Anda di halaman 1dari 7

USHUL FIQH

“Mahkum allayih”

Disusun Oleh:

Imelda Selviana Permata

1716000021

Nurul Fadillah

1716000017

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

EKONOMI SYARIAH

KELAS A/6510

PERBANAS INSTITUTE

Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan 12940

TAHUN AJARAN 2017


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam adalah salah satu agama samawi yang diturunkan Allah Swt kepada
rasul-Nya Muhammad Saw. Beliau menjadi penerima wahyu dan sekaligus menyampaikan
wahyu tersebut kepada umatnya, itulah yang disebut sebagai tugas rasul. Salah satu dari
beberapa macam wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah Al-Quran.
Al-quran adalah wahyu yang berbentuk fisik yang diterima Nabi Muhammad. Dan Alquran
adalah pedoman kehidupan manusia, baik itu pedoman berupa perintah, larangan, anjuran,
atau disimpulkan sebagai sumber hukum dalam hidup manusia, dan alquran juga berisikan
sejarah masa lalu, dan berita umat yang akan datang.
Selain Al quran, yang dijadikan sumber hukum adalah Hadis Nabi Muhammad Saw.
Fungsi dari hadits tersebut adalah sebagai penjelas dalam atau menerangkan kalimat-kalimat
yang ada dalam Al quran. Dalam hal ini sesuai dengan kemajuan zaman, dan perbedaan
budaya dalam hidup manusia, terkadang ada hukum-hukum yang ditetapkan pada zaman
Nabi Muhammad tidak relefan dengan keadaan setelahnya. Juga ada hal-hal atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi sekarang, belum terjadi pada zaman rasul, sahabat dan tabi’in, yang
berakibat belum jelasnya status suatu hukum pada peristiwa tersebut. Dalam mengatasi
hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah diatas, maka yang menjadi acuan adalah hasil
dari Ijma’ Ulama.
Hukum yang diatur Al-qura’an dan hadits ada juga ditemukan pembahasan-
pembahasan hukum secara global, namun dalam paradikma para ulama hal tersebut adalah
sebuah khazanah pengetahuan dalam islam, dan hal seperti itu adalah dalam wilayah-wilayah
pembahasan Ushul Fiqh. Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Mahkum alaih.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Alaih ( Subyek Hukum ) ?


2. Apa Syarat-syarat mahkum ‘alaih ?
3. Apa yang dimaksud Taklif dan ahliyah ?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Mahkum ‘Alaih ( Subyek Hukum )


Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuataannya dikenai hukum-
hukum syariat. Mahkum alaih dapat juga dikatakan sebagai subyek dari hukum atau orang
yang dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini juga disebut dengan Mukallaf. Perbuatan
mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (Balligh) meliputi
seluruh gerak geriknya, pembicaraannya, maupun niatnya. Mahkum Alaih adalah subyek
hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan Taklif (hukum yang menuntun
manusia untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih antara berbuat atau meninggalkan1.
2. Syarat-Syarat Mahkum ‘Alaih
1. Mukalaf yang dituntut melaksanakan hokum syara’ mampu memahami dalil taklif, baik
dalil yang bersumber dari Al-qur’an maupun Sunnah atau dengan melalui orang lain.
Orang yang belum mampu dalil taklif tentunya tidak mungkin dapat melaksanakan apa
yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat melaksanakan taklif sesuai dengan yang
dimaksut syara’, orang yang tidak mengerti bahasa arab hendaklah belajar bahasa arab
karena dengan dibebankan kepadanya atau melalui buku agama dalam bahasa yang
mereka pahami. Seperti firman Allah SWT dalam surat Ibrahim Ayat 4 :
‫ان قَ ْو ِم ِه ِليُ َب ِيِّنَ لَ ُه ْم‬
ِ ‫س‬ ُ ‫س ْلنَا ِم ْن َر‬
َ ‫سو ٍل ِإال ِب ِل‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
Artinya : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka...2
2. Kemampuan memahami dalil tentunya erat hubungannya dengan perkembangan akal,
karena akal merupakan alat untuk memahami dalil taklif. Dan orang yang sempurna daya
tanggapnya adalah orang yang sudah mencapai usia baligh dan tidak menderita penyakit
yang menyebabkan daya tanggapnya hilang atau terganggu. Seperti anak kecil, orang
yang gila, orang yang lupa, orang yang tidur, dan orang yang mabuk.
Dalam firman Allah Surat an nisa’ ayat 43 :

َ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُون‬


َ ‫سك‬ُ ‫صالة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال تَ ْق َربُوا ال‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….
3. Taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu
untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata
lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik
taklif yang ditujukan padanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa
memahami taklif dari syar’i. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
‫ر فع القلم عن ثال ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى‬
‫(والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب‬
“Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia
bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.”
(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu
Abi Thalib)
Syarat syarat taklif
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila
telah memenuhi dua syarat, yaitu :4
1. Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam alqur’an dan
sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami
taklif tidak bisa dicapai, kecuali dengan akal pikir, karena hanya dengan akallah yang
bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi ada
indikasi lain bahwa yang menerangkan seseorang telah berakal yaitu baligh.
2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah.
Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak
hukum, belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Maka anak kecil yang belum
baligh, yang dianggap belum ,mampu bertindak hukum, tidak dikenakan tuntunan
syara’. Selain itu, orang yang berada dibawah kemampuannya dalam masalah harta
dianggap tidak mampu bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum
mereka dalam masalah harta dianggap hilang.
4. Ahliyyah
1. Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu
urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap
ahli untuk menangani bidang tersebut.
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang
yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai
tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat
yang menunjukan bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah memiliki sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
menerima hak dari orang lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung
jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan untuk bertindak hukum
tidak datang kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu,
sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya.5
2. Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqh ,aliyyah (kepantasan) itu ada dua macam, sesuai
dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya, yaitu
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang dianggap sempurna
untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya baik dalam bentuk ucapan atau
perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap
untuk menerima hak dan kewajiban.Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi
ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ‘ada adalah aqil,
baligh, dan cerdas.
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi
haknya menerima hukum, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ia
juga dianggap telah berhak menerima harta waris dan ganti rugi dari barang yang
telah dirusak oleh orang lain.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan
ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang tidak dibatasi umur, baligh,
kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal
dunia, dan akan hilang apabila seseorang tersebut telah meninggal. Berdasarkan
aliyyah wujud, anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula
untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola
sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum mampu
untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para ushuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:
1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin inilah sudah
dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia
terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan
selamat walaupun untuk sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima
dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
a. Hak keturunan dari ayahnya
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitannya, bagian harta yang
harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika laki-
laki, maka bagiannya lebih besar dari wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang
disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain.
c. Wasiat yang ditunjukan kepadanya
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi
sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan
persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan wakaf
tidak perlu menyatakan penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang
diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.6
2. Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia
sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah wujud (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang tidak
dibebani tuntunan syara, baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun
yang sifatnya tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak
milik.
Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan
hukum yang bersifat merugikan oranga lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah
‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib mempertanggung jawabkannya. Maka
wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri, apabila tindakannya berkaitan dengan
harta. Dan pengambilan berhak untuk memerintahkan wali untuk mengeluarkan ganti rugi
terhadap harta orang lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik rohani, seperti melukai ataupun
membunuh, maka tindakan hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah wajib al-wajib
belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap
untuk bertindak hukum. Maka hukuman yang harusnya menerima qishas digantikan
dengan membayar diyat. Sedangkan apabila orang tersebut telah berstatus ahliyyah ‘ada,
maka ia bertanggung jawab penuh untuk meneri hukuman apapun yang ditentukan oleh
syara atau pengadilan. Misalnya ia diwajibkan membayar ganti rugi terhadap harta orang
lain yang dirusak dan ia pun harus menerima qishah.

3. Halangan ahliyyah
Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak hukum dilihat
dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak
mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah karena
disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Awaridh samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan
oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan
kemudian mati dan lupa.
2. Al awaridh al muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan
manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-
tindakan hukumya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan, mengurangi, dan
mengubahnya. Oleh karena itu, para ushul fiqh membagi halangan bertindak hukum
itu dilihat dari segi objeknya dalam tiga bentuk :
Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertintak, seperti gila, lupa,
dan terpaksa. Sabda Nabi Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan hukum)
dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan Tabrani(
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang seperti
ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat
kecakapannya dalam bertintak hukum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi dirinya
dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.
Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang
yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat
tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi beberapa tindakan
hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.7

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuataannya
dikenai hukum-hukum syariat.
2. Syarat-syarat mahkum ‘alaih : a. Mukalaf yang dituntut melaksanakan
hokum syara’ mampu memahami dalil taklif, baik dalil yang
bersumber dari Al-qur’an maupun Sunnah atau dengan melalui orang
lain. b. Kemampuan memahami dalil tentunya erat hubungannya
dengan perkembangan akal. c. Seseorang yang dapat menanggung
beban taklif atau hukum yang dalam usul fiqh disebut ahlun li al taklif.
3. Taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu unuk mengerjakan
tindakan hukum. Dan adapun syarat-syarat taklif yaitu: a. Orang itu
telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam alqur’an
dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain. b. Seseorang
harus mampu dalam bertindak hukum.
4. Ahliyyah secara etimologi adalah kecakapan menangani sesuatu
urusan. Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di
miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
5. Pembagian Ahliyah 2 macam yaitu : Ahliyyah ada’ dan Ahliyyah Al-
wajib

Anda mungkin juga menyukai