Anda di halaman 1dari 46

SYARIAH ISLAM

(IBADAH & MUAMALAH)


ARTI SYARIAH Menurut istilah Syariah
berarti aturan atau
Syara’ undang undang yang
menjelaskan dan menyatakan sesuatu diturunkan Allah untuk
mengatur hubungan
Asy Syari’atu manusia dengan
suatu tempat yang dapat
menghubungkan sesuatu untuk Tuhan-nya, hubungan
sampai pada sumber air yang tak dengan sesama
ada habis habisnya sehingga
orang membutuhkannya tidak
manusia, dan hubungan
lagi butuh alat untuk manusia dengan alam
mengambilnya. semesta.
Karakteristik Syariah
Tauhidiyyah
Tauhidiyyah adalah konsep yang menjelaskan tentang adanya
sesuatu penguasa alam raya yang tunggal dan mengatur
sesuatu yang berada diluar dan didalamnya.

Rabbaniyyah
Rabbaniyyah adalah konsep yang berasal dari wahyu
Allah, tanpa mengambil sumber lain.

Istiqomah
Istiqomah adalah dimana konsep yang karena Islam bukan
produk pemikiran manusia, bukanproduk lingkungan atau
masa tertentu, juga bukan produk faktor-faktor dunia
Syumuliyyah
Syumuliyyah adalah konsep yang membicarakan
tentang seluruh yang ada di dunia dan di luar dunia ini
secara rinci.
Tawazuniyyah
Tawazuniyyah adalah konsep keseimbangan dalam
segala sendi dan dalam pengungkapan-
pengungkapannya.

Ta’amuliyyah
Ta’amuliyyah adalah keaktivan dalam hubungan Allah
SWT dengan alam dan manusia serta keaktivan
manusia itu sendiri dalam berbagai bidang kegiatannya.

Waqi’iyyah
Waqi’iyyah adalah konsep Islam yang berhubungan
dengan realitas objektif yang memiliki wujud nyata dan
meyakinkan serta jejak bekas yang realitas pula.
Asas Syariah
At-tadarruj fi At-
At-taysir wa raf'ul Taqlilu at-takalif tasyri'(bertahap dalam
haraj menetapkan syariat)
sedikit pembebanan. Pada
hakikatnya, syariat Islam dalam penciptaan
memberikan
sendiri cenderung tidak manusia kita mengetahui
kemudahan dan membebankan umat ada beberapa tahap
menghilangkan dengan perintah – penciptaan yang dialami
kesulitan perintah maupun larangan seorang bayi sebelum ia
– larangan yang banyak lahir ke muka bumi
Ruang Lingkup Syariah

MUAMALAH
(HABLU MIN
IBADAH ANNAS)
(HABLU MIN ALLAH)
IBADAH
 Ibadah merupakan tugas utama manusia
dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya, di samping tugasnya sebagai
khalifah-Nya.
 Manusia yang juga disebut ‘abdun atau ‘abid
(dalam bahasa Arab) sebagai hamba
(penyembah) memiliki kaitan langsung
dengan Allah sebagai Al-Ma’bud (Yang
Disembah).
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S. Adz-
Dzariyat, 51: 56)
 Ibadah merupakan sarana untuk menjadikan
manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah), yang
merupakan salah satu tugas atau fungsi
kehadirannya di muka bumi ini.
 Ibadah merupakan penghambaan atau pengabdian
manusia kepada yang berhak mendapatkannya.
 Sebagai Dzat yang Maha Sempurna, Allah Swt. sama
sekali tidak memiliki ketergantungan kepada
manusia sebagai ‘abid, tetapi sebaliknya justeru
manusialah yang sangat tergantung kepada al-
Ma’bud (Allah Swt.).
Pengertian Ibadah
 Secara etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa
Arab al-‘ibadah, yang berarti taat, menurut,
mengikut, tunduk (Shiddieqy, 1985: 1).
 badah juga berarti menyembah atau mengabdi
(Munawwir, 1997: 886).
 Sedang secara terminologis ibadah diartikan segala
sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridhoan
Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat
(Shiddieqy, 1985: 4).
 Ibnu Taymiyah menyatakan bahwa ibadah merupakan nama
yang digunakan untuk menyebut apa saja yang dicintai dan
diridoi Allah, baik berupa perkataan, amaliah batin, maupun
amaliah zhahir (Az-Zuhaili, 1985: I/81).
 Ibadah yang dimaksud Ibnu Taymiyah ini adalah ibadah
umum yang meliputi salat, zakat, puasa, haji, berbicara
benar, menyampaikan amanah, berbakti kepada kedua orang
tua, menyambung shilaturrahim, memenuhi janji, amar
makruf nahi munkar, jihad melawan orang-orang kafir dan
munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, fakir
miskin, ibnu sabil, dan binatang, berdoa, berzikir, membaca
Alquran, dan yang semisalnya (Az-Zuhaili, 1985: I/82).
Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam,
yaitu ibadah mahdlah (ibadah khusus) dan ibadah
ghairu mahdlah (ibadah umum):
 Ibadah mahdlah/khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata
cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau
dicontohkan oleh Rasulullah.
 Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus
ditaati dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi.
 Penambahan atau pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang
ada dinamakan bid’ah dan berakibat pada batalnya ibadah yang
dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku ketentuan: “Pada prinsipnya
ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya”
(Shiddieqy, 1981: II/91).
 Ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum)
adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya
tidak diatur secara rinci oleh Allah dan
Rasulullah.
 Ibadah umum ini tidak menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi
justeru berupa hubungan antara manusia
dengan manusia lain atau dengan alam yang
memiliki nilai ibadah.
Thaharah
Bahasan tentang thaharah dimasukkan dalam
bahasan ibadah mahdlah karena aturan dalam
thaharah cukup rinci penyebutannya dalam
Alquran dan hadis Nabi. Di samping itu,
masalah thaharah sangat terkait erat dengan
masalah salat. Para ahli fikih memasukkan
bahasan thaharah dalam bahasan salat karena
thaharah merupakan pembuka salat dan
syarat sahnya salat (Az-Zuhaily, 1985: I/87).
 Secara etimologis, kata thaharah berasal dari
bahasa Arab al-thaharah yang berarti bersih
dan ikhlas dari kotoran dan noda, baik yang
bersifat indrawi seperti najis dari air kencing
dan yang semisalnya, maupun yang bersifat
maknawi seperti perbuatan tercela dan
maksiat (Az-Zuhaily, 1985: I/88).
 Secara istilah (syar’iy) thaharah adalah
bersuci dari najis dan hadas.
 Dengan demikian, suci adalah kondisi seseorang yang
bersih dari hadas dan najis sehingga layak melakukan
kegiatan ibadah seperti salat maupun ibadah lainnya.
 Thaharah bertujuan membersihkan badan dari hadas
dan najis. Najis adalah kotoran yang mewajibkan
seorang muslim untuk menyucikan diri dari dan kepada
apa yang dikenainya.
 Sedang hadas adalah suatu kondisi yang menyebabkan
seseorang yang memilikinya wajib berwudu (untuk
hadas kecil) atau mandi junub (untuk hadas besar), dan
tayamum jika tidak ada air untuk wudu dan mandi
junub.
 Hadas kecil adalah hadas yang disebabkan oleh
keluarnya sesuatu dari dua jalan keluar manusia
(qubul/jalan depan dan dubur/jalan belakang,
seperti kentut, berak, dan kencing), hilang akal,
bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrim, dan menyentuh kemaluan manusia
dengan telapak tangan.
 hadas besar adalah hadas yang disebabkan karena
seseorang melakukan hubungan suami isteri
(bersetubuh), keluar air mani bagi laki-laki, atau
setelah bersih dari haid atau nifas serta sehabis
melahirkan bagi perempuan.
 Untuk bersuci dari hadas kecil, seseorang dapat
melakukannya dengan wudu, yakni bersuci dengan memakai
air yang suci dan mensucikan.
 Jika tidak ditemukan air maka wudu dapat diganti dengan
tayamum dengan menggunakan debu (tanah) yang suci,
yakni dengan mengusap muka dan dua tangan.
 Untuk bersuci dari hadas besar, seseorang dapat
melakukannya dengan mandi besar (mandi junub/janabat).
 Jika tidak ada air, seseorang boleh mengganti mandi besar
dengan tayamum.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur (Q.S. Al-Maidah, 5: 6).
Salat
 Salat berasal dari kata bahasa Arab al-shalah
yang berarti doa (Munawwir, 1997: 792).
 Secara syar’iy salat merupakan rangkaian
perkataan dan perbuatan khusus yang
dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam (Az-Zuhaily, 1985: I/497).
 Salat (lima waktu) bagi setiap muslim
hukumnya wajib ‘ain.

Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta


orang-orang yang rukuk (Q.S. Al-Baqarah, 2: 43).
 Selain ayat di atas, perintah wajibnya salat
dapat dibaca juga dalam Q.S. Al-Baqarah, 2:
83 dan 110, Q.S. An-Nisa’, 4: 77 dan 103, Q.S.
Al-Hajj, 22: 78, Q.S. An-Nur, 24: 56, Q.S. Ar-
Rum, 30: 31, Q.S. Al-Mujadilah, 58: 13, dan
Q.S. Al-Muzzammil, 73: 20.
 Agar lebih sempurna, salat lima waktu
hendaknya dilakukan dengan berjamaah di
masjid.
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Salat berjamaah lebih
utama daripada salat seseorang sendirian dengan keutamaan dua puluh
lima bagian.” Dalam riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
“Salat berjamaah lebih utama dari salat sendiri dengan keutamaan dua
puluh tujuh derajat (H.R. Muslim dan An-Nasa’i).
 Di samping salat lima waktu, setiap muslim juga diwajibkan
melakukan salat Jum’at, yaitu salat berjamaah yang dilakukan
pada waktu Zuhur pada hari Jum’at dengan dua rekaat yang
didahului oleh khutbah dua kali.
 Salat Jumat ini hanya diwajibkan bagi muslim laki-laki yang
tidak sedang sakit atau bepergian.
 Selain salat wajib, terdapat pula salat-salat sunnat, seperti
salat Rawatib (yang mengiringi salat wajib), salat Duha, salat
Tahajjud, salat Tarawih, salat Witir, salat ‘Idain (dua hari
raya), salat Istikharah, salat Istisqa’, salat Khusuf (gerhana
bulan), dan salat Kusuf (gerhana matahari).
 Salat merupakan ibadah khusus (mahdlah) yang tata
caranya sudah diatur dan harus sesuai dengan
contoh yang dilakukan Nabi saw. Nabi saw.
bersabda: “Salatlah kamu sekalian sebagaimana
kami salat” (H.R. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
 Salat seseorang dikatakan sah apabila dalam
melaksanakannya ia memenuhi syarat dan rukun
salat dan terhindar dari hal-hal yang
membatalkannya.
 Di antara syarat salat ada yang disebut dengan
syarat wajib salat, yaitu beragama Islam, berakal,
dan baligh atau dewasa (Az-Zuhaili, 1985: I/563-
566) dan syarat sah salat, yaitu mengetahui telah
masuk waktu salat, suci dari hadas besar dan kecil,
suci dari najis, menutup aurat, dan menghadap ke
arah qiblat (Kabah) (Az-Zuhaili, 1985: I/569-604).
 Di samping memenuhi syarat dan rukunnya, seorang yang
melaksanakan salat juga harus dapat menghindari hal-hal
yang menyebabkan salatnya batal. Di antara hal-hal yang
membatalkan salat adalah berbicara, makan atau minum,
banyak bergerak tanpa sebab syar’iy secara berturut-turut
(tiga gerakan atau lebih), membelakangi qiblat, terbukanya
aurat secara disengaja, berhadas kecil atau besar, ada najis di
badan, pakaian, atau tempat yang tidak dimaafkan, tertawa
bersuara, murtad, mengubah niat, dan makmum sengaja
mendahului imam. (Az-Zuhaili, 1985: II/6-24).
 Salat dalam agama Islam menempati tempat
yang paling tinggi di antara ibadah-ibadah
yang lain. Salat dianggap sebagai tiang
agama, dan siapa pun yang melaksanakannya
berarti telah menegakkan agama, dan siapa
pun yang meninggalkannya berarti telah
merobohkan agama.
MUAMALAH
 Secara bahasa muamalah dapat diartikan
sebagai saling bertindak, saling berbuat, dan
saling mengamalkan.
 Sedangkan secara istilah muamalah dapat
diartikan sebagai aturan-aturan Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan
urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
 Dalam konteks muamalah secara makna luas, Ibnu Abidin
membagi muamalah menjadi lima bidang yaitu, muamalah
mu’awadhah maliyah (hukum kebendaan), muamalah
munakahat (hukum perkawinan), muamalah muhasanat
(hukum acara), muamalah amanat dan ‘ariyah (pinjam-
meminjam), dan muamalah tirkah (harta warisan).
 Sedangkan dalam pengertian muamalah secara sempit
(khusus), Dr. Mustafa Ahmad zarqa mengartikan muamalah
sebagai hukum-hukum tentang perbuatan manusia yang
berkaitan dengan hubungan sesama manusia mengenai
harta kekayaan, hak-hak, dan penyelesaian sengketa.
Pembagian Pembahasan Muamalah
 Secara garis besar muamalah dibagi menjadi dua, yang
pertama ialah muamalah al-maddiyah, yaitu muamalah yang
mengkaji objeknya (bendanya).
 Kajian dalam muamalah al-maddiyah ini bersifat kebendaan,
seperti bentuk benda itu, halal, haram, syubhat,
mengandung manfaat atau madharat, dan yang lain
sebagainya.
 Yang kedua ialah muamalah al-‘adabiyah, yaitu muamalah
yang mengkaji subjeknya, seperti kajian ijab-qabul, kerelaan,
penipuan, dusta, sumpah palsu, dan persoalan yang
berkaitan dengan etika bisnis (‘adabiyah) dari pelakunya.
 Meskipun secara garis besar muamalah
dibagi menjadi dua yaitu muamalah al-
maddiyah dan muamalah al-‘adabiyah,
namun pada prakteknya tidak dapat
dipisahkan. Jadi pembagian ini hanyalah
bersifat teoritis saja.
Prinsip Dasar Muamalah
 Prinsip dasar yang paling fundamental dan vital dalam
muamalah adalah maslahat.
 Maslahat dalam muamalah tersebut dapat diwujudkan
dengan memperhatikan atau mempertimbangkan alasan-
alasan rasional dan situasi kondisi dalam setiap kehidupan
manusia.
 Dalam hukum Islam ada istilah taqrir (mengakui), taghyir
(memodifikasi), dan tabhtil (membatalkan).
 Taqrir yaitu praktek yang diakui dan dilanjutkan oleh hukum
Islam seperti wadi’ah, ijarah, syirkah, jual-beli, ‘ariyah, dan
rahn, yang merupakan tradisi yang sudah berkempang pada
masyarakat Arab pra Islam. Dalam bidang munakahat, taqrir
bisa dilihat dengan khitbah atau meminang yang merupakan
tradisi pra Islam yang diakui dan dilanjutkan oleh Islam.
 Taghyir yaitu praktek tradisi dan hukum masyarakat pra Islam
yang dimodifikasi oleh Islam. Sebagai contoh adalah poligami
dan warisan.
 Sedangkan Tabhtil yaitu praktek tradisi dan
hukum pra Islam yang dibatalkan oleh Islam.
Sebagai contoh adalah praktek riba dan jual
beli yang terlarang seperti jual-beli yang
mengandung gharar (ketidakjelasan) dan
jual-beli munabazah atau sistem ijon).
 Adapun prinsip-prinsip dalam bermuamalah adalah sebagai
berikut :
 Tidak mencari rizki pada hal-hal yang haram, baik haram dari
segi dzatnya maupun haram dari segi sifatnya atau cara
mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal
yang haram.
 Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.
 Keadilan pendistribusian untuk kemakmuran. Dalam hal ini
negara mempunyai wewenang melakukan intervensi jika
dibutuhkan, meskipun tidak secara mutlak.
 Transaksi dilakukan atas dasar saling ridho.
 Transaksi terhindar dari unsur riba.
 Transaksi terhindar dari unsur maysir (perjudian).
 Transaksi terhindar dari unsur gharar
(ketidakjelasan).
Perbedaan Prinsip Umum Muamalah
Dengan Ibadah
Adapun prinsip umum muamalah adalah sebagai berikut :
a) Bersifat elastis.
b) Dapat berkembang sesuai zaman dan tempatnya.
c) Bersifat universal.
d) Nash-nash pada umumnya bersifat general (umum).
e) Peluang ijtihad luas.
Sedangkan prinsip ibadah adalah sebagai berikut :
a) Bersifat tetap.
b) Tidak berkembang.
c) Bersifat khusus.
d) Nash-nash bersifat terperinci.
e) Peluang ijtihad lebih sempit.
Fikih Muamalah
 Secara Luas fikih muamalah dapat diartikan sebagai
kumpulan hukum yang disyari’atkan agama Islam
yang mengatur hubungan kepentingan antara
sesama manusia dalam berbagai aspek.
 Sedangkan secara khusus fikih muamalah dapat
diartikan sebagai peraturan yang mengatur
hubungan kebendaan, berisi pembicaraan tentang
hak manusia dalam hubungannya satu sama lain,
seperti hak pembeli terhadap harta dan hak penjual
mendapatkan uang.
Prinsip-Prinsip Fikih Muamalah
1. Hak
Dari segi kepemilikan hak dibagi menjadi hak Allah, hak
manusia, dan hak berserikat. Sedangkan dari segi objek, hak
dibagi menjadi:
 Hak al-mal (hak yang berkaitan dengan harta)
 Hak ghairu al-mal (hak yang tidak berkaitan dengan harta)
 Hal al-syakhsyi (hak pribadi)
 Hak al-aini (hak materi, sebagai contoh misalkan harta ada di
tangan pencuri, maka harta tersebut tetap permanen
menjadi milik yang punya)
 Hak al-mujarrad (hak murni, sebagai contoh dalam persoalan
hutang piutang, apabila pihak pemberi hutang
menggugurkan hutangnya, maka hal tersebut tidak memberi
bekas sedikitpun bagi yang berhutang)
 Hak ghairu al-mujarrad (Hak apabila digugurkan tetap
memberikan bekas pada pelanggar hak. Sebagai contoh
qisas, apabila ahli waris memaafkan pembunuh, maka
pembunuh yang tadinya halal dibunuh menjadi halal
dibunuh)
2. Milik, yaitu pengkhususan seseorang terhadap
suatu benda yang memungkinkan untuk bertindak
terhadap benda tersebut sesuai dengan
keinginannya. Adapun sebab-sebab milik adalah
sebagai berikut :
 Ikhraj al-mubahat, yaitu melalui penguasaan harta
yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum.
 Al-milk bi al-aqd, yaitu kepemilikan yang terjadi
melalui suatu akad yang dilakukan dengan
seseorang atau badan hukum, seperti jual-beli,
hibah, dan wakaf.
 Al-milk bi al-khalafiyah, yaitu kepemilikan
yang terjadi dengan cara penggantian dari
seseorang kepada orang lain (waris), maupun
penggantian suatu dari suatu benda yang
disebut tadmin atau ta’wid (ganti rugi).
 Tawallud min mamluk, yaitu hasil dari harta
yang dimiliki seseorang, baik hasil itu datang
secara alami (seperti buah di kebun yang
dimilikinya).
3. Harta, yaitu segala sesuatu yang menyenangkan manusia
dan dipelihara baik-baik dalam bentuk materi ataupun
dalam bentuk manfaat. Ulama fiqh membagi harta yang bisa
dimiliki seseorang kedalam tiga bentuk, yaitu :
 Harta yang bisa dimiliki dan dijadikan dalam penguasaan
seseorang secara khusus, misalnya milik yang dihasilkan dari
sebab-sebab kepemilikan.
 Harta yang tidak bisa dijadikan milik pribadi, yaitu harta yang
ditetapkan untuk kepentingan umum.
 Harta yang bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang
membolehkannya.
4. Tasharruf, yaitu segala tindakan yang muncul dari seseorang
dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak
atas orang tersebut. Ada dua macam bentuk tasharruf, yaitu:
 Tasharruf fi’li, yaitu segala tindakan yang dilakukan dengan
anggota badan selain lidah.
 Tasharruf qauli. Ada dua bentuk dari tasharruf qauli, yaitu
qauli aqdi dan qauli ghairu aqdi. Qauli aqdi adalah perkataan
kedua belah pihak yang berhubungan seperti jual-beli dan
sewa-menyewa. Sedangkan qauli ghairu aqdi adalah
pernyataan mengadakan hak atau menggugurkannya (seperti
wakaf dan talak), dan ada yang berupa tuntutan hak seperti
gugatan, ikrar dan sumpah untuk menolak gugatan.
Daftar Pustaka
Az-Zuhaili, Wahbah. 1985. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh I-VIII. Cet. II.
Damaskus: Dar al-Fikr.
---------------. 1986. Ushul Fiqh al-Islami. Damaskus: Darul Fikr.
---------------. 1989. Al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar-al-Fikr.
Drs. Syamsi Moh. , dkk. 2004. RANGKUMAN PENGETAHUAN AGAMA
ISLAM. Surabaya: Amelia Surabaya.
Jaser ‘Audah. 2013. Al Maqasid. (penerj.Ali Abdulmon’im). Yogyakarta: SUKA
Press.
Marzuki, 2008. “Sumber Ajaran Islam” dalam Ajat Sudrajat, dkk. Din al-Islam.
Yogyakarta: UNY Press.
Nuryana Zalik, S.Pd.I. 2012. PENDIDIKAN IBADAH/MU’AMALAH.
Yogyakarta: Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Prof.Dr.H.Ali Zainuddin,M.A. .2006. HUKUM ISLAM. Jakarta: Sinar Grafika.
Drs. H. Mahfud Rois, M.Pd. . 2010. AL – ISLAM. Palangkaraya: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai