Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Seiring berkembang dan pesatnya perubahan zaman dalam dinamika sosial kehidupan
masyarakat umat muslim banyak muncul problematika-problematika keagamaan yang
berkaitan erat dengan hukum syara’,yang dimana dulu pada zaman rasulullah Saw dan para
sahabat tidak pernah dirincikan secara detail permasalahan tersebut.Tentunya segala amal
perbuatan manusia dan tutur katanya tidak akan lepas dari ketentuan hukum syariat,baik
hukum syariat yang tercantum didalam al-Qur’an dan al-hadis secara langsung maupun
hukum syariat yang yang tidak tercantum pada keduanya,namun terdapat pada sumber
hukum yang lain seperti ijma’ dan qiyas.

Setelah Rasulullah SAW. Wafat dan periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat
Islam sudah mulai menghadapi berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak
mereka dengan masa Rasul dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran
Islam itu juga semakin tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka harus
mengumpulkan berbagai riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber itu dari para
pendahulu (guru) mereka yang masih tersisa. Kemudian terhadap berbagai riwayat itu, yang
terkadang saling bertentangan, mereka harus memaksimalkan daya pikir mereka agar tetap
bisa memelihara tujuan diturunkannya Islam dan agar Islam itu sendiri tetap bisa
diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika itulah mereka harus menyusun sebuah kerangka
acuan dalam melakukan pemahaman dan penarikan hukum dari sumber yang ada.

Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul, di setiap
generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai penyempurnaan dan
pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh, yang dengannya dapat
dilakukan penggalian (istinbath) hukum dengan semaksimal mungkin mendekati kebenaran
yang dikehendaki oleh Syari’ (pembuat hukum).

1
B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini, maka akan dibahas sub masalah
sesuai dengan latar belakang di atas yaitu sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Syara’?


2. Berapa pembagian Hukum Syara’?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum Taklifi?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Wadh’i?
5. Apa perbedaan antara hukum Taklifi dengan Wadh’i?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui apa itu hukum Syara’


2. Untuk mengetahui pembagian hukum Syara’
3. Untuk mengetahui pengertian hukum Taklifi
4. Untuk mengetahui pengertian hukum Wadh’i
5. Untuk mengetahui perbedaan antara hukum Taklifi dan Wadh’i
6. Untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’


Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu ‫ ح ك م‬yang
mendapat imbuhan ‫ ا‬dan ‫ ل‬sehingga menjadi ( ‫ ) الحكم‬bentuk masdar dari (‫ يحكم‬,‫)حكم‬. Selain
itu, ‫ الحكم‬merupakan bentuk mufrod dan bentuk jama’ adalah ‫ األ حكام‬. Kata hukum (al-hukm)
berarti mencegah atau menolak, yaitu mencegah ketidak adilan, mencegah kedzoliman,
mencegah penganiayaan, dan nolak bentuk kemafsadatan lainnya dan atau memutuskan.
Secara sederhana definisi hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat
itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Menurut terminologi, ushul fiqh, hukum berarti :
َ ‫ِخطَا‬
‫ب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين باالقتضاء أو التخيير أوالوضع‬
Artinya: “Khitab (doktrin) syar’i (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan orang yang
sudah mukallaf, baik doktrin itu berupa tuntutan (perintah dan larangan), anjuran untuk
melakukan, atau anjuran untuk meninggalkan. Atau berupa takhyir (kebolehan untuk memilih
antara melakukan dan tidak melakukan atau wadh’i (menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau mani’/ penghalang).”1
Wabah Az-Zuhaili memasukkan sahih, fasid/batal, azimah, dan rukhsah kedalam
Hukum Wadh’i2. Dari uraian penjelasan di atas ada beberapa kata yang perlu diperjelas
maksudnya.
1. ‫خطا ب الشا رع‬
Yaitu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui kitab sucinya yaitu Al-
Qur’an dengan perbuatan mukallaf seperti hukum suatu perbuatan itu haram, makruh,
mubah, shahih, batil, syarat, sebab, atau penghalang.
Khitab Allah itu ada yang bersifat langsung yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang disebut juga
dengan kalam lafzi (lawan dari kalam nafsi yang ada pada Allah yang tidak berhurup dan
tidak bersuara). Dan kalam Allah yang melaui perantara yaitu sunnah dan ijma’ yang
bersumber kepada al-Qur’an serta dalil-dalil syariat yang diakui. Sunah disebut juga sebagai

1
Saipuddin Shidiq,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada media Group,2014),cet.ke-2,hlm.121.
2
Ibid.,hlm.122.

3
khitab Allah, hal ini didasari oleh ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi tidak berkata
berdasarkan nafsu tetapi didasari oleh wahyu :
}4{‫}ان هو اال وحي يوحى‬3{‫وما ينطق عن الهوى‬
Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur’an ) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An-Najm [53] : 3-4)
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang
hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran
baik al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum
lainnya tidak sah dijadikan sebagi dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan
dari wahyu. 3
Ijma dikatakan khitab Allah karena ijma’ tidak lepas dari dalil al-Qur’an dan sunnah,
begitu juga dalil syara’ yang juga disebut khitab Allah dan menjelaskan hukum sesuatu yang
tidak ada dalilnya.
2. ‫االتضاء‬
Ialah tuntutan. Tuntutan disini bisa berupa tuntutan untuk mengerjakan secara pasti
(harus) yang kemudian disebut hukum wajib. Dan bisa berupa tuntutan untuk meninggalkan
secara pasti (harus) yang kemudian disebut dengan hukum haram.
3‫التخيير‬.
Yaitu artinya memilih, artinya Allah memperbolehkan kepada manusia untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan. Contohnya makan dan tidur diwaktu tertentu.
4.‫الوضع‬
Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai pengikat atau dua perkara yang
terkait dengan mukallaf. Ketentuan yang mengikat ini berupa tiga perkara yaiyu sebab, syarat
atau mani’. Contohnya hak waris dan kematian. Dari dua perkara itu kematian dijadikan oleh
syara’ sebagai sebab pembagian waris oleh ahli waris. Syarat, contohnya Wudhu dan sholat,
dari dua perkara ini maka wudhu dijadikan syarat sahnya sholat. Contoh mani’ adalah haid
dan kewajiban sholat bagi wanita. Dari dua perkara ini haid dijadikan penghalang kewajiban
sholat bagi wanita.
Untuk lebih jelasnya tentang hukum syariat yang berisi tentang tuntutan, suruhan, dan
ketetapan (sebab, syarat, dan mani’) dapat kita lihat dan perhatikan dalam contoh berikut ini :
a. Contoh hukum yang berupa tuntutan :
1. Tuntutan untuk mengerjakan, seperti firman Allah SWT :
3
Satria Efendi,Ushul fiqh,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2012),cet.ke-4,hlm.37.

4
}1{...‫يأيها الذين ءا منوا أوفوا بالعقود‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (janji)...” (QS.al-
Maidah [5] : 1)
Ayat di atas mengandung tuntutan kewajiban menepati janji jika telah menyatakan janji
kepada orang lain.
2. Tuntutan untuk meninggalkan, seperti firman Allah SWT :
}11{‫يأ يها الذين ءا منوا ال يسخر قوم من قومزز‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain....” (QS.al-Hujurat [49] :11)
Ayat diatas mengandung tuntutan agar kita menjauhi perbuatan saling mengolok-olok satu
sama lain, karena yang demikian itu akan menyakitkan perasaan satu sama lain.
b. Contoh hukum yang berupa alternatif untuk memilih. Seperti firman Allah SWT:
}60{‫كلوا و اشربوا من رزق هللا و ال تعثوا فى اآلرض مفسدين‬
Artinya: “Makan dan minumlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS.al-Baqarah [2] :
60)
Ayat diatas mengandung tawaran pilihan kepada kita untuk memilih makan dan minum
sesuatu yang halal selama tidak berlebihan.
c. Contoh hukum yang berupa ketetapan (sebab, syarat, atau mani’)
contoh tentang sebab yang terkandung dalam sabda Nabi :
‫ث ْالقَاتِ َل‬
ُ ‫اَل يَ ِر‬
Artinya :”Tidaklah mendapatkan hak waris yang membunuh.”
Hadis di atas menetapakan hukum yang harus dipatuhi oleh ahli waris yang menjadi
penyebab kemtian (membunuh) orang yang mewariskan seperti ayahnya, bahwa ia (ahli
waris) kehilangan haknya untuk memperoleh warisan.
Nas atau ayat al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan perintah, suruhan untuk
memilih atau berupa ketetapan sebagaimana dijelaskan di atas, semuanya merupakan
pengertian hukum Syari’at menurut ulama ushul fiqh. Adapun hukum syariat menurut ulama’
fiqh adalah efek yang dikehendaki oleh Allah dalam perbuatan mukallaf seperti wajib,
haram, dan mubah. Maka jika kita tampilkan ayat ‫ اَوفوا بِ ْالعُقود‬artinya : Tepatilah janji. Ayat
ini menurut ulama ushul fiqh berarti menghendaki keharusan memenuhi janji.
Adapun menurut ulama fiqh adalah efek atau konsekuensi yang di kehendaki oleh nas al-
Qur’an di atas adalah kewajiban untuk memenuhi janji. Contoh lain pada potongan ayat

5
‫التقربوالزنا‬, artinya: janganlah kamu semua mendekati zina. Hukum menurut ulama ushul fiqh
apa yang terkandung dalam nas tersebut yaiyu berupa larangan mendekati zina. Adapun
menurut ulama fiqh adalah haram hukumnya mendekati zina.4

B. Pembagian Hukum Syara’


Sebagian besar ulama ushul fiqh membagi hukum menjadi dua bagian yaitu: (1) Hukum
Taklifi, dan (2) Hukum Wadh’i. Berikut penjelasannya.
1. Hukum Taklifi
Hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada manusia tidak lain kecuali untuk
kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan
ini akan dapat kita peroleh jika kita mau mentaati hukum hukum Allah. Jika kita perhatikan
secara cermat, maka hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat tegas, yaitu tuntutan
yang harus dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan hukum wajib
seperti shalat dan puasa. Ada pula sebuah hukum yang diperintahkan secara tidak tegas, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat selain
shalat lima waktu. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan secata tegas.
Yang disebut dengan haram seperti berzina dan mencuri. Dan adakalanya berupa tuntutan
untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus ditinggalkan tetapi
meninggalkannya dianggap lebih baik seperti makan jengkol dan petai. Dan adakalanya
hukum Allah itu bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih
antara meninggalkan ataupun mengerjakan seperti makan dan minum.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa hukum taklif ialah hukum
yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan dan
disuruh memilih antara melakukan atau meningalkannya. Berikut ini contohnya :
- Hukum yang menghendaki untuk dikerjakan oleh mukalaf, seperti berbuat baik
kepada kedua orang tua
- Hukum yang dikehendaki untuk ditinggalkan oleh mukalaf, seperti mencuri,
membunuh dan berzina
- Hukum yang menghendaki untuk ditinggalkan atau dikerjakan (dapat memilih)
oleh mukalaf seperti mencatat transaksi utang piutang.

4
Saipuddin Shidiq,ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana Perenamedia group,2014),cet.ke-2,hlm.124.

6
Hukum Taklifi ialah Khitab Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW. Yang
mengandung tuntutan, baik perintah melakukan atau meninggalkan (larangan). Hukum taklifi
ada lima :
a. Ijab (Wajib), artinya mewajibkan atau khitab (firman Allah) yang meminta
mengerjakannya dengan tuntutan yang pasti dengan konsekuensi bila dikerjakan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan mendapat dosa.
Definisi wajib menurut syara’ ialah
‫ب َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم فِ ْعلِ ِه‬
َ َ‫َماطَل‬
“sesuatu yang diperintah oleh Allah agar dikerjakan secara pasti”
Contoh :
َ‫ين ِم ْ“ن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعل َّ ُك ْ“م تَتَّقُون‬
“َ ‫ب َعلَى ال َّ ِذ‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا ال َّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
“ Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa” (QS. Al Baqarah [2] :183)
b. Nadab (sunah), artinya menganjurkan atau khitab yang mengandung perintah
yang tidak wajib dituruti dengan konsekuensi mendapat pahala jika
mengerjakannya dan tidak mendapat apa apa jika meninggalkannya. Nadab atau
mandub dalam kajian ushul fiqh juga disebut sunah, nafilah atau tatawwu’, dan
ihsan. Contoh dari nadab seperti azan, shalat berjamaah, berkumur dalam
berwhudu, membaca surat setelah al-Fatihah dalam shalat, shalat wittir dll.
Tingkatan nadab yang pertama, sunah muakkadah sunah yang kuat yaitu sunah
yang selalu ditekuni oleh Nabi tidak pernah ditinggalkan kecuali sesekali dua kali.
Hal ini sengaja dilakukan untuk menunjukan bahwa hal itu bukan suatu
kewajiban. Sunah muakkadah bila dikatakan penyempurnaan kewajiban. Azan,
shalat berjamaah, berkumur saat whudu’. Shalat whitir, shalat fajar dua rakaat.
Salat sunah qabliyah dan ba’diyah. Yang kedua, sunah gairu muakadah sunah
yang tidak kuat, yaitu sunah yang jika tidak dilakukan tidak mendapat dosa dan
tidak juga celaan seperti puasa sunah senin dan kamis dll. Kemudian yang ketiga,
sunah tambahan (ziadah) ialah sesuatu yang dinggap pelengkap bagi mukallaf dan
sunah ini tidak sejajar dengan kedua sunah sebelumnya. Sunah ini adalah sunah
yang mengikuti rasul dalam kebiasaan rasul sebagai manusia biasa. Dan jika ditiru
merupakan hal fositif bagi mukallaf karena merupakan bukti dari kecintaan pada

7
Rasulullah SAW dan jika tidak dilakukan maka tentunya tidak masalah karna hal
ini bukan merupakan bagian dari syariat.
c. Tahrim (haram), yaitu titah atau khitab yang mengandung larangan yang harus
dijauhi. Dengan konsekuensi mendapat pahala jika meninggalkannya dan
mendapat dosa jika melakukannya.
pengertian menurut hukum syara’
َّ ‫ع ْال َك‬
‫ف ع َْن فِ ْعلِ ِه َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم‬ َ َ‫َماطَل‬
ِ ‫ب ال َش‬
ُ ‫ار‬
" tuntutan secara tegas dari Allah untuk tidak dikerjakan secara pasti”
Contoh :
ً‫اح َشةً َو َساء َسبِيال‬
ِ َ‫الزنَى إِنَّهُ َكانَ ف‬ ْ ‫َوالَ تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. al-Isra [17] : 32)
Haram dapat dibagi menjadi dua macam yaitu haram asal, yaitu hukum yang
ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram
secara zat, karna didalamnya terkandung zat yang dapat merusak agama, jiwa,
harta, akal, dan keturunan. Contohnya makan bangkai, berzina, dan minum arak.
Kemudian yang kedua haram dikarenakan sebab sesuatu yang lain maksudnya
hukum asal sesuatu ini tadinya bukan haram tetapi hukum itu dibarengi dengan
sesuatu yang lain yang hukumnya haram, seperti shalat menggunakan pakaian
hasil curian jual beli yang asal hukumnya boleh tapi ada unsur menipu dalam jual
beli tersebut, kemudian menikah dengan sengaja untuk kembali bersama wanita
yang telah ditalaknya tiga kali, dll.
d. Karahah (makruh), yaitu titah atau khitab yang mengandung larangan, tetapi tidak
harus dijauhi atau tidak sampai kederajat haram dan dilarang karna apabila
dilakukan akan menysahakan manusia. Seperti makan dan minum sambil berdiri.
e. Ibahah (mubah), yaitu titah atau khitab yang membolehkan sesuatu untuk
diperbuat atau ditinggalkan misalnya berburu setelah haji, bertebaran setelah
shalat Jum’at.

2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang
lain (musabab) atau sebagai syarat yang lain yaitu sebab, syarat, mani’, ruhksah dan azimah.
Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum wadh’i sebagai berikut : “hukum yang

8
menghendaki sesuatu itu sebagi sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau
sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan atau rukhsah
atau sebagi pengganti hukum keretapan pertama (azimah) atau sebagai yang sahih dan
tidak sahih”. Berikut penjelasan dari setiap pembagianya :

a. Sebab, ialah suatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dan dengan
tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya sesuatu hukum. Misalnya nikah
menjadi sebab adanya hak waris mewarisi
b. antara suami dan istri sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak waris
antara suami istri tersebut. Kemudian contoh lain :
ُ “َ‫ ۖ فَ“ َم“ ْ“ن“ َش“ ِه“ َد“ ِم“ ْن“ ُك“ ُم“ ا“ل“ش“َّ ْه“ َ“ر“ فَ“ ْل“ ي‬.......
) 185) ...... “ُ‫ص“ ْم“ ه‬

“Barang siapa diantara kamu melihat bulan itu maka hendaklah ia


berpuasa” (QS. al-Baqarah [2] : 185)

Akibat melihat bulan hilal (1 Ramadan) dinamakan sabab sedangkan


pekerjaan yang dikenai sebab itu dinamai musbab.

c. Syarat ialah sesuatu yang menjadi syarat sah bagi yang lain atu harus ada
sesuatu tersebut untuk menjalankan sebuah hukum, misalnya wudhu adalah
syarat sahnya shalat jika tidak berwudhu maka tidak sah lah shalat tersebut,
contoh lainnya :
‫النكاح اال بولي وشاهدي عدل‬
“sahnya suatu pernikahan hanya dengan adanya seorang wali dan dua orang
saksi“
Tanpa seorang wali dan dua orang saksi maka tidak sah lah pernikahan
tersebut.
d. Mani’ menjadi penghalang sesuatu atau menerangkan bahwa adanya menjadi
penghalang terhadap sebuah hukum. Misalnya wanita yang sedang haid maka
tidak wajib baginya untuk menjalani shalat yang asal hukumnya wajib dan
pakaian seseorang yang sedang shalat terkena kotoran/ hal yang najis menjadi
penghalang bagi shalat tersebut.
e. Azimah dan ruhkshah, ialah hukum apabila dilihat dari segi berat atau
ringannya

9
- Azimah ialah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan waktu misalnya shalat fardhu
yang lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan
- Rukhsah ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubungan dengan
hal-hal yang memberatkan masyarakat sebagai pengecualian dari hukum
hukum yang pokok. Misalnya boleh berbuka puasa pada bulan puasa bagi
para musafir, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak
bermaksud menentang hukum syara’ dan tidak berlebihan.

C. Perbedaan Hukum Taklifi dan Wadh’i


Perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i adalah sebagai berikut.
1.      Dalam hukum taklifi ada tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau
memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Namun dalam hukum wadh’i tidak ada
tuntutan. Dalam hukum wadh’i  ada keterkaitan antara 2 persoalan sehingga salah satu
diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat.
2.      Hukum taklifi ditunjukkan kepada mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan
berakal. Namun hukum wadh’i ditunjukkan kepada semua manusia, baik yang
mukallaf, anak-anak dan juga orang gila.
3.      Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan,
meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung
dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum
taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini
tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1
nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan
syarat (hukum wadh’i wajib zakat).
4.      Sah atau shahih, ialah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu
terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
5.      Bathil atau batal, ialah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan
dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjualbelikan
minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta
dalam pandangan syara’.

10
11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum syara’ berarti khitab Allah SWT yang bersangkutan dengan perbuatan
mukallaf baik berupa tuntutan (perintah maupun larangan) ataupun anjuran untuk
meninggalkan dan melakukan, dan juga berupa kebebasan memilih takhyir

Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu taklifi dan wadh’i. Hukum taklifi ialah
hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan atau meninggalkan suatu
perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Pembagian
hukum taklifi yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, haram. Sedangkan hukum wadh’i ialah
khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabab), atau sebagai
syarat yang lain. Kemudian pembagian hukum wadh’i yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah,
dan azimah.

Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i.  Hukum taklifi
merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau
memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum
wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat
hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika
belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab
(hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).

B. Saran
Menurut pendapat kami, di era Globalisasi ini ummat Islam memerlukan berbagai
perbaikan dalam segala bidang. Adapun bidang dasar yang cukup penting seperti sosial
dan budaya, politik, hukum serta bidang ekonomii agar perubahan yang terjadi nantinya
menjadi lebih baik lagi. Disamping itu, umat Islam juga memerlukan aturan-aturan untuk
dapat hidup dengan baik sesuai dengan hukum syara’ yang telah ditentukan oleh Allah
SWT.
Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

12

Anda mungkin juga menyukai