DOSEN PENGAMPUH
GIBTIAH, .S.Ag., M.Ag
DAFTAR ISI............................................................................................................................. i
BAB 1
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Apa Hukum Bunga Bank .…………..…………......................................................
C.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................................
Bismillah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya
tentunya kami tidak akan sanggup dan tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam kami curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhir zaman.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqh Kontemporer.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya untuk itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi yang lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepadaa semua pihak khususnya kepada Dosen
yang mengajar mata kuliah Fiqh Kontemporer yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini, supaya makalah ini bisa menjadi lebih baik lagi.
A. LATAR BELAKANG
Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk
plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan
nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini
adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya
diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.
Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan
apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya
dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’
(kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma’ akan haramnnya keuntungan
bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka
namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa
silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang),
namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong
dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang
dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari
pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut
riba.”
Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –
salah seorang ulama senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al
Fiqh” hal.398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.
Dari penjelasan di atas, jangan tertipu pula dengan akal-akalan yang dilakukan oleh
perbankan Syari’ah di negeri kita.1
1
Muhammad Abduh Tuasikal, Msc, “Bunga Bank itu Riba”, (21 September 2011), https://rumaysho.com/1957-
bunga-bank-itu-riba.html
Kita mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank
syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang
untung dariutang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank syariah bisa “bagi
hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan
melakukan usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang
halal mustahil didapat dari utang piutang.
Penilaian kami, bagi hasil dari bank syariah tidak jauh dari riba. Ada penjelasan menarik
mengenai kritikan terhadap bank syariah oleh Dr. Muhammad Arifin
Baderi hafizhohullah yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Ilmi. Silakan dikaji lebih lanjut.
Jika bunga bank itu riba, artinya haram, maka haram dimanfaatkan. Bagi yang dalam
keadaandarurat menggunakan bank untuk penyimpanan uang, maka bunga bank tersebut
haram dimanfaatkan. Para ulama katakan bahwa bunga bank tersebut tidak boleh digunakan
untuk kepentingan pribadi, namun disalurkan untuk kepentingan sosial seperti pembangunan
jalan, dan semacamnya.2
2
Ibid
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendreskripsikan.
1. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Kontemporer yang dibimbing oleh Ibu GIBTIAH, .S.Ag., M.Ag serta untuk
memahami tentang Bunga Bank, Riba dan Bagi Hasil
D. Manfaat
Bunga yang ditarik bank dari pihak yang diberikan pinjaman modal atau yang diberikan bank
kepada nasabah pemilik rekening tabungan hukumnya haram dan termasuk riba. Karena
hakikat bunga adalah pinjaman yang dibayar berlebih. Bank memberikan pinjaman kepada
pengusaha dalam bentuk modal, pinjaman tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang
sama ditambah bunga yang dinyatakan dalam persen, atau denda yang ditarik bank dari pihak
peminjam jika terlambat membayar pada tempo yang telah ditentukan. Ini jelas-jelas sama
dengan riba kaum Jahiliyah.
Menabung dibank sekalipun dinamakan simpanan, akan tetapi dalam pandangan fikih
akadnya adalah pinjaman. Karena pinjaman (qardh) dalam terminologi fikih berarti
menyerahkan uang kepada seseorang untuk dipergunakannya dan dikembalikan dalam bentuk
uang senilai pinjaman. Pengertian qardh ini sama dengan tabungan, dimana uang tabungan
yang disimpan dibank digunakan oleh bank, kemudian bank mengembalikannya kapan
dibutuhkan oleh penabung dalambentuk penarikan uang tabungan.
Akad ini tidak dapat dikatakan wadi'ah (simpanan), karena para ulama mengatakan seperti
yang dinukil oleh IbnuUtsaimin-rahimahullah-, "Para ahli fiqh menjelaskan bahwa bila orang
yang menitipkan (uang) memberikan izin kepada yang dititip untuk menggunakannya maka
akad wadi'ah berubah menjadi akad qardh3
Bila hakikat menabung dibank adalah akad pinjaman (qardh) maka pinjaman tidak
boleh dikembalikan berlebih, bila dikembalikan berlebih dalam bentuk bunga maka bunga ini
dinamakan riba4. Kaidah fikih menyatakan,
"Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman adalah riba"5.
Hukum bahwa bunga bank sama dengan riba merupakan keputusan seluruh lembaga
fatwa baik yang bertaraf internasional maupun nasional, sehingga bisa dikatakan Ijma'.
3
Al Syarh al mumti’, jilid X, hal 286
4
Dr. Abdullah Al Umrani, Al Manfa’atu fil qardh, hal 423
5
Al Mawardi, Al Hawi, jilid V, hal 356, Sihnun, Al Mudawwanah Al Kubra 4/133
Pada tahun 1965 dalam Muktamar Islam ke-2 di Kairo yang dihadiri oleh 150 ulama
dari 35 negara islam telah diputuskan, "Bunga bank dalam segala bentuknya adalah pinjaman
yang bertambah. Hukumnya adalah haram, karena termasuk riba. Tidak ada perbedaan antara
pinjaman konsumtif atau produktif. Riba diharamkan, baik persentasenya banyak maupun
sedikit. Dan akad pemberian pinjaman yang disertakan dengan bunga juga diharamkan"6.
Pada tahun 1983 M, dalam Muktamar bank syariah se-dunia di Kuwait juga
ditekankan kembali haramnya bunga bank.
Pada tahun 1985 M, Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) mengadakan
muktamar yang dihadiri oleh ulama perwakilan negara-negara anggota OKI memutuskan,
"Setiap penambahan dalam pengembalian hutang, atau bunga, atau denda karena
keterlambatan pelunasan hutang, begitu juga bunga yang ditetapkan persennya sejak dari
awal transaksi, hal ini adalah riba yang diharamkan syariat Islam".
Pada tahun 1986 M, Al Majma' Al Fiqhy Al Islami (divisi fikih Rabithah Alam
Islami) menfatwakan, "Segala bentuk bunga hasil pinjaman adalah riba dan harta haram"7.
Fatwa haramnya bunga bank sangat jelas, akan tetapi ada saja orang-orang yang
berusaha menghalalkannya dan terkadang ia menggunakan dalil agama. Diantara dalil yang
mereka gunakan adalah:
a. Bahwa riba yang diharamakan hanyalah riba yang berlipat ganda, berbeda dengan
bunga bank yang hanya sekian persen. Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda". (Ali
Imran: 130).
6
Dr. Sulaiman Al Asyqar, Qodhaya Fiqhiyyah Muashirah, jilid II, hal 607
7
Lihat fatwa-fatwa lembaga fikih internasional ini di buku Prof. Dr. Abdul Wahab Abu Sulaiman, Fiqh
Muamalat Haditsah, hal 572-573.
Tanggapan: Ayat ini turun menjelaskan larangan riba, di antara bentuk riba jahiliyah
yaitu bila jatuh tempo pelunasan hutang 100 dinar, misalnya, dan peminjam belum mampu
melunasi, maka hutang dijadwal baru dan dibayar tahun depan sebanyak 200 dinar dan begitu
seterusnya hingga peminjam melunasinya. Dalam ayat diatas tidak ada penjelasan bahwa riba
hanyalah yang berlipat ganda, bahkan sebaliknya di ayat yang lain Allah menjelaskan bahwa
bila seseorang bertaubat dari riba, ia hanya boleh menarik jumlah uang yang ia pinjamkan
dan tidak boleh lebih dari itu. Allah berfirman,
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". (Al-Baqarah: 279).
Dalam beberapa hadis juga dijelaskan bahwa seberapapun keuntungan dari pemberian
pinjaman adalah riba.
b. Orang yang berusaha menghalalkan bunga bank berdalih bahwa riba diharamkan
dalam akad pinjaman karena ditarik dari orang miskin yang membutuhkan pinjaman
untuk menutupi kebutuhannya, adapun bunga yang ditarik oleh bank adalah bunga
yang ditarik dari pengusaha kaya, maka bunga yang dibebankan kepada pengusaha
merupakan sebuah keadilan sebagai imbalan dari dana yang digunakannya.
Tanggapan: Hal ini tidak benar, akan tetapi riba tetap diharamkan kepada para pengusaha
(orang kaya), karena sejak zaman para sahabat sudah dikenal memberikan pinjaman kepada
orang kaya untuk dijadikan tambahan modal usaha perniagaannya.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari8, bahwa orang-orang menitipkan uangnya kepada Zubair bin al
Awwam radhiyallahu 'anhu. Lalu Zubair mengubah akad titipan menjadi akad pinjaman agar
dapat digunakannya sebagai tambahan modal dan disisi lain penitip merasa aman uangnya
tidak akan hilang, berbeda dengan titipan murni (wadi'ah), karena penerima titipan (wadi'ah)
tidak menjamin jika uang yang dititip hilang diluar kesengajaan.
Ia berkata,
"Saya tidak mau. Jadikan akadnya qardh, karena aku khawatir uang kalian hilang".
8
Shahih Bukhari, jilid II, hal 962, kitab : Al Jihad, bab: “barakat al ghazi fi malihi”
Dengan demikian, sekalipun pinjaman diberikan kepada orang kaya tetap haram menarik
bunga. Inilah sebuah keadilan.
Dan tidak mungkin bunga (riba sebuah keadilan). Karena jika dibenarkan menarik bunga dari
peminjam maka saat pengusaha tersebut rugi dalam usahanya pihak penarik bunga tetap
menarik hutangnya ditambah bunga dan saat dia untung ia juga menarik hutang ditambah
bunga, jadi yang tetap untung hanya pemberi pinjaman sekalipun penerima pinjaman merugi.
Ini adalah sebuah kezaliman dan bukan keadilan. Dengan demikian, maka transaksi simpan-
pinjam dibank konvensional murni transaksi riba, karena akadnya adalah qardh dan
peminjam disyaratkan melunasi hutangnya melebihi nominal pinjaman.9
9
Dr. Erwandi Tarmizi, Ma, “Harta Haram Muamalat Kontemporer”, P.T. Berkat Mulia Insani
B. Apa Hukum Riba
Tidak seorang muslimpun yang menyangkal haramnya hukum riba. Teks Alquran begitu jelas
menyatakan bahwa Allah telah mengharamkan riba. Allahberfirman,
نٱل َ ’ربََ مَؤ َيَََأَ ََي َ اه ٱلََ َيذ ن اء َ نمَو َا َرو ام بقى
َََوَا إن َمني ن ٱتَ َقَو َا ٱ َا وذ
كَنتَ م م ََلل
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orangyang beriman". (AlBaqarah:278).
Ketika Imam Malik ditanya oleh seseorang yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika
ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk dari pada khamr". La berkata,
"Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu! Keesokan harinya orang tersebut datang
dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah beberapa hari orang itu datang kembali dan
imam Malik berkata "Istrimu tertalak. Aku telah mencari dalam seluruh ayat Alquran dan
hadis Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang masuk kerongga anak Adam selain
Riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang melawannya.10
Dan Allah berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal selamanya.
Allah berfirman,
َو ن خ َ و ٱ َۥه فوأ
ب ص
َها َفي فَأ َ و اع َ ل َ
لل
ۖ َ َم َلس َٱنت
َ َل كأ ََ َ
َ د َم ََل َ َر َه
ََٱلن د
َ ئ َ ه َم َ ى َ
َ َ ا َۖر ََى
َح ن َ لفَهۥ
َ ما
ةظَ ’م ر وأ ح وح ََر اجَ ََ َو
َ ن َمٱل َۥهءَ ع م
’ب ل َ ’رب
َهۦ ٱ ََو
َلل
َا ۚ ف
َ
َمن
ٱ
َ
لب
َ
ي
ع
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
10
Tafsir Al Qurthubi, Jilid IX, hal 405.
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya
(terserah)kepadaAllah.Orangyangkembali(mengambilriba),maka orangitu adalah penghuni-
penghuni neraka mereka kekal di dalamnya"11. (Al-Baqarah: 275).
Di dalam hadits, Nabi shallallahu 'aaihi wasallam juga memerintahkan agar seorang
muslim menjauhi riba karena riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, “Wahai, Rasulullah! Apakah itu?
Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa
haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh
wanita beriman yang lalai berzina". (Muttafaq ’alaih).
Diriwayatkan dari Baraa' bin 'Azib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
"Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang
laki-laki yang menzinai ibu kandungnya". [HR. Thabrani. Salah seorang perawi hadits ini
bernama Umar bin Rashid. Ia didhaifkan oleh mayoritas ulama hadits. Akan tetapi 'Ajluni
mentsiqahkannya dan hadits ini dinyatakan shahih lighairihi oleh Al Albani].
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
"Sesungguhnya 1 dirham yang didapatkan oleh seorang laki-laki dari hasil riba lebih
besar dosanya disisi Allah dari pada berzina 36 kali". (HR. Ibnu Abi Dunya. Al Albani
menyatakan derajat hadits ini shahih lighairihi).
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutuk orang yang makan harta riba, yang
memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya
sama (berdosa) (HR.Muslim],12
11
Asy Syaukani dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekal dalam ayat ini bisa
berarti lama keberadaannya dalam neraka, Seperti ungkapan orang Arab, (raja yang kekal) maksudnya raja yang
lama berkuasa. Tafsir ini mengingat banyak hadits-hadits bahkan sampai kepada derajat mutawatir yang
menjelaskan bahwa orang yang bertauhid tidak akan Kekal selama-lamanya dalam neraka. Fathul Qadir, jilid1,
hal 339.
12
Dr. Erwandi Tarmizi, Ma, “Harta Haram Muamalat Kontemporer”, P.T. Berkat Mulia Insani
C. SISTEM BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH PRESPEKTIF HUKUM
ISLAM
c. Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setiap
bulan atau waktu yang telah disepakati.
d. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam
akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama
di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian
hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam
sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di
dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih
dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan
(An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.[7]
b. Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem pool of
fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana-dana
tersebut kedalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi
semua aspek syariah.
c. Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang berisi ruang lingkup kerjasama,
jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.[8]
Oleh karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus
diperhatikan yaitu:
"Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum
(sama-sama rela)” (Q.S. An-Nisa ayat 29). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat
untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan
qabul dari yang menjalankannya.
4) Nisbah Keuntungan
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual
beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang
bermudharabah." Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal
mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian
keuntungan.
3) Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka pendek
dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah
di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual
sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.[12]