“HUKUM SYARA’”
Ilmu Fikih
DISUSUN OLEH :
Nama : Anggi Fitriasih
NIM : 2031114
Prodi/ Sem : Ilmu Al Qur’an danTafsir/02
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Ali Mahfud,S.Th.I,M.S.I.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji bagi Alloh SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung
Muhammad SAW yang kita nanti- nantikan pertolonganya kelak di yaumul qiyamah.
Pada kesempatan ini, makalah ini sengaja kami susun guna memenuhi tugas individu
semester 2 mata kuliah Ilmu Fikih.
Atas tersusunya makalah ini kami ucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Ali Mahfud,
S.Th.I, M.S.I. selaku dosen pembimbing Ilmu Fikih yang telah berkenan memberikan
bimbingan, serta kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Atas kritik dan
saran yang diberikan kami ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Anggi Fitriasih
NIM 2031114
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..02
DAFTAR ISI………………………………………………………………………....03
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………...04
a. Latar Belakang……………………………………………………………...04
b. Rumusan Masalah………………………………………………………….04
c. Tujuan………………………………………………………………………..04
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa didalam mempelajari Ushul Fiqh
terdapat bermacam- macam hukum yang diantaranya yaitu hukum syara’ adalah kata
majemuk yang terususun dari kata “Hukum” dan kata “ Syara”. Kata “Hukum” berasal
dari bahasa arab. Hukum secara etimologi berarti “memutuskan atau menetapkan dan
menyelesaikan”. Sedangkan kata Syara secara etimologi berarti “jalan- jalan yang
biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada
Allah. Dalam Al Qur’an terdapat 5 kali disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau
jalan yang harus ditempuh.
Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan, berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat
untuk semua umat yang beragama islam. Dalam hukum Syara’ terdapat beberapa
pembagian hukum. Didalam pembagian hukum tersebut terdapat beberapa macam
bentuk- bentuk hukumnya yang akan saya bahas lebih luas didalam pembahasan
makalah ini.
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan
Menurut istilah ilmu fiqh, Hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila
disebut hukum Syara’, maka yang dimaksud ialah “hukum yang bersangkutan dengan
akidah dan akhlak. [2]
Hukum Syara’ adalah seruan dari As Syar’i yang terkait dengan perbuatan-
perbuatan hamba, baik berupa tuntutan (iqtidha), pemberian pilihan (at- takhyir), atau
penetapan (al wadh’i). [4]
Penjelasan :
- Dikatakan As Syar’i, tidak dikatakan oleh Allah SWT agar bisa mencakup ijma
dan sunnah, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khitab
itu hanya Al Qur’an saja.
- Dikatakan “Perbuatan- perbuatan/ aktivitas hamba (manusia), tidak
menggunakan kata Mukallaf agar bisa mencakup hukum- hukum yang
berkaitan dengan anak kecil.
Bila dicermati dari definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayat- ayat
atau hadist- hadist hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam berikut :
Ulama ushul Fiqih membagi Hukum Syara’ menjadi 2 macam yaitu Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh’i
1. HUKUM TAKLIFI
a. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau
meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan. [5]
1. Wajib ialah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan
petunjuk yang telah ditentukan. Kosekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan
pahala jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh sesuatu
yang hukumnya wajib seperti : Shalat, puasa ramadhan, membayar zakat,
menunaikan haji bagi yang mampu, dan berbakti kepada kedua orang tua.
2. Sunah, secara bahasa artinya adalah sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah
perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak tegas.
Konsekuensi dari sunah ini, jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan tidak
mendapatkan siksa bagi orang yang menjalankanya. Contoh sesuatu yang hukumnya
sunah yaitu : Mencatat utang, shalat sunnah, dan mengucapkan salam.
3. Haram, secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya dan sesuatu
yang dilarang. Konsekuensi dari haram ini ialah bagi seseorang yang mengerjakan
akan mendapatkan dosa dan kehinaan dan bagi yang meninggalkanya akan
mendapat pahala dan kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum khamr,
membunuh tanpa hak, memakan harta orang dengan zalim, dan lain- lain.
4. Makruh, berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak disenangi, dibenci atau
sesuatu yang dijauhi. Secara istilah Makruh ialah sesuatu yang dituntut syara’ kepada
mukallaf untuk meninggalkanya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Contohnya
seperti : larangan Allah kepada manusia untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang
apabila dijelaskan akan menyusahkan kamu, dan menghamburkan harta.
5. Mubah, secara bahasa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah, mubah
ialah suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat
dan meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Contohnya seperti : makan dan minum,
berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah shalat jum’at.
2. HUKUM WADH’I
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Rukhsah dan Azimah
5. Sah dan Batal
1. Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan
syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi
tidak adanya hukum. Contohnya seperti masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda
datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah suatu yang
jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan sebab, sedangkan datangnya kewajiban
berpuasa Ramadhan disebut musabbab atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
2. Syarat, menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung kepadanya
adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan
adanya ada hukum. Dari definisi kedua dapat dipahami bahwa syarat merupakan
penyempurna bagi suatu perintah syara’. Contohnya seperti hubungan perkawinan suami
istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak, tidak adanya perkawinan maka tidak
ada talak. Wudhu adalah syarat sahnya shalat, tanpa wudhu maka tidak sah mendirikan
shalat, tetapi tidak berarti adanya wudhu menertapkan adanya shalat. Dengan demikian,
antara syarat dan yang disyarati itu merupakan bagian yang terpisah.
3. Mani’(penghalang), secara bahasa kata mani’ yaitu penghalang. Dalam istilah ushul
fiqh mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau berfungsinya sebab (batalnya hukum). Contohnya seorang anak berhak
mendapatkan warisan dari ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak
diputuskan tidak mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang
(mani’). Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau kematiaan ayahnya
ternyata karena dibunuh oleh anak itu sendiri.
4. Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan oleh Allah
kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang
berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula dimana tidak ada
kekhususan karena suatu kondisi. Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan
kepada semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat,
puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada hukum yang
mendahului hukum wajib tersebut.
5. Sah dan Batal, secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan saqam yang
berarti sakit. Istilah sah dalam syara’ digunakan dalam ibadah dan akad maumalat. Yaitu
suatu perbuatan dipandang sah apabila sejalan dengan kehendak Syara’, atau perbuatan
mukallaf disebut sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, tidak
tecapainya suatu perbuatan yang memberikan pengaruh secara syara’. Yaitu suatu
perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan
syara’, maka perbuatan disebut batal. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang tidak
memenuhi rukun dan syaratnya, maka perbuatan itu menjadi batal.
Istilah hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan hukum.
Dalam kajian usul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang menentukan dan
membuat hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa yang
menjadi sumber pembuat hukum-hukum yang ditetapkan tersebut ada yang
datangnya melalui Al-Qur’an dan Sunnah dan ada juga melalui perantaraan para ahli
fiqh dan mujtahid. Dalam hal ini, para mujtahid dan ulama dipandang sebagai orang
yang menjelaskan dan mengungkapkan hukum.
Meskipun para ahli ushul fiqh sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah,
tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum itu hanya
dapat diketahui melalui perantaraan wahyu dan datangnya Rasulullah atau apakah
akal dapat secara independen mengetahui hukum tersebut.
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat para ulama yang dilatar belakangi
oleh perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik (al-husnu) dan
buruk (al-qubhu) yaitu sebagai berikut :
Ada beberapa syarat untuk sahnya suatu taklif (pembebasan hukum), yaitu :
Yang dimaksud dengan makum alaih adalah mukallaf yang layak mendapatkan khitab
dari Allah di mana perbuatannya berbungan dengan hukum syara’.
Mukallaf dapat memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau
sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti
hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan
kepadanya Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang
tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Yang di maksud dengan ahli di sini adalah layak atau wajar untuk menerima perintah.
Dalam hal ini, keadaan manusia harus dihubungkan dengan kelayakan untuk
menerima atau menjalankan hak dan kewajiban, yaitu dapat dikelompokkan menjadi
2 yaitu :
Tidak sempurna artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajiban.
Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu. Baginya ada beberapa
hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tetapi tidak mampu
melaksanakan kewajiban.
Secara sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak
melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).
·
BAB III
PENUTUP
a. KESIMPULAN
Jadi, dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan :
Perbedaan perselisihan dikalangan dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan
ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya
adalah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang
harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya
menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’
yang sudah terinci.
1. Hukum Taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan demikian
hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
2. Hukum Wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak
langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf
itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah,
batal, ataupun fasid.
DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Ushul al-Fiqh al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Karim Zaidan, Abd. 1987. al-Wjiz Fi Ushul al-Fiqh, cet-2. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Efendi, Satria, dkk. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. Jakarta: 1985.
Wahab Khalaf, Abdul. Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.
Tantawi.2010.HukumSyara’di http://tantawi-ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-
syara.html (diakses tanggal 31 Desember 2010)
[1] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
[2] Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
[3] Tantawi,”Hukum Syara’”, diakses dari tantawi-ushulfiqh.blogspot.com/ 2010/ 12/ hukum-
syara.html, pada tanggal Jum’at, 31 Desember 2010 pukul 18.45
[4] M. Husain Abdullah, Al wadhif fi ushul al fiqh, hlm.219; Atha bin kholil, Taisir Al Wushul ila
Al Ushul, hlm.9.
[5] Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm. 93.
[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ushul Fiqh, ( Mesir : Maktobah al Dakwah al Islamiyah), hlm.
105- 115.
[8] Wahbah al Zuhali, Ushul Fiqh al Islam, (Beirut : Dar ak- Fikr, 2001), cet ke -2, hlm.93.
[9] Abd al karim Zaidan, al wajiz Fi ushul al Fiqh, ( Beirut : Muassasal al Risalah, 1987), cet.
ke -2, hlm.55.