Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SUMBER HUKUM ”SYAR’U MAN QABLANA, SADDU ADZ DZARI’AH,


MAZHAB SAHABI”
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA
PELAJARAN FIQIH

GURU PENGAMPU : IIM.S.H


NAMA KELOMPOK 5 :
1. Fika Herlina
2. Rama Noviansyah
3. Tiya Ajizah
4. Novia wulandari
5. Istiqomah
6. Febriani
7. Fiter sukma mahendra
8. Eko Pranata
9. Della alvianita
KANTOR KEMENTRIAN AGAMA KAB.REJANG LEBONG
MADRASAH ALIYAH NEGERI
2019/2020
kata pengantar
Syukur alhamdulillah kami panjatkan semata mata hanya kepada allah swt.yang
telah melimpahkan hikmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul SUMBER HUKUM”SYAR’U MAN
QABLANA,SADDU ADZ-DZARI’AH,MAZHAB SAHABI”dengan
baik.sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada rasulullah muhammad
saw.Amin.
Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan ilmu dalam proses
pembelajaran,menjadi alternatif terbangunnya paradigma kreatif dan kontruktif
dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada umumnya dan fiqih
pada khususnya
Kami menyadari terdapat kekurangan dan kurangnya kesempurnaan dalam
pembuatan makalah ini,untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.

Curup,05-November 2019

Tim penulis

1
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................ 1
Daftar isi. ................................................................................................ 2
BAB I Pendahuluan ................................................................................ 3
Latar belakang ......................................................................................... 3
Rumusan
masalah........................................................................................................3
BAB II
Pembahasan....................................................................................................5
syar’u man
qablana......................................................................................................5
Sadd adz
Dzari’ah........................................................................................................6
Mazhab
Sahabi............................................................................................................8

BAB III
Penutup........................................................................................................13
Kesimpulan................................................................................................................
13
BAB IV Daftar
Pustaka.......................................................................................................................
14

BAB I
PENDAHULUAN

2
a.Latar Belakang
Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu mandiri adalah ilmu yang menerangkan
tentang kaidah-kaidah dan pembahasan–pembahasan yang dapat mengantarkan
pada penggalian hukum syari’ah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Salah satu objek kajian Ushul fiqh adalah sumber dan dalil hukum syar’I.
Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber hukum syar’i dan juga disebut
pula dalil (petunjuk) utama hukum Islam. Selain Al Qur’an dan As Sunnah
adapun dalil-dalil pendukung seperti Ijmak, Qiyas, Istihsan, Mashlahah mursalah,
Saddudz-dzari’ah, ‘Urf, Istishhab, Fatwa Sahabat, dan Syar’u man qablana.
Sumber dan dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang
disepakati dan yang masih diperselisihkan oleh Jumhur ulama. Adapun yang telah
disepakati adalah Al-qur’an dan Sunnah, serta Ijma’ dan qiyas sedangkan 7 dalil
hukum islam yang masih menjadi perselisihan Jumhur ulama yaitu: Mashalihul
Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi/ Fatwa
Sahabat dan Syar’u Man Qablana.
Adanya sumber hukum yang masih diperdebatkan karena perbedaan metode
atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan,
terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur
secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam makalah ini pembahasan lebih terfokus kepada Fatwa Sahabat dan
Syar’u Man Qoblana

b.Rumusan Masalah
1. apa itu mazhab sahabi?
2. apa itu syar’u man qablana?
3. apa itu saddu adz-dzariah?
c.Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi. Memperoleh pengetahuan
tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi dan
macam-macamnya.

3
2. Mengetahui pengertian dari Sar’u Man Qablana, pendapat para yang terkait
dengannya serta kehujjaannya.
3. Mengetahui pengertian dari Sadd Al-zari’ah, kehujjaan, macam-macam dan
aplikasinya.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Syar’u Man Qablana/syariat umat sebelum kita

1. Pengertian

Syar’u Man Qablana maksudnya adalah hukum syari’ah yang diturunkan


Allah pada sebelum Nabi Muhammad SAW. Syari’ah.yaitu ajaran agama sebelum
datangnya agama islam seperti ajaran nabi musa,ibrahim,isa,dan nabi nabi yang
lain.

2. Pembagian Syar’u Man Qablana


syar’u man qablana terbagi menjadi 4 :
a) Ajaran umat sebelum kita,yang diabadikan dalam alquran atau hadist dan ada dalil
yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. seperti mewajibkan
berpuasa dalam Quran surah Albaqarah;185
b) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan didalam alquran melalui kisah atau
dijelaskan rasulullah,tetapi ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut
dihapus oleh syariat kita atau islam
c) Ajaran syariat umat sebelum kita,yang tidak ditetapkan oleh syariat kita,para
ulama sepakat hal itu bukan syariat bagi kita
d) Syariat sebelum kita yang ada didalam alquran dan hadist tetapi tidak ada dalil
yang menyatakan sebagai syariat kita.

Apabila Al-qur’an dan As-Sunnah yang shahih menghabiskan suatu hukum yang
telah disyari’atkan pada umat yang terdahulu melallui para Rasul,kemudian nash
tersebut diwajibkan kepada mereka,maka tidak diragukan lagu bahwa syara’at
tersebut ditujukan juga kepada umat Nabi Muhammad saw.Denganjatalain,wajib
untuk diikiuti,seperti tentang puasa ramadhan.

5
B.Saddu adz-dzari’ah
1.pengertian
Saddu berarti mentutup,menguncu mencegah, zariah menurut
bahasaadalah perantara,sarana,atau ajakan meuju sesuatu secara umum.Tetapi
lazimnya kata zariah digunakan untuk “jalan yang menuju kepada hal yang
membahayakan/terlarang”.
Menurut istilah syara’sadduz zar’iah adalahsuatu yang secara lahiriah
hukumnya boleh,namun hal itu akan menuju kepada hal hal yang dilarang.
Contoh,melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang
karena dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.
Contohn lain, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul
(genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga ia terhindar
dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam
syariat Islam merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan, namun
jika hal itu dilakukan dengan tujuan tidak baik, maka hukumnya dilarang. Hal itu
didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan
hibbah adalah sunah.
Menurut Imam Asy Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu
dilarang, yaitu:
1. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan
2. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan
3. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsure
kemafsadatannya.[4]
Dalam kamus ushul fiqih disebutkan bahwa Sadd adz Dzari’ah terdiri dari dua
kata, yaitu saddu (penghalang atau sumbatan) dan dzari’ah (jalan). Jalan yang
membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi baik atau buruk.
Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian
kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat Ibnu Qayyim
kedalam rumusan bahwa Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada
sesuatu.

6
2.Macam – macam Sadd adz Dzari’ah
Dzari’ah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a).Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadat-annya
Imam Asy-Syatibi, membaginya menjadi empat macam:
1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya
menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan
pemilik rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena
melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
2. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,
misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.
Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk
membunuh.
4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemashlahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti Baiy al
ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan).
5. Dzaria’ah dilihat dari segi jenis kemafsadat-an yang ditimbulkannya.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang metode saddu dzari’ah


ini.
Ulama yang menerima sepenuhnya
Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan Saddu Dzariah ini
sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108:
)108 ‫عد ًْوا بِغَي ِْر ِع ْل ِم (اَلنعم‬ ُ َ‫سبُ ْواالَّ ِذ ْينَ يَ ْدع ُْونَ ِم ْن د ُْو ِن هللاِ فَي‬
َ َ‫سبُّ ْوهللا‬ ُّ َ ‫َو ََل ت‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Hadits Rasulullah saw.
‫شكُ ا َ ْن َيقَ َع فِ ْي ِه‬ َ ‫اص ْي ِه فَ َم ْن حا َ َم ح َْو َل ا ْل ِح‬
ِ ‫مى يُ ْو‬ َ ‫اََلَ َواِنَّ ِح‬
ِ َ‫مى هللاِ َمع‬

7
“Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang
menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya.
(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
‫اَلثم ما حاكفى نفسك وكرهت ان يطلع عليه الناس‬
‫ دع ما يريبك الى ما َل يريبك‬: ‫وقوله ص م‬
Ulama yang menerima secara terbatas
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah
sebagai dalil jika kemafsadatan yang akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau
paling tidak diduga keras akan terjadi jika sebuah dzari’ah dikerjakan.

Ulama’ yang menolak

Ulama dhohiriyah tidak menerima Saddu Dzariah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima logika dalam
masalah hukum.
C.Mazhab Sahabi
1.Pengertian
Madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus
di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”.
Maksudnya adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang di nukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Siapakah yang disebut Sahabat?
Dalam kitab Al-I’anatu Thalibbin, dikatakan bahwa yang disebut dengan sahabat
itu sebagai berikut:Yang artinya: “Sahabat itu adalah siapa saja yang bertemu
atau berkumpul dengan nabi setelah bi’tsahnya nabi diwaktu nabi masih hidup
walaupun hanya sebentar, yang meriwayatkan hadits atau tidak”.
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqih
menybutkan bahwa yang dimaksud Shahabat dalam konteks ini adalah orang-

8
orang yang bertemu Rasulullah SAW yang langsung menerima risalahnya, dan
mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau.
Serta pendapat Chaerul Umam dalam bukunya menyatak bahwa menurut para
Ulama Ushul Fiqih yang dimaksud dengan Shahabat adalah seseorang yang
bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan
hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh
generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW.
Ada pula yang mempersempit identitas Shahabat itu dengan “Orang-orang yang
bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya
dalam waktu yang cukup lama.”
Adapun menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama lainnya, seperti Ibnu Faruk dan
Ibnu Sam’an bahwa sahabat adalah orang yang lama pergaulannya dengan Nabi
Saw. dan banyak berguru pada Nabi Saw. dengan cara mengikutinya dan
mengambil pengajarannya.
Dari definisi diatas dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat tipis
diantara ulama yang mendefinisikan sahabat. Namun semuanya sepakat bahwa
sahabat adalah orang yang beriman kepada Nabi Saw. dan mati dalam keadaan
Islam. Namun mereka berbeda pendapat dalam lama-tidaknya pertemuan antara
seseorang yang dianggap sahabat dengan Nabi Saw. Ada yang mensyaratkan
keharusan seringnya bertemu dengan Nabi Saw, dan adapula yang menyebutkan
sekali saja pun sudah cukup, hal ini dikarenakan mereka memandang para sahabat
sebagai periwayat bagi hadits-hadits Nabi Saw. Dan hal ini tidak menuntut harus
seringnya bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW.

Keadaan Sahabat ketika nabi wafat


Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu
yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam
dalam mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul
dengan Rasulullah SAW. Dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-
hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in telah

9
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara
mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga
fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu
permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau
hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.

Macam-macam Qoul Sahabi


Para ulama membagi qaul as-shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr.
Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
1.1 Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa
dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar.
Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori As-
Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan
oleh Imam Az-Zarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam
hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali bahwa
jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling
sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah
sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa
hal-hal tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek
ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda
dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
1.2 Perkataan Sahabat Yang Disepakati Oleh Sahabat Yang Lain.
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori
ijma’.
Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi
mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

10
1.3 Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Qaul as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para
ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Dr. Muhammad
Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan bahwa perkataan yang berasal dari
ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat tersebut di
antara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada sahabat lain yang
menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda pendapat
mengenai statusnya.
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan beberapa
poin mengenai macam-macam qaul as-shahabi ini, di antaranya:
 Perkataan Khulafa Ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para
ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadits,” Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa
Ar-Rasyidin setelahku…
 Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh
sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan
sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari
kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu
sahabat.
2. Kehujahan Mazhab Sahabi
Setelah disinggung pada pembahasan sebelumnya, maka ada beberapa dalil yang
disepakati oleh para ulama tentang nilai-nilainya sebagai hujjah, diantaranya
pendapat sahabat. Dalam hal ini, Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat
sahabat tidak menjadi hujjah, karena Allah tidak mengharuskan kita untung
mengikutinya. Kita hanya diperintahkan mengikuti al-Qur’an dan as-Sunah,
bukan sahabat. Yang dimaksudkan adalah pendapat sahabat dalam masalah
ijtihadiah.Namun ada pula kelompok ulama yang menggunakan pendapat sahabi
segai hujjah yang digunakan sebelum menggunakan qias.
Oleh karena itu, para Ulama Ushuliah membagi kepada tiga pendapat, diantaranya
ialah:

11
1. Ulama yang mengatakan Qoul Sahabi/Mazhab Sahabi dapat di jadikan Hujjah
Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat
Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi dalam Madzhab Qadimnya, termasuk
juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
Pendapat ini pun sepadan dengan pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauzi, bahwa
pendapat shahabat dapat dijadikan hujjah. Sebagaimana dikutip oleh Syeikh
Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh beliau (Ibnul Qayyim)
berpendapat bahwa pendapat para Shahabat lebih mendekati pada Al-Quran dan
as-sunnah dibanding pendapat para Ulama yang hidup sesudah mereka, dengan
mengatakan: “Bila seorang shahabat mengemukakan suatu pendapat, atau
menetapkan suatu hukum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah
mempunyai pengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para Shahabat, maupun
pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui
Shahabat, mungkin didengar langsung dariRasulullah SAW. Atau didengar dari
Rasulullah melaui Shahabat yang lain.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu
kesimpulan sebagai berikut: Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya
sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah
mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana, dan Sad al-Zari’ah.

Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah
atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti
menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah

12
berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi
sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya
mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih jauh dari


kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan kepada mahasiswa
selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya
kedepan untuk memajukan syari’at Islam.

Daftar pustaka
 https://rianapuji.wordpress.com/2014/06/06/sadd-adz-dzariah/
 https://albadar.id/pengertian-dan-kehujjahan-saddu-dzariah/
 http://grabalong.blogspot.com/2015/02/madzhab-shahabi-syaru-man-qablana-
sadd.html
 buku-ayo mengkaji fiqih kelas XII
 lks fiqih kelas XII

13

Anda mungkin juga menyukai