Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PEMASARAN SYARIAH

MAQASHID SYARIAH DALAM EKONOMI ISLAM


Untuk Memenuhi Mata Kuliah, PEMASARAN SYARIAH

DOSEN PENGAMPUN :
FUADI SE, MSM

DI SUSUN OLEH:
NADILA SIFANTI 180440051
APRILLIA ZIRALUO 180440064
RESSY ARMIANDA 180440049
YUTIA NINGSI 180440054
NABILA 17

JURUSAN EKONOMI ISLAM 5D


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2019-2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini
dengan judul makalah tentang Maqashid Syariah. Telah menjadi tekad saya sejak
awal untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
saya mengerjakan makalah ini dengan sungguh-sungguh dan memberikan berbagai
informasi tentang Maqashid Syariah. Sebagai makhluk yang lemah dan tak
sempurna, saya mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan makalah ini. Saya
mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam
menyelesaikan makalah ini.

Bireuen, 08 Desember 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2

A. Pengertian Maqasihd Syariah ............................................................ 2


B. Tujuan Maqashid Syariah .................................................................. 4
C. Pengembangan Maqashid Syariah ..................................................... 10
D. Penerapan Maqashid Syariah Fatwa DSN .......................................... 12
E. Keputusan Konsumen dengan Maqashid Syariah ............................... 13

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 15

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 16

ii
1
1
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Al-Qur’an mengandung konsep hukum yang unik. Sebagai hukum Tuhan,
konsep hukum dalam Al-Qur’an tentunya memiliki karakteristik yang ideal dalam
mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Demikian juga hadis sebagai bayan
(penjelas) terhadap al-Qur’an mengandung aturan- aturan hukum syariah yang pada
dasarnya mengarah kepada kepentingan manusia. Dalam konteks ini munculnya
tudingan dari sementara pihak- baik dari kalangan non-muslim mau pun dari
kalangan umat Islam sendiri- bahwa hukum syariah mengabaikan kemanusiaan
sehingga cenderung tidak manusiawi bahkan kejam masih perlu diperdebatkan.

Syariat Islam adalah ajaran-ajaran Ilahi yang disampaikan kepada manusia


lewat wahyu. Dengan demikian, hukum-hukum yang dikandung syariat Islam
bukanlah berasal dari pemikiran manusia semata. Pemikiran manusia maksimal
hanya berfungsi memahami kandungan syariat, atau menemukan tafsirannya serta
cara penerapannya dalam kehidupan, tetapi syariat itu sendiri berasal dari Allah.
Oleh karena itu syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari landasan filosofis imani.

Di samping itu syariat Islam mempunyai satu kesatuan sistem yang


menjadikan dalil-dalil syariat itu berada dalam satu jalinan yang utuh, tak
terpisahkan, dan antara satu dengan lainnya saling mendukung, serta dalil yang satu
berfungsi sebagai penjelasan bagi dalil yang lain.

Bertolak dari prinsip dari kesatuan dalil tersebut maka pemahaman terhadap
syariat Islam tidak cukup hanya berdasarkan tekstualnya namun harus juga
memperhatikan spirit (tujuan serta rahasia) syariat itu sendiri, sehingga syariat
Islam dapat menjadi rahmat yang membawa hikmah yang besar bagi umat manusia.
Memang di dalam al-Qur’an sendiri terdapat sekitar 500 ayat yang sifatnya mutlak,

1
kekal dan tidak dapat diubah. Namun perincian dari ajaran pokok tersebut dapat
disesuaikan dengan keadaan, waktu dan tempat, sehingga Islảm sảlihun likulli
zaman wa makan.

Selaras dengan uraian di atas, setiap mujtahid haruslah mengetahui ruh


syariat yang menempatkan manusia sebagai ciptaan Allah dan menjalani hidup di
dunia dalam kapasitasnya untuk mengabdi kepada Allah, dengan jalan mengetahui
maqasid, tujuan syảri’ menurunkan syari’at kepada manusia.

2. Rumusan Masalah
1. Pengertian maqasid syari’ah?
2. Bagaimana konsep dan Pengembangan maqasid syari’ah?
3. Penerapan maqasid syari’ah dalam fatwa DSN ?
4. Keputusan Konsumen dengan maqasid syari’ah ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Syariah


Sebagai sumber utama ajaran Islam, ada ulama yang membagi kandungan
al-Qur’an dalam tiga kelompok besar: aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah. Aqidah
berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan etika atau
akhlak. Sedangkan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang timbul
dari ungkapan-ungkapan (aqwảl) dan perbuatan-perbuatan (af’al) manusia.
Kelompok ketiga ini, dalam sistematika hukum Islam dibagi dalam dua bagian
besar, yaitu (1) ibadah, yang di dalamnya diatur pola hubungan manusia dengan
Tuhan, dan (2) muamalah yang di dalamnya diatur pola hubungan antara sesame
manusia.
Al-Qur’an selaku sumber ajaran, tidak memuat aturanaturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Buktinya, hanya terdapat 368 ayat yang
berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal ini berarti, bahwa sebagian masalah-
masalah hokum dalam Islam, oleh Tuhan hanya diberikan dasar-dasar atau prinsip-
prinsipnya saja dalam al-Qur’an. Dasar-dasar atau prinsip-prinsip ini, dijelaskan
lebih lanjut oleh Nabi saw melalui hadis-hadisnya.
Bertolak dari dua sumber inilah kemudian, aspek-aspek hukum terutama
bidang muamalah dikembangkan dengan mengaitkannya dengan maqasid al-
syari’ah.
Secara bahasa Maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan,
qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja. Makna
ini dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada
ilaihi). Sedangkan syari’ah secara bahasa menunjukkan kepada tiga pengertian,
yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan awal dari pada
pelaksanaan suatu pekerjaan.
Dari makna al maqashid dan al syariah secara bahasa, kita dapat
mengambil pengertian bahwa maqashid al syariah adalah tujuan-tujuan dan rahasia-

3
rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan
pemenuhan manfaat umat.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqasid al syariah adalah nilai-
nilai dan sasaran syariat yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan
rahasia syariah, yang ditetapkan oleh alsyari' dalam setiap ketentuan hukum. AL
Syatibi menjelaskan bahwa tujuan ditetapkannya hukum Allah adalah untuk
kemaslahatan manusia. Sedangkan Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid
al-alsyari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular
untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan
mubah.
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid al-syari’ah dengan makna
dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi
kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih
disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum
yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia
maupun di akhirat.
Menurut Satria Effendi M. Zein, maqasid al-syari’ah adalah tujuan Allah
dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis sebagai alasan logis bagi rumusan
suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan manusia. Al-Syatibi
melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis,
bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, mustahil Allah menurunkan hukum tanpa tujuan
tertentu, dan tujuan tersebut adalah untuk manusia.

B. Tujuan Maqasid Syari’ah


Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah, baik dalam al-Qur’an
maupun hadis yang dirumuskan dalam fiqh (hukum Islam), akan terlihat bahwa
semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya

4
mengandung hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia,
sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiya (21): 107.

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk


(menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Ungkapan ‘rahmat bagi seluruh alam’ dalam ayat di atas diartikan dengan
kemasalahatan umat. Dalam kaitan ini para ulama sepakat, bahwa memang hukum
syara’ itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia.
Substansi maqashid al-syari’ah adalah kemashlahatan. Kemashlahatan
dalam taklif tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu: pertama, dalam bentuk hakiki,
yakni manfaat langsung dalam arti kausitas; kedua, dalam bentuk majazi, yakni
bentuk yang merupakan membawa kepada kemashlahatan.
Maka di sini kemashlahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
maqashid alsyari’ (tujuan pembuat hukum/tuhan) dan maqashid al-Mukallaf
(tujuan mukallaf), sebagai berikut:
1. Maqashid al-syari’ah dalam arti maqashid al-syari’ mengandung empat
aspek, yaitu:
a. Kemashlahatan

Islam sebagai agama samawi mempunyai kitab suci al-Qur’an


sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di
kalangan ulama ada yang membagi kepada tiga kelompok besar, yaitu
aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar
keimanan, khluqiyah berkaitan dengan etika, dan amaliyah berkaitan
dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan)
dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia). Kelompok terakhir ini dalam
sistematika hukum. Islam dibagi ke dalam dua besar, yaitu ibadat (pola
hubungan manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan manusia
dengan manusia).

5
Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat aturan-aturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari 6360 ayat al-Qur’an hanya
terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.
Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah
hukum Islam, oleh tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al-Qur’an.
Bertitik tolak dari prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat hadits
Rasulullah SAW. Berdasarkan atas dua sumber inilah kemudian, dari aspek
hukum terutama dalam konteks muamalah dikembangkan oleh ulamadi
antaranya al-Syatibi (W.790) yang telah mencoba mengembangkan pokok
atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu dengan
mengaitkan dengan maqashid alsyari’ah. Dalam karyanya, al-muwafaqat,
Asy-Syatibi menggunakan kata yang berbeda-beda yang berkaitan dengan
maqashid al-syari’ah. Kata tersebut adalah maqashid al-syari’ah,
almaqashid al-syari’ah fi al-syari’ah, dan maqashid min syar’i hukm. Pada
prinsipnya, penemaan kata-kata yang berbeda tersebut mengandung
pengertian yang sama, yaitu tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT.
Syari’at Islam datang sebagai rahmat bagi umat manusia,
memberikan nasehat bahkan penyembuh terhadap apa-apa yang terdapat di
dalam hati, karena itu Islam dalam pelaksanaan hukum-hukumnya terbagi
kepada tiga segi (unsur). Pertama, sebagai pendidikan secara individu untuk
mampu menciptakan kebaikan secara kolektif; kedua, untuk melaksanakan
keadilan dalam kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan yang
nantinya kedudukan manusia sama di depan undang-undang dan putusan.
Sehingga tidak dibedakan lagi antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan
yang lemah; ketiga, dari aspek hukum Islam, esensi dan substansinya yaitu
kemashlahatan, sebab apa yang disyari’atkan Islam lewat nash di dalamnya
terdapat hakekat maslahat.
Setiap seruan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah
menyuruh, tentunya ada kemashlahatan untuk umat manusia, apakah
dijelaskan sendiri alasannya atau tidak, maupun menjelaskan kenapa suatu

6
perbuatan dilarang, tentunya juga ada kemashlahatan untuk manusia agar
manusia tidak masuk kedalam kehancuran.

Sebagaimana yang dijelaskan al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat


:
“Syari’at itu bertujuan untuk kemashlahatan manusia (hamba), cepat
ataupun lambat secara bersamaan, dan ajakan ini pasti berasal petunjuk
tuhan, apakah itu membawa kemashlahatan (shihhah) ataupun kehancuran
(fasad)”.

b. Sesuatu yang Harus Dipahami


Metode memahami maqashid al-syari’ah diidentik dengan
pengetahuan tentang pengkajian kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Secara faktual, nash terdiri dari huruf-huruf arab atau bahasa arab dengan
sejumlah kaidahnya, maka salah satu cara untuk memahami maqashid al-
syari’ahadalah pemahaman kebahasaan. Namun pendekatan kebahasaan
saja tidaklah cukup, sebab syari’at itu sering kali memakai bahasa di luar
pengertian lafaz dan kaedah kebahasaan.
Oleh karena itu, para mujtahid dalam menggali hukum yang
terkandung dalam syari’at sering keluar dari konteksss bunyi lafaz dan
memakai teks dengan arti baru. Cara ini disebut dengan metode ma’nawi.

1) Mamahami al-syari’ah melalui bunyi lafaz.


Ada dua kemungkinan pemahaman disebabkan oleh dua hal yaitu:
a. Lafaz itu digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang
sama, misalnya kataquru’ (QS. al-Baqarah: 228) yang berarti suci
atau haid. Kata ‘aqdatu al-nikah (QS. al-Baqarah: 237) yang
mengandung arti wali atau istri. Kemudian kata“lamastumu” (QS.
an-Nisa: 43) dapat berarti bersetubuh atau bersentuh kulit.
b. Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya
mendatangkan keraguan. Keraguan itu disebabkan penggunaan

7
sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT., padahal Allah
SWT tidak sama dengan makhluknya. Umpamanya penggunaan
kata “wajah” atau “muka” untuk Allah (al-Rahman: 27) dan
penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (QS.Yunus: 3).
2) Memahami al-syari’ah melalui makna lafaz
Yang dimaksud dengan makna lafaz di sini ialah makna secara hakiki
dan majazi termasuk makna musytarak.
3) Memahami al-syari’ah melalui makna di luar nash
Metode memahami syari’at melalui makna di luar nash yaitu metode
istihsan dan al-mashlahah al-Mursalah.
a) Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentuk (musytaq) dari al-hasan
(apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti
kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih
baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah,
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Istihsan ada dua macam: Petama, mentarjihkan qiyas yang tidak nyata
(samarsamar) atas qiyas yang nyata berdasarkan suatu dalil. Hal
semacam ini menurut kalangan hanafiya disebut dengan istihsan qiyas
atau qiyas khafi. Contoh, Sisa minum dari burung yang busa menurut
istihsan adalah suci, sedangkan menurut qiyas adalah najis.
b) Al-Mashlahah al-Mursalah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi
lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. sedangkan al-mursalah adalah
isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi
“rasala” dengan penambahan huruf alif di awalnya sehingga
menjadi“arsala”. Secara bahasa artinya “terlepas” atau dalam arti
mutlaqah (bebas). Kata lepas dan bebas di sini dihubungkan dengan kata
mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.

8
Secara istilah, mashlahah al-mursalah adalah suatu kemashlahatan
yang tidak ditetapkan oleh syara’ sesuatu hukum untuk mewujudkannya
dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya. Hal ini muncul setelah
wahyu selesai diturunkan serta tidak ada dalil yang memerintah agar
diperhatikan atau tidak.

c. Hukum Taklif yang Harus Dilakukan


Hukum Taklifi, yaitu hukum yang menghendaki
dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang
mengerjakannya, atau pilihan antara melakukan dan meninggalkan.
Hukum taklifi mengandung tuntutan (taklif) kepada mukallaf untuk
mengerjakan sesuatu atau melarangnya, atau melakukan antara
mengerjakan dan meninggalkan. Sedangkan hal-hal yang orang
mukallaf yang diperintah antara mengerjakan dan meninggalkan,
inilah yang disebut taklif (tuntutan/pembebanan).
Contoh, sebagaimana kewajiban orang mukallaf untuk
membayar zakat yang terdapat dalam al-Qur’an Surah at-taubah ayat
103 dan Ali Imran ayat 97, kemudian perintah akan kewajiban
melaksanakan shalat dalam Surah al-Baqarah ayat 43. atau yang
berbentuk larangan seperti larangan menggunjing atau mengolok-
olok antara orang yang satu dengan orang yang lain, dan golongan
yang satu denga golongan yang lain yang terdapat dalam Surah al-
Hujarat ayat 11. Kemudian larangan mendekati zina yang terdapat
dalam Surah al-Isra’ ayat 32, kemudian juga larangan menikahi
wanita musyrik yang terdapat dalam Surah al-Maidah ayat 221.
Sedangkan hukum yang menghendaki pilihan bagi mukallaf antara
melakukan dan meninggalkan. Contoh, pilihan bagi orang yang
telah melaksanakan shalat untuk bertebaran di muka bumi
sebagimana yang terdapat dalam Surah an-Nisa’ ayat 101 dan

9
pilihan bagi mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan berburu
setelah menyelesaikan ibadah haji yang terdapat dalam Surah al-
Jumu’ah ayat 10.

d. Membawa Manusia Kebawah Naungan Hukum


syari’at sebagai pedoman hidup jika ditaati perintah dan
larangannya, manusia mampu terbebas dari hal-hal yang merusak
dan merugikan hidupnya. Itulah sebabnya mengapa kandungan
syari’at selalu bertentangan dengan selera nafsu manusia, artinya
syari’at mengarahkan manusia untuk dapat mengendalikan
nafsunya. Ketika hal ini dapat dilakukan, syari’at itu akan membawa
manusia kebawah naungan hukum Allah, yang tidak akan
bercampur antara yang haq dan bathil, dan jauh dari hawa nafsu.
Ketika hukum-hukum Allah terjalankan, maka tentunya akan
membawa mashlahah untuk manusia sebagai mana tujuan dari
maqashid al-Syari’ah.

2. Maqashid al-Syari’ah dalam arti maqashid al-Mukallaf


a. Memelihara Agama (Hifzh al-Din)
b. Memelihara Jiwa (Hhifz al-Nafs)
c. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
e. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)

C. Perkembangan Maqashid Syariah


Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati
beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu
Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di
dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase

10
seperti di atas.Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini,
maka saya akan membaginya menjadi dua fase; fase pra kodifikasi, dan fase
kodifikasi.

1. Fase Pra Kodifikasi


Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an
diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah
pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu
menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa
rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak
lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
2. Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal
menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al
Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa
Maqasiduha . Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah
memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya
jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam
Muwatta’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus
penggunaan maqashid pada masa sahabat. Kemudian setelah, itu
diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat
populer ar-Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan
mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum),
sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu an-nafs dan hifzhu al-mal,
yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Imam
Syafi’i, muncul al Hakim at-Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad
al-Qaffal al-Kabir (w. 365 H) dalam kitabnya Mahasinu al-Syariah,
yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya
lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.

11
D. Penerapan Maqashid Syariah dalam Fatwa DSN
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi
oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan
aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana
syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang
dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa
produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah.

Menurut PBI Nomor 6/24/PBI/2004, Dewan Syariah Nasional adalah


dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki
kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan
usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dewan Syariah Nasional berfungsi memberikan kejelasan atas kinerja lembaga
keuangan syariah agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Lahirnya
DSN sebagai wujud dari antisipasi atas kekhawatiran munculnya perbedaan fatwa
di kalangan Dewan Pengawas Syariah. Karena bersifat fiqhiyah, kemungkinan
terjadi perbedaan pendapat fatwa sangat besar. Fatwa DSN menjadi pegangan bagi
DPS untuk mengawasi apakah lembaga keuangan syariah menjalankan prinsip
syariah dengan benar.

DSN-MUI merupakan lembaga satu-satunya yang diberi amanat oleh


undang-undang (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah), untuk menetapkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah, juga
merupakan lembaga yang didirikan untuk memberikan ketentuan hukum islam
kepada lembaga keuangan syariah dalam menjalanan aktivitasnya. Ketentuan
tersebut sangatlah penting dan menjadi dasar hokum utama dalam perjalanan
operasinya. Tanpa adanya ketentuan hukum, termasuk hukum islam, maka lembaga
keuangan syariah akan kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya.

Keberadaan DSN-MUI sebagai lembaga yang mempunyai kemampuan


dalam bidang keagamaan dan mempunyai hak menetapkan fatwa tentang ekonomi
dan keuangan islam telah diakui oleh Bank Indonesia, sebagai pemegang kekuasaan
dan pusat kebijakan moneter, dan kementrian keuangan sebagai pemegang

12
kekuasaan dibidang fiskal. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa
mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain, adalah :

1) Fatwa DSN Nomor 01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro


2) Fatwa DSN Nomor 02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan
3) Fatwa DSN Nomor 03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito;
4) Fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah
5) Fatwa DSN Nomor 05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham
6) Fatwa DSN Nomor 06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli
Istishna‟,
7) Fatwa DSN Nomor 7/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (qiradh)

E. Keputusan Konsumen dengan Maqashid Syariah


Keputusan adalah suatu pemilihan tindakan dari dua atau lebih pilihan
alternatif. Dengan kata lain, orang yang mengambil keputusan harus mempunyai
satu pilihan dari beberapa alternative yang ada. Bila seseorang di hadapkan pada
dua pilihan, yaitu membeli dan tidak membeli,dan kemudian dia memilih membeli,
maka dia ada dalam posisi membuat suatu keputusan. Bila di tinjau dari alternatif
yang harus di cari, sebetulnya dalam proses pengambilan keputusan konsumen
harus melakukan pemecahan masalah.Suatu masalah timbul dari kebutuhan yang
dirasakan dan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dengan konsumsi produk
atau jasa yang sesuai. Pengertian lain dari konsumen adalah pemakai, penikmat,
pemanfaat, peminum, penerima dan masih banyak lagi. Dalam Islam perilaku
seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya denganAllah SWT.
Perilaku tersebut tidak di dapati dalam ilmu perilaku konsumsi konvensional. Pada
ayat-ayat tertentu, Allah Swt memerintahkan manusia bertindak berdasarkan akal
sehat dan perasaan (qalbu) sehat. Setiap perilaku yang dilakukan harus sesuai
dengan sasaran untuk membentuk perilaku konsumen Muslim, baik dalam skala
individual maupun skala sosial,sesuai dengan ajaran al-Qur‟an dan al-Hadits.

13
Hingga saat ini, orang berpendapat bahwa kebutuhan pokok manusia
terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Tanpa terpenuhinya tiga jenis kebutuhan
ini manusia tak akan bias hidup dengan baik. Tetapi, pandangan Islam lebih luas
dari sekedar pangan, sandang, dan papan, sebab hal itu hanya terkait dengan urusan
duniawi semata. MenurutI mamal-Syatibi,rumusan kebutuhan manusia dalam
Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu:

1) Dharuriyat yang mencakup:


a. Agama (din)
b. Kehidupan (nafs)
c. Pendidikan (‘aql)
d. Keturunan (nasl),
e. Harta(mal).
2) Hajiyat. Jenjang ini merupakan pelengkap yang mengokohkan,menguatkan,
dan melindungi jenjang dharuriyat.
3) Tahsiniyat.Jenjang ini merupakan penambah bentuk kesenangan dan
keindahan dharuriyat dan hajiyat.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan
Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk
jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki
atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti ‫المواضع تحدر الي الماء‬artinya Jalan menuju
sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan. Maqhashid Al-syari’ah yang ditunjukkan melalu hukum-hukum islam
dan ditetapkan berdasarkan nash- nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat in
mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Kehidupan dunia ditegaskan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya
kelima hal ini akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara smpurna.

15
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

A’la,abd.2010.fiqih minoritas.yogyakarta: PT.LkiS.

Umar,hazbi.2007.nalar fiqih.jakarta: gaung persada.

Al- Qardhawi.yusuf.2007.fiqih maqashid syari’ah. Jakarta Timur:


Pusataka Al-Kautsar.

Al-Syathibi.2012. al-Muafaqat. Jakarta: PT.husada Bengkulu.

Khatimah,husnul.2007.penerapan Syaria’ah Islam. Bengkulu:Pustaka


Pelajar. al-raysuni,ahmad. alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu.
Jakarta:Ghaliai media.

Jauhar,husain, Ahmad Al-mursi.2009.maqashid syariah. jakarta:Amzah.

16

Anda mungkin juga menyukai