yang berfiqh
tanpa tasawwuf, maka ia menjadi fasiq, dan barang siapa yang
mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat.

Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan :


Barang siapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran
batiniyahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapai haqiqat.

Imam Ali Ad-Daqqaq mengatakan : ”Perlu diketahui bahwa


sesungguhnya syariat itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya syariat itu
wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga
hakikat adalah syariat untuk mengenal Allah (makrifat kepada Allah).
Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah.

Imam Syafi’i juga mengatakan, ”Sesungguhnya demi Allah saya


benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya
mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya
tidak dapat merasakan kelezatan taqwa. Sedangkan orang yang hanya
menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka
bagaimana bisa dia menjadi baik?

Dalam belajar ilmu tasawwuf ada orang yang mempelajarinya


secara matang sehingga benar dalam mengimplementasikannya. Dan ada
juga yang tidak matang, sehingga menimbulkan citra negatif saat
mengamalkannya karena dilakukan secara membabi buta.

”Tasawwuf bagi Fiqih laksana Ruh untuk jasad”

”Mengamalkan Fiqih tanpa Tasawwuf bagai jasad tanpa Ruh”


”Sedangkan mengamalkan Tasawwuf tanpa fiqih laksana Ruh
tanpa jasad”

Al-Ghazali mengatakan : Tidak akan sampai ketingkat yang


terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah
menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan
ibadah, yaitu syari’ah). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan (tidak dapat
menembus kedalam batinnya (tujuan ibadah) kecualin setelah
menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah). Memperhatikan
pendapat-pendapat diatas, terlihat secara jelas bahwa antara syari’ah dan
tasawwuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak dapat
dipidahkan. Karena antara syari’ah dengan tasawwuf saling berketerkaitan
sekali.

2. Hubungan antara Tasawwuf dan Akhlak

At-Tahawani (abad II H), penyusun Kasysyaf Ishthilahat al-Funun


mendefinisikan ilmu akhlak (ilmu akhlak) yang disebut dengan istilah
ilmu-ilmu perilaku (‘ulum as-suluk) sebagai “pengetahuan tentang apa
yang baik dan tidak baik” (Kartanegara, 2006).

Dengan bahasa lain, ilmu ini membahsa tentang diri manusia dari
segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragama
potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Ia
juga membahas perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan
manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari
perilaku buruk dan rendah.Ini berarti bahwa ilmu akhlak memiliki kaitan
erat dengan kajian-kajian psikologi, sebab baginya ia seperti premis-
premis yang membantu meluruskan perilaku manusia hingga menjadi
pribadi yang baik dan mampu mengontrol keinginannya dalam berbuat
segala sesuatu (Kartanegara, 2006).

Jika Tasawuf dihubungkan dengan Akhlak, maka seseorang


menjadi ikhlas dalam beramal dan berjuang semata-mata karena Allah,
bukan karena maksud yang lain. Hal–hal yang harus diamalkan manusia
biasanya dijelaskan dalam ilmu Akhlak, termasuk persoalan
Kemasyarakatan dan jalan hidup yang harus ditempuh manusia. Jelaslah
bahwa Akhlak adalah permulaan dari tasawuf dan tasawuf adalah ujung
dari Akhlak (Hajjaj, 2013).

Menurut kaum sufi, mental yang kotor tidak bisa diterapi dari
aspek lahiriah saja. Untuk itu pada tahap awal memasuki kehidupan sufi,
seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan keruhanian
yang cukup berat. Sistem pembinaan Akhlak dalam dunia sufi disusun
sebagai berikut (Nasution, 1978):

a. Takhalli

Yaitu langkah membersihkan diri, misalnya dengan taubat. Hati


dihiasidengan rasa ikhlas dengan muhasabah.

b. Tahalli

Yaitu langkah menghiasi diri dengan takwa. Hati dihiasi dengan


siddiq dan jiwa dihiasi dengan musyahadah.

c. Tajalli

Yaitu langkah memantabkan, memperdalam, dan memelihara diri


dengan istiqamah. Hati dihiasi dengan tuma’ninah, dan jiwa dengan
ma’rifah.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat


menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian
ibadah seperti shalat, puasa, zikir, dan lain sebagainya, yang
semuanya itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang
dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan
akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan,
bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan takwa,
dantakwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-
Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah
yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar , mengajak orang
pada kebaikan dan mencegah orang darihal-hal yang tidak baik. Hal, itu
dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq biakhlaqillah, yaitu berbudi
pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-takhalluq biakhlaqillah, yaitu
mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah (Nata, 1996).

3. Hubungan antara Tasawwuf, Syariat dan Akhlak

Menurut pandangan al-Ghazali sejak abad ketiga hijriyah ilmu-


ilmu agama Islam : Tasawwuf, Syariat, dan Akhlak masing-masing berdiri,
akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap
disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan
prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu
dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya.
Yang berkaitan dengan akhlak, yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah
disebut Syariat, dan yang berkaitan dengan ilmu psikis disebut ilmu jiwa
(ilmu tasawuf) (Kartanegara, 2006).

Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisai ilmu-


ilmu agama Islam sebagaimana tersebut diatas sangat menguntungkan,
akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat islam sebagai suatu umat,
maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat islam,
karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering
terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir
mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikkan)
dikalangan umat islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana
yang benar, apakah amal lahir atau amasl bathin, dan mana yang lebih
utama, apakah amal lahir ataukah amal bathin (Kartanegara, 2006).

2.2 Hakikat Mahabbah Serta Keselarasan Antara Syariat Dan Tasawwuf

A. Pengertian mahabbah secara etimologi

Mahabbah adalah bentuk masdar dari kata yang mempunyai tiga arti yaitu
(Damis, 2011);
a. Melazimi dan tetap, jika dihubungkan dengan cinta maka dapat
dipahami bahwa dengan melazimi sesuatu akan dapat menimbulkan
keakraban yang merupakan awal dari munculnya rasa cinta
b. Biji sesuatu dari yang memiliki biji, dapat dipahami dengan melihat
pungsi biji pada tumbuh-tumbuhan adalah benih kehidupan bagi
tumbuh-tumbuhan. Karena itu, al-Al-mahabbah merupakan benih
kehidupan manusia minimal sebagai semangat hidup bagi seseorang
yang akan mendorong usaha untuk meraih sesuatu yang dicintai
c. sifat keterbatasan, dapat dipahami dengan melihat manusia sebagai
subjek cinta, sangat terbatas dalam meraih sesuatu yang dicintai
sehingga membutuhk bantuan Sang Pemilik Cinta yang sesungguhnya,
yaitu Allah swt.

Berdasarkan pengertian lain, al-al-mahabbah berasal dari kata al-habab,


artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat, sehinggah al-mahabbah adalah
luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu sang kekasih.

B. Pengertian mahabbah secara Terminologi

Pengertian al-mahabbah berdasarkan pandangan dari beberapa golongan


kaum Teolog diantaranya sebagai berikut (Damis, 2011);

1. Webster menyatakan bahwa Mahabbah berarti; keredaan Tuhan yang


diberikan kepada manusia, keinginan manusia menyatu dengan
Tuhan, dan perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang
lainnya
2. Al-Razi mengatakan bahwa al-mahabbah merupakan salah satu
bahagian dari iradah. Iradah itu tidak berkaitan kecuali apa yang dapat
dijangkau, sehingga al-mahabbah tidak mungkin berhubungan dengan
Zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, melainkan ketaatan kepada-Nya.

Ketiga pandangan tersebut, menggambarkan bahwa mahabbah kepada


Tuhan adalah mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya,
tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan dosa, baik dosa kecil maupun
dosa besar. Dimana yang dilakukan adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Berdasarkan pengertian lain, menurut salah seorang filosof, Ibn
Miskawaih (Wafat; 1030 M) mengatakan bahwa mahabbah merupakan fitrah
untuk bersekutu dengan yang lain, sehinggah menjadi sumber alami persatuan.
Dimana Mahbbah mempunyai dua obyek, yaitu; Hewani berupa kesenangan dan
hukumnya haram, serta spiritual berupa kebijakan atu kebaikan(Rohman, 1965).

Selain itu, Harun Nasution (Wafat;1998 M.) mengemukakan bahwa


mahabbah mempunyai beberapa pengertian(Nasution, 1978) :

a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan


kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasih.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali yang dikasih.

Menurut al-Saraf sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa


mahabbah itu mempunyai tiga tingkatan(Wasalmi, 2014):

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka


menyebut nama nama Allah (Asmaul Husna) dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan yaitu senantiasa selalu
memuji-Nya.
2. Cinta orang yang siddiq yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada ilmu-Nya dan lain sebagainya. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan, dan
dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari
dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini membuat orang sanggup
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya
penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Tuhan.
3. Cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cintanya
yang serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan. Yang
dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai.
Berdasarkan penjelasan - penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa
mahabbah merupakan keinginan yang mendorong untuk berusaha memenuhinya,
walaupun dengan pengorbanan. Keinginan tersebut adalah menyatu dengan
kekasih, yaitu Tuhan, tetapi penyatuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk
memiliki sifat-sifat kekasih dan menghilangkan sifat-sifat yang dimiliki yang
tidak sesuai dengan sifat kekasih agar biasa terjadi penyesuaian.

C. Pendapat Kaum Sufi Tentang mahabbah

Rabi’ah al-Adawiyah (801M) merupakan pencetus pertama yang


mengemukakan teori mahabbah dikalangan kaum sufi. Beliau mangatakan, sama
halnya seperti yang dikutip Margareth Smith bahwa “cinta berasal dari kezalian
menuju keabadian”. Ungkapan tersebut, menggambarkan bahwa mahabbah adalah
pemberian Tuhan, dimana Tuhanlah yang menyingkap tabir, dan keadaan itulah
terjadi mahabbah. Oleh karena itu kepada-Nyalah mahabbah harus dikembalikan.
Sekalipun dalam ungkapan dari Rabi’ah al-Adawiyah, terdapat mahabbah untuk
dirinya, tetapi bukan untuk dirinya melainkan suatu proses untuk mencapai
mahabbah sesungguhnya. Untuk itu harus menghilangkan segala sesuatu selain
Allah dalam hati agar tersingkap tabir yang menjadi penghalang antara hamba
dengan Tuhan-Nya, karena hati yang merasakan mahabbah dan merasakan
berhadapan langsung dengan Tuhan tanpa ada penghalang (Jinan, 2018).

Jadi, mahabbah bagi Rabi’ah al-Adawiyah hanya kepada Tuhan, tetapi


tidak berarti membenci yang lain. Hal ini dapat dipahami dari pernyataannya yang
juga dikemukakan oleh Javad Nurbakhsh bahwa ketika Rabi’ah al-Adawiyah
ditanya apakah dia memusuhi setan, Rabi’ah al-Adawiyah menjawab bahwa
cintaku kepada Tuhan Yang Maha Pengasih tidak menyisakan sedikitpun rasa
benci dalam diriku kepada setan.

Selain itu, Kamil Muhammad mengemukakan pandangan Zul al-Nun al-


Misriy (859 M) tentang mahabbah yaitu; mencintai apa yang dicintai oleh Allah
dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Melakukan semua kebaikan dan
menolak semua yang menyebabkan lalai kepada-Nya, tidak takut terhadap celaan
selama berada dalam keimanan dan mengikuti Rasululah saw, serta menjauhi
orang-orang kafir. Mahabbah dalam konsep dari Zu al-Nun al-Misri merupakan
proses untuk mencapai tujuan akhir perjalanan sufi yaitu ma’rifah, Mahabbah
yang dimaksud Rabi’ah al-Adawiyah, karena mahabbah dalam kosep Rabi'ah
adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh seorang sufí. Akan tetapi, dapat
dikatakan bahwa al-mahabbah dalam konsep Rabi’ah al-Adawiyah dan ma’rifah
dalam konsep Zu al-Nun al-Misri adalah merupakan pemberian Tuhan (Mahmud,
1967)

Abd al-Qair Mahmud mengemukakan pandangan dari Abu Yazid al-


Bistani (Wafat; 874 M) tentang al-mahabbah, yaitu; ‘hakikat al-mahabbah adalah
pada saat terjadi ittihad. Sejalan dengan hal tersebut, al-Sahrawardi
mengemukakan pandangan al- Junaid (Wafat : 911 M) tentang al-mahabbah,
yaitu; memasukkan sifat-sifat sang kekasih untuk menggati sifat sang pencinta.
Sang pencinta adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan (nasut) yang
berhubungan dengan dunia materi, sedang yang dimaksud sang kekasih adalah
Tuhan yang tidak dapat berhubungan dengan dunia materi, sehingga diperlukan
usaha keras dan sungguh-sungguh dari manusia untuk menghilangkan sifat
nasutnya dan menggantikan dengan sifat ketuhana (lahut), sehingga terjadilah
kesesuaian dan dapat bertemu. Kemudian al-Sahrawardi (Wafat; 578 H)
menjelaskan bahwa sesungguhanya mahabbah adalah suatu mata rantai
keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya, suatu ketertarikan
kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, sehingga ia melenyapkan
sifat yang tidak sesuai dengan kekasihnya agar dapat menangkap sifat sang
kekasih. Apa yang dikemukan oleh al sahrawardi merupakan pengalaman yang
dialami dalam perjalanan kerohiannya menuju Tuhan, yakni dimulai dengan
pembersihan diri, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat nasut yang dimiliki,
kemudian mengisi dengan sifat-sifat lahut agar terjadi kesesuaian antara pencinta
dengan sang kekasih, sehingga memudahkan bersatu(Rahman, 1965).

B. Keselarasan Antara Syariat Dan Tasawwuf

Tasawwuf diartikan dalam sikap rohani yaitu takwa yang selalu ingin
dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan syari’at dalam arti luas yang
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah,
hablum minannas, maupun hablum minal ‘alam, mempunyai keselaran yang
sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai
kemaslahatan dunia dan akhirat dalam arti harus sepadan (sesuai).

Begitu pula pada aspek hubungan dengan Tuhan, antara syari’ah dan
tasawwuf tetap menjadi dua entitas yang saling mengisi dalam satu kesatuan
menuju Tuhan. Syari’ah merupakan bentuk yang bernuansa hukum (eksoteris,
seperti pemenuhan dalam syarat dan rukun dalam setiap ibadah, sedangkan
tasawwuf merupakan bentuk tinjauan esoteris yang bisa diidentikkan dengan
konsep ihsan. Dengan dua dimensi ini akan semakin memantapkan kualitas dari
keimanan sosok muslim yang nantinya menemukan kebenaran yang hakiki
(Tuhan) melalui dua dimensi, yaitu rasional (eksoteris) dan rasa (esoteris). Oleh
karena itu, Hukum Islam (syari’ah) yang sering dihadapkan dengan tasawwuf
merupakan dua hal penting yang saling mengisi secara kontributif untuk
memantapkan kualitas dari keimanan seorang muslim. Artinya, pada aspek
hubungan dengan sesama manusia (ibadah ghairu mahdah) dan hubungan dengan
Tuhan (ibadah mahdah), antara syari’ah dan tasawwuf tidak bertolak belakang),
tapi bisa saling mengisi secara kontributif dalam satu tujuan, yaitu Tuhan(Rijal,
2017).

Selain itu, Secara teoritis, kepatuhan pada Tuhan tidak dapat dilakukan
melainkan setelah seseorang mengetahui dengan pasti antara kewajiban (al-
wajibat) dan larangan (alnahiyat). Jadi, dalam hal ini berarti bahwa seseorang
terlebih dahulu harus belajar tentang hukum-hukum syariat sebelum memasuki
dunia tasawwuf. Menjalani tasawwuf tanpa mengikuti syariat secara benar adalah
perbuatan yang keliru. Apabila seseorang tidak bertolak dari syariat yang benar
dan teladan yang sempurna dalam bertasawwuf, maka ia tidak akan dapat
mencapai salah satu derajat kaum sufi. Teladan (uswah) itu tiada lain yaitu Nabi
Muhammad Rasulullah saw.

Disinilah kita dapat memahami bahwa perjalanan tasawwuf itu tetap


berpegang pada ketentuan syariat. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa syariat
tidak dapat dilepaskan dari hakikat. Ibadah yang dilakukan tanpa menyertakan
hakikat adalah hampa ibarat buah yang cantik kulitnya namun kosong isinya.
Sedangkan ibadah yang menyempurnakan keduanya akan berbuah sangat indah
dan manis.
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. 2012. Tasawwuf, dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Danis, Rahmi. 2011. Al-Mahabbah Dalam Pandangan Sufi. Journal UIN
Alauddin, Volume. 1, Nomer. 2.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Tasawwuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Sinar
Grafika Offset
Jinan, Mutohharun. 2017. Konteks Religio-Politik Perkembangan Sufisme: Telaah
Konsep Mahabbah Dan Ma’rifah. Jurnal Studi Islam, Volume. 18,
Nomor. 1.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga
Mahmud, Abd al-Qadir. 1967. Falsafat al-Sufiyyat al-Islam. Kairo: Matba’at al-
Ma’arif al-Imarah.
Nasution, Harun. 1978. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang,
Nata, Abussin. 1996. Akhlak Tasawuf: Cetakan Pertama. Jakarta: PT Graffindo
Persada
Rahman, Fazlur. 1965. Islam. Chicago: Univercity of Chicago Press.
Rijal, S dan Umiarso. 2017. Syari’ah Dan Tasawwuf: Pergulatan Integratif
Kebenaran Dalam Mencapai Tuhan. Jurnal Ushuluddin, Volume. 25,
Nomor. 2.
Suteja. 2015. Tokoh Tasawwuf dan Ajarannya. Cirebon : CV Pangger
Syaltut, Mahmud. 1996. Islam Aqidah wa Syariah. Kairo: Dar al-kalam
Wasalmi. 2014. Mahabbah Dalam Tasawwuf Rabi’ah Al-Adawiah. Sulesana,
Volume 9. Nomor. 2.

Anda mungkin juga menyukai