Anda di halaman 1dari 13

Al Qawaid al Asasiyah

Kaidah Pertama : Al Umuru Bi Maqashidiha

Dosen Pengampuh : Dr. Aris, S.Ag.,M.HI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Qawaid Fiqhiyah Fi al Iqtishad

Oleh

Kelompok 3

Nurfadilah (19.2200.066)

Wendy Hadinata (19.2200.065)

Irsyad Hasnan (19.2200.050)

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PAREPARE

TAHUN AKADEMIK 2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat, anugerah
dan karunia yang melimpah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
berjudul “Kaidah Pertama: Al Umuru Bi Maqashidiha”. Walaupun banyak kesulitan yang kami
harus hadapi ketika menyusun makalah ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, akhirnya tugas ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya shalawat dan salam pemakalah hadiahkan kepada Rasulullah SAW, sang junjungan
seluruh umat, yang telah membawa kita dari alam yang sangat gelap kepada alam yang sangat
terang benderang yang selalu disinari dengan Iman, Islam, dan Ihsan.

Sebelumnya kami meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahannya, baik dari segi penulisan ataupun pengertiannya. Kami sadar bahwasannya
makalah kami ini jauh dari kata sempurna, jadi kami harapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari pembaca, supaya dapat memperbaiki makalah selanjutnya. Dan sebelum dan
sesudahnya pemakalah ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Parepare, 06 Oktober 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
A. Pengertian Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha...............................................................6
B. Dasar Hukum Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha..........................................................7
C. Cabang-cabang Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha.......................................................8
D. Contoh Kasus Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha..........................................................9
BAB III.........................................................................................................................................11
PENUTUP....................................................................................................................................11
A. Kesimpulan........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan
qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa,
qaidah bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang
abstrak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya
dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Qawaid Fiqhiyah
merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah dan peran yang sangat besar dalam
menganalisa hukum dari beragam perumpamaan sehingga mempermudah penetapan
putusan hukum bagi seorang mujtahid.
Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau Al-
Qawaid Al-Khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya Al-Ummuru bi maqashidiha
didalamnya membahas apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya
dikalangan mazhab Hanbali bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah
perwujudan dari maksud dari tempat dari maksud adalah hati.
Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
2. Apa Dasar Hukum Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
3. Apa Cabang-cabang Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
4. Apa Contoh Kasus Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui makna Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha
2. Untuk mengetahui dasar hukum Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha
3. Untuk mengetahui cabang-cabang yang terdapat di Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha
4. Untuk mengetahui kasus Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Al – Umuru Bi Maqashidiha


Kaidah Al-Umur Bi Maqashidiha merupakan kaidah yang ringkas lafalnya namun
memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa
perkataan maupun berupa perbuatan. Kaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum
yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dari perkara tersebut. jadi Kaidah ini adalah “segala perkara tergantung
kepada niatnya”. Sedangkan secara terminologi fiqh, niat adalah kesengajaan untuk
melakukan ketaatan dan pendekatan kepada Allah SWT dengan cara melakukan
perbuatan atau dengan cara meninggalnya. Niat itu sendiri menurut kalangan ulama-
ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan
pelaksanaannya. Misalnya di dalam melaksanakan shalat yang dimaksud dengan niat
adalah didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.
Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati,
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi
apabila meyakini / beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat
didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-
ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada
Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan oleh
agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah
SWT, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir di sebuah
masjid, kemudian duduk-duduk atau tiduran di masjid tersebut, maka apakah dia berniat “
itikaf” ataukah tidak. Bila dia berniat itikaf di masjid tersebut, maka dia mendapat pahala
dari ibadah itikafnya.1
1
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 34-35
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah
tidak sah, tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian
dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
2. Untuk membedakan kualiatas perbuatan, baik kebaikan maupun kejahatan
3. Untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini
baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi
junuh, shalat qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah
dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli,
hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain
sebagainya, sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah
fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.
Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :
 Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga
tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat,
azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali apabila bacanya dalam rangka
nazar.2
 Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti
meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang
(haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya
sudah tercapai. Memang betul diperlukan niat apabila mengharapkan
dapat pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
 Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.

2
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 34
B. Dasar Hukum Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha
Kaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam
maknanya dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh Islam. Pada dasarnya hukum
Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang
ternyata mendapat legitimasi. Para ulama Fiqh (Fuqaha) memberikan perhatian lebih
pada Kaidah ini, mereka banyak mengomentari dan mengembangkannya (syarh) dalam
cabang-cabang Kaidah ini.
Dasar hukum Kaidah ini sebagai berikut :
 Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat
manusia dibumi hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada
sembahan makhluk lainnya kecuali pada-Nya dengan menata kembali
seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Robbi.

َ ِ‫صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاةَ َو ٰ َذل‬


‫ك ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء ۚ َويُقِي ُموا ال‬
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5)3

Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang


diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis
ini menjelaskan bahwa” Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya
dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya dan
barang siapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau
karena wanita yang dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.”
 Dasar kaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang
didalamnya membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi :
َ ‫ َو‬n َ‫ر ْد ث‬n
‫اب‬ َ ‫س أَ ْن تَ ُموتَ إِاَّل بِإ ِ ْذ ِن هَّللا ِ ِكتَابًا ُم َؤ َّجاًل ۗ َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬
ِ nُ‫ا َو َم ْن ي‬nnَ‫اب ال ُّد ْنيَا نُ ْؤتِ ِه ِم ْنه‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬
َ‫اآْل ِخ َر ِة نُ ْؤتِ ِه ِم ْنهَا ۚ َو َسنَجْ ِزي ال َّشا ِك ِرين‬

3
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 37
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”
 Dilandasi dari Q.S Al-Baqarah ayat 265 yang berbunyi :

َ َ‫و ٍة أ‬n
‫ ٌل‬nِ‫ابَهَا َواب‬n‫ص‬ َ n‫ ِل َجنَّ ٍة بِ َر ْب‬nَ‫ ِه ْم َك َمث‬n‫ت هَّللا ِ َوت َْثبِيتًا ِم ْن أَ ْنفُ ِس‬ َ ْ‫َو َمثَ ُل الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ أَ ْم َوالَهُ ُم ا ْبتِغَا َء َمر‬
ِ ‫ضا‬
‫صي ٌر‬ِ َ‫ُص ْبهَا َوابِ ٌل فَطَ ٌّل ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬ ِ ‫َت أُ ُكلَهَا‬
ِ ‫ض ْعفَ ْي ِن فَإ ِ ْن لَ ْم ي‬ ْ ‫فَآت‬
Artinya :“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya
karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat.4

Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai).
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”

 Berlandaskan pada QS Al-Fath ayat 18 yang berbunyi :

َّ ‫أ َ ْن َز َل‬nnَ‫وبِ ِه ْم ف‬nnُ‫ا فِي قُل‬nn‫ َج َر ِة فَ َعلِ َم َم‬n‫الش‬


‫ ِكينَةَ َعلَ ْي ِه ْم‬n‫الس‬ َ nَ‫ؤ ِمنِينَ إِ ْذ يُبَايِعُون‬n
َّ َ‫ك تَحْ ت‬ ْ n‫ َي هَّللا ُ َع ِن ْال ُم‬n‫ض‬
ِ ‫ ْد َر‬nَ‫لَق‬
‫َوأَثَابَهُ ْم فَ ْتحًا قَ ِريبًا‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).”

C. Cabang-cabang Kaidah Al Umuru Bi Maqashidiha


Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih
dalam tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha, cabang-cabangnya sebagai berikut :

4
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 39
1) Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya
membatalkan pekerjaannya.
Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian niat shalat ashar
atau sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak
berpuasa untuk membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka
puasanya tidak sah.
2) Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk
dirinci, kemudian dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan
(tidak sah).
3) Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun
secara rinci, apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka
kekeliruannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).
4) Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum
pada lafadz yang khusus.
Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam
kitab al-Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan
seseorang tetapi yang dimaksud seseorang adalah Umar, maka sumpahnya hanya
berlaku pada Umar. Orang yang bersumpah tidak akan minum air dari orang lain
karena dahaga maka sumpahnya hanya berlaku pada air, yakni dia tidak
melanggar sumpah dengan makan makanan dari orang lain tadi.
5) Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang mengungkapkan, kecuali dalam
satu tempat, yaitu lafadz sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadz
mengikuti niat qadhi, bukan niat orang yang bersumpah.
Contoh : orang junub membaca dzikir dari ayat Al-Quran, maka hukumnya
haram, bila niat dzikir maka membawa Al-Quran bersama barang lain, bila niat
membawa Al-Quran maka hukumnya haram, dan bila niat membawa barang atau
niat membawa kedua-keduanya maka hukumnya tidak haram.
6) Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu halangan padahal
ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan maka ia mendapatkan pahala.
D. Contoh Kasus
 Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau
menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan
tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan
menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
 Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi
sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan
kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang
tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk
memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang
merampas harta orang).5 Jika dompet itu hilang, maka ia harus
menggantinya secara mutlak.
 Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat
untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di
daerahnya, maka ia dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia
menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat
memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.
 ‫العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬
Artinya: “Peninjauan yang diambil dari suatu aqad adalah tujuannya
bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.

Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud
si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap
sebagai suatu akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian
itu masih dapat diketahui.
Contoh : apabila seseorang berkata: “Saya hibahkan barang ini untukmu
selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah”, meskipun katanya
adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan
hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
5
 A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015)hlm 32-37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah al-Umur Bi Maqashidiha merupakan kaidah yang ringkas lafalnya namun
memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa
perkataan maupun berupa perbuatan. Kaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum
yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dari perkara tersebut.

Kaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam
maknanya dibanding Kaidah-kaidah lain dalam Fiqh Islam. Pada dasarnya hukum Kaidah
Al-Umuru Bi Maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata
mendapat legitimasi. Kaidah ini memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang
yang pertama membahas tentang suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan
(dijelaskan), maka kesalahannya membatalkan pekerjaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)

Andiko,Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011)

Ihsan, A. Ghazali , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika,


2015)

Anda mungkin juga menyukai