Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MAQASHID SYARIAH

Dosen Pembimbing : Nevi Hasnita, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh:

M Ridwan (190603384)
Maghriza Irantoni (180603216)
Arief Meutuah (190603042)
Sahli (160603102)
Zahrial Fakhri (170603111)
Muhammad Ahlul Nazar (170603123)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UIN AR-RANIRY


BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Dalam makalah ini
saya akan membahas tentang “Maqashid Syariah”. Dan juga saya berterima kasih kepada Ibu
Nevi Hasnita, S.,Ag, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Pelayanan Publik di Universitas Uin Ar
- Raniry. Makalah ini disusun sebagai tambahan pengetahuan pada mata kuliah Pelayanan
Publik. Selain itu, makalah ini juga dapat menambah wawasan kita.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah membimbing
saya dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Banda Aceh, 02 Mei 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Pengertian Maqashid Syariah.................................................................................................2
B. Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat.......................................................................................3
C. Implikasi Dan Signifikasi Maqashid Syariah Dalam Muamalah.........................................5
D. Maqashid Syariah Dan Teori Perilaku Konsumen Dalam Aktivitas Muamalah
Kontemporer....................................................................................................................................5
BAB III..................................................................................................................................................6
PENUTUP.............................................................................................................................................6
A. Kesimpulan..............................................................................................................................6

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an mengandung konsep hukum yang unik. Sebagai hukum Tuhan, konsep
hukum dalam Al-Qur’an tentunya memiliki karakteristik yang ideal dalam mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia. Demikian juga hadis sebagai bayan (penjelas) terhadap al-
Qur’an mengandung aturan- aturan hukum syariah yang pada dasarnya mengarah kepada
kepentingan manusia. Dalam konteks ini munculnya tudingan dari sementara pihak- baik
dari kalangan non-muslim mau pun dari kalangan umat Islam sendiri- bahwa hukum syariah
mengabaikan kemanusiaan sehingga cenderung tidak manusiawi bahkan kejam masih perlu
diperdebatkan.
Syariat Islam adalah ajaran-ajaran Ilahi yang disampaikan kepada manusia lewat
wahyu. Dengan demikian, hukum - hukum yang dikandung syariat Islam bukanlah berasal
dari pemikiran manusia semata. Pemikiran manusia maksimal hanya berfungsi memahami
kandungan syariat, atau menemukan tafsirannya serta cara penerapannya dalam kehidupan,
tetapi syariat itu sendiri berasal dari Allah. Oleh karena itu syariat Islam tidak dapat
dilepaskan dari landasan filosofis imani.
Di samping itu syariat Islam mempunyai satu kesatuan sistem yang menjadikan dalil-
dalil syariat itu berada dalam satu jalinan yang utuh, tak terpisahkan, dan antara satu dengan
lainnya saling mendukung, serta dalil yang satu berfungsi sebagai penjelasan bagi dalil yang
lain.
Bertolak dari prinsip dari kesatuan dalil tersebut maka pemahaman terhadap syariat
Islam tidak cukup hanya berdasarkan tekstualnya namun harus juga memperhatikan spirit
(tujuan serta rahasia) syariat itu sendiri, sehingga syariat Islam dapat menjadi rahmat yang
membawa hikmah yang besar bagi umat manusia. Memang di dalam al-Qur’an sendiri
terdapat sekitar 500 ayat yang sifatnya mutlak, kekal dan tidak dapat diubah. Namun
perincian dari ajaran pokok tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan, waktu dan tempat,
sehingga Islảm sảlihun likulli zaman wa makan.
Selaras dengan uraian di atas, setiap mujtahid haruslah mengetahui ruh syariat yang
menempatkan manusia sebagai ciptaan Allah dan menjalani hidup di dunia dalam
kapasitasnya untuk mengabdi kepada Allah, dengan jalan mengetahui maqasid, tujuan syảri’
menurunkan syari’at kepada manusia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Syariah


Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
umat manusia.
Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al - Syari’ah yang
berhubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata
maqashid adalah jamak dari kata maqshad yang berarti adalah maksud dan tujuan. Kata
Syariah yang sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah,
maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan Allah atau
dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan Allah atau dijelaskan oleh Nabi.
Karena yang dihubungkan kepada kata syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata
syari’ah berarti pembuat hukum atau syar’i, bukan hukum itu sendiri. Dengan demikian,
kata maqashid al-syari’ah berarti apa yang dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum,
apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin di capai oleh Allah
dalam menetapkan suatu hukum.

B. Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat


Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyyah, kebutuhan hajiyat dan kebutuhan tahsiniyat.

1. Kebutuhan Dharuriyat (primer)
Kebutuhan dharuriyat  ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atas disebut dengan
kebutuhan primer. Yakni sesuatu yang sangat perlu dipelihara atau diperhatikan seandainya
tidak atau terabaikan membawa kepada tidak ada atau tidak berartinya kehidupan. Bila
tingkat kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun akhirat.

2
Menurut al-Syatibi ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta
memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap
ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah
untuk memelihara lima pokok di atas.

Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad;

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu
hanya semata-mata untuk Allah.  (QS. Al-Baqarah: 193).

Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishah;

Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 179)
Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkannya perang adalah untuk melancarkan
jalan dakwah bilamana terjadi gagguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah
Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan
itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

2. Kebutuhan Hajiyat (sekunder)
Kebutuhan hajiyat  ialah kebutuhan - kebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak
terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
Artinya sesuatu kebutuhan untuk memeliharanya, jika tidak dipelihara tidak membawa pada
hancurnya kehidupan, tetapi hanya menimbulkan kesulitan - kesulitan atau kekurangan
dalam melaksanakannya. Syariat Islam menghilangkan segala kesalahan itu. Adanya
hukum rukhshah  (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai
contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariakan beberapa hukum rukhshah (keringanan)
bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.

3
Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak
tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang
yang sedang sakit. Kebolehan men-qasar  shalat adalah dalam rangka memenuhi
kebutuhan hajiyat ini.
Dalam lapangan mu’amalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-
macam jual beli, sewa menyewa, syirkah  (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan
modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa ‘uqubat (sanksi hukum), Islam
mensyariatkan hukuman diyat  (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan
hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk
menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempatan menimbulkan keringanan dalam
syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga.[33] Misalnya,
Surat Al-Maidah ayat 6;
Dan dia (Allah) tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.  (QS. Al-Maidah: 6)
Dan surat al-Hajj: 78;
..... Allah tidak hendak menyulitkan kamu......  (QS. Alj-Hajj; 78)

3. Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier)
Kebutuhan tahsiniyat  ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok dan tidak menimbulkan kesulitan.
Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal
yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak
dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan
akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah
mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan
ibadat, kata Abd. Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis
atau dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan
berhias ketika hendak ke masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros, kikir, manaikkan harga, monopoli,
dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengaharamkan membunuh anak-anak dalam
peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan).

4
Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6
surat al-Maidah;
Tetapi DIa (Allah) hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu supaya kamu bersyukur. (QS. Al-MAidah: 6)

C. Implikasi Dan Signifikasi Maqashid Syariah Dalam Muamalah

Implikasi Maqashid terhadap Teori Perilaku Ekonomi


Aturan-aturan dalam syari‘ah sangat terkait dengan berbagai dimensi aspek
perilaku manusia. Aspek ekonomi hanyalah salah satu dari serangkaian perilaku manusia.
Pembahasan sebelumnya mengenai teori Maqashid semestinya mempunyai implikasi
terhadap perilaku ekonomi setiap individu muslim. Selain itu para ekonom muslim juga
tidak boleh melupakan implikasi – implikasi tersebut saat melakukan analisis ekonomi
dalam framework Islam. Menyusun dan menguraikan implikasi Maqashid dalam teori –
teori ekonomi merupakan sebuah tantangan dan tugas yang sangat berat, yang harus selalu
diupayakan oleh para ekonom muslim. Uraian di bawah ini berupaya untuk menderivasikan
teori Maqashid ke dalam teori ekonomi. Namun demikian uraian yang akan kami sampaikan
ini baru sebatas dalam dataran inisiatif untuk berproses yang tidak bersifat exhaustic (habis
pakai) dan final.

Problem Ekonomi
Problem ekonomi biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang
diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-
pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas,
sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori - teori dalam
ekonomi konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di
atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan problem
ekonomi manusia.
Dalam perspektif Syari‘ah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus
terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga
kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada
maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan

5
akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut
dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan (meeting/fulfilling
needs) dan bukan memuaskan keinginanan (satisfying wants) merupakan tujuan dalam
aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama.
Oleh karena fulfilling needs merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga
menjadi sebuah kekuatan pemaksa bagi masyarakat yang tidak mempunya keinginan untuk
melakukan pembangunan ekonomi.

Signifikasi Maqashid Syariah Dalam Muamalah


Tujuan akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan syariat Islam (maqashid al-
syari’ah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata
kehidupan yang baik dan terhormat (hayah thayyibah). Inilah kebahagiaan hakiki yang di
dambakan oleh setiap manusia, bukan kebahagiaan semua yang justru sering kali
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Untuk menyusun sebuah bangunan ekonomi
Islam, tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid. Bahkan, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu
‘Asyur pernah mengatakan bahwa melupakan pentingnya sisi maqashid dalam syariat Islam
adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fikih. Menghidupkan kembali
ekonomi Islam yang telah sekian lama terkubur dan nyaris menjadi sebuah fosil,
merupakan lahan ijtihadi. Ini artinya bahwa dituntut kerja keras (ijtihad) dari para ekonom
Muslim untuk mencari nilai - nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah yang
terkait dengan ekonomi. Untuk selanjutnya nilai-nilai ideal tersebut di derivasikan menjadi
teori - teori ekonomi yang kemudian dapat dijadikan rumusan di dataran praksis. Selain itu,
tawaran tentang Fiqh Maqashid nampak nya menjadi salah stimulan yang layak
dikembangkan oleh para ekonom Muslim untuk mengembangkan ekonomi Islam.
Fikih Maqashid akan mengakhiri babakan sejarah yang selama ini menghadirkan
fikih dalam wajahnya yang kaku, out of date, sakral, nyaris untouchable dan tidak
mempunyai daya sentuh yang maksimal di lapangan. Yusuf al - Qardhawi melihat
kenyataan mandulnya fikih ini di tandai dengan sistematisasi fikih yang dimulai dengan
pembahasan mengenai ibadah.
Menurutnya, karakteristik fikih yang seperti ini telah memandulkan cara pandang
fikih terhadap masalah sosial, politik, dan ekonomi. Ekonomi Islam yang dalam banyak hal
adalah reinkarnasi dari fikih muamalat sudah semestinya mengembalikan kelenturan dan
elastisitas fikih dengan menjadikan maqashid al - syari’ah sebagai the ultimate goal dalam

6
proses tersebut. Mengutip pendapat Masdar F. Mas’udi, bahwa dalam masalah muamalat,
irama teks tidak lagi dominan, tetapi yang dominan adalah irama maslahat. Pendapat (al-
qawl) yang unggul bukan hanya memiliki dasar teks tapi juga bisa menjamin kemaslahatan
dan menghindar dari kerusakan (al - mafsadah). Oleh karenanya, menggunakan kacamata
fikih maqashid untuk mengoperasionalisasikan nilai - nilai kemanusiaan universal, seperti
kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan ke dalam ekonomi Islam menjadi sebuah
keniscayaan.
Ekonomi Islam semestinya dibangun tanpa menafikan realitas yang ada namun tetap
dalam bingkai maqashid al-syari’ah. Ini karena maqashid al - syari’ah sendiri berupaya
untuk mengekspresikan penekanan terhadap hubungan antara kandungan kehendak (hukum)
Tuhan dengan aspirasi yang manusiawi. Sampai di sini dapat ditarik sebuah benang merah
bahwa teori Maqāṣhid menempati posisi yang sangat sentral dan vital dalam merumuskan
metodologi pengembangan ekonomi Islam. Bahkan, asy - Syaṭibi sendiri menyatakan bahwa
maqashid al - syari’ah merupakan ushulnya. Ini berarti bahwa menyusun uṣul fiqh sebagai
sebagai sebuah metodologi, tidak dapat lepas dari maqashid al - syari’ah. Hal ini karena
teori maqāṣhid dapat mengantarkan para mujtahid untuk menentukan standar kemaslahatan
yang sesuai dengan syariat/hukum.
Uraian di atas menunjukkan bahwa maqashid al - syari’ah menjadi landasan dasar
untuk mencapai tujuan akhir ekonomi Islam, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayah thayyibah).
Karenanya, konsep maqashid al-syari’ah menjadi landasan dasar perilaku individu maupun
lembaga baik sebagai produsen, konsumen, karyawan. Dengan demikian konsep maqashid
al - syari’ah memiliki peranan penting dalam menentukan dalam bidang produksi dan
pemasaran sesuai prinsip - prinsip syariat Islam.

D. Maqashid Syariah Dan Teori Perilaku Konsumen Dalam Aktivitas Muamalah


Kontemporer.
a) Maqashid Syariah dan Teori Perilaku Produsen

Teori Perilaku Produsen adalah teori yang menjelaskan tentang bagaimana


tingkah laku produsen dalam menghasilkan produk yang selalu berupaya untuk mencapai
efisiensi dalam kegiatan produksinya. Produsen berusaha untuk menghasilkan produksi
seoptimal mungkin dengan mengatur penggunaan faktor produksi yang paling efisien.

7
Produsen adalah orang atau suatu badan usaha/perusahaan yang melakukan fungsi
menaikan nilai guna suatu barang atau jasa sehingga dapat menghasikan barang konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Produksi adalah setiap kegiatan yang dapat
meningkatkan nilai guna suatu barang. Perilaku produsen adalah kegiatan pengaturan
produksi sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi sehingga bisa diterima di
masyarakat.

Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan
konsumsi sering kali dilakukan oleh seseorang sendiri. Seseorang memproduksi sendiri
barang dan jasa yang dikonsumsinya. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan
konsumsi dan keterbatasan sumber daya yang ada (termasuk kemampuannya), maka
seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya,
tetapi memperoleh dari pihak lain yang mampu menghasilkannya. Karenanya kegiatan
produksi dan konsumsi kemudian dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Untuk
memperoleh efesiensi dan meningkatkan produktivitas, munculah spesialisasi dalam
produksi.
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi
definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi
mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter- karakter yang melekat
padanya.

b) Maqashid Syariah Dalam Kebijakan Fiskal

Bagi al-Syatibi adanya pemerintahan yang mengatur rakyat merupakan salah satu
maslahah dharuri yang harus dipenuhi. Pemerintah diwujudkan guna memenuhi
maslahah dunia para rakyatnya. Maslahah akhirat tidak akan terwujud jika maslahah
dunia tidak terpenuhi. Maka dari itu wujud pemerintahan merupakan maslahah dharuri
bagi manusia. Segala kebijakan pemerintah juga harus bertujuan maslahah sebagaimana
kaidah fiqh tasharrufu al-imam manuthun bi al-maslahah segala macam perbuatan
pemimpin harus berlandaskan maslahah rakyatnya.
Guna mempraktekkan maslahah dalam pemerintahan, al-Syatibi memiliki
beberapa pemikiran mengenai kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal mencakup tiga aspek,

8
yaitu: (1) belanja negara, (2) pajak, dan (3) biaya rumah tangga. Dalam bagian ini akan
dijelaskan mengenai kebijakan fiskal menurut al-Syatibi.

1. Kebijakan Mengenai Belanja Negara


Al-Syatibi memiliki pemikiran mengenai asas-asas manajemen belanja negara,
Ia berpendapat bahwa manajemen belanja negara harus memenuhi kriteria tertentu.
Kriteria tersebut adalah maqashid syariah harus ditegakkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, ia berargumen bahwa kepentingan publik
terdiri dari tiga kategori, yaitu: primer (dharuriyah), sekunder (hajjiyah), dan pelengkap
(tahsiniyah). Secara lebih terperinci, al-Syatibi menjelaskan bahwa belanja negara harus
memenuhi kebutuhan primer yang mencakup lima dimensi fungsi. Lima dimensi
tersebut adalah fungsi keagamaan (din), fungsi kebutuhan dasar (nafs), fungsi pendidikan
(‘aql), fungsi ketahanan dan pemberdayaan keluarga (nasl), dan fungsi ekonomi (mal).
Segenap klasifikasi kebutuhan yang dipaparkan al-Syatibi menunjukkan bahwa
manajemen belanja negara bertujuan syari’ah yang focus pada kesejahteraan masyarakat
atau kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Kebijakan Mengenai Pajak


Tidak hanya dalam hal belanja negara, al-Syatibi juga menegakkan maslahah
dalam pemungutan pajak. Ia berpendapat bahwa pemungutan pajak harus berasaskan
maslahah sebagaimana yang diajarkan oleh pendahulunya, Imam al-Ghazali dan Ibnu
al-Farra’. Ia berargumen bahwa kepentingan umum atau maslahah bersama adalah
tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapai maslahah bersama
diperlukan adanya bantuan dari orang yang lebih kepada orang yang membutuhkan,
seperti bantuan orang kaya untuk orang miskin. Demi memudahkan dan meratakan
distribusi harta, pemerintah dibolehkan untuk membangun baitul mal yang bertugas
memungut pajak dari berbagai pihak meskipun pajak belum pernah ada dalam sejarah
Islam. Hal ini dibolehkan karena pajak semata-mata untuk maslahah umat. Namun jika
pajak sudah tidak berlandaskan maslahah bahkan mendzolimi masyarakat, maka
pemungutan pajak harus dihentikan.

3. Kebijakan Mengenai Biaya Rumah Tangga

9
Dalam hal biaya rumah tangga, al-Syatibi memiliki pemikiran dalam hal regulasi
upah minimum. Ia berpendapat bahwa syariah meliputi aqidah, amaliyah dan juga
khuluqiyah. Regulasi upah minimum masuk ke dalam amaliyah yang harus dikerjakan
sesuai dengan ajaran Islam. Upah minimum rakyat diregulasi berdasarkan kebutuhan
mereka di dunia. Penentuan kebutuhan rakyat tersebut harus sesuai dengan maqashid
syariah.

Penentuan kebutuhan manusia dilakukan dengan maqashid syariah karenanya


indicator terlengkap untuk kebutuhan. Menurut Maslow, kebutuhan seseorang tidak
dapat dipenuhi secara bersamaan namun bertahap sesuai dengan hirarkinya. Maslow
memiliki konsep hierarchy of needs yang berarti kebutuhan manusia berjenjang
berdasarkan skala prioritasnya. Hirarki tersebut adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan
keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi
diri. Jika dianalisa mendalam, Nampak bahwa hirarki Maslow sepenuhnya telah
terkandung dalam maqashid syariah. Bahkan konsep maqashid yang dipaparkan al-
Syatibi memiliki keunggulan yaitu meletakkan agama sebagai factor utama dalam
elemen kebutuhan.

c) Maqashid Syariah Dalam Kebijakan Moneter


Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan
perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan
mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah
meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga
(inflasi terkontrol).
Kebijakan moneter merupakan peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan
oleh otoritas moneter untuk mengontrol uang yang beredar, inflasi, dan untuk
memelihara stabilitas ekonomi suatu negara. Hal ini dapat dicapai dengan
beberapa cara, seperti perubahan suku bunga, operasi pasar terbuka, serta
amandemen cadangan aset dan simpanan tertentu. Dalam pelaksanaanya, strategi
kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda disetiap negara, sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dan mekanisme transaksi yang berlaku pada perekonomian
negara tersebut.

10
Dalam makalah ini kami mengangkat contoh tentang penerapan
instrument kebijakan moneter Islam di Indonesia.

Bank yang berdasarkan syariah Islam, BI menjalankan fungsinya bank


sentral dengan instrumen-instrumen sebagai berikut:

a. Giro Wajib Minimum (GWM): biasa dinamakan juga statutory reserve


requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro
pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan Persentase tertentu dari
dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung
pelaksanaan prinsip kehati - hatian perbankan (Prudential Banking) serta
berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah
peredaran uang.

b. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu


instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan
dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana
penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami
kekurangan dana.

c. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia


sesuai dengan syariah Islam. SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank
syariah yang kelebihan liquiditas sebagai sarana penitipan dana jangka
pendek.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia. Aturan-aturan dalam syari‘ah sangat terkait dengan berbagai dimensi aspek
perilaku manusia. Aspek ekonomi hanyalah salah satu dari serangkaian perilaku manusia.
Mengenai teori Maqashid semestinya mempunyai implikasi terhadap perilaku ekonomi setiap
individu muslim.

12
13

Anda mungkin juga menyukai