Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQH KONTEMPORER

BUNGA BANK, RIBA DAN BAGI HASIL

NAMA KELOMPOK : 1. NUR RACHMAD RINALDO (1930103150)


2. MUHAMMAD IQBAL (1930103115)
3. M IQBAL RENALDY (1930103121)
4. MUHAMMAD ARIQ ATHALLA (1930103138)
5. YUNI PUTRI NOFITASARI (1930103131)

DOSEN PENGAMPUH
GIBTIAH, .S.Ag., M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1

DAFTAR ISI............................................................................................................................. i
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .....................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................
1.3 Tujuan ………………………………………………………………….................
1.4 Manfaat ……………………………………………………………………………
BAB 2

PEMBAHASAN
A. Apa Hukum Bunga Bank .…………..…………......................................................

B. Apa Hukum Riba …..…...………….…………….………………………………..

C.
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................................

B. Saran ........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………............


KATA PENGANTAR

Bismillah,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya
tentunya kami tidak akan sanggup dan tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam kami curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhir zaman.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqh Kontemporer.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya untuk itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi yang lebih baik lagi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepadaa semua pihak khususnya kepada Dosen
yang mengajar mata kuliah Fiqh Kontemporer yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini, supaya makalah ini bisa menjadi lebih baik lagi.

Demikianlah, semoga makalah ini dapat lebih bermanfaat. TERIMA KASIH


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk
plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan
nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini
adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya
diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.

Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan
apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya
dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’
(kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma’ akan haramnnya keuntungan
bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka
namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa
silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,

“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang),
namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong
dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang
dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari
pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut
riba.”

Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –
salah seorang ulama senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al
Fiqh” hal.398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.
Dari penjelasan di atas, jangan tertipu pula dengan akal-akalan yang dilakukan oleh
perbankan Syari’ah di negeri kita.1

1
Muhammad Abduh Tuasikal, Msc, “Bunga Bank itu Riba”, (21 September 2011), https://rumaysho.com/1957-
bunga-bank-itu-riba.html
Kita mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank
syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang
untung dariutang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank syariah bisa “bagi
hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan
melakukan usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang
halal mustahil didapat dari utang piutang.

Penilaian kami, bagi hasil dari bank syariah tidak jauh dari riba. Ada penjelasan menarik
mengenai kritikan terhadap bank syariah oleh Dr. Muhammad Arifin
Baderi hafizhohullah yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Ilmi. Silakan dikaji lebih lanjut.

Jika bunga bank itu riba, artinya haram, maka haram dimanfaatkan. Bagi yang dalam
keadaandarurat menggunakan bank untuk penyimpanan uang, maka bunga bank tersebut
haram dimanfaatkan. Para ulama katakan bahwa bunga bank tersebut tidak boleh digunakan
untuk kepentingan pribadi, namun disalurkan untuk kepentingan sosial seperti pembangunan
jalan, dan semacamnya.2
2
Ibid
B. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Apa Hukum Bunga Bank?


2. Apa Hukum Riba?

3. Bagaimana Sistem Bagi Hasil Perbankan Syariah ?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendreskripsikan.

1. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Kontemporer yang dibimbing oleh Ibu GIBTIAH, .S.Ag., M.Ag serta untuk
memahami tentang Bunga Bank, Riba dan Bagi Hasil

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Fiqh Kontemporer


yang benar sehingga dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1). Supaya mengetahui Apa Hukum Bunga Bank

2). Supaya Mengetahui Apa Hukum Riba

3). Supaya Mengetahui Sistem Bagi Hasil Perbankan Syariah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa Hukum Bunga Bank

Bunga yang ditarik bank dari pihak yang diberikan pinjaman modal atau yang diberikan bank
kepada nasabah pemilik rekening tabungan hukumnya haram dan termasuk riba. Karena
hakikat bunga adalah pinjaman yang dibayar berlebih. Bank memberikan pinjaman kepada
pengusaha dalam bentuk modal, pinjaman tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang
sama ditambah bunga yang dinyatakan dalam persen, atau denda yang ditarik bank dari pihak
peminjam jika terlambat membayar pada tempo yang telah ditentukan. Ini jelas-jelas sama
dengan riba kaum Jahiliyah.

Menabung dibank sekalipun dinamakan simpanan, akan tetapi dalam pandangan fikih
akadnya adalah pinjaman. Karena pinjaman (qardh) dalam terminologi fikih berarti
menyerahkan uang kepada seseorang untuk dipergunakannya dan dikembalikan dalam bentuk
uang senilai pinjaman. Pengertian qardh ini sama dengan tabungan, dimana uang tabungan
yang disimpan dibank digunakan oleh bank, kemudian bank mengembalikannya kapan
dibutuhkan oleh penabung dalambentuk penarikan uang tabungan.

Akad ini tidak dapat dikatakan wadi'ah (simpanan), karena para ulama mengatakan seperti
yang dinukil oleh IbnuUtsaimin-rahimahullah-, "Para ahli fiqh menjelaskan bahwa bila orang
yang menitipkan (uang) memberikan izin kepada yang dititip untuk menggunakannya maka
akad wadi'ah berubah menjadi akad qardh3

Bila hakikat menabung dibank adalah akad pinjaman (qardh) maka pinjaman tidak
boleh dikembalikan berlebih, bila dikembalikan berlebih dalam bentuk bunga maka bunga ini
dinamakan riba4. Kaidah fikih menyatakan,

"Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman adalah riba"5.

Hukum bahwa bunga bank sama dengan riba merupakan keputusan seluruh lembaga
fatwa baik yang bertaraf internasional maupun nasional, sehingga bisa dikatakan Ijma'.

3
Al Syarh al mumti’, jilid X, hal 286
4
Dr. Abdullah Al Umrani, Al Manfa’atu fil qardh, hal 423
5
Al Mawardi, Al Hawi, jilid V, hal 356, Sihnun, Al Mudawwanah Al Kubra 4/133
Pada tahun 1965 dalam Muktamar Islam ke-2 di Kairo yang dihadiri oleh 150 ulama
dari 35 negara islam telah diputuskan, "Bunga bank dalam segala bentuknya adalah pinjaman
yang bertambah. Hukumnya adalah haram, karena termasuk riba. Tidak ada perbedaan antara
pinjaman konsumtif atau produktif. Riba diharamkan, baik persentasenya banyak maupun
sedikit. Dan akad pemberian pinjaman yang disertakan dengan bunga juga diharamkan"6.

Pada tahun 1976 M, dalam Muktamar ekonomi Islam se-dunia di Mekkah Al


Mukaramah yang dihadiri oleh 300 lebih para ulama dan ekonom dari berbagai negara
menekankan kembali haramnya bunga bank.

Pada tahun 1983 M, dalam Muktamar bank syariah se-dunia di Kuwait juga
ditekankan kembali haramnya bunga bank.

Pada tahun 1985 M, Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) mengadakan
muktamar yang dihadiri oleh ulama perwakilan negara-negara anggota OKI memutuskan,
"Setiap penambahan dalam pengembalian hutang, atau bunga, atau denda karena
keterlambatan pelunasan hutang, begitu juga bunga yang ditetapkan persennya sejak dari
awal transaksi, hal ini adalah riba yang diharamkan syariat Islam".

Pada tahun 1986 M, Al Majma' Al Fiqhy Al Islami (divisi fikih Rabithah Alam
Islami) menfatwakan, "Segala bentuk bunga hasil pinjaman adalah riba dan harta haram"7.

Fatwa haramnya bunga bank sangat jelas, akan tetapi ada saja orang-orang yang
berusaha menghalalkannya dan terkadang ia menggunakan dalil agama. Diantara dalil yang
mereka gunakan adalah:

a. Bahwa riba yang diharamakan hanyalah riba yang berlipat ganda, berbeda dengan
bunga bank yang hanya sekian persen. Allah berfirman,

‫تَ أَ َلكَو ضََ َ فع‬


َ‫ض‬ ‫َيَََأَ اء‬
َ‫ََي َاه ٱ َ نمَ َا ٱل َ ’برَ َفع‬
‫ََل َيذن و َا ََ َََو َا ا م‬
‫أَ َل‬

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda". (Ali
Imran: 130).

6
Dr. Sulaiman Al Asyqar, Qodhaya Fiqhiyyah Muashirah, jilid II, hal 607
7
Lihat fatwa-fatwa lembaga fikih internasional ini di buku Prof. Dr. Abdul Wahab Abu Sulaiman, Fiqh
Muamalat Haditsah, hal 572-573.
Tanggapan: Ayat ini turun menjelaskan larangan riba, di antara bentuk riba jahiliyah
yaitu bila jatuh tempo pelunasan hutang 100 dinar, misalnya, dan peminjam belum mampu
melunasi, maka hutang dijadwal baru dan dibayar tahun depan sebanyak 200 dinar dan begitu
seterusnya hingga peminjam melunasinya. Dalam ayat diatas tidak ada penjelasan bahwa riba
hanyalah yang berlipat ganda, bahkan sebaliknya di ayat yang lain Allah menjelaskan bahwa
bila seseorang bertaubat dari riba, ia hanya boleh menarik jumlah uang yang ia pinjamkan
dan tidak boleh lebih dari itu. Allah berfirman,

‫ظَل َمون‬ ‫و َإن ت َبت َم رءو س أَ َ ت َل و‬


ََ ‫َم م َ َمون‬ ‫َلك‬ ‫َم‬
‫لت‬ ‫ََ ك ل ظ‬
‫َوَل‬

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". (Al-Baqarah: 279).

Dalam beberapa hadis juga dijelaskan bahwa seberapapun keuntungan dari pemberian
pinjaman adalah riba.

b. Orang yang berusaha menghalalkan bunga bank berdalih bahwa riba diharamkan
dalam akad pinjaman karena ditarik dari orang miskin yang membutuhkan pinjaman
untuk menutupi kebutuhannya, adapun bunga yang ditarik oleh bank adalah bunga
yang ditarik dari pengusaha kaya, maka bunga yang dibebankan kepada pengusaha
merupakan sebuah keadilan sebagai imbalan dari dana yang digunakannya.

Tanggapan: Hal ini tidak benar, akan tetapi riba tetap diharamkan kepada para pengusaha
(orang kaya), karena sejak zaman para sahabat sudah dikenal memberikan pinjaman kepada
orang kaya untuk dijadikan tambahan modal usaha perniagaannya.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari8, bahwa orang-orang menitipkan uangnya kepada Zubair bin al
Awwam radhiyallahu 'anhu. Lalu Zubair mengubah akad titipan menjadi akad pinjaman agar
dapat digunakannya sebagai tambahan modal dan disisi lain penitip merasa aman uangnya
tidak akan hilang, berbeda dengan titipan murni (wadi'ah), karena penerima titipan (wadi'ah)
tidak menjamin jika uang yang dititip hilang diluar kesengajaan.

Ia berkata,

"Saya tidak mau. Jadikan akadnya qardh, karena aku khawatir uang kalian hilang".

8
Shahih Bukhari, jilid II, hal 962, kitab : Al Jihad, bab: “barakat al ghazi fi malihi”
Dengan demikian, sekalipun pinjaman diberikan kepada orang kaya tetap haram menarik
bunga. Inilah sebuah keadilan.

Dan tidak mungkin bunga (riba sebuah keadilan). Karena jika dibenarkan menarik bunga dari
peminjam maka saat pengusaha tersebut rugi dalam usahanya pihak penarik bunga tetap
menarik hutangnya ditambah bunga dan saat dia untung ia juga menarik hutang ditambah
bunga, jadi yang tetap untung hanya pemberi pinjaman sekalipun penerima pinjaman merugi.
Ini adalah sebuah kezaliman dan bukan keadilan. Dengan demikian, maka transaksi simpan-
pinjam dibank konvensional murni transaksi riba, karena akadnya adalah qardh dan
peminjam disyaratkan melunasi hutangnya melebihi nominal pinjaman.9

9
Dr. Erwandi Tarmizi, Ma, “Harta Haram Muamalat Kontemporer”, P.T. Berkat Mulia Insani
B. Apa Hukum Riba
Tidak seorang muslimpun yang menyangkal haramnya hukum riba. Teks Alquran begitu jelas
menyatakan bahwa Allah telah mengharamkan riba. Allahberfirman,

‫حلٱ للََ ٱ وح ََرَم‬ ‫وأ‬


‫َل بَي ع ٱل َ ’رب‬
‫ََو‬

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (AlBaqarah:275).

Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan


praktik riba. Allah berfirman,

‫نٱل َ ’ربََ مَؤ‬ ‫َيَََأَ ََي َ اه ٱلََ َيذ ن اء َ نمَو َا َرو ام بقى‬
‫َََوَا إن َمني ن‬ ‫ٱتَ َقَو َا ٱ َا وذ‬
‫كَنتَ م م‬ َ‫َلل‬

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orangyang beriman". (AlBaqarah:278).

Dan Allah mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti


perintahNya untuk meninggalkan riba. Allah berfirman,

‫’من َ وس‬ َ ‫فَإَ ن ل َمتَ َف لعَو‬


‫َا ر ٱََ ل‬
‫َلب ر َل‬
‫و َه‬ ‫ََ ََ َ ح‬
‫ف أ ذ ن و ا‬
‫ب‬
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan RasulNya akan memerangimu". (Al-Baqarah:279).

Ketika Imam Malik ditanya oleh seseorang yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika
ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk dari pada khamr". La berkata,
"Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu! Keesokan harinya orang tersebut datang
dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah beberapa hari orang itu datang kembali dan
imam Malik berkata "Istrimu tertalak. Aku telah mencari dalam seluruh ayat Alquran dan
hadis Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang masuk kerongga anak Adam selain
Riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang melawannya.10

Dan Allah berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal selamanya.
Allah berfirman,
َ‫و ن خ‬ َ ‫و‬ ‫ٱ‬ ‫َۥه فوأ‬
‫ب‬ ‫ص‬
‫َها َفي‬ ‫فَأ َ و اع‬ َ ‫ل‬ َ
‫لل‬
ۖ َ ‫َم‬ َ‫لس‬ َ‫ٱنت‬
َ ‫َل‬ ‫كأ‬ ََ َ
َ ‫د‬ َ‫م ََل‬ َ ‫َر‬ ‫َه‬
ََ‫ٱلن‬ ‫د‬
َ ‫ئ َ ه َم‬ َ ‫ى‬ َ
‫َ َ ا َۖر‬ ‫ََى‬
‫َح‬ ‫ن‬ َ ‫لفَهۥ‬
‫َ ما‬
‫ةظَ ’م ر‬ ‫وأ ح وح ََر اجَ ََ َو‬
َ ‫ن‬ ‫َمٱل َۥهءَ ع م‬
‫’ب‬ ‫ل َ ’رب‬
‫َه‬‫ۦ‬ ‫ٱ ََو‬
َ‫لل‬
‫َا ۚ ف‬
َ
‫َمن‬
‫ٱ‬
َ
‫لب‬
َ
‫ي‬

‫ع‬

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya

10
Tafsir Al Qurthubi, Jilid IX, hal 405.
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya
(terserah)kepadaAllah.Orangyangkembali(mengambilriba),maka orangitu adalah penghuni-
penghuni neraka mereka kekal di dalamnya"11. (Al-Baqarah: 275).

Di dalam hadits, Nabi shallallahu 'aaihi wasallam juga memerintahkan agar seorang
muslim menjauhi riba karena riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,

"Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, “Wahai, Rasulullah! Apakah itu?
Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa
haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh
wanita beriman yang lalai berzina". (Muttafaq ’alaih).

Diriwayatkan dari Baraa' bin 'Azib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda,

"Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang
laki-laki yang menzinai ibu kandungnya". [HR. Thabrani. Salah seorang perawi hadits ini
bernama Umar bin Rashid. Ia didhaifkan oleh mayoritas ulama hadits. Akan tetapi 'Ajluni
mentsiqahkannya dan hadits ini dinyatakan shahih lighairihi oleh Al Albani].

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda,

"Sesungguhnya 1 dirham yang didapatkan oleh seorang laki-laki dari hasil riba lebih
besar dosanya disisi Allah dari pada berzina 36 kali". (HR. Ibnu Abi Dunya. Al Albani
menyatakan derajat hadits ini shahih lighairihi).

Begitu besarnya dosa riba, pantas Rasulullah melaknat pelakunya, sebagaimana


diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu 'anhu,

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutuk orang yang makan harta riba, yang
memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya
sama (berdosa) (HR.Muslim],12

11
Asy Syaukani dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekal dalam ayat ini bisa
berarti lama keberadaannya dalam neraka, Seperti ungkapan orang Arab, (raja yang kekal) maksudnya raja yang
lama berkuasa. Tafsir ini mengingat banyak hadits-hadits bahkan sampai kepada derajat mutawatir yang
menjelaskan bahwa orang yang bertauhid tidak akan Kekal selama-lamanya dalam neraka. Fathul Qadir, jilid1,
hal 339.
12
Dr. Erwandi Tarmizi, Ma, “Harta Haram Muamalat Kontemporer”, P.T. Berkat Mulia Insani
C. SISTEM BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH PRESPEKTIF HUKUM
ISLAM

1) Pengertian Bagi hasil (profit Sharing)


Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit sharing.
Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan
"distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaaa".[3] Menurut Antonio,
bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian
hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib).[4]
Secara umum prinsip prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam
empat akad utama, yaitu, al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah.
Sungguhpun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al
mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqolah dipergunakan khusus untuk plantation
financing atau pembiayaan pertanian untuk beberapa Bank Islam.[5]
Bagi Hasil adalah Keuntungan/Hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi
maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada Nasabah dengan persyaratan:[6]

a. Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola :


a) Revenue Sharing
b) Profit & Loss Sharing.
b. Pada saat akad terjadi wajib disepakati sistem bagi hasil yang digunakan, apakah RS, PLS
atau Gross Profit. Kalau tidak disepakti akad itu menjadi gharar.

c. Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setiap
bulan atau waktu yang telah disepakati.
d. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam
akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama
di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian
hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam
sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di
dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih
dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan
(An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.[7]

2) Konsep Bagi Hasil


Konsep bagi hasil ini sangat berbeda sekali dengan konsep bunga yang diterapkan oleh
sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dapat dijabarkan
sebagai berikut.
a. Pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai
pengelola dana.

b. Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem pool of
fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana-dana
tersebut kedalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi
semua aspek syariah.
c. Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang berisi ruang lingkup kerjasama,
jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.[8]

d. Sumber dana terdiri dari:


a) Simpanan: tabungan dan simpanan berjangka.
b) Modal : simpanan pokok, simpanan wajib, dana lain-lain.
c) Hutang pihak lain.

3) Jenis-jenis Akad Bagi Hasil


Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat
dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun,
pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah
menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.

a. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)


Menurut Antonio Musyarakah adalah akad kerja sama antara dun pihak atau lebih untuk suatu
tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Manan
mengatakan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan konsumen untuk suatu
masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen memasukkan modal.

b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)


Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah laian
mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah
qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah maksud yang sama.[10]
Mudharabah termasuk juga perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan
pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha /proyek dan
pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan
perjanjian.[11]Di samping itu mudharabah juga berarti suatu pernyataan yang mengandung
pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan
dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang
kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Oleh karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus
diperhatikan yaitu:

1) Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)


Akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertamabertindak sebagai pemilik
modal (shahibul maal), pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Syarat keduanya
adalah pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum.
2) Objek mudharabah (modal dan kerja)
Objek merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik
modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha
menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill,
management skill dan lain-lain.
3) Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)

"Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum
(sama-sama rela)” (Q.S. An-Nisa ayat 29). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat
untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan
qabul dari yang menjalankannya.

4) Nisbah Keuntungan
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual
beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang
bermudharabah." Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal
mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian
keuntungan.

Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari


penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
1) Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.

2) Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga


(perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.

3) Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka pendek
dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah
di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual
sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.[12]

D. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI BAGI HASIL


BANK SYARI’AH
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam
pendekatan, yaitu :

1) Pendekatan profit sharing (bagi laba)


Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus
ekonomi diartikan pembagian laba.[13] Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika
total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil
bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut.[14]Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah
profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi
dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
2) Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu
perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya
dari pendapatan penjualan (sales revenue).[15]
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put
yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu
produksi tersebut.
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada
pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi
dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

E. ANALISIS BAGI HASIL BANK SYARI’AH


Pengumpulan dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yang berasal dari para Nasabah,
para pemilik modal atau dana titipan dari pihak ketiga perlu dikelola dengan penuh amanah dan
istiqomah, dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuk
nasabah maupun syariah.
Prinsip utama yang harus dikembangkan bank syariah dalam kaitan dengan manajemen
dana adalah bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana,
minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional
dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah daripada bunga yang berlaku di bank
konvensional. Oleh karena itu upaya manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik.
Hal tersebut harus dilakukan guna untuk mencapai hasil keuntugan yang besar.

Anda mungkin juga menyukai