Anda di halaman 1dari 27

TAFSIR

PENEGAKAN HUKUM DALAM PRESPEKTIF AL-QURAN


TUGAS MATA KULIAH AL-QUR’AN HADIST
DOSEN : Drs. Tatang Muhajang, M.Ag

DISUSUN OLEH :
AMELIA AKIB
RUDY HERMAWAN

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A.  Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C. Tujuan Makalah.................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
A. Surat al-Nisa’ [4]: 59-65....................................................................................................2
B. Tafsir Surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 Dalam Penegakan Hukum............5
MENEGAKKAN QISAS UNTUK MENJAGA JIWA TINJAUAN TERHADAP
SURAT AL-BAQARAH AYAT 178-179.........................................................................7
SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178.......................................................................................7
SURAT AL-BAQARAH Ayat 179......................................................................................10
Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 29..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalahMata
Kuliah Tafsir dengan judul “AYAT-AYAT PENEGAKKAN HUKUM” dengan tepat
waktu.
            Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.  
            Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
             Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

  
                                                                                 

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN ,,

A.  Latar Belakang

Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Datang dengan membawa aqidah,
keagaam atau ketentuan moral dan sebuah etika yang menjadi dasar sesorang bermasyarakat,
tapi juga membawa syariat yang jelas mengatur, berperilaku dan berhubugan antara satu
dengan yang lainnya dalam segala aspek. Aspek tersebut meliputi individu, keluarga,
hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kekuatan hukum di Indonesia itu berasal dari
Hukum Islam yang mana Islam itu sendiri adalah agama mayoritas di Indonesia, namun di
Indonesia sebagian besar masyarakatnya masih menganut sistem hukum adat.

Maka dari itu, pembuatan makalah ini dilatar belakangi adanya asumsi bahwa praktik
penegakan hukum Islam di peradilan agama Indonesia yang lebih banyak di dasarkan kepada
hukum adat dan bukan kepada hukum Islam yag murni. Padahal dalam Islam, setiap muslim
dikehendaki untuk tunduk, taat, dan patuh kepada hukum Islam dengan tetap mengacu
kepada Al-Quran dan Sunnah, tak terkecuali dalam melaksanakan hukum Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

a. Apa yang pengertian dari hukum Islam?

b. Apa pengertian keadilan dalam Islam

1
C. Tujuan Makalah

a. mengetahui pengertian tentang hukum keadilan islam

b. mengetahui ayat-ayat tentang keadilan

BAB II

PEMBAHASAN

Ayat Tentang Kewajiban Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah


A. Surat al-Nisa’ [4]: 59-65

ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
‫ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
)59( ‫تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل َ ِخ ِر َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬

َ َ‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا فِي أَ ْنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِم َّما ق‬
)65( ‫ضيْتَ َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‬ َ ‫فَاَل َو َربِّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ َحتَّى ي َُح ِّك ُمو‬

1. Terjemah Ayat

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. al-Nisa [4]: 59)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisa [4]: 65)

2. Tafsir Mufradat

2
a. ‫أُولِى ْاألَ ْم ِر‬: Dari segi bahasa kata ‫ أُولِى‬adalah bentuk jamak 2dari kata ‫ َولِي‬yang berarti pemilik
atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa
mereka itu banyak, sedang kata ‫ ْاألَ ْم ِر‬adalah perintah atau urusan.

Dengan demikian, ‫ أُولِى ْاألَ ْم ِر‬adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum
muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-
persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para
penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat
tketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai
kelompok dan profesinya.

b. ‫ أَلَ ْم ت ََر‬: Susunan redaksi ayat ini menunjukkan kalimat pertanyaan dengan menggunakan alif
istifham. Pertanyaan: “Apakah kamu tidak melihat?”, mengandung makna keheranan
sekaligus rasa kasihan oleh mereka yang melihat sikap dan perilaku mereka yang dibicarakan
di sini. Heran dan kasihan mereka berpaling dari tuntunan Ilahi, serta berhakim kepada
Thaghut, padahal mereka mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah SWT.

c. َ‫يَ ْز ُع ُموْ ن‬: Fi’il mudhari’ jamak mudzakkar ghaib berasal dari kata ‫ يَ ْز ُع ُم‬- ‫ َز َع َم‬yang berarti
mengira, menyangka, mengaku. Fa’ilnya adalah dhamir ‫ هُ ْم‬yang ditakdirkan, marja’
dhamirnya kepada kata َ‫( الَّ ِذ ْين‬orang-orang).

ِ ْ‫الطَا ُغو‬: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas, kata ini digunakan
d. ‫ت‬
untuk menunjuk kepada segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide sesat,
manusia durhaka, atau siapapun yang mengajak kepada kesesatan. Ada lagi yang memahami
kata Thaghut dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa Jahiliah, yang telah
dibatalkan dengan kehadiran Islam.

e. ‫تَ َعالَوْ ا‬: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti tinggi. Bahasa menggambarkan bahwa
yang memanggil berada di tempat yang tinggi, karena tempat yang tinggi secara umum
dinilai lebih aman dari tempat yang rendah, karena itu panggilan ini selalu mengisyaratkan
ajakan menuju kepada suatu yang bersifat positif dan bermanfaat bagi yang dipanggil. Al-
Qur'an sering kali menggunakan kata ini untuk mengajak umat manusia sekaligus
mengisyaratkan bahwa mengikuti tuntunan Ilahi mengantar manusia menuju ketinggian
derajat, baik di dunia maupun di akhirat.

f. َ‫ص ُّدوْ نَ َع ْنك‬


ُ َ‫ي‬: Fi’il mudhari’ yang berasal dari kata ‫ص ُّد‬
ُ َ‫ ي‬- ‫ص َّد‬
َ artinya mencegah, melarang. Jika
kata ini dihubungkan dengan harf jarr ‫ع َْن‬, maka artinya berpaling, menjauhkan diri dari
sesuatu.

3
g. ‫فَأ َ ْع ِرضْ َع ْنهُ ْم‬: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti samping. Ini berarti, perintah itu
adalah perintah untuk menampakkan sisi samping manusia, bukan menampakkan muka atau
wajahnya. Biasanya sikap demikian, mengandung makna meninggalkan yang bersangkutan,
dan makna ini kemudian berkembang sehingga ia bermakna tidak bergaul dan berbicara
dengan yang ditinggalkannya itu. Ia juga dipahami dalam arti “tinggalkan dan biarkan, jangan
jatuhkan sanksi atasnya, atau maafkan dia.”

h. ‫ بَلِ ْي ًغا‬: Asal kata ini terdiri dari huruf-huruf ba’, lam dan ghain. Pakar-pakar bahasa
menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti
sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan
mengandung arti sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan.

i. َ‫ فَالَ َو َربِّك‬: Ulama berbeda pendapat tentang makna dan kedudukan kata laa pada ayat ini.
Ada yang memahami kata laa sebagai kata tambahan yang berfungsi menguatkan sumpah,
bukan berfungsi atau bermakna menafikan sesuatu, sehingga ia tidak dipahami dalam arti
tidak, dan dengan demikian penggalan ayat tersebut berarti demi Tuhanmu.

Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak. Hanya saja menurut penganut paham ini,
penafian itu tertuju kepada pandangan kaum munafikin yang dikandung oleh ayat yang lalu,
yaitu sikap mereka yang menjadikan thaghut sebagai hakim, serta keengganan mereka
mengikuti putusan Nabi SAW. Seakan-akan ayat ini menyatakan “Tidak seperti apa yang
mereka katakan bahwa, mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepadamu wahai
Muhammad, padahal mereka bertahkim (kembali dalam memutuskan hukum) kepada
thaghut. Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman…”

3. Asbabun Nuzul
Surat al-Nisa’ ayat 60-64 menurut riwayat turun tentang seorang laki-laki munafik yang
berselisih dengan seorang laki-laki Yahudi, enggan merujuk kepada Nabi Muhammad SAW
untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang
munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyraf.

Surat al-Nisa’ ayat 65 sebab turunnya terdapat dalam beberapa riwayat, salah satu di
antaranya ialah hadis riwayat Abdullah bin Zubair ra.:

Bahwa seorang lelaki Anshar bertengkar dengan Zubair di hadapan Rasulullah SAW
mengenai saluran air daerah Harrah yang digunakan untuk mengairi pohon kurma. Lelaki
Anshar tersebut berkata: Biarkan air itu mengalir! Ternyata Zubair menolak permintaan
mereka. Lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Berkatalah beliau kepada
Zubair: Alirkanlah wahai Zubair dan alirkan juga air itu kepada tetanggamu! Lelaki tersebut
4
marah seraya berkata: Wahai Rasulullah! Apakah karena Zubair itu anak bibimu? Dia
berkeberatan dan menduga Nabi SAW pilih kasih, padahal putusan tersebut lebih berdasarkan
win-win solution atau keputusan yang menyenangkan kedua belah pihak. Mendengar
komentar lelaki tersebut, berubahlah warna muka Nabi SAW lalu berkata: Wahai Zubair,
alirkanlah air itu kemudian tahan agar kembali lagi ke kebun! Lalu Zubair berkata: Demi
Allah, aku yakin bahwa ayat ini turun menyinggung percekcokan tadi.

Pada ayat 65 surat al-Nisa’, perlu dicatat, bahwa ketika Allah SWT menetapkan bahwa
hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa
keberatan, maka dalam ketetapan Allah itu tersirat kewajiban Rasul (dan lebih-lebih para
hakim sesudah beliau) untuk memperhatikan rasa keadilan, sehingga ketetapan mereka dapat
diterima baik. Di sisi lain, disadari bahwa hukum adalah inti peradaban suatu bangsa yang
mencerminkan jiwa bangsa tersebut. Karena itu pula, maka pemahaman tentang budaya
bangsa amat diperlukan dalam memahami dan menetapkan hukum-hukum, karena hanya
dengan demikian keadilan hukum dapat dirasakan masyarakat.

B. Tafsir Surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 Dalam Penegakan Hukum
¡‫ف¡ َو¡ ا¡أْل ُ¡ ُذ¡ َ¡ن¡ بِ¡ ا¡أْل ُ¡ ُذ¡ ِن¡ َو¡ ا¡ل¡س¡ِّ¡ ن¡ بِ¡ ا¡ل¡س¡ِّ¡ ِّ¡ن‬
َّ ¡ِ ¡‫ف¡ بِ¡ ا¡أْل َ¡ ْن‬
¡َ ¡‫س¡ َ¡و¡ ا¡ ْل¡ َع¡ ْي¡ َ¡ن¡ بِ¡ ا¡ ْل¡ َع¡ ْي¡ ِن¡ َو¡ ا¡أْل َ¡ ْن‬ ¡َ ¡‫َك¡ تَ¡ ْب¡ نَ¡ ا¡ َع¡ لَ¡ ْي¡ ِه¡ ْم¡ فِ¡ ي¡هَ¡ ا¡ أَ¡ َّن¡ ا¡ل¡نَّ¡ ْف‬
ِ ¡‫س¡ بِ¡ ا¡ل¡نَّ¡ ْف‬
¡‫ك¡ هُ¡ ُم‬ ٰ ُ
¡َ ¡ِ‫ق¡ بِ¡ ِه¡ فَ¡ هُ¡ َو¡ َك¡ فَّ¡ ا¡ َ¡ر¡ ةٌ¡ لَ¡ هُ¡ ۚ¡ َو¡ َم¡ ْ¡ن¡ لَ¡ ْم¡ يَ¡ ْ¡ح¡ ُك¡ ْ¡م¡ بِ¡ َم¡ ا¡ أَ¡ ْن¡ َز¡ َل¡ هَّللا ُ¡ فَ¡ أ¡و¡¡لَ¡ ئ‬ َ ¡‫ص¡ َّد‬َ ¡َ‫ص¡ ۚ¡ فَ¡ َم¡ ْ¡ن¡ ت‬¡ٌ ¡‫ص¡ ا‬ َ ¡ِ‫ح¡ ق‬ ¡َ ¡‫َ¡و¡ ا¡ ْل¡ ُج¡ ُر¡ و‬
َّ
¡‫ا¡ل¡ظ¡ ا¡لِ¡ ُم¡ و¡ َن‬
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.” QS. Al Maidah : 45
Argumentasi dari Abu Hanifah RA dengan keumuman ayat ini sebagai dalil hukuman mati
bagi orang Islam yang membunuh non muslim, dan subsitansi ayat didalamnya
mengisyaratkan bahwa orang kafir tidak termasuk dalam keumuman ayat sebagaimana
pendapat jumhur ulama.
Sudah dimaklumi bahwa orang kafir tidak termasuk orang-orang yang bersedekah, dimana
sedekah mereka merupakan kafarat bagi mereka, karena kekufuran itu adalah keburukan yang
kebaikan tidak akan memberikan mamfaat bersamanya. Ismail Al Qadhi telah meyingung hal
ini dalam Ahkam Alqur’an, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, dan apa
yang telah disebutkan Ismail Al Qadhi, bahwa ayat tersebut juga menunjukkan hamba tidak
termasuk didalamnya, bedasarkan bahwa hamba tidak sah memberikan sedekah dengan

5
lukanya, karena itu adalah hak majikannya yang tidak bias diterima, karena ada ulama yang
mengatakan: Sesungguhnya perkara-perkara yang berkaitan dengan anggota badan seorang
hamba, seperti perkara qishas, ia boleh memberikan maaf tanpa restu majikannya maka
bedasarkan hal tersebut, tidak ada halangan baginya untuk bersedekah dengan lukanya.
Selain itu bedasarkan pendapat yang mengatakan “ Maka melepaskan hak itu menjadi
penembus dosa bagi” bahwa bersedekah dengan luka akibat jinayah merupakan kafarat bagi
pelaku kriminalitas bukan korbannya. Maka tidak ada halangan pula untuk memberikan
argumentasi tersebut dengan dalil ayat ini, karena Allah SWT tidak menyebutkan bahwa
orang kafir bias besedekah, sebab orang kafir tidak bersedekah karena kekafirannya, dan
semua yang bathi dan tidak berfaidah tidak Allah sebutkan dalam konteks penetapan, padahal
pendapat ini lemah dalam hal makna ayat.
Mayoritas Ulama dari kalangan sahabat dan sesudah mereka mengatakan, bahwa maknanya
adalah kafarat bagi yang bersedekah,dan pendapat ini adalah yang paling moderat. Karena
kata ganti didalamnya kembali kepada subjek yang disebutkan, dan itu bagi orang yang
beriman secara mutlak, tidak bagi orang kafir.
َ ¡ِ‫َو¡ ْل¡ يَ¡ ْ¡ح¡ ُك¡ ْ¡م¡ أَ¡ ْه¡ ُل¡ ا¡إْل ِ¡ ْن¡ ِ¡ج¡ ي¡ ِل¡ بِ¡ َم¡ ا¡ أَ¡ ْن¡ َ¡ز¡ َ¡ل¡ هَّللا ُ¡ فِ¡ ي¡ ِه¡ ۚ¡ َو¡ َم¡ ْ¡ن¡ لَ¡ ْم¡ يَ¡ ْ¡ح¡ ُك¡ ْم¡ بِ¡ َم¡ ا¡ أَ¡ ْن¡ َز¡ َل¡ هَّللا ُ¡ فَ¡ أُ¡و¡ٰ¡لَ¡ ئ‬
¡‫ك¡ هُ¡ ُم¡ ا¡ ْل¡ فَ¡ ا¡ ِ¡س¡ قُ¡ و¡ َن‬
Artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al Maidah:47
Allah SWT mewajibkan kepada umat Kristen agar memutuskan hukum dengan apa yang
sudah diturunkan Allah SWT dalam injil. Injil diturunkan kepada Isa as agar hukum-hukum
yang dikandungnya ditegakkan, larangan-larangan yang ada didalamnya dijauhi, dan perintah
Allah SWT didalamnya dipatuhi.
Akan tetapi, barang siapa tidak berhukum kepada perintah dan syari’at Allah SWT dia telah
keluat dari ketaatan kepada-Nya SWT dan mengganti syari’at-Nya dengan hukum yang lain.
Oleh Karena itu, barang siapa tidak memutuskan sesuatu perkara dengan apa yang diturunkan
Alla SWT berarti ia kafir, zalim, dan fasik. Dia keluar dari agama, serta menganiaya dirinya
sendiri dan orang lain karena telah mengganti syari’at Allah dengan syari’at makhluk.
Ayat ini dan yang sebelumnya memberikan kejelasan yang nyata sekali , bahawa di dalam
kekuasaan Islam , orang - orang Dzimmi Yahudi dan Nasrani diperintahkan menjalankan
hukum menurut kitab mereka . Padahal isi Hukum Tuhan dalam semua kitab suci , baik
Taurat dan Injil , sampai kepada al - Quran dasarnya ialah satu , iaitu Hukum Tuhan , Di
zaman hidupnya Al Masih , oleh kerana kekuasaanyya adalah pada bangsa Romawi dan
kaum Yahudi dalam jajahan belumlah boleh dapat menjalankan Hukum Tuhan dari Taurat
dengan tegas . Beliau hanya berkata : " Berikanlah hak Allah kepda Allah dan Hak Kaisar
kepada kaisar . "
Malahan seketika orang - orang Yahudi datang kepada beliau membawa seorang perempuan
yang mereka tuduh berzina , supaya dijalankan kepadanya Hukum Taurat . Beliau bertanya
bahawa adakah di antara mereka itu orang - orang yang tidak pernah berdosa ? Siapa orang -
orang yang tidak pernah berdosa itulah yag melontar perempuan itu dengan batu sampai
mati . Maka berpandang - pandanganlah satu dengan yang lain , dan tidak ada seorang juapun
yang berani menjatuhkan hukum kepada perempuan itu , sebab merasa bahawadiri masing -
6
masing tidak sunyi daripada bersalah . Dengan sikap Al -Masih yang demikian , bukan bererti
bahawa beliau merubah Hukum Taurat , melainkan menyuruh mereka terlebih dahulu
membersihkan jiwa sendiri sebelum menuduh-nuduh orang lain . dan yang lebih beliau dari
pihak penguasa Romawi . Sebab hak menghukum mesti dijalankan dalam kekuasaan
pemerintahan Romawi .
¡ُ ‫ض¡ َم¡ ا¡ أَ¡ ْن¡ َ¡ز¡ َل¡ هَّللا‬ِ ¡‫ك¡ َع¡ ْ¡ن¡ بَ¡ ْع‬ َ ¡‫َ¡و¡ أَ¡ ِن¡ ا¡ ْ¡ح¡ ُك¡ ْم¡ بَ¡ ْي¡ نَ¡ هُ¡ ْم¡ بِ¡ َم¡ ا¡ أَ¡ ْن¡ َ¡ز¡ َل¡ هَّللا ُ¡ َ¡و¡ اَل تَ¡ تَّ¡ بِ¡ ْع¡ أَ¡ ْه¡ َ¡و¡ ا¡ َء¡ هُ¡ ْم¡ َو¡ ا¡ ْ¡ح¡ َذ¡ ْ¡ر¡ هُ¡ ْم¡ أَ¡ ْ¡ن¡ يَ¡ ْف¡ تِ¡ نُ¡ و‬
¡‫س¡ لَ¡ فَ¡ ا¡ ِ¡س¡ قُ¡ و¡ َن‬ِ ¡‫ض¡ ُذ¡ نُ¡ و¡بِ¡ ِه¡ ْم¡ ۗ¡ َ¡و¡ إِ¡ َّن¡ َك¡ ثِ¡ ي¡ ًر¡ ا¡ ِم¡ َ¡ن¡ ا¡ل¡نَّ¡ ا‬ ِ ¡‫ص¡ ي¡بَ¡ هُ¡ ْم¡ بِ¡ بَ¡ ْع‬ ¡ِ ¡ُ‫ك¡ ۖ¡ فَ¡ إِ¡ ْ¡ن¡ تَ¡ َ¡و¡ لَّ¡ ْ¡و¡ ا¡ فَ¡ ا¡ ْع¡ لَ¡ ْم¡ أَ¡ نَّ¡ َم¡ ا¡ يُ¡ ِر¡ ي¡ ُد¡ هَّللا ُ¡ أَ¡ ْ¡ن¡ ي‬
َ ¡‫إِ¡ لَ¡ ْي‬
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
bvvAllah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.QS. Al Maidah:49
¡‫أَ¡ فَ¡ ُح¡ ْك¡ َم¡ ا¡ ْل¡ َج¡ ا¡ ِه¡ لِ¡ ي¡َّ¡ ِة¡ يَ¡ ْب¡ ُغ¡ و¡ َ¡ن¡ ۚ¡ َو¡ َم¡ ْ¡ن¡ أَ¡ ْ¡ح¡ َس¡ ُ¡ن¡ ِم¡ َ¡ن¡ هَّللا ِ¡ ُح¡ ْك¡ مً¡ ا¡ لِ¡ قَ¡ ْ¡و¡ ٍ¡م¡ يُ¡ و¡قِ¡ نُ¡ و¡ َن‬
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. QS. Al Maidah:50
Maha suci Allah. Mereka menghendaki hukum jahiliyah, hawa nafsu, dan kesesatan, dan
menolak hukum Allah SWT yan semuanya adalah benar, cahaya, dan keadilan. Mereka
menginginkan hokum makhluk yang serba tidak sempurna, alpa dan bodoh, serta
meninggalkan hokum sang pencipta SWT Yang Maha Adil, Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui segala sesuatu. Mereka itu tidak membenarkan, tidak beriman dan tidak
menghendaki kebaikan tidak yang lebih baik dari hukum Allah SWT dalam keadilan,
penjelasan, hikmah, maslahat dan kebaikan dunia dan akhirat. Namun, hokum yang
bersumber dari Allah SWT ini dipatuhi dan disukai hanya oleh orang-orang yang kokoh
imannya, mencintai Allah dan menaati-Nya.

MENEGAKKAN QISAS UNTUK MENJAGA JIWA TINJAUAN TERHADAP SURAT


AL-BAQARAH AYAT 178-179

SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178

‫صاصُ فِي ْالقَ ْتلَى ْالحُرُّ بِ ْال ُح ِّر َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َواألُنثَى بِاألُنثَى فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه َش ْي ٌء‬ َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬ ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ ِ‫وا ُكت‬
‫يف ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ فَ َم ِن ا ْعتَدَى بَ ْع َ¡د َذلِكَ فَلَهُ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ ٌ ِ‫ُوف َوأَدَاء ِإلَ ْي ِه بِإِحْ َسا ٍن َذلِكَ ت َْخف‬ ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬
ٌ ‫فَاتِّبَا‬

ARTI NYA:

[Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash
dalam hal pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

7
TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178

1). Seperti ada yang kontras di sini. Ayat sebelumnya (177) berbicara soal kebajikan yang
sempurna (al-birr). Tiba-tiba disusul dengan hukum qishash (pelaku kejahatan diperlakukan
setimpal dengan kejahatannya). Tapi kalau direnungkan, ini bukanlah pertentangan. Poin
pentingnya ialah bahwa dimana ada reward (penghargaan atas kebaikan) di situ juga harusnya
ada punishment (hukuman atas kejahatan). Di mana ada hukum yang baik di situ juga
seharusnya ada penegak hukum yang adil. Ayat 117 berbicara tentang kriteria penegak
hukum yang adil, yang disebut ‫األ ْب َرار‬ (al-abrār), sementara ayat 178 ini berbicara soal hukum
yang baik. Karena percuma ada hukum yang baik jikalau penegak hukumnya sendiri tidak
adil. Selain itu, Allah hendak menunjukkan bahwa kebajikan yang sempurna tidak akan
terwujud manakala masyarakat tidak diatur oleh hukum yang benar. Karena tiap perbuatan
baik—sesederhana apapun—selalu membutuhkan ruang sosial yang kondusif. Tak ada
perbuatan yang tidak membutuhkan ruang, karena kita memang makhluk bumi. Di dalam
Ilmu Hukum dikenal istilah “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat di situ ada hukum).
Dan hukum tak cukup sebagai kanopi yang melindungi masyarakat dari perilaku anarkisme
dan barbarianisme, tapi juga sekaligus sebagai alat untuk memperbaiki masyarakat (law as a
tool of social engineering). Maka hukum qishash bermakna mengkondisikan tatanan sosial
agar setiap orang terpeluangi untuk melakukan perbuatan baiknya dan terhalangi melakukan
niat jahatnya. Sehingga bangunan masyarakat tumbuh dan berkembang menuju
kesempurnaan. Dalam konteks inilah hendaknya difahami seruan ini: ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬ ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ ِ‫وا ُكت‬
َ ْ ْ
‫صاصُ فِي القَتلى‬ ْ
َ ِ‫الق‬ [yā ayyuɦal-ladzĭna āmanŭ kutiba ‘alaykumul-qishāshu fĭl-qatlā, hai orang-
orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash dalam hal
pembunuhan]. Dan penggunaan kata ‫ب‬ َ ِ‫( ُكت‬kutiba, diwajibkan) di sini seyogyanya
membebaskan pembaca dari perdebetan mengenai wajib tidaknya hukum qishaash, karena
kata ini juga digunakan berkenaan dengan Puasa Ramadhan (ayat 183). Allah hendak
mengesankan, melalui penggunaan kata ‫ب‬ َ ِ‫ ُكت‬ (kutiba, diwajibkan) tersebut, bahwa wajibnya
(melaksanakan hukum) qishash sama dengan wajibnya Puasa Ramadhan. Mempertanyakan
wajibnya hukum qishash sama dengan mempertanyakan wajibnya Puasa Ramadhan. Menolak
pelaksanaan hukum qishash sama dengan menolak pelaksanaan Puasa Ramadhan. Maka
adalah sangat aneh kalau seseorang itu rajin melakukan Puasa Ramadhan tetapi ogah
memberlakukan hukum qishash. Dan pada keduanya memang ada kesamaan prinsip dan
filosofis (yang akan kita bahas nanti pada ayat tentang puasa). Puasa Ramadhan mengajak
kita kepada kehidupan spiritual; hukum qishash mengajak kita kepada kehidupan sosial. “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-
Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (8:24)

2). Filosofi qishash yang Allah perkenalkan di ayat ini adalah ekuasi, kesamaan, dan
kesetaraan perlakuan terhadap seluruh unsur-unsur yang membentuk sebuah bangunan sosial.
Artinya, melalui hukum qishash Allah tak hanya bicara soal penegakan hukum yang adil, tapi
juga soal susunan masyarakat yang egaliter. Allah hendak meruntuhkan struktur sosial yang
dibangun atas dasar feodalisme (kekuasaan politik) dan pavoritisme (kekuasaan ekonomi)
seraya memperkenalkan struktur sosial yang dibangun atas dasar iman dan ilmu. Seperti
dalam firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

8
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (58:11) Sebelum ayat 178 ini
turun, seperti dikutip al-Wahidi dan as-Suyuthi di dalam Kitab Asbabun Nuzul-nya masing-
masing, apabila terjadi benterok antara dua kelan, maka budak yang terbunuh dari kelan yang
lebih besar harus dibalas dengan (menghukum) orang merdeka dari kelan yang lebih kecil;
kalau ada wanitanya yang dibunuh maka baru dianggap impas apabila lakil-laki dari kelan
pelaku yang dibunuh. Sebaliknya manakala orang merdeka dari kelan yang lebih besar yang
membunuh maka cukup menyerahkan budaknya atau wanitanya untuk dihukum. Dapat kita
bayangkan betapa buruknya nasib mereka yang kebetulan anggota dari sebuah kelan yang
kecil; betapa menyedihkannya masa depan orang-orang yang lemah secara sosial, terutama
kaum budak dan perempuan. Maka, melalui hukum qishash, Allah mereformasi sistem sosial
yang zalim seperti itu. Hukum qishash ialah: ‫الحُرُّ بِ ْال ُح ِّر َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َعبْ¡ ِد َواألُنثَى بِ¡األُنثَى‬ (al-hurru
ْ bil-
hurri wal-‘abdu bil-‘abdi wal-untsā bil-untsā, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita). Apabila pelaku pembunuhan seorang merdeka—
dari manapun asal kelannya—maka yang dihukum (bunuh) adalah pelaku (orang merdeka)
tersebut juga, dan tidak boleh digantikan oleh budaknya. Budak yang boleh dihukum (bunuh)
hanyalah budak yang bersalah, yang melakukan pembunuhan. Apabila yang membunuh
adalah seorang wanita, maka yang harus menerima hukuman adalah pelaku (wanita) tersebut
juga. Pendeknya: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Orang yang bersikap bungkam terhadap hukum qishash ini, Allah samakan
dengan orang bisu di dalam perumpamaan berikut ini: “Dan Allah membuat perumpamaan:
dua orang lelaki.  Yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan (hanya) menjadi
beban atas penanggungnya; ke mana saja disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat
mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat
keadilan dan berada di atas jalan yang lurus?” (16:76)

3). Tetapi ada kalanya hukum qishash diganti dengan diyat (ganti rugi). Yaitu apabila pihak
wali atau keluarga korban bersedia memaafkan pelaku: ‫ُوف‬ ِ ‫¡ال َم ْعر‬ ْ ِ‫ع ب‬
ٌ ‫فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه َش ْي ٌء فَاتِّبَ¡¡ا‬
ٍ ‫ َوأَدَاء إِلَ ْي ِه بِإِحْ َس‬ [faman ‘ufiya laɦu min akhĭɦi syay-un fattibā’un bil-ma’rŭfi wa adāun ilayɦi
‫ان‬
bi-ihsānin, maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)]. Di sini kita
melihat humanisme al-Qur’an. Perhatikan, saat berbicara soal hukum qishash yang oleh
sebagian orang dipandang mengerikan, Allah justru menggunakan kata ‫أَ ِخي¡¡¡ ِه‬ (akhĭɦi,
saudaranya) untuk wali atau keluarga korban. Melalui penggunaan kata ini, Allah hendak
memberikan kesan psikologis kepada pelaku bahwa yang dia bunuh itu sesungguhnya ialah
saudaranya sendiri, bukan orang lain. Sehingga seharusnya melahirkan penyesalan yang
sedalam-dalamnya, dan berjanji kepada manusia dan Tuhan untuk tidak mengulanginya lagi.
Begitu juga, Allah hendak mengesankan bahwa pihak korban—kendati telah kehilangan
anggota keluarga yang dicintainya akibat ulah pelaku—tetap memandang pelaku sebagai
saudaranya sendiri. Walaupun terasa sakit, tetapi dia atau mereka siap membuka pintu
maafnya. Dan pemaafan ini, oleh Allah, diminta agar benar-benar muncul dari lubuk hati
yang paling dalam, dengan cara yang sebaik-baiknya: ‫ُوف‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬ (bil-ma’rŭfi, dengan cara yang
makruf atau baik); bukan dengan niat untuk melakukan balas dendam di belakang hari atau
dengan maksud-maksud buruk lainnya. Itu sebabnya keadaan ini hedaknya pula diikuti
dengan iktikad baik oleh pelaku. Yaitu menyambut “uluran hati” saudaranya ini dengan
“uluran tangan” dalam bentuk diyat (ganti rugi), juga dengan cara yang sebaik-
baiknya: ‫ان‬ ٍ ‫بِإِحْ َس‬ (bi-ihsānin, dengan cara yang ihsan atau baik). Berapa besar nilai dari diyat
(ganti rugi) ini? Tergantung pada beberapa hal. Misalnya, apakah pembunuhan itu disengaja,
9
mirip disengaja atau tidak disengaja; pembunuhan itu terjadi di dalam bulan-bulan Haram
atau di luar; korbannya seorang mukmin atau bukan. Variabel-variabel inilah nantinya yang
kemudian menjadikan diyat itu berjenis mughallazhah (berat) atau mukhaffafah (ringan).
Nilai dan besaran diyat-nya distandarkan kepada unta dengan berbagai macam variannya
(betina, jantan, umur, bunting dan tidak bunting). Masalah ini dibahas secara rinci dalam
Hukum Jinayat. “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki
akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (5:49-50)

4). Hukum qishash yang diganti dengan diyat adalah bentuk takhfĭf (keringanan) dari Allah
dan Rahmat-Nya: ٌ‫يف ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َرحْ َمة‬
ٌ ِ‫ك ت َْخف‬
َ ِ‫ َذل‬ (dzālika takhfĭfun min rabbikum wa rahmatun, Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat). Bukankah Allah
sendiri menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pemaaf:  ‫(إِ َّن هَّللا َ لَ َعفُ ٌّو َغفُو ٌر‬innallāɦa la-’afuwwun
ghafŭr, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun) (22:60 dan
58:2). Apabila pihak korban menempuh jalan ini (memaafkan), berarti mereka
mentransformasi sifat-sifat Ilahiah ke dalam dirinya. Semua manusia pasti menghendaki agar
Allah memaafkan segala dosa dan salahnya selama ini, tetapi hanya sedikit yang mau
memiliki sifat pemaaf tersebut. Masalahnya, mungkinkah Allah memaafkan segala dosa dan
salah kita kalau kita sendiri tidak berhasrat memiliki sifat pemaaf tersebut. Dari sisi pelaku,
dia atau mereka hendaknya memandang pemaafan dari pihak korban ini sebagai perwujudan
pemaafan dari Allah—karena mekanisme hukum diyat ini memang diatur oleh-Nya.
Sehingga menerimanya sebagai rahmat yang tak terkira nilainya. Harapannya, pelaku benar-
benar kembali bersimpuh di haribaan-Nya dengan melakukan penyesalan yang sedalam-
dalamnya, meminta ampun yang sebanyak-banyaknya, berjanji setulus-tulusnya untuk tidak
mengulanginya lagi, dan meminta bimbingan-Nya agar selalu berada di Jalan-Nya yang
lurus. “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka (segera) ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka,
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (3:135)

5). Lalu bagaimana kalau pelaku di suatu hari nanti kembali melakukan perbuatan yang
sama? Allah mengultimatum orang yang seperti itu dengan kalimat yang tegas: َ‫فَ َم ِن ا ْعتَدَى بَ ْعد‬
‫ َذلِكَ فَلَهُ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ (famani’tadā ba’da dzālika falaɦu ‘adzābun alĭm, barangsiapa yang melampaui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih). Artinya, manakala mereka kembali
membunuh, maka tidak ada lagi diyat baginya. Perbuatan seperti itu sudah “melampaui
batas”. Pelakunya telah menabrak batas toleransi tertinggi dari syariat. Kalau dibiarkan,
bukan saja mengancam jiwa banyak orang tetapi mengancam tatanan masyarakat secara
keseluruhan. Membunuh satu orang saja sudah sama dengan membunuh seluruh manusia.
Lalu bagaimana pula kalau perbuatan ini mereka ulangi lagi. Pengulangan suatu perbuatan
(buruk) menunjukkan adanya sifat (buruk) yang tidak berubah. Orang seperti ini bukan lagi

10
rahmat bagi kehidupan tapi “ancaman”. Kehadirannya menjadi “teror” bagi lingkungan
sekitarnya. Maka terhadap orang seperti itu, hukum qishash harus ditegakkan. Mereka tidak
berhak lagi menikmati fasilitas hidup yang Tuhan siapkan di dunia ini. Ibarat tumor di
tangan, kalau tak dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum
qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.” (2:194)

SURAT AL-BAQARAH Ayat 179

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَاْ أُولِ ْي األَ ْلبَا‬


َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬

ARTINYA :

[Dan bagi kalian dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup, hai orang-orang yang
berakal, supaya kalian bertakwa.]

TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH Ayat 179

1). Bagi sebagian (bahkan mungkin kebanyakan) orang, ayat ini terasa aneh. Bagaimana
mungkin di dalam hukum qishash (nyawa dibalas nyawa) ada kehidupan? Untuk memahami
ayat ini perlu kiranya kita kutipkan kembali penggalan dari ayat sebelumnya: ‫فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه‬
َ
‫ش¡¡ ْي ٌء‬ (faman ‘ufiya laɦu min akhĭɦi syay-un, maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya). Dari sini kita melihat bahwa pada hakekatnya hukum qishash
bukanlah hak negara atau hak Tuhan, tetapi hak korban yang diwakili oleh wali atau
keluarganya. Andaikata tidak ada sama sekali hak pihak korban di dalamnya (untuk
memaafkan pelaku) maka itu bisa dipastikan bahwa hukum qishash benar-benar murni hak
Tuhan yang dipaksakan kepada manusia. Tetapi faktanya—berdasarkan penggalan ayat ini—
otoritas ada sepenuhnya di tangan wali atau keluarga korban.

2). Itu sebabnya ayat ini dimulai dengan kata: ‫ َولَ ُك ْم‬ (wa lakum, dan bagi kalian). Huruf “‫و‬ “
(wawu, dan) di awal ayat menunjukkan bahwa kandungan ayat ini masih merupakan
kelanjutan dari ayat sebelumnya, sehingga bisa dipastikan bahwa kata ‫ ُك ْم‬ (kum, kalian) di sini
adalah kata ganti dari ‫¡¡¡وا‬ ْ ُ‫الَّ ِذينَ آ َمن‬ (al-ladzĭna āmanŭ, orang-orang yang beriman), yang
merupakan objek atau komunitas yang dipanggil di permulaan ayat 178. Lalu bagaimana
kalau kata ‫ ُك ْم‬ (kum, kalian) kita perluas kepada seluruh manusia; bukankah seluruh manusia
memang membutuhkan kehidupan? Bisa juga, tetapi penerapan hukum qishash dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mungkin dengan serta-merta disetujui oleh
mayoritas warga. Perlu diperjuangkan. Konsep dasar dan filosofi hukumnya perlu difahami
11
dan disosialisasikan, sehingga tidak terksan sangar dan menakutkan. Tidak tercitrakan
barbarian dan Arabian. Bahwa di dalam hukum qishash ada jaminan akan
keberlangsungan ٌ‫حيَاة‬ (hayātun,
َ kehidupan) yang tenang, damai, dan adil. Dan yang terdepan
di dalam memperjuangkannya ialah ‫وا‬ ْ ُ‫الَّ ِذينَ آ َمن‬ (al-ladzĭna āmanŭ, orang-orang yang beriman).
Kenapa? Karena asumsi dasarnya, orang-orang yang beriman ialah mereka yang telah
menerima dengan “kepala dingin” dan “hati terbuka” bahwa Allah-lah satu-satunya pemilik
otoritas hukum di dalam kehidupan ini, termasuk dalam kehidupan antar manusia. “Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.... Maka bersabarlah kamu untuk
(melaksanakan) hukum Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang
yang kafir di antara mereka.” (5:50 dan 76:24)

3). Dengan merujuk kepada pembahasan di poin-1, maka dapat dikatakan bahwa panggilan ْ‫يَا‬
ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (yā ŭlil-albābi, hai orang-orang yang berakal) merupakan pengulangan maknawi
‫ب‬
dari ‫¡¡وا‬ ْ ُ‫يَ¡¡ا أَيُّهَ¡¡ا الَّ ِذينَ آ َمن‬ (hai orang-orang yang beriman). Kalau toh kita hendak melakukan
takhshish (pengkhususan), maka ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَ¡¡ا‬ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal) harus
difahami sebagai yang lebih khusus (lebih sempit wilayahnya) daripada orang-orang yang
beriman, baik dari sisi bahasa ataupun dari sisi makna. Dari sisi bahasa, panggilan ‫يَاْ أُولِ ْي‬
‫ب‬ِ ‫األَ ْلبَا‬ (yā ŭlil-albābi, hai orang-orang yang berakal) terletak di dalam rangkaian kalimat yang
dimulai dengan ‫¡¡¡وا‬ ْ ُ‫يَ¡¡¡ا أَيُّهَ¡¡¡ا الَّ ِذينَ آ َمن‬ (hai orang-orang yang beriman) sehingga sebutan ‫أُولِ ْي‬
‫ب‬ ِ ‫األَ ْلبَا‬ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal) tentu hanya terbatas pada ‫وا‬ ْ ُ‫الَّ ِذينَ آ َمن‬ (al-ladzĭna
āmanŭ, orang-orang yang beriman) saja. Artinya, hanya orang-orang yang beriman yang bisa
‘naik pangkat’ menjadi dan dipanggil sebagai ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَ¡¡ا‬ (ŭlil-albābi, orang-orang yang
berakal). Dari sisi makna, ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal), ya, orang-orang
yang beriman. Karena Allah sendiri yang berfirman: “...maka bertakwalah kepada Allah hai
orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatan kepadamu.” (65:10) Tetapi orang-orag yang beriman seperti
apa? “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran.” (39:9) Pantas kalau hanya ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَ¡¡ا‬ (ŭlil-albābi, orang-orang
yang berakal) yang bisa memahami bahwa di dalam pelaksanaan hukum qishash itu ada
jaminan akan keberlangsungan ٌ‫حيَاة‬ (hayātun, َ kehidupan).

4). Apakah sudah benar manakala ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (ŭlil-albāb) diartikan dengan “orang-orang yang
berakal”? Ada benarnya tapi tidak sepenuhnya benar. Ada benarnya, karena ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (ŭlil-
albāb) memang adalah orang yang berakal. Tetapi tidak semua orang yang berakal pantas
disebut ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (ŭlil-albāb). Hanya orang berakal yang menggunakan akalnya dengan benar
pada hirarki wujud kemudian menindaklanjuti fahaman akalnya itu dengan amalan nyata
yang berhak menyandang predikat ‫ب‬ ِ ‫أُولِ ْي األَ ْلبَا‬ (ŭlil-albāb). “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ‫أُولِ ْي‬
ِ ‫األَ ْلبَ¡¡ا‬ (ŭlil-albāb, orang-orang yang berakal). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
‫ب‬
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (3:190-

12
191) Itu sebabnya, di dalam terjemahan Bahasa Inggeris ayat ini, Yusuf Ali, Shakir, dan
Pickthal sama-sama mengartikannya dengan “men of understanding” (orang yang
memahami). Istilah qishash berasal dari kata qashsha yang berarti “to cut, divide and
differentiate” (memotong, membagi, dan membedakan).

5). Penempatan frase  َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ (la’allakum tattaqŭn, supaya kalian bertakwa!) di akhir ayat
menjelaskan adanya kesatuan makna antara hukum qishash dan puasa ramadhan. “Hai orang-
orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kalian, supaya kalian bertakwa!” (2:183) Maknanya, tujuan hukum qishash
sama dengan tujuan puasa ramadhan. Sama-sama bermuara kepada “takwa”. Kalau puasa
membebaskan orang per orang dari sifat ammarah (yang didorong oleh nafsu hewani), maka
hukum qishash membebaskan masyarakat dari pemilik sifat ammarah. Hukum qishash dan
ibadah puasa, keduanya membawa manusia ke dalam naungan rahmat Allah. “Dan (kata
Yusuf) aku tidak (sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafs
(jiwa hewani) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs (jiwa ilahi) yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguh tuhan ku . apakah anda akan menjatuhkan hukuman
qishash terhadap fulanah? Demi Allah, janganlah anda menjatuhkan hukuman qishash
terhadapanya." Kemudian Nabi saw bersabda: "Subhanallah wahai Ummu Rubayyi',
bukankah hukuman qishash itu sudah merupakan suatu ketentuan dari Allah?"

ASBABUNNUZUL

SURAT ALBAQARAH AYAT 179

Hadits Nabi saw.:

َ َ‫ارةَ َح َّدثَنَا ِزيَا ٌد ق‬


‫ال‬ َ ‫ال ح و َح َّدثَنَا َع ْمرُو بْنُ ُز َر‬ َ َ‫ت أَنَسًا ق‬
ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َس ِعي ٍد ْال ُخ َزا ِع ُّي َح َّدثَنَا َع ْب ُد اأْل َ ْعلَى ع َْن ُح َم ْي ٍد قَا َل َسأ َ ْل‬
َ ْ ‫هَّللا‬
‫ض َي ُ َعنهُ قا َل‬ ِ ‫س َر‬ ٍ َ‫َح َّدثَنِي ُح َم ْي ٌد الطَّ ِوي ُل ع َْن أَن‬

َ ‫ْت ع َْن أَ َّو ِل قِتَا ٍل قَات َْلتَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ لَئِ ْن هَّللا ُ أَ ْشهَ َدنِي قِت‬
‫َال‬ ُ ‫َاب َع ِّمي أَنَسُ بْنُ النَّضْ ِر ع َْن قِتَا ِل بَ ْد ٍر فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِغب‬ َ ‫غ‬
َ
ُ‫صن َع هَؤ ِء يَ ْعنِي أصْ َحابَه‬ ‫ُاَل‬ َ َ ‫ك ِم َّما‬ َ َ ْ َ ِّ َّ َ ْ َ َ ْ ُ
َ ‫ْال ُم ْش ِر ِكينَ ليَ َريَن ُ َما أصْ ن ُع فل َّما كانَ يَوْ ُم أ ُح ٍد َوانكشفَ ال ُم ْسلِ ُمونَ قا َل اللهُ َّم إِني أعت ِذ ُر إِل ْي‬
َ َ َ َ َ ‫هَّللا‬ َّ َ
‫صنَ َع هَؤُاَل ِء يَ ْعنِي ْال ُم ْش ِر ِكينَ ثُ َّم تَقَ َّد َم فَا ْستَ ْقبَلَهُ َس ْع ُد بْنُ ُم َعا ٍذ فَقَا َل يَا َس ْع ُد ْبنَ ُم َعا ٍذ ال َجنَّةَ َو َربِّ النَّضْ ِر إِنِّي أ ِج ُد‬
َ ْ َ ‫ك ِم َّما‬ َ ‫َوأَ ْب َرأُ إِلَ ْي‬
ً‫ط ْعنَة‬ َ ْ‫ْف أَو‬ ِ ‫ضرْ بَةً بِال َّسي‬ َ َ‫صنَ َع قَا َل أَنَسٌ فَ َو َج ْدنَا بِ ِه بِضْ عًا َوثَ َمانِين‬ َ ‫ْت يَا َرسُو َل هَّللا ِ َما‬ ُ ‫ِري َحهَا ِم ْن دُو ِن أُ ُح ٍد قَا َل َس ْع ٌد فَ َما ا ْستَطَع‬
َ ُ َ َ ُ
‫ح أَوْ َر ْميَةً بِ َسه ٍْم َو َو َج ْدنَاهُ قَ ْد قُتِ َل َوقَ ْد َمث َل بِ ِه ال ُمش ِر ُكونَ فَ َما َع َرفَهُ أ َح ٌد إِ أ ْختُهُ بِبَنَانِ ِه قَا َل أنَسٌ ُكنَّا نُ َرى أوْ نَظ ُّن أ َّن هَ ِذ ِه‬
‫اَّل‬ َ ْ ْ َّ ٍ ‫بِ ُر ْم‬
‫ت فِي ِه َوفِي أَ ْشبَا ِه ِه‬ ْ َ‫اآْل يَةَ نَ َزل‬

َ ‫ ِم ْن ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ِر َجا ٌل‬ }


{ ‫ص َدقُوا َما عَاهَدُوا هَّللا َ َعلَ ْي ِه‬

ٌ‫ال أَنَس‬ َ َ‫اص فَق‬


ِ ‫ص‬ َ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ْالق‬ َ ِ ‫ت ثَنِيَّةَ ا ْم َرأَ ٍة فَأ َ َم َر َرسُو ُل هَّللا‬ ْ ‫آخ ِر اآْل يَ ِة َوقَا َل إِ َّن أُ ْختَهُ َو ِه َي تُ َس َّمى الرُّ بَيِّ َع َك َس َر‬
ِ ‫إِلَى‬
َّ َ ‫هَّللا‬
‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم إِ َّن‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫اص فقا َل َرسُو ُل‬ َ َ َ ‫ص‬ ْ ُ
َ ِ‫ش َوتَ َركوا الق‬ َ ‫أْل‬ َ ُ َ
ِ ْ‫ق اَل تك َس ُر ثنِيَّتهَا ف َرضُوا بِا ر‬ ْ ُ ْ َ َّ
ِّ ‫ُول ِ َوال ِذي بَ َعثكَ بِال َح‬ ‫هَّللا‬ َ ‫يَا َرس‬
ُ‫ِم ْن ِعبَا ِد هَّللا ِ َم ْن لَوْ أَ ْق َس َم َعلَى هَّللا ِ أَل َبَ َّره‬

[Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Sa'id al-Khuza'iy telah bercerita kepada kami
Abdul A'laa dari Humaid berkata; Aku bertanya kepada Anas. Dia berkata; dn diriwayatkan
pula, telah bercerita kepada kami Amru bin Zurarah telah bercerita kepada kami Ziyad
berkata telah bercerita kepadaku Humaid ath-Thowil dari Anas ra berkata: "Pamanku, Anas
bin an-Nadhar tidak ikut Perang Badar kemudian dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak
ikut saat pertama kali Tuan berperang menghadapai kaum musyrikin. Seandainya Allah
memperkenankan aku dapat berperang melawan kaum musyrikin, pasti Allah akan melihat
13
apa yang akan aku lakukan’. Ketika terjadi perang Uhud dan Kaum Muslimin ada yang kabur
dari medan pertempuran, dia berkata: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari apa yang
dilakukan oleh mereka, yakni para sahabat Nabi saw (yang lari dari medan perang), dan aku
berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh mereka yakni kaum musyrikin’. Maka dia maju ke
medan pertempuran lalu Sa'ad bin Mu'adz menjumpainya. Maka dia berkata kepadanya:
‘Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Robbnya an-Nadhar, aku menginginkan surga. Sungguh aku
mencium baunya dari balik bukit Uhud ini’. Sa'ad berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak
sanggup untuk menggambarkan apa yang dialaminya’. Anas berkata: "Kemudian kami
temukan dia dengan luka tidak kurang dari delapan puluh sabetan pedang atau tikaman
tombak atau terkena lemparan panah dan kami menemukannya sudah dalam keadaan
terbunuh dimana kaum musyrikin telah mencabik-cabik jasadnya sehingga tidak ada satupun
orang yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya". Anas
berkata: "Kami mengira atau berpedapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dia dan
orang yang serupa dengan dia. ("Dan diantara Kaum Mu'minin ada orang-orang yang
membuktikan janji mereka kepada Allah") sampai akhir ayat QS. al-Ahzab ayat 23. Dan
Anas berkata: "Bahwa saudaranya yang dipangil dengan ar-Rubbai' pernah memecahkan gigi
seri seorang wanita lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar
dilaksanakan hukum balas (qishosh). Maka Anas berkata; "Demi Dzat Yang mengutus Tuan
dengan hak, janganlah dibalas dengan mematahkan gigi serinya". Akhirnya mereka setuju
dengan pembayaran tembusan dan membatalkan qishosh. Maka Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada hamba yang bila bersumpah atas nama
Allah pasti akan dilaksanakannya".] (Shahih Bukhari  no. 2595)

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 29


Allah berkalam:

َ ُ‫وا أَ ْنف‬66ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َواَل تَ ْقتُل‬


‫انَ ِب ُك ْم‬66‫ ُك ْم إِنَّ هَّللا َ َك‬6‫س‬ َ 6َ‫ ا َرةً عَنْ ت‬6‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل إِاَّل أَنْ تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫را‬6
)29( ‫َر ِحي ًما‬

Artinya:                                                                                                                                          
            

29. Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara
kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan
janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang
kepada kalian.

14
7.    Pada ayat ini (an-Nisa`: 29) adalah merupakan salah satu gambaran kecil dari kesempurnaan
Islam, dimana Islam menegaskan bahwa kita diajari oleh Allah bagaimana berbisnis dengan
benar.

8.       ‫وا‬66ُ‫آَ َمن‬  َ‫الَّ ِذين‬ ‫أَ ُّي َها‬ ‫ َيا‬ yang diseru adalah orang-orang beriman karena yang mau sadar, mau
tunduk, mau berubah, mau ikut aturan itu adalah orang beriman. Kalau kita mengaku
beriman, tatapi kita masih ragu tentang kebenaran sistem perekonomian Islam, seperti kita
masih ragu keharamannya transaksi dengan riba dan bank konvensional, maka keimanan kita
perlu dipertanyakan. Karena itulah Allah memanggil orang yang beriman secara tegas, agar
mereka sadar untuk mau tunduk.

9.    Perlu dipahami, bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara kekayaan dengan rajinnya
shalat seseorang. Kalau mau kaya ya rajin bekerja. Kadang orang salah paham, “aku mau
rajin shalat biar kaya”. Apa hubungannya? Shalat itu kan memang sebuah kewajiban bagi
seorang hamba yang beriman. Dan Allah sudah menentukan ketentuannya atau sunnatullah
yaitu barang siapa yang kerja dia akan dapat hasil. Adapun soal keberkahan, itu adalah dari
Allah. Tapi secara dhahir kerja adalah salah satu wasilah untuk mendapatkan kekayaan. Baik
kafir atau mukmin kalau dia mau bekerja dengan benar, maka ia akan dapat kekayaan.
Walaupun tentunya bagi orang mukmin, hidup ini bukan hanya untuk menumpuk harta saja,
tetap disana ada kehidupan akherat. Sehingga apa yang ia lakukan dan dapatkan didunia ini
adalah untuk akheratnya kelak.

10.   ‫تَأْ ُكلُوا‬  ‫اَل‬  Kita dilarang oleh Allah, padahal larangan itu menunjukkan haram kecuali ada dalil,
sedang untuk ayat ini tidak ada dalil lain. Jadi haram hukumnya mendapatkan harta dengan
cara yang tidak dibolehkan syara`.

15
11. Meskipun yang disebutkan di sini hanya “makan”, tetapi yang dimaksud adalah segala bentuk
transaksi, baik penggunaan maupun pemanfaatan. Al-Quran sering menggunakan redaksi
mana yang lebih menjadi prioritas. Artinya harta itu pada umumnya untuk dimakan, tapi
bukan berarti memanfaatkannya boleh.

12.   ‫أَ ْم َوالَ ُك ْم‬ :(harta kalian). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya harta adalah adalah milik
umum, kemudian Allah memberikan hak legal kepada pribadi untuk memiliki dan
menguasainya, tetapi dalam satu waktu Islam menekannya kewajiban membantu orang lain
yang membutuhkan. Perlu diketahui, bahwa kalaupun harta itu sudah menjadi milik pribadi
tapi bukan berarti kita diperbolehkan untuk menggunakannya kalau digunakan dalam hal
yang tidak dibenarkan syariat, maka harta itu juga tidak boleh digunakan. Apalagi kalau kita
mendapatkan harta tersebut dari orang lain dengan cara batil: tidak sesuai aturan syara`.

13.    ً‫تِ َجا َرة‬  َ‫تَ ُكون‬  ْ‫أَن‬  ‫إِاَّل‬:ini adalah dzikrul juz lilkul. Artinya menyebut sebagian untuk seluruhnya,
karena umumnya harta itu didapatkan dengan transaksi jual beli (perdagangan) yang
didalamnya terjadi transaksi timbal balik. Selama transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan
syar`I, maka hukumnya halal. Tentu transaksi jual beli ini, tidaklah satu-satu cara yang halal
untuk mendapatkan harta, disana ada hibah, warisan dll.

14. Para ulama mengatakan ‫ ِم ْن ُك ْم‬ ‫ض‬


ٍ ‫ َرا‬66َ‫ت‬  ْ‫عَن‬ (kalian saling ridha): Jual beli itu harus dilandasi
dengan keikhlasan dan keridloan. Artinya tidak boleh ada kedhaliman, penipuan, pemaksaan
dan hal-hal lain yang merugikan kedua pihak. Oleh karena itu, pembeli berhak
mengembalikan barang yang dibeli ketika mendapati barangnya tidak sesuai dengan yang
diinginkan. Tentang kejujuran, sejarah Islam telah mencatat banyak kisah tentang hal itu. Di
antaranya, sebagaimana dikisahkah oleh Imam Ghazali, yang dinukil oleh Syaikh Yusuf
Qordhawi dalam bukunya “al- Iman wal-Hayah”, bahwa Yunus bin Ubaid berjualan pakaian
dengan harga yang beragam. Ada yang berharga 200 dirham dan ada juga 400 dirham. Ketika
ia pergi untuk sholat, anak saudaranya menggantikan untuk menjaga kios. Pada saat itu
datang seorang Arab Badui (kampung) membeli pakaian yang berharga 400 dirham. Oleh
sang penjuan diberikan pakaian yang berharga 200 dirham. Pembeli merasa cocok dengan
pakaian yang ditawarkan, maka dibayarlah dengan 400 dirham. Badui tersebut segera pergi
dan menenteng pakaian yang baru ia beli. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Yunus bin
Ubaid. Ia sangat paham bahwa pakaian yang di beli Badui tersebut adalah berasal dari
kiosnya. Maka ditanyakanlah, “Berapa harga pakaina ini?” “Empat ratus dirham”. Yunus
menjawab, “ Harganya tidak lebih dari dua ratus dirham, mari kita kembali untuk
kukembalikan kelebihan uangmu”. Badui tersebut menjawab “Ditempat lain pakaian
semacam ini harganya 500 dirham, dan saya sudah merasa senang”. “Mari kembali

16
bersamaku, karena dalam pandangan agama kejujuran lebih berharga dari dunia seisinya”
Sesampainya di kios, dikembalikannya sisi uang pembelian tersebut sebanyak 200 dirham.

Subhanallah, apa masih ada orang seperti ini sekarang ?!, kalaupun ada tentu tidak banyak
jumlahnya. Bukankah sekarang semua orang mengejar keuntungan yang berlipat-lipat, walau
harus dengan cara yang tidak syari`. Namun begitulah keimanan yang benar jika telah terpatri
dalam kalbu, Iman akan melahirkan sesuatu yang dianggap sebagaian orang mustahil.
Semoga kita termasuk yang sedikit tersebut. Amin.        

15.  Penyebutan transaksi perdagangan (bisnis) secara tegas dalam ayat ini menegaskan
keutamaan berbisnis atau berdagang. Dalam bayak hadist diterangkan tentang keutamaan
berbisnis di antaranya adalah “Mata pencaharian yang baik adalah mata pencaharian
pedagang yang jujur. Kalau menawarkan tidak bohong, kalau janji tidak nyalahi, kalau jadi
konsumen, jadi konsumen yang baik, jangan mencari-cari cacatnya, kalau jadi pedagang
tidak memuji-muji barangnya sendiri. (promosi boleh, tapi yang wajar, dan riel). Kalau
punya hutang tidak menunda, kalau memberikan hutang pada orang lain melonggarkan (HR.
al-Baihaqi).

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Pedagang yang jujur, yang amanah, dia nanti di
akherat kedudukannya bersama para Nabi, para shidiqin dan para syuhada” (HR. ad-
Daruqudni).

Dalam hadits-hadits tersebut Rosulullah saw. telah mengajarkan prinsip-prinsip berbisnis


yang benar. Sehingga apabila seorang pedagang melaksanakannya, maka ia akan sukses dan
barokah. Sebagaimana dalam sebuah kisah dikatakan, bahwa ada seorang syekh, dia
pedagang. Dia shalat, diwakilkan kepada keponakannya, lalu datang orang kampung mau
membeli. Diapun membeli dengan harta yang sudah disepakati. Setelah syekh tadi selesai,
diberi tahu hal tersebut. Dia menyuruh agar pembeli tersebut dicari, karena harga yang
diberikan itu adalah harga kemarin, padahal si pembeli sudah rela dengan harga tersebut.

َ ُ‫أَ ْنف‬ ‫وا‬666ُ‫تَ ْقتُل‬  ‫ َواَل‬ (jangan saling membunuh), apa hubungannya dengan bisnis? Sangat
16.   ‫ ُك ْم‬666‫س‬
berhubungan. Dalam bisnis sering terjadi permusuhan. Kata ulama makna ayat ini adalah
“jangan saling membunuh”. Adapun makna dhahirnya “jangan bunuh diri”. Keduanya bisa
diterima, karena bisa saja orang berbisnis, bangkrut, stress, lalu bunuh diri. Jadi artinya harta
yang kita kejar itu jangan sampai melalaikan dari tujuan kita, misi kita sebagai hamba  Allah,
bahwa pada harta itu ada hak-hak Allah, harta itu tidak kekal, dan tujuan hidup kita bukan
17
untuk itu. Jangan sampai menghalalkan segala cara, juga jangan lupa daratan kalau sudah
kaya.

17.   ‫ َر ِحي ًما‬ ‫بِ ُك ْم‬  َ‫ َكان‬ َ ‫هَّللا‬  َّ‫إِن‬:(sesungguhnya Allah itu Maha Kasih sayang kepada kalian), di antaranya
dengan memberikan penjelasan kepada manusia tentang sistem transaksi harta, agar manusia
bisa hidup berdampingan, jauh dari permusuhan apalagi sampai bunuh-bunuhan hanya karena
persaingan dagang. Karena itu sebgai orang mukmin harus tunduk dan percaya kepada
seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya. Karena semua aturan syariah itu adalah demi
kemaslahatan umat.

‫يم‬
ِ ‫س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح‬
ْ ‫ِب‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

91.   ‫سوا فِي َها َفإِنْ لَ ْم َي ْعتَ ِزلُو ُك ْم َويُ ْلقُوا إِلَ ْي ُك ُم‬ ُ ‫آخ ِرينَ يُ ِريدُونَ أَنْ يَأْ َمنُو ُك ْم َويَأْ َمنُوا قَ ْو َم ُه ْم ُكلَّ َما ُردُّوا إِلَى ا ْلفِ ْتنَ ِة أُ ْر ِك‬
َ َ‫ستَ ِجدُون‬ َ
َ
‫ ْلطانًا ُمبِينًا‬6666666‫س‬ ُ ْ
ُ ‫ا لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه ْم‬6666666َ‫و ُه ْم َوأولَئِ ُك ْم َج َع ْلن‬6666666‫ث ثقِفتُ ُم‬ َ ْ ُ َ َ ُّ
ُ ‫و ُه ْم َح ْي‬6666666ُ‫ ذو ُه ْم َواقتُل‬6666666‫ ِديَ ُه ْم ف ُخ‬6666666‫لَ َم َويَ ُكفوا أ ْي‬6666666‫الس‬
َّ
Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka
aman daripada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada
fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan
kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan
mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja
kamu menemui mereka, dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan
yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka.

92. ْ‫ ِه إِال أَن‬6ِ‫لَّ َمةٌ إِلَى أَ ْهل‬6‫س‬ َ ‫ةٌ ُم‬6َ‫ ٍة َو ِدي‬6َ‫ ٍة ُمؤْ ِمن‬6َ‫ ُر َرقَب‬6‫أ ً فَت َْح ِري‬66َ‫ا َخط‬66ً‫ َل ُمؤْ ِمن‬6َ‫أ ً َو َمنْ قَت‬66‫ط‬ َ ‫ا إِال َخ‬66ً‫َو َما َكانَ لِ ُمؤْ ِم ٍن أَنْ َي ْقتُ َل ُمؤْ ِمن‬
ٌ َّ
‫ل َمة إِلَى‬66‫س‬ ٌ َ
َ ‫ق ف ِديَة ُم‬ ٌ ‫ص َّدقُوا فَإِنْ َكانَ ِمنْ قَ ْو ٍم َع ُد ٍّو لَ ُك ْم َوه َُو ُمؤْ ِمنٌ فت َْح ِري ُر َرقبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة َوإِنْ َكانَ ِمنْ ق ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميثا‬
َ َ َ َ َّ َ‫ي‬
‫ا َح ِكي ًما‬6666‫انَ هَّللا ُ َعلِي ًم‬6666‫ةً ِمنَ هَّللا ِ َو َك‬6666َ‫ابِ َع ْي ِن ت َْوب‬6666َ‫ ْه َر ْي ِن ُمتَت‬6666‫ش‬
َ ‫يَا ُم‬6666‫ص‬
ِ َ ‫ف‬ ‫د‬
ْ 6666
‫ج‬ِ َ ْ َ ٍ ِ ُ ٍ َ َ ُ ِ َ ِ ِ ‫أَ ْه‬ 
‫ي‬ ‫م‬َ ‫ل‬ ْ‫ن‬ ‫م‬َ ‫ف‬ ‫ة‬6666َ ‫ن‬‫م‬ ْ‫ؤ‬‫م‬ ‫ة‬6666‫ب‬ َ ‫ق‬‫ر‬ ‫ر‬ 6666‫ي‬ ‫ر‬ ‫َح‬
ْ ‫ت‬ ‫و‬ ‫ه‬6666‫ل‬
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

18
93. ‫ َذابًا ع َِظي ًما‬666َ‫هُ ع‬666َ‫ َّد ل‬666َ‫هُ َوأَع‬666َ‫ ِه َولَ َعن‬666‫ َب هَّللا ُ َعلَ ْي‬666‫ض‬
ِ ‫ا َو َغ‬666‫دًا فِي َه‬666ِ‫ َزا ُؤهُ َج َهنَّ ُم َخال‬666‫ا ُمتَ َع ِّمدًا فَ َج‬666ً‫ ْل ُمؤْ ِمن‬666ُ‫َو َمنْ يَ ْقت‬
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang
lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya.
Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena
itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian
kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka
dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang
nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka.

Tafsir Jalalayn

(Akan kamu dapati pula golongan lain yang bermaksud supaya mereka aman dari kamu) dengan
berpura-pura beriman di hadapanmu (dan merasa aman pula dari kaum mereka) dengan
menyatakan kekafiran jika mereka kembali kepada kaum mereka. Mereka ini ialah Bani Asad
dan Ghathafan. (Setiap mereka diajak untuk fitnah) artinya kembali kepada kemusyrikan
(mereka pun berbalik) atau terjun ke dalamnya. (Maka jika mereka tidak membiarkanmu)
artinya masih hendak memerangimu (dan) tidak (mengemukakan perdamaian kepadamu
serta) tidak (menahan tangan mereka) dari memerangimu (maka ambillah mereka) sebagai
tawanan (dan bunuhlah mereka itu di mana juga kamu temui) atau jumpai (dan mereka itulah
orang-orang yang Kami berikan kepadamu kekuasaan yang nyata) artinya wewenang dan
bukti yang jelas untuk membunuh dan menawan mereka disebabkan kecurangan mereka.

19
20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan singkat terhadap ayat ayat al-qur’an mengenai keadilan dan penegakan
hukum dapat disimpulkan bahwa al-qur’an menuntut kepada para penegak hukum untuk
menghukum secara adil terhadap siapapun juga kemudian untuk terciptanya keadilan dan
tegaknya hukum al-qur’an mengajarkan etika peradilan bagi para penegak hukum yaitu:
bersikap adil dan projektif menjauhi suap dan hadiah, menghukum berdasarkan kenyataan
yang tampak dan tidak tergesa-gesa didalam menetapkan keputusan.

21
DAFTAR PUSTAKA

22
Dr. Mardani.2011.Ayat-ayat Tematik Hukum Islam.Jakarta: Rajawali Perss.

Prof.H.Bustami.A.Gani.dkk.1991.AL-QUR’AN  DAN TAFSIRNYA : Universitas Islam


Indonesia.Yogyakarta:PT.Versia Yogya Grafika.

Aziz Dahlan, Aziz. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1381 H. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.Yogyakarta:


IAIN Sunan Kalijaga.

Surin, Bachtiar. 1991. ADZ-DRIKRAA: Terjemahan dan tafsir Al-Quran. Bandung: Angkasa


Bandung.

A.gani, Bustami. 1991. Al-Quran dan Tafsirnya Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta: PT


Verisia Yogya Grafika.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2011. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir IBNU


KATSOR jilid satu. Jakarta: Gema Insani.

23

Anda mungkin juga menyukai