Anda di halaman 1dari 15

A.

Pengertian Dalalah

Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau memahami
sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (‫ )المدلول‬- yang
ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri.
Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (‫ )دليل‬- yang menjadi petunjuk.
Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum.

Secara istilah, dalalah memiliki banyak definisi, akan tetapi disini cukup dipaparkan satu
definisi saja yang sudah mencakupdalalah lafdziyyah dan dalalah ghairu lafdziyyah, yaitu
perihal sesuatu yang mengetahuinya meniscayakan mengetahui sesuatu yang lain1

Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :

‫الداللة مايقتضيه اللفظ عند اإلطالق‬

Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq

B. Tingkat dalalah dari segi jelas


Dalalah yang jelas ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa
memperhatikan faktor luar. Maka jika nash itu mengandung ta’wil, dan yang
dimaksudkan bukan tujuan asal itu disebut azh-zhahir dan jika mengandung takwil,
yang dimaksud adalah tujuan asal redaksi katanya, itu disebut an-nash.dan jika tidak
mengandung kakwil serta hukumnya menerina naskh (penghapusan), itu disebut al-
mufassar (yang ditafsirkan). Dan tidak mengandung takwil serta hukumnya tidak
mengandung naskh, disebut al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Setiap naskh yang jelas dalalahnya, harus diamalkan menurut makna yang jelas atas
naskh itu sendiri.
Asas perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak ialah makna itu senderi
dengan memperhatikan faktor. Makna nash yang dapat di pahami dengan bentuk
nashk itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar, adalah nash yang jelas
dalalahnya.sedangkan nash yang maksudnya tidak dapat dipahami kecuali dengan
memperhatikan faktor luar, adalah nashk yang tidak jelas dalalahnya.
Sedangkan asas perbedaan didalam tingkatan- tingkatan kejelasan itu, ialah ada dan
tidak adanya kemungkinan mentakwilinya. Maka nash yang maknanya dapat

1 Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014M) hlm.253
dipahami bentuk nash itu sendiri adalah yang lebih jelas dalalahnya dari pada nash
yang lainnya, serta ada kemungkinan dapat dipahami dari arti yang lainnya. [2]
Asas yang berlaianan pada tingkat kesembunyiannya yaitu kemampuan untuk
menhilangkan yang tersembunyi dan meniadakannyat. tidak ada jalan untuk
menghilangkan yang tersembunyi itu kecuali kembali pada sumbernya yaitu syari’.
untuk menghilangkan yang tersembunyi itu ialah dengan pembahasan dam ijtihad

1. Pembagian Dalalah Menurut Hanafiyah


a) Azh-Zhahir
Azh-Zhahir dalam istilah usul yaitu apa yang menunjukkan maksut dari pada sighot
itu sendiri, tanpa menghentikan maksud yang menjadi pokok pembicaraan. Dia
mengandung takwil.bila ada maksud memahami kata- kata tanpa memerlukan
qarinah.maka.kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.
Pada zahirhya dihalalkan jual beli itu, dengan diharamkan setiap riba. Karena
pengertian inilah yang cepat dipahami dari lafadznya. Dihalalkan dan diharamkan
tanpa memerlukan qarimah. Bukan maksud pokok dari ayat tersebut. Ayat ini
sebagaimana yang dikemukakan di atas menjadi pembicaraan orang banyak. Untuk
menafikan apa yang dikatakan orang,- bahwa jual beli itu adalah seperti riba. Bukan
untuk menyatakan hukum kedua hal ini. Berfiman Allah dalam Al- Qur’an (Qs. An-
nisa: 3)
ِ ‫ع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ اال تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
ً‫احدَة‬ َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ َال‬
َ ‫ث َو ُربَا‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫طوا فِي ْاليَت َا َم ٰى فَا ْن ِك ُحوا َما‬
ُ ‫َوإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ اال ت ُ ْق ِس‬
ٰ
‫َت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ذَلِكَ أَدْن َٰى أ َ اال تَعُولُوا‬
ْ ‫أ َ ْو َما َملَك‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Pada zahirnya diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan yang halal, karena
ini pengertian yang cepat difahamkan dari lafadz,- maka nikahilah perempuan-
perempuan yang kamu senangi, tanpa memerlukan Qarinah. Bukan maksud pokok
pembicaraan ayat. Maksudnya yang asli ialah mencukupkan jumlah empat atau
seorang, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Berfiman dalam Al-Qur’an:

َ‫س ِبي ِل َك ْي َال َي ُكونَ دُولَةً َبيْن‬


‫ِين َواب ِْن ال ا‬
ِ ‫ساك‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْر َب ٰى َو ْال َيت َا َم ٰى َو ْال َم‬ ‫سو ِل ِه مِ ْن أ َ ْه ِل ْالقُ َر ٰى فَ ِللا ِه َول ا‬
ُ ‫ِلر‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ ‫َما أَفَا َء ا‬
َ ُ‫َّللا‬
ْ
ِ ‫شدِيدُ ال ِعقَا‬
‫ب‬ ‫َّللاَ ۖ إِ ان ا‬
َ َ‫َّللا‬ ُ ُ
‫سو ُل فَ ُخذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا ۚ َواتاقوا ا‬ ُ ‫الر‬ َ
‫اْل ْغنِيَاءِ مِ ْن ُك ْم ۚ َو َما آت َا ُك ُم ا‬ ْ

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
pada zahirnya wajib taat kepada rasul, segala apa yang diperintahkannya dan segala
apa yang dilarangnya. Karena inilah yang dapat dipahamkan dari ayat tersebut. Bukan
ini maksud pokok dari pembicaraan. Yang menjadi pokok adalah hrta rampasan yang
diberikan oleh rosul, ketika ia membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa yang
dilarangnya maka hentikanlah. Kata Nabi SAW. Tentang air laut: “laut itu suci airnya
dan halal mayatnya”.

Pada zahirnya hanya masalah hukum memakan bangkai ikan laut. Karena tidak
merupakan maksud pokok dari pembicaaan, jika pertanyaan itu khusus air laut.
Hukum zahir itu wajib beramal dengannya yaitu menurut apa yang dizahirkannya,
tanpa memerlukan dalil untuk menjelaskannya. Yang penting tidak ada penyimpangan
lafadz dari pernyataan, kecuali dengan mempergunakan dalil. Dia mengandung ta’wil
artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud lain dari artinya itu. Yang zahir
itu pada umumnya mengandung hal-hal yang khusus. Yang muthlak itu mengadung
hal-hal yang dikaitkan. Yang hakikat itu mengandung yang dimaksud dengannya
makna majazi(arti kiasan). Selain itu adalah dari bentuk ta’wil. Dia menerima nasikh.
Artinya, hukum itu jelas dan sahpada risalah dan pada zaman tasyrik’. Lalu
dinasikhkan dan ditasyri’kan. Hukum itu diganti, apabila ada hukum-hukum furu’iyah
juz-iah yang berubah-ubah dengan perubahan mashalih dan menerima nasikh.

b) Nash
Menurut istilah ulama’ ushul , ialah nash yang di bentuknya itu sendiri telah dapat
menunjukkann kepada makna yang dimaksud oleh asal redaksi katanya, dan bisa
menerima takwil. Maka ketika telah terdapat maksud yang segera dapat dipahami dari
lafazh, dan untuk memahaminya tidak mempehatikan faktor luar, sedangkan itu
adalah tujua asal redaksi kata, maka lafazh itu di anggap sebagai nash atau makna
tersebut firman Allah SWT:

Yang artinya :Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(q,s 2)

Ini adalah nash yang meniadakan persaman antara jual beli dan riba, karenaitu adalah
makna yang segera dapat dipahami dan lafazh, dan pejual asal redaksi kata. Firman Allah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Adalah nash untuk membatasi maksimal batas bilangan istri kepada empat karena itu
adalah makna yang segera difahami dari lafazh dan tujuan dari redaksi kata.
Hukum An-nas iu adalah hukum zhahir, jadi wajib mengamalkan makna yang dinash
oleh hukum zahir itu. Hukum zahir itu mungkin bisa di takwili, artinyadimaksudkan
dari padanya selain makna yang dinash olehnya. Jiga bisa menerima nash menurut
keterangan yang telah kami jelaskan dalam azhahir.
Jadi masing-masing azhahir dan An-nash itu adalah jelas dalalahnya menurut
artinya. Artinya pemahaman trhadap yang dimaksud oleh masing-masing azhahir dan An-
nash itu tidak memperhatikan faktor luar. Dan wajib mengamalkan makna, yang
menunjukkan dalalah masing-masing azhahir dan An-nash telah jelas menunjukkan
kepadanya masing-masing azhahir dan An-nash itu bisa menerima takwil. Yaitu jika
dimaksuskan dari padanyaselain arti yang telah jelas dalalahny kepadanya apa bila tidak
terdapat suatu yang menghendaki pentakwilan. Takwil menurt bahasa artinya
menjelaskan suatu yang kembali kepada sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah Ulama’
Ushul ialah memalingkan lafazh dan zhahirnya lantaran ada dalil.
Diantara contoh-contoh takwil yang shahih yaitu mengkhususkan ke umuman jual
beli dalam firman Allah SWT
Yang artinya :Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(q,s 2).
Dengan hadits-hadits yang melarang jual beli ghoror, jual beli seorang akan benda
yang tidak ada bedanya, dan jual beli buah sebelum jelas kebaikannya. Takwil seperti
ini adalah termasuk takwil zhahir, karena ayat itu seperti yang telah kami terangkan
diatas, adalah nash yang jelas dalam menghalalkan setiap bentuk jula beli, dan sebagai
nash dalam meniadakan persamaan.
c) Mufasir
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan dengan sendirinya atas makna yang
terpisah dan terperinci. Tidak ada yang tinggal hal-hal yang mengandung sesuatu
untuk ditakwilkan. Maka dari itu ada sighat yang menunjukkan dengan sendirinya
dalil-dalil yang jelas atas pengertian yang terpisah. Didalamnya apa yang menafikan
maksud yang trekandung, yang bukan maknanya. Seperti firman tuhan mengenai
mengkhasaf perempuan yang tidak bernoda. Didalam surat An-nur ayat empat yang
artinya:”maka deralah (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Kalimat ini jelas, tidak mengandugn penambahan dan pengurangan. Firman tuhan
yang berbunyi,- bunuhkah olehmu orang musyrik itu semuanya. Kata-kata semua disi
menafikkan hal-hal yang mengandung takhsis. Banyak teks pasal undang-undang
yang mengenai saksi hukuman yang membatasi saksinya itu terhadap kejahatan yang
sudah terbukti.
d) Muhkam
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan atas arti yang tidak menerima
pembatalan dan tidak boleh dipertukar-tukarkan dengan sendirinya oleh dalil-dalil nyata.
Dan disamping itu tidak mengandung hal-hal takwil. Ia tidak mengandung takwil. Artinya
maksud arti lain, selain apa yang dinyatakannya itu. Karena orang yang menguraikan dan
menafsirkan itu, disini tidak lapanganya untuk ditakwilkan. Dan tidak menerima nash
dimasa risalah dan di zaman fitrah dan pada masa sesudah itu hukum mempergunakanya.
Dan ada hukum asasi dari peraturan agama. Tidak mengalami perubahan, seperti
ibadat kepada Allah AWT. Beriman kepada kitab-kitabnya dan rasul-rasulnya. Atau
fadilah-fadilah yang penting. Disini tidak terdapat perbedaan dengan perbedanya
keadaan. Memulyakan ibu dan bapak. Berlaku adil. Atau hukum furu’ yang terperinci
taapi syari’ menunjukkan untuk menguatkan tasyriknya, seperti firman tuhan tentang
mengkazaf perempuan yang tidak bermodal. Dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya.
Hukum diwajibkan secara Qathi’ Tidak mengandung hal-hal yang menyimpang dari
zhahirnya. Dan tidak boleh dinasikhkan. Kami katakan tidak menerima nasih. Karena
sesudah Rasulullah SAW wahyu sudah terputus turunya, hukum-hukum syariat yang
terdapat dalam Al-qur’an itu, begitu sunah menjadi muhkam, tidak menerima nasikh dan
tidak boleh dibatalkan. Sesudah Rasulullah tidak tedapat kekuasaan tasyrik yang dapat
membatalkan apa yang dibawa oleh Rasulullah dan mengubah-ubahnya.2

C. Tingkatan ketidakjelasan dalalah Menurut Hanafiyah


Dalam buku al-Wajiiz fii Ushul-Fiqh, madzhab Hanafi menyebutkan pembagian dalil yang
tidak jelas adalah tersiratnya makna pada dalil-dalil yang terdapat dalam nash. Terbagi
menjadi 4 tingkatan menurut sebab ketidakjelasannya,yaitu:

1. Al-Khofi

2. Al-Musykil

3. Al-Mujmal

2 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah Kaidah Hukaum Islam, Op. Cit,. hlm: 204
4. Al-Mutasyabih

Pembagian tingkatan ini jelas telah disepakati ulama Hanafiyah dan tidak ada perselisihan
diantara ulama terdahulu dan kontemporer. Jika ketidakjelasannya dapat dipahami dengan
akal disebut al-musykil. Dan jika ketidakjelasan dalilnya dapat dipahami dengan naqli, tidak
dengan akal disebut al-mujmal.

Al-khofi berlawanandengan adz-dzohir,

al-musykil dengannash,almujmal dengan mufassir, dan al-mutasyabih denganmuhkam.

1. Al-Khofi

Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Al-khofi adalah lafal
yang menunjukkan makna arti secara jelas dari lafadz aslinya, akan tetapi dalam menerapkan
arti makna pada sebagian satuannya mengandung ketidakjelasan dan kesamaran.3

Sebab kemunculan kesamaran ini ialah bahwasannya satuan tertentu didalamnya ada suatu
sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang dari satuan itu
atau ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan, atau kekurangan, atau penamaan khusus
ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, makna lafadz tersebut adalah
samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak
dapat dipahami dari lafadz itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal
yangkhariji (eksternal).4

Contohnya:

Makna pada nash ini jelas, akan tetapi pada penerapan disebagian makna lain terdapat
kesamaran. Seperti halnya kata as-saariq, pencuri yang artinya mengambil barang orang lain
secara sembunyi-sembunyi. Kemudian diterapkan pada sebagian satuan maknanya yaitu kata
pencopet, korupsi, pencuri barang-barang dalam kuburan, kata ini mengandung makna yang
samar sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam dan ijtihadnya para ulama.
Pencopet lebih bermakna mengambil barang orang lain secara terang-terangan. Perbedaan
dengan pencuri adalah pencopet memiliki keberanian mencuri sehingga ia lebih khusus
penamaannya. Sedangkan yang mencuri harta mayit dengan menggali kuburannya, sedikit
orang yang menjadikan ia sebagai pencuri. Karena ia mencuri harta yang tidak ada
kepemilikannya dan penjagaannya.

3 Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh, hlm.182


4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,.hlm.260
Dan para ulama bersepakat jika pencopet itu sebagai pencuri yang harus dipotong tangan
dengan dalil dari nash yang jelas, sedangkan pencuri harta mayit ulama berselisih dalam
penetapannya. Imam asy-Syafi’i dan Abu Yusuf berkata ia ditetapkan sebagai pencuri dan
harus dipotong tangan, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah berkata ia bukan pencuri maka
tidak harus dipotong tangan, namun cukup dipenjarakan.

Hukum al-khofi yaitu diwajibkan pencarian dan penelitian yang mendalam untuk
menjelaskan maknanya. Memikirkan sebab ketidakjelasannya, dan setiap ahli ilmu memiliki
pandangan masing-masing. Dan wajib bagi mujtahidmencari makna sampai menjelaskannya
dari lafadz yang samar tersebut.

2. Al-Musykil

Secara bahasa, al-musykil adalah ketidakjelasan, kekacauan, kesamaran. Menurut


ulama ushul adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami sampai ada dalil lain yang
menjelaskannya.

Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin dapat memahaminya
kecuali dengan penelitian yang mendalam sehingga diperlukan qarinah dan dalil lain yang
dapat menjelaskannya. Perbedaannya dengan khofi yaitu pada dzat lafadznya,
sedangkan musykil pada dzat nashnya yang tidak dapat dipahami kecuali dengan dalil lain.5

Kemunculan dalam nash, terkadang dari lafadz yangmusytarak. Karena


lafadz musytarak ditetapkan menurut bahasa untuk lebih dari satu makna. Sedangkan
dalam shigatnya tidak terdapat suatu penunjukkan kepada makna tertentu yang ditetapkan
untuknya. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang eksternal yang menunjukkannya.

Contohnya:

Contoh musykil adalah adalah lafadz musytarak(polisemi: lafadz yang menunujukkan dua
arti atau lebih secara bergantian), seperti kata quru’, ‘ain.

Pada kata quru’ dalam firman ta’ala, ini musytarak antara haidh dan suci Terdapat kesulitan
dalam memahami kata ini, apakah itu haidh atau suci?

Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat quru’ini adalah haidh. Dengan merujuk pada
hadits, )‫َان‬
ِ ‫ضت‬َ ‫( ِعداة ُ ْاْل َ َم ِة َح ْي‬, dan tidak ada perbedaan antara budak dengan wanita merdeka dalam
hal iddah ini.

5 Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh, (Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t) hlm.390,
Demikian juga hadits ( ‫صالَة َ أ َ َيا ُم َوأ َ ْق َرائِ َها‬ َ ‫)ا َ ْل ُم ْست َ َحا‬, ini menjelaskan bahwasannya
ُ ‫ضةُ ت َ ْد‬
‫ع ال ا‬
disyariatkannya iddah ini untuk mengetahui sucinya rahim dari sebab kehamilan, dan semua
itu akan diketahui dengan haidh. Qarinahnya ialah:

Pertama : hikmah pentasyri’an iddah. Hikmah dalam pewajiban iddah diatas wanita yang
ditalak ialah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan. Sedangkan yang
memberitahukan hal ini adalah haidh bukan suci.

Kedua : Firman Allah ta’ala :

‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدات ُ ُه ان ثَ َالثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو ا‬


َ‫الال ِئي لَ ْم َي ِحضْن‬ ْ ‫سا ِئ ُك ْم ِإ ِن‬ ِ ‫الال ِئي َي ِئسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َ ‫يض ِم ْن ِن‬ ‫َو ا‬

Artinya :

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara perempuan-


perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”.

Firman tersebut menetapkan alasan iddah dengan beberapa bulan karena ketiadaan haidh. Ini
menunjukkan bahwa asalnya beriddah adalah dengan haidh.

Ketiga : Sabda Rasulullah SAW., :

‫َان‬
ِ ‫ضت‬ ِ ‫طالَ ُق ْاالَ َم ِة ثِ ْنت‬
َ ‫َان َو ِعدا ت ُ َها َح ْي‬ َ

Artinya :

“Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haidh”.

Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haidh merupakan penjelasan
terhadap yang dimaksud dengan lafadz al-qur’u dalam iddah perempuan yang merdeka.
Adapun pentaksisan nama hitungan, maka ia dimaksudkan untuk kemudzakaram lafadz yang
dihitungnya, yaitu lafadz al-qur’u.

Sedangkan pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan makna quru’ ini adalah
suci. Karena pentafsiran kata quru’ adalah suci lebih dekat dengan kata aslinya. Tidak
diragukan juga bahwasannya masa suci adalah berkumpulnya darah didalam rahim,
sedangkan masa haidh adalah masa mengeluarkannya darah. Qarinahnya ialah pentaknitsan
isim ‘adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasannya yang dihitung
adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci, bukan haidh.6

Hukum musykil ini adalah harus adanya penelitian dan pemikiran makna kata
lafadz musykil ini, kemudian menjelaskannya dengan menggunakan qorinah dan dalil dari
luar seperti nash lain, kaidah syara’ dan hikmah pentasyri’annya.Tidak boleh
mengamalkannya sebelum mengetahui maknanya. Dan mempercayainya bahwa ini adalah
kebenaran.Sehingga membutuhkan penelitian makna lafadz yang samar ini kemudian
berijtihad mengeluarkan maknanya dengan qorinah dan dalil lain.

Jalan untuk menghilangkan kemusykilan nash yang musykil adalah ijtihad. Apabila ada
lafadz musytarak dalam nash, maka seorang mujtahid harus mempergunakan saran qarinah
dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pembuat hukum untuk kemusykilannya dan
menentukan yang dimaksud dari lafadz itu, sebagaimana ternyata dari ijtihad para mujtahid
dalam menentukan maksud lafadz al-qur’u dalam ayat tersebut, dan perbedaan orientasi
pandangan mereka dalam penetuan ini. Apabila ada nash-nash yang dzahirnya saling
bertentangan dan kontradiksi, maka seorang mujtahid haruslah mentakwilnya dengan suatu
pentakwilan yang shahih yang mengsistensiskan antara nash-nash itu dan menghilangkan
sesuatu yang ada pada dzahirnya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Pedomannya dalam
pentakwilan ini ialah ada kalanya nash lain, atau kaidah-kaidah syara’, atau hikmah
pentaysri’an.7

Kata yang mengandung musykil tidak bisa ditentukan satu arti tertentu dari beberapa makna
yang dikandungnya, kecuali dengan melihat dalil.

3. Al-Mujmal

Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Mujmal adalah lafadz yang
tersembunyi maknanya dengan kesamaran lafadznya sendiri, tidak akan mengetahuinya
kecuali dengan penjelasan, tidak juga memahaminya tanpa adanya qorinah yang menjelaskan
makna lafadz tersebut.Dan secara umum mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya
dan tidak akan mungkin memahami maknanya kecuali dengan adanya penjelasan.Jadi sebab
kesamaran adalah bersifat lafadz (tekstual), bukan hal yang datang kemudian.Al-Bazdawy
berkata dalam kitab ushulnya, mujmal merupakan suatu lafadz yang maknanya mengandung

6 Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.185,

7 Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.393


ketidakjelasan dan kesamaran, tidak dapat memahaminya dengan kata itu sendiri. Akan tetapi
harus kembali pada penjelasan dengan suatu penelitian. Artinya, apa yang dimaksudkan tidak
bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tetapi harus ditafsirkan, diteliti, dan
dipikirkan secara mendalam.8

Macam-macam mujmal:

a. Mujmal mufassir, adalah lafadz yang maknanya berbenturan


antara mufassir dengan syar’i dari makna itu sendiri, seperti dirikanlah shalat.

b. Mujmal musykil, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan belum dijelaskan
oleh syar’i dan meninggalkan perkana ini menuju pada mujtahid.

c. Mujmal musytarik, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan dapat dicabut
qarinah maknanya pada salah satu makna.

Sebab-sebab mujmal:

a. Adanya isytirak tanpa adanya qorinah, seperti lafadz tuan atau majikan.

b. Keasingannya lafadz dalam bahasa, seperti kalimat al-qari’ah, al-haqqah. Tidak dapat
kedua makna ini sampai Allah menjelaskan maknanya. Dan maksudnya adalah hari kiamat.

c. Kekurangannya makna lughawi terhadap makna istilah syar’i. seperti lafadz shalat,
zakat, dan riba.

Contohnya:

Banyak contoh kata-kata yang khusus dari al-Qur’an mengenai hukum taklifinya yang
berbentuk mujmal. Sehingga memutuskan hukum dan menjelaskan ketentuan-ketentuannya
harus dengan sunnah. Perintah shalat, misalnya, suatu perkara yang mujmal dan
penjelasannya dengan sunnah dalam bentuk perkataan dan perbuatan Rasulullah.
Sebagaimana sabdanya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.

Demikian pula dengan lafadz mujmal lainnya, seperti zakat, puasa haji, dan riba, serta segala
sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash al-Qur’an.

Demikian, kita tidak mendapatkan mujmal disebutkan dalam al-Qur’an kecuali dengan
penjelasan dari sunnah dan hukum-hukumnya secara terperinci.

8 Rahmat syafe’i.Ilmu ushul fiqh. Halm 166


Hukum mujmal, tidak boleh mengamalkannya sampai maknanya jelas kembali pada aslinya
dengan penjelasan syari’at lain yang sejelas-jelasnya. Jika belum ada penjelasan secara jelas
maka mujmal itu mengandung musykil dan mujtahid akan memisahkan mujmal dari
kemusykilannya.

4. Al-Mutsyabih

Mutsyabih secara bahasa diambil dari kata at-tasyabuhyang berarti ketidakjelasan, kesamaran
atau kekacauan.

Secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang tersembunyi maknanya, dan tidak ada jalan
untuk mengetahui makna tersebut, dan tidak mungkin tercapai oleh nalar akal para ulama
sekalipun dalam menerangkannya. Tidak didapatkan juga pentafsiran makna ini, baik
secara qathi’ maupun dzanni dari al-Qur;an maupun sunnah.

Dalam pembahasan ini kita akan membicarakan 2 perkara, sebagai berikut:

a. Adanya mutasyabih didalam al-Qur’an. Tidak satupun manusia yang mengetahunya


kecuali Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, surat Ali Imran ayat 7.

Para ulama bersepakat dengan adanyamutasyabih dalam nash al-Qur’an. Akan tetapi, para
ulama berselisih dalam hal peletakanmutasyabih ini. Ibnu Hazm berkata, “Tidak
adamutasyabih dalam al-Qur’an kecuali huruf-huruf muqotho’ah pada awal surat, dan
sumpahnya Allah ta’ala dalam al-Qur’an,sebagaimana termaktub dalam firman-Nya.

Sebagian para ulama menambahkan ayat-ayat yang didalamnya mengandung persamaan


dengan Allah. Seperti halnya tangan Allah, yang terdapat pada surat Al-Fath ayat 3.

b. Ayat-ayat yang berisi tentang taklif, dan penjelasan hukum-hukum syari’at islam yang
didalamnya tidak mengandung tasyabuh saja. Akan tetapi, semuanya menjelaskan secara
jelas, baik pada dzat lafadznya maupun dengan penjelasan hadits Nabi SAW.

Contohnya:

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, contok lafadz yang


mengandung mutasyabih diantaranya:

Huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat pada awal surat dalam al-Qur’an, seperti :

‫ ن‬،‫ ص‬،‫ كهيعص‬،‫ حم‬،‫ الر‬،‫ألم‬


Sifat-sifat Allah yang menggambarkan kemiripan dengan makhluk-Nya, seperti tangan, mata,
tempat semayam.

Sumpah Allah dalam al-Qur’an, yang terdapat pada surat Al-Qari’ah ayat 1-3.

Huruf-huruf abjad yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat tidaklah mungkin
menunjukkan dengan sendirinya terhadap maksudnya. Allah tidaklah menafsirkan apa yang
dikehendaki-Nya dari huruf-huruf itu. Dialah yang paling tahu maksudnya. Demikian pula
ayat-ayat yang dzahirnya menimbulkan dugaan penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya,
tidak mungkin dari ayat tersebut dipahami pengertian lafadz itu secara kebahasaan, seperti
tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Tiada sesuatu yang
semisal Dia. Allah tidak menjelaskan apa yang dikehendaki-Nya dari lafadz-lafadz itu. Dia
Yang paling tahu dengan maksud-Nya. Ini adalah pendapat ulama salaf mengenai pengertian
mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada pengetahuan Allah dan mengimaninya, serta tidak
membahasnya dengan mentakwilnya. Adapun pendapat Khalaf, bahwasannya ayat ini dzahir
maka wajib ditakwilkan dan dipalingkan dari yang dzahir itu, dan dimaksudkan makna yang
mungkin bagi lafadz itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan Khaliq
dengan makhluk-Nya.9

D. Pembagian Dalalah Menurut Syafi’iyah

Suatu lafazh menurut Syafi'iyah bisa menunjukkan kepada dua macam makna,
yaitu mantuq dan mafhum. Dalalah mantuq dalam istilah Hanafiyah mencakup tiga dalalah,
yaitu 'ibarah, isyarah, dan iqtidha' al-nash. Sedangkandalalah mafhum dalam istilah
Hanafiyah sama dengan dalalah al-nash ataudalalah al-dalalah.

1. Mantuq

Mantuq adalah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Petunjuk
yang dikandungnya itu bisa diketahui dengan melihat atau memperhatikan kalimat yang
dilafalkan. Contoh:

َ‫س ْبعَ ٍة إِذَا َر َج ْعت ُ ْم تِ ْلك‬


َ ‫صيَا ُم ثَالث َ ِة أَي ٍاام فِي ْال َحجِ َو‬ ِ َ‫س َر ِمنَ ْال َهدْي ِ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬
َ ‫فَإِذَا أ َ ِم ْنت ُ ْم فَ َم ْن ت َ َمت ا َع بِ ْالعُ ْم َرةِ إِلَى ْال َحجِ فَ َما ا ْست َ ْي‬
‫اض ِري ْال َمس ِْج ِد ْال َح َرام‬ ِ ‫َاملَةٌ ذَلِكَ ِل َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن أ َ ْهلُهُ َح‬
ِ ‫ش َرة ٌ ك‬َ ‫َع‬

"…Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah
sebelum haji (didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat.

9 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm.269


Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan
penduduk kota Mekah)…"

Dari ayat di atas, terdapat kalimat "berpuasa tiga hari waktu haji dan tujuh hari ketika sudah
pulang, dan itulah sepuluh hari yang sempurna". Dari kalimat tersebut dapat
dipahami mantuq-nya berupa kewajiban sejumlah yang disebutkan, yakni sepuluh hari.

2. Mafhum

Mafhum adalah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu
sendiri, tidak bisa hanya dengan melihat langsung dari hurufnya tapi harus dengan
pemahaman yang mendalam.

Dalalah mafhum ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.

a. Mafhum muwafaqah. Dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dengandalalah al-
nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada
kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, namun hukum yang tidak tertulis itu
sesuai dengan hukum yang tertulis karena ada persamaan dalam
makna. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis itu sesuai dengan
hukum yang tertulis.

Berdasarkan hubungan antara hukum yang tertulis dengan hukum yang tidak tertulis, ada
kalanya hukum yang tidak tertulis itu sama dalam penekanan pembebanan hukumnya, dan
ada kalanya lebih tinggi atau lebih berat dari pada hukum tertulis.
Maka mafhum muwafaqah terbagi menjadi fahwa al-khithabdan lahn al-khithab.

1) Fahwa al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis lebih berat penekanannya dari
pada hukum yang tertulis. Contoh

ٍ ُ ‫فَال تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬


‫ف َوال تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْوال ك َِري ًما‬

Ayat tersebut melarang berkata kasar kepada orang tua. Berdasarkan pemahaman kesesuaian
(mafhum muwafaqah) maka memukul dan menganiaya orang tua hukumnya lebih berat dari
pada berkata kasar kepada meraka.
2) Lahn al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis sama tindakan hukumnya dengan
hukum yang tertulis. Contoh:

‫يرا‬ َ َ‫صلَ ْون‬


ً ‫س ِع‬ ْ َ‫سي‬
َ ‫َارا َو‬ ُ ُ‫ظ ْل ًما إِنا َما يَأ ْ ُكلُونَ فِي ب‬
ً ‫طونِ ِه ْم ن‬ ُ ‫إِ ان الاذِينَ يَأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْاليَت َا َمى‬

Ayat di atas menunjukkan bahwa memakan harta anak yatim secara zhalim dilarang, maka
membakar atau membuangnya hukumnya juga dilarang karena sama-sama menghilangkan
harta anak yatim.

b. Mafhum mukhalafah. Adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh, dan hukumnya
bertentangan dengan hukum yang lahir darimantuq-nya, karena tidak ada batasan yang
berpengaruh dalam hukum.

Mafhum mukhalafah menurut jenisnya terdiri dari beberapa macam. Ada yang membagi
menjadi lima yaitu laqab, shifat, syarth, ghayah dan 'adad,ada yang membagi empat,
yaitu shifat (termasuk di dalamnya 'adad),syarth, ghayah dan hashr. Ada juga yang
menjadikan hashr bagian dari yang pertama, menurutnya mafhum mukhalafah terbagai
menjadi enam bagian.10

10 Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr,1986, hal. 365
Daftar pustaka

Al-Zuhaily, Wahbah Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr,1986.


Khallaf, Prof. Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL,
Drs. Ahmad Qarib, MA., Cet.1 (Semarang: Dina Utama, 1994M)
Syafe’i, MA., Prof. DR. Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih(Bandung: Pustaka Setia, 2010M)
Az-Zuhaili, DR. Wahbah. Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh, Cet.1, (Damaskus: Darul Fikr, 1995M)
Abdul ‘Al, DR. Abdul Hayy. Pengantar Ushul Fikih,Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M.
Hum. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014M)
Al-Bardisy, Muhammad Zakariya. Ushul Fiqh, (Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t)

Anda mungkin juga menyukai