Anda di halaman 1dari 78

URGENSI MULTI AKAD DALAM PENGEMBANGAN PRODUK

PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B.

Pertumbuhan dan perkembangan di era globalisasi yang sangat pesat

dalam bertransaksi di perbankan syariah di Indonesia saat ini menuntut para

praktisi, regulator, dan bahkan akademisi bidang keuangan syariah untuk

senantiasa aktif, kreatif dan inovatif dalam rangka memberikan respon

terhadap perkembangan akad zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan,

akad tunggal sudah tidak mampu lagi merespon kasus-kasus dan masalah

keuangan kontemporer.1

Para praktisi dituntut melakukan penciptaan berbagai produk, regulator

membuat regulasi yang mengatur dan mengawasi produk yang ditawarkan

dan dilaksanakan oleh praktisi, dan akademisi pun dituntut memberikan

pencerahan dan tuntunan agar produk maupun regulasi benar-benar tidak

menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.

Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank Syariah

tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk menarik

1
Agustianto Mingka, Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Fikih Muamalah KeIndonesiaan “Upaya
Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah”, (Jakarta: Iqtishad Publishing, 2014), h. 91.

1
nasabah.2 Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh

hanya sekedar mengimitasi produk perbankan konvensional.

Bank Syariah harus berinovasi untuk menciptakan produk dan layanan

yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata

dari masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan

mengembangkan industri atau bisnis. Praktisi telah melakukan berbagai

upaya untuk menciptakan produk-produk baru. Salah satu pilar penting untuk

menciptakan produk pembiayaan syariah dalam menyahuti tuntutan

kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hybrid contract atau

dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah multi akad.3

Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu merespon transaksi keuangan

kontemporer. Produk-produk dalam kegiatan keuangan syariah, jika

terhadapnya dilakukan pencermatan, beberapa atau bahkan sebagian besar

ternyata mengandung beberapa akad (multi akad). Sebagai contoh, dalam

transaksi kartu kredit syariah terdapat akad Ijarah, Qadr, dan Kafalah;

obligasi syariah mengandung sekurang-kurangnya akad mudarabah (atau

ijarah) dan wakalah, serta terkadang disertai Kafalah atau waʻd. Dalam

setiap transaksi, akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau setidak-

tidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk tidak bisa

ditinggalkan, karena ke semuanya merupakan satu kesatuan. Transaksi seperti

itulah yang dalam tulisan ini di istilahkan dengan multi akad.4


2
Hasanudin Maulana, “Multi akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer pada Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia,” Jurnal Al-Iqtishad Volume. III, No. 1 (Januari 2011), h. 157–
158.
3
Ali Amin Isfandiar, “Analisis Fiqh Muamalah tentang Hybrid contract Model dan
Penerapannya pada Lembaga Keuangan Syariah”, Jurnal Penelitian, Volume. 10. No. 2 (2013), h.
213.
4
Yosi Aryanti, “Multi Akad (Al-Uqud Al-Murakkabah) di Perbankan Syariah Perspektif Fiqh
Muamalah,” Jurnal Ilmiah Syariah Volume. 15, No. 2 (Desember 2016), h. 179.

2
Hibrid Contract (Multi akad) sebenarnya bukanlah teori baru dalam

khazanah fikih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama

mendiskusikan topik ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang

shahih. Namun, dalam kajian fikih muamalah di pesantren bahkan di

Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak

bersentuhan dengan realita bisnis di masyarakat. Pada masa kemajuan

lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topik multi

akad kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan.

Multi akad merupakan suatu terobosan baru dalam transaksi bisnis

modern, Berdasarkan riwayat (sejarah) kiprah dagang Nabi Muhammad Saw

dan hadis-hadis yang memberikan petunjuk dalam menjalankan usaha

perdagangan, maka menurut Syed Nawad Haidar Naqvi5 Meskipun pada

zaman Nabi multi akad ini telah terjadi. Terbukti adanya Hadits Nabi yang

melarang praktek multi akad yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Dalam

kegiatan bisnis modern, transaksi yang menggunakan multi akad beragam dan

bermacam-macam dan sebagian besar umat membutuhkan transaksi tersebut.

Agar bisa bersaing dan mengenalkan multi akad kepada nasabah demi

keberlanjutan perbankan syariah. Multi akad juga melarang atau menghindari

praktek yang diharamkan dalam perbankan syariah.

Bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus

memahami teori multi akad agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing

dengan konvensional. Dengan demikian, peranan multi akad sangat penting

bagi industri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah

5
Syed Nawad Haidar Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 37-49.

3
menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori

pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori multi akad harus digunakan

dan dipahami dengan baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif

dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu multi akad terkait

dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank

syariah mutlak harus memahami teori dan prakteknya agar sesuai dengan

nilai-nilai Islam.6

Multi akad yang terkait dengan regulasi, para regulator (Bank Indonesia

dan para direktur lembaga keuangan syariah di OJK) harus memahami

dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan.

Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu

pengembangan bank syariah dan Lembaga Keuangan Syariah.

Eksistensi multi akad dalam transaksi bisnis yang berlandaskan nilai-nilai

Islam atau dikenal dengan bisnis syariah pada saat ini telah menjadi model

alternatif transaksi bisnis kontemporer untuk melepaskan diri dari sistem

ribawi atau unsur-unsur bisnis lain yang bertentangan dengan syariah Islam

(hukum Islam). Sebagai hasil dari kreativitas intelektual (ijtihad)

kontemporer. Pertumbuhan perbankan syariah ditandai oleh munculnya

produk-produk kreatif yang ditawarkan kepada masyarakat. Produk-produk

baru ini sebagai salah satu strategi pemasaran dalam meningkatkan nasabah

di tengah persaingan bank Syariah yang semakin terbuka. Di antara produk

baru tersebut adalah murabahah, salam, istishna’, mudharabah, musyarakah,

musyarakah mutanaqishah, kartu kredit syariah, leter of kredit syariah, juga


6
Dr. Ir. Muhammad Imaduddin Abdulrahim, M.Sc., “Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja” dalam
Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, oleh Firdaus Effendi, MM, Ph.D. (Cet. I. Jakarta: Nusa
Madani, 1999), h. 13

4
pembiayaan multi jasa. Kebaruan produk syariah tersebut dilihat dari dua

aspek, kelahirannya dan akad yang membangunnya. Dilihat dari

kelahirannya, produk-produk tersebut memang terbilang baru diluncurkan

oleh Bank syariah, namun produk tersebut tidak tergolong baru jika

dibandingkan dengan produk bank konvensional, karena bank konvensional

sudah menerapkannya lebih dahulu. Dilihat dari akad yang digunakan,

produk-produk tersebut menggunakan model akad baru atau akad yang sudah

ada dikembangkan.7

Munculnya produk-produk baru di Lembaga Keuangan Syariah

menimbulkan kesulitan penerapan prinsip syariah terutama pada aspek

kesesuaiannya dengan kontrak (akad). Semakin modernnya dunia bisnis

dengan produknya yang baru akan memicu persoalan keabsahan kegiatan

keuangan itu.8 Ijtihad untuk menjawab produk-produk baru diperlukan

mengingat kompleksitas transaksi modern yang membutuhkan model-model

akad baru. Dewan Syariah Nasional (DSN) telah berupaya memberikan

jawaban terhadap kebutuhan transaksi modern.9

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang

memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa tentang produk bank syariah telah

mengeluarkan fatwa tentang Pembiayaan Multi jasa, yaitu No.44/DSN-

MUI/VII/2004. Fatwa tersebut atas permohonan Bank Rakyat Indonesia

tanggal 28 April 2004 dan hasil Rapat Pleno DSN-MUI tanggal 11 Agustus
7
Muhammad Maksum, “Peran Fatwa DSN Dalam Menjawab Perkembangan Produk Keuangan
Syariah” dalam Ebook Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan (Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2012), h. 140.
8
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, diterjemahkan oleh Abu Barzani, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995), h. 7-8.
9
Muhammad Maksum, “Model-Model Kontrak dalam Produk Keuangan Syariah,” Jurnal
Al‘Adalah, Volume. XII, No. 1. (Juni 2014), h. 51.

5
2004. DSN-MUI mengeluarkan fatwa ini karena mempertimbangkan bahwa

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat

tentang jasa. Ijarah multi jasa merupakan solusi pembiayaan untuk membantu

LKS maupun masyarakat.

Multi akad pelengkap disertakan untuk mempermudah kerja bank dalam

merealisasikan suatu transaksi yang dibutuhkan oleh nasabah. Alasannya

bank mempunyai keterbatasan tertentu, ada kalanya bank mewakilkan urusan

atau pekerjaannya untuk dilakukan oleh pihak lain, tak terkecuali nasabah itu

sendiri. Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan dan

keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern.

Adalah pengembangan hybrid contract (multi akad). Bentuk akad tunggal

sudah tidak lagi efisien dalam perkembangan transaksi keuangan

kontemporer.

Multi akad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu

muamalah atau transaksi yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya satu

transaksi yang terdiri dari akad jual-beli dan , akad jual beli dan hibah, dan

lain-lain, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta

semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang

tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat

hukum dari satu akad itu sendiri.10

10
Najamuddin. Al-Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah. Jurnal Syariah
Volume. II, No. II (Oktober 2013), h. 9

6
C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat diperoleh beberapa pertanyaan di

bawah ini:

1. Bagaimana pandangan hukum mengenai Perbankan Syariah di Indonesia?

2. Apa saja produk-produk di dalam perbankan syariah?

3. Bagaimana kebutuhan multi akad dalam perkembangan perbankan syariah

di Indonesia?

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan hukum mengenai Perbankan Syariah di

Indonesia

2. Untuk mengetahui produk-produk di dalam perbankan syariah

3. Untuk mengetahui kebutuhan multi akad dalam perkembangan perbankan

syariah di Indonesia

7
BAB II

Dewasa ini, diskursur mengenai perbankan syariah sudah tidak asing

lagi bagi kita, terlebih dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

PEMBAHASAN

A. HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Bank berasal dari bahasa Perancis bangue dan bahasa Italia banco yang

berarti peti, lemari atau bangku. Peti, lemari dan bangku menjelaskan fungsi

dasar dari bank komersial, yaitu pertama menyediakan tempat untuk

menitipkan uang dengan aman atau safe keeping function, kedua

menyediakan alat pembayaran untuk membelikan barang dan atau jasa

(transaction function).11

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bank diartikan sebagai

lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam

lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.12

Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

disebutkan bahwa bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanandan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan Mmenurut Kasmir,

Perbankan adalah kegiatan untuk menghimpun dan menyalurkan dana dan

memberikan jasa bank lainnya.13


11
M. Syafi’i Antonio, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alfabeta, cet ke-4.
2006, h. 2.
12
Drs. Suharso dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux. Semarang: CV Widya Karya, h.
75.
13
Andrianto, dkk. 2019. Manajemen Bank. Surabaya: CV. Penerbit Qiara Media

8
Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa bank

merupakan merupakan badan yang mempunyai kegiatan atau usaha untuk

menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki dana lebih sebagai

simpanan dan meyalurkannya kembali kepada masyarakat yang

membutuhkan dana tersebut dalam berbagai bentuk pembiayaan. Dengan

demikian bank akan memperoleh keuntungan melalui pelayanan jasa tersebut

atau jasa lainnya dalam memperlancar lalu lintas transaksi.

Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan

penting sebagai perantara keuangan di dalam perekonomian suatu negara

dikarenakan salah satu peran nyata dalam bank yaitu dalam menyalurkan

dana kepada masyarakat yang membutuhkan modal usaha melalui usaha

mikro, usaha kecil dan menegah. Dalam menjalankan setiap kegiatan

usahanya, bank di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu bank yang

melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip konvensional dan

berdasarkan prinsip syariah.

Bank konvensional merupakan bank yang telah berdiri lebih awal

dibandingkan bank syariah di Indonesia dan memiliki fasilitas yang sudah

tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia,14 sedangkan pada Tahun 1992

berdirinya Bank Muamalat Indonesia merupakan bank syariah pertama kali

berdiri dan sebagai tanda awal mulanya dual definisi bank.15

Perbankan syariah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21

Tahun 2008 Pasal 1 merupakan segala sesuatu yang menyangkut tentang

14
Agus Marimin, dkk. Perkembangan Bank Syariah di Inonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam –
Vol 01, No. 02, Juli 2015.
15
Ibid.

9
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, keiatan

usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Pengertian bank syariah atau bank Islam merupakan bank yang beroperasi

sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank Islam yang selanjutnya

disebut dengan bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak

mengandalkan bunga.

Menurut Sutan Remy Shahdeiny Bank Syariah adalah lembaga yang

berfungsi sebagai intermediasi yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan

menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang

membutuhkan dalam bentuk Pembiayaan tanpa berdasarkan prinsip bunga,

melainkan berdasar prinsip syariah.16 Bank syariah dalam tata cara

pengoperasiannya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan

Hadist Nabi Muhammad SAW serta pengoperasiannya disesuaikan dengan

prinsip-prinsip syariat Islam.17

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat 13 tentang

perbankan menyatakan yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan

perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan

lainnnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan

berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan

penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh

keuntungan (mudhrabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip

sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemindahan


16
Sutan Remy Shahdeiny, Perbankan Islam, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, cet ke 3, 2007, h.
1.
17
Edy Wibowo dkk. Mengapa Memilih Bank Syariah?. Bogor: Gh.ia Indonesia cet. 1. 2005, h. 33.

10
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah

wa iqtina).

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 12

tentang perbankan syariah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip

syariah merupakan prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan

berdasarkan fatawa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki

kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah, yang dala hal ini

merupakan Fatwa Dewan Syariah Nasional.

Sebagaimana telah diuraikan di muka adapun landasan hukum

pengoperasian bank syariah adalah Al-Qur’an (wahyu Allah yang

disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril) dan Hadist

Rasulullah SAW (ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah SAW) yang

kemudian ijma’ dan Qiyas diijtihadkan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk

lebih jelasnya adalah sebagai berikut.

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi Islam.

Oleh karena itu Al-Qur’an adalah sebagai landasan hukum dalam

perbankan syariah yang didalamnya terdapat hal ihwal yang berkaitan

dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan Undang-Undang

diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli sebagaimana

dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan

seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang

demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba.

11
Padahal Allah SWT telah menghalalkan jua beli dan mengharamkan riba.

Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya lalu dia berhenti, maka

apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya

(terserah) kepada Allah SWT. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu

penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”.

Contoh lain dalam Al-Qur’an adanya perintah mencatat atau

membukukan yang baik dalam hal utang-piutang berada dalam surah Al-

Baqarah ayat 282 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-

piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Dan hendaklah penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah SWT

telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan

hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia

bertakwa kepada Allah SWT, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi

sedikitpun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang

akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri,

maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika

tidak ada (saksi) dua orang laiki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan

dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para

saksi (yang ada), agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi

mengigatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila

12
dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas

waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih

adil di sisi Allah SWT, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih

mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan

perdagangan tunai yang kamu jalankan di anatara kamu, maka tidak ada

dosa bagi kamu jika tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila

kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi.

Jika kamu lakukan (yang sedemikian), maka sungguh, hal itu suatu

kefasikan bagi kamu. Dan bertakwalah kepada Allah SWT, Allah

memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah SWT Maha Mengetahui

segala sesuatu.

Dalam surah Al-Maidah ayat 1 juga dijelaskan bahwa Allah SWT

memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar menepati dan

menghhormati janjinya, baik sesame muslim maupun non muslim.

2. Hadist

Selain dalam Al-Qur’an, landasan hukum mengenai konsep perbankan

syariah adalah hadist Rasulullah SAW sebagai sumber hukum kedua yaitu

di antaranya seperti sebuah hadist yang isinya larangan terhadap jual beli

gharar (akad jual beli tipuan yang menyodorkn barang yang tidak jelas)

disebutkan dalam hadist Abu Hurairah dalil shahih bahwa ia menceritakan

Rasulallah SAW melarang menjual dengan system hashat (melempar batu

dalam menjual tanah untuk mengukur luasnya) dan jual beli gharar.18

18
Muslim, Al-iman, bab qauluhu Saw. Man Ghasysyana fa laisa minna. No. 102.

13
Contoh lain hadist yang menjelaskan tentang riba bahwa riba

merupakan hal yang membinasakan. Hal ini disebutkan dalam hadist Abu

Hurairah dari Nabi SAW. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,

“Apakah tujuh hal yang membinaskan itu wahai Rosulullah?” Beliau

menjawab, “Perbuatan syirik kepada Allah SWT, sihir, membunuh orang

yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan alas an haq,

memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medna perang, dan

menuduh wanita suci yang sudah menikah dan beriman bahwa mereka

berzina”.19

Contoh terakhir adalah hadist yang menerangkan larangan menipu

yaitu “barang siapa yang menipu kami, maka tidak termasuk golongan

kami”. (HR. Muslim).

Dari beberapa contoh tersebut di atas adalah sebagian dari dasar

hukum yang digunakan dalam konsep perbankan syariah.

3. Ijma’ dan Qiyas

Untk ijma’ dan qiyas disini adalah yang dilakukan oleh para salafus

shalihin. ijma’ dan qiyas perbankan syariiah merujuk pada kitab-kitab fiqh

umum dan fiqh khusus.

Kitab-kitab fiqh umum ini menjelaskan ibadah dan muamalah. Dalam

muamalah terdapat pembahasan tentang ekonomi yang dikenal dengan Al-

Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil Ijtihat ulama terutama

dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil Al-Qur’ân dan Hadis yang

shahih. Pembahasan yang dimaksud disini (dalam kitab-kitab fiqih umum)


19
Al-Bukhori, al-Washaya, no. 2766.

14
yang berkaitan dengan ekonomi Islam adalah Zakat, Sedekah sunah,

Fidyah, Zakat Fitrah, Jual Beli, riba, dan lain sebagainya.

Kitab fiqih khusus (Al-Mal’u Wal-Iqtisadi). Kitab ini secara khusus

membahas masalah yang berkaitan dengan uang, harta lainnya dan jual

beli.20 Yang dimaksud dengan Fiqih atau hukum Islam adalah pemahaman

manusia mengenai al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian

impelementasikan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Salah satu sumber rujukan hukum tentang Perbankan Syariah adalah

Fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI (DSN

MUI). Sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam yang

ada di Indonesia, Fatwa MUI dapat menjadi rujukan semua masyarakat

muslim di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Fatwa Muhammadiyah atau

Fatwa Nahdlatul Ulama, misalnya, yang mempunyai lingkup yang lebih

kecil. Sampai Juli 2007, DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa terkait

produk keuangan syariah,21 seperti fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah,

Sertifikat Investasi Muḍarabah Antar-bank, Syariah Charge Card, dan lain

sebagainya.

Walau begitu, Fatwa MUI sebagaimana juga fatwa organisasi massa

Islam lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukan merupakan

hukum positif sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara

personal saja. Selain itu, negara tidak berhak mengeluarkan sanksi

terhadap pihak-pihak yang melanggar fatwa tadi. Memang, dalam


20
Ahmad Izzan, dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’ân Yang
Berdimensi Ekonomi (Bandung: Rosda karya, 2006), Cet.1, h. 33
21

15
beberapa FBI disebutkan keharusan untuk memperhatikan fatwa DSN-

MUI seperti pasal 20 ayat 3 PBI No. 8/21/PBI/2006, tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha

berdasarkan prinsip Syariah29. Bahwa: “Ketentuan lebih lanut yang

berkaitan dengan penyertaan modal mengacu pada PBI yang mengatur

mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan fawa kehati-

hatiann Dewan Syariah Nasional yang berlaku.

Perbankan syariah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21

Tahun 2008 Pasal 1 merupakan segala sesuatu yang menyangkut tentang

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, keiatan

usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanDari

landasan yuridis di atas maka sudah jelas bahwa operasional perbankan

syariah diperbolehkan di Indonesia dan mempunyai leagalitas hukum yang

pasti dalam menjalankan kegiatan transaksi di dalamnya.

Menurut Kasmir, Perbankan adalah kegiatan untuk menghimpun dan

menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya.22

B. PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Sesuai ketentuan dalam perundang-undangan hanya bank yang

diperkenankan untuk melakukan penghimpunan dana dari masyarakat secara

langsung. Pada dasarnya terdapat tiga kelompok besar produk yang

ditawarkan suatu bank syariah.23 Produk tersebut adalah produk perhimpunan

Andrianto, dkk. 2019. Manajemen Bank. Surabaya: CV. Penerbit Qiara Media
22

23
Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisa Fikih dan Keuangan. 2007. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada

16
dana (funding), produk penyaluran dana (financing) dan produk jasa

(service).24

1. Produk penghimpunan dana (funding)

Dalam bank syariah penghimpunan dana dari masyarakat

dilaksanakan melalui prinsip wadi’ah. Wadi’ah dapat didefinisikan sebagai

titipan dari satu pihak kepada pihak yang lain, baik individu maupu badan

hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan

menghendakinya.

Tujuan dari perjanjian wadi’ah adalah untuk menjaga keselamatan

barang dari kehilangan, kemusnahan, kecurian dan sebagainya. Yang

dimaksud dengan barang adalah sesuatu yang berharga seperti uang, barang,

dokumen, surat berharga, atau barang lain yang berharga di sisi Islam.25

Dalam transaksi dengan prinsip wadiah maka harus memenuhi rukun

sebagai berikut:

a. Barang yang dititipkan

b. Orang yang menitipkan

c. Orang yang menerima titipan

d. Ijab dan qabul.

Wadiah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu wadiah yad-amanah dan

waduah yad-dhamanah.

wadiah yad-amanah merupakan titipan di mana si penerima titipan

tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai diambil kembali

oleh si penitip. Sedangkan waduah yad-dhamanah merupakan titipan di


24
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah. Jurnal Volume 13,
Nomor 2. 2009. Fakultas Ekonomi Universitas Khatolik Parahyangan.
25
Wiroso. 2011. Produk Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti. H.118

17
mana barang titipan selama belum dikembalikan kepada penitip dapat

dimanfaatkan oleh penerima titipan. Dan apabila dari pemanfaatan barag

tersebut diperoleh peruntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima

titipan.26

Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa produk penghimpunan

dana dalam bank syariah adalah berupa giro, tabungan dan deposito.

Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat

dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya,

atau dengan pemindahbukuan. Produk giro pada bank syariah diatur di

dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. : 01/DSN-MUI/IV/2000

tentang Giro.

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan

menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan

cek, bilyet giro, dan / atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Produk tabungan pada bank syariah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional MUI No. : 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan

pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan

bank. Produk deposito pada bank syariah diatur di dalam Fatwa Dewan

Syariah Nasional MUI No. : 03/DSNMUI/IV/2000 tentang Deposito.

2. Produk Pembiayaan (financing)

Dalam arti sempit pembiayaan dipakai untuk mendefiniskan

pendanaan yang dilakukan oleh lembaga Pembiayaan oleh bank syariah


26
Ibid.

18
kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau

pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung

investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun

dikerjakan orang lain.27

Menurut Antonio Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank

yaitu memberi fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang

merupakan deficit unit. 28

Ismail mendefinisikan istilah pembiayaan lahir dari pengertian I

believe, I trust, yaitu percaya atau saya menaruh kepercayaan. Perkataan

pembiayaan yang artinya kepercayaan (trust) berarti bank menaruh

kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang

diberikan oleh bank selaku shahibul maal.29

Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk

pembiayaan bank syariah berdasarkan penggunaannya terbagi menjadi tiga

kategori, yaitu:

a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli

Prinsip jual beli dalam bank syariah dipergunakan sehubungan

dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Transaksi

jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan

waktu penyerahan barangnya yakni sebagai berikut:

1) Pembiayaan murabahah

27
Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005. H. 304.
28
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001. h. 160.
29
Ismail, Perbankan Syariah. 2012. Jakarta: Prenamedia Grup. H. 105-106.

19
Salah satu bentuk penyaluran dana pada bank syariah adalah

melalui produk pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual-

beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang

sudah disepakati.30 Karakteristik murabahah adalah bahwa

penjual harus memberi tahu pembeli mengenai harga pembelian

produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan

pada biaya (cost) tersebut.31

Secara bahasa Murabahah berasal dari bahasa arab ribhu

yang berarti beruntung atau mendapatkan keuntungan. 32

Sedangkan secara istilah Murabahah yang dikemukakan menurut

ulama ialah sebagai berikut:

Menurut di dalam kitabnya fiqh sunnah Murabahah adalah

penjualan dan harga pembelian barang beserta keuntungan yang

diketahui.33 Sedangkan menurut Ibnu Rusyd al Maliki

mengatakan bahwa Murabahah adalah jual beli komoditas

dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang

harga pokok pembelian barang dan tingkat keuntungan yang

diinginkan.34

Menurut Sami Hamoud, Murabahah adalah transaksi jual

beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk

membelikan sebuah barang yang dinginkannya dengan kriteria

30
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Ctk. Pertama, Gema Insani
Press, Jakarta, 2001, h. 101.
31
Wiroso, Jual-beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 13.
32
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Profresif, 1997, h. 463
33
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12, Alma;Arif, Bandung, 1995, h. 47
34
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 103.

20
tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara

Murabahah, yakni sesuai dengan harga pokok pembelian

ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati diantara

kedua belah pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran

secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan

finansial yang dimiliki.35

Para ulama ahli hukum Islam mendefinisikan bai’ al-

Murabahah sebagai berikut:

Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah jual-beli dengan harga

pertama (pokok) beserta tambahan keuntungan.36 Ibn Rusyd

filosof dan ahli hukum Maliki mendefinisikannya sebagai jual-

beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga pokok

barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan

kepada pembeli. Sedangkan Ibn Qudamah ahli hukum Hambali

mengatakan bahwa arti jual-beli Murabahah adalah jual beli

dengan harga pokok ditambah margin keuntungan yang jelas

disyaratkan keduanya mengetahui modal.37

Dalam Murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian

barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba

dalam jumlah tertentu. Pada perjanjian Murabahah, bank

membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya

dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian

35
Ibid, Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 116.
36
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus : Dar al-Fikr, 1989, jld. IV, h.
703
37
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid , Beirut : Dar al-Fikr, t, juz II, h. 161

21
menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah

keuntungan atau di mark-up. Dengan kata lain, penjualan barang

kepada nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit.38

Sedangkan dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No.

04/DSN.MUI/IV/2000. Pengertian Murabahah, yaitu menjual

suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli

dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai

laba.39

Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana

penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya–

biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga

pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang

tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan

transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/ kredit kepada

orang lain dengan adanya penambahan bunga(interest), akan

tetapi ia merupakan jual beli komoditas.

Murabahah berbeda dengan jual beli biasa (musawamah)

dimana dalam jual beli musawamah terdapat proses tawar

menawar antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga

jual, dimana penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan

keuntungan yang diinginkan. Berbeda dengan Murabahah, harga

pokok dan keuntungan harus dijelaskan kepada pembeli.40

38
Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 62
39
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Murabahah No:04/DSN-MUI/IV/2000
40
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 105.

22
Bank–bank Islam mengambil Murabahah untuk memberikan

pembiayaan jangka pendek kepada kliennya untuk membeli

barang walaupun klien tersebut mungkin tidak memiliki uang

tunai untuk membayar. Murabahah, sebagaimana digunakan

dalam perbankan Islam, ditemukan terutama berdasarkan dua

unsur, yaitu harga membeli dan biaya yang terkait, dan

kesepakatan berdasarkan keuntungan.41

Dari pengertian tentang Murabahah di atas, penulis

mengambil kesimpulan bahwa Murabahah adalah suatu akad jual

beli barang dengan menyebutkan harga pokok, dan di tambah

keuntungan yang tentunya telah disepakati antara pihak bank

nasabah, beserta cara pembayaran. Murabahah yang digunakan

oleh bank syariah hendaknya mengambil dua hal penting yang

harus diberitahukan kepada nasabah, yaitu pertama, harga beli

barang dan biaya yang lainnya kedua, kesepakatan atas

keuntungan.

Dengan melihat demikian Murabahah bisa dikatakan

pembiayaan berdasarkan atas kepercayaan, karena pembeli dalam

hal ini nasabah mempercayakan penjual untuk menentukan harga

asal barang yang akan dibelinya. Ketika bank menawarkan

pembiayaan Murabahah maka bank akan menawarkan

kepercayaan dan akan melakukan hal yang terbaik bagi nasabah

Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba Dan Interpretasin
41

Kontemporer, Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2004, h. 138.

23
dan sebaliknya nasabah yang memberikan kepercayaan penuh

dengan pihak bank.

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam murabahah..

Dikutip dari buku Standar Produk Perbankan Syariah murabahah

yang diambil dari website ojk.go.id jual beli murabahah dalam

persepektif ekonomi Islam memiliki beberapa rukun dan syarat

yang harus dipenuhi, terdiri dari:

a) Pihak yang berakad

Para pihak ini harus memenuhi syarat dari jual beli yaitu

pandai dan pihak yang berakad harus sukarela atau tanpa

adanya paksaan.

b) Obyek yang diadakan

Objek yang diakadkan harus memenuhi syarat bahwa obyek

tersebut merupakan barag yang bersih dan halal, bermanfaat,

berupa hak milik orang yang berakad, jelas dan diketahui.

c) Akad

Dalam mengucapkan ijab dan kabul haruslah didasari dengan

kesepakatan. Karena perjanjian lahir dari adanya kata

sepakat.

2) Pembiayaan Salam

Kata al-salam adalah isim masdar dari fi'il madi salima.

Sedangkan masdar hakikinya adalah al-salam. Arti salam menurut

bahasa ialah menyegerakan dan mendahulukan uang pembayaran

Salam bisa juga disebul salaf, tetapi salam adalah bahasa yang

24
digunakan masyarakat Hijaz sedangkan salaf bahasa yang

digunakan ahli Iraq42

Salam secara etimologi artinya pendahuluan, sedangkan

secara terminologi adalah penjualan suatu barang yang disebutkan

sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut

masih dalam tanggungan penjual, dimana syarat-syarat tersebut di

antaranya adalah mendahulukan pembayaran pada waktu di akad

majlis ( akad disepakati).43

Ulama Syafi’yah dan Hanabilah mendefinisika Akad salam

yaitu akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu

dengan membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya

diserahkan (kepada pembeli) kemudian hari.44 Atau dengan kata

lain jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya

dalam tanggungan atau memberi uang di depan secara

tunai,sedangkan barangnya diserahkan kemudian atau diserahkan

pada waktu yang telah ditentukan.

Berbeda dengan jual beli pada umumnya, akad salam

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a) Harga, spesifikasi, karakteristik, kualitas, kuantitas dan waktu

penyerahan aset yang dipesan sudah ditentukan dan

disepakati ketika akad terjadi.

42
Abdur Rahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h.
280.
43
(Mugni Al Muhtaj Ila Ma`rifah Ma`ani Alfazh Al Minhaj, Jilid 2 h.. 102-103, - Muhammad
Syarbini Al Khatib, Mesir 1958. Nihayatu Al Muhtaj Ila Syarah Al Minhaj Jilid 4 h.. 182 -
Syamsuddin Muhammad bin Abi `Abbas, Dar Al Fikr Beirut Libanon 1984 dan Fiqh Sunnah Jilid
12 h. 110 - Sayyid Sabiq)
44
N. Haroen. 2000. Fiqh muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

25
b) Dalam akad salam, harga barang pesanan yang sudah

disepakati tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.

Apabila barang yang dikirim tidak sesuai dengan ketentuan

yang telah disepakati sebelumnya, maka pembeli boleh

melakukan khiar yaitu memilih apakah transaksi dilanjutkan

atau dibatalkan.

c) Alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik

berupa kas, barang atau manfaat. Pelunasan harus dilakukan

pada saat akad disepakati dan tidak boleh dalam bentuk

pembebasan hutang penjual atau penyerahan piutang pembeli

dari pihak lain.

d) Transaksi salam dilakukan karena pembeli berniat

memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk

memungkinkan penjual (produsen) memproduksi barangnya,

barang yang dipesan memiliki spesifikasi khusus, atau

pembeli ingin mendapatkan kepastian dari penjual. Transaksi

salam diselesaikan pada saat penjual menyerahkan barang

kepada pembeli.

Dalam transaksi yang menggunakan akad salam harus

memenuhi rukun dan syarat yang sudah ditentukan. Menurut

Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual

beli salam adalah adanya Muslam (pembeli) adalah pihak yang

membutuhkan dan memesan barang. Kedua, adanya Muslam ilaih

(penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan. Ketiga,

26
Modal atau uang, namun ada pula yang menyebut harga (tsaman).

Keempat, adanya Muslam fiih adalah barang yang dijual belikan.

Terakhir, adanya Shigat yaitu ijab dan qabul.45

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam akad salam yaitu:

a) Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad, yang berarti

pembayaran dilakukan terlebih dahulu.

b) Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.

c) Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan.

Berarti pada waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah

ada. Oleh sebab itu memesan buah-buahan yang waktunya

ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.

d) Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran,

timbangan, ukuran ataupun bilangannya, menurut kebiasaan

cara menjual barang semacam itu.

e) Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat

itu berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut

dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak

ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara

kedua belah pihak. Begitu juga macamnya, harus juga

disebutkan.

f) Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak

layak buat menerima barang tersebut. Akad salam harus

terus, berarti tidak ada khiyar syarat.

3) Pembiayaan Istishna
45
W. M. Az-Zuhaili and A. H. Al-Kattani, Fiqih Islam Wa adillatuhu. Gema Insani, 2010.

27
Jual beli Istishna’ hampir sama dengan ual beli salam, yaitu

suatu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar

lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-

syarat yang disepakati bersama sedangkan barang yang dibeli

diproduksi dan diserahkan kemudian.

Istishna’ secara etimologis berarti meminta membuat

sesuatu.46Yaitu meminta kepada seorang pembuat untuk

mengerjakan sesuatu. Secara terminologis, istishna’ adalah

transaksi atas barang yang diperjualbelikan dalam tanggungan

dengan syarat dikerjakan.47 Objek dari transaksi ini adalah barang

yang wajib dikerjakan dan pekerjaan dalam pembuatan barang.

Dalam pengertian lainnya Istishna’ adalah memesan kepada

perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu

untuk pembeli atau pemesan.48 Istishna’ adalah akad jual beli

barang pesanan (barang belum diproduksi atau barang tidak

tersedia di pasar). Spesifikasi barang yang dipesan harus

disepakati sejak awal dan harga barang yang dipesan bisa dibayar

tunai atau dicicil.49

Salah satu produk yang juga populer digunakan dalam

perbankan syariah adalah produk istishna’. Adapun Fatwa yang

dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No: 06/DSN-

MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna’ ini hukumnya boleh


46
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenamedia Grup,2012),124.
47
Ibid.
48
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2008), h. 96.
49
Irma Devita Purnamasari dan Suswinarto, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat
Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2001), h. 70.

28
(jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa

awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.

Dalam pelaksanaan akad istishna’ harus memenuhi rukun di

antaranya adanya pihak yang berakad, objek akad dan sighat.

Serta syarat dalam jual beli istishna’ yaitu:

a) Kedua pihak yang melakukan transaksi akad jual beli

istishna’haruslah yang berakal, dan mempunyai kekuasaan

dalam melakukan jual beli.

b) Kedua pihak harus saling ridha tidak saling mengingkari

janji.

c) Barang yang akan dibuat harus jelas, misalnya seperti: jenis,

macam, ukuran, mutu, dan sifatnya, karena barang yang akan

diperjual belikan harus diketahui dengan jelas.

b. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil

Salah satu prinsip usaha Perbankan Syariah adalah bagi hasil,

dimana bank dan nasabah membagi keuntungan berdasarkan rasio

bagi hasil yang ditentukan sebelumnya. Bentuk pembiayaan

perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil syariah antara lain adalah

pembiayaan Mudharabah dan pembiayaan Musyarakah.

Penerapan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan terhadap nasabah

Bank Muamalat mempunyai legalitas institusional dengan

diberlakukannya PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan

29
prinsip bagi hasil, dimana PP No. 72 tahun 1992 telah dicabut dan

diganti dengan PP No. 30 tahun 1999.50

Penjelasan mengenai pembiayaan bagi hasil Mudharabah dan

pembiayaan Musyarakah adalah sebagai berikut:

1) Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan Mudharabah merupakan salah satu bentuk

pembiayaan syariah. Prinsipnya adalah pembagian hasil

keuntungan dari sebuah usaha yang dijalankan antara bank sebagai

pemilik modal/ dana, dengan pengusaha sebagai pengelolah dana

tersebut. Keuntungan yang akan dihasilkan akan dibagi diantara

mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam

akad.51

Dalam literatur fiqh, terdapat dua istilah yang menunjukan

pengertian mudharabah. Yang pertama istilah muqaradah dan

yang kedua istilah Qiradh. Namun pengertian keduanya adalah

sama saja. Istilah mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan

kebanyakan digunakan oleh mazhab Hanafi, Hanbali dan Zaydi

dan Qiradh adalah bahasa istilah yang digunakan penduduk Hijaz

dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Maliki dan Syafi’i.

Sedangkan penduduk madinah menggunakan istilah muqaradah, di

mana perkataan ini diambil dari kata qard yang berarti

menyerahkan.

50
Rastono, 2008. Penerapan Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan terhadap Nasabah Bank
Syariah. Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
51

30
Secara bahasa mudharabah diambil dari kata al-dharb fi al-

Ardh, yang berarti perjalanan untuk berniaga. Pengambilan kata ini

disebabkan amil dan mudharib meletakan mudharabah untuk

bekerja dengan cara berniaga (tijarah) dan mencari keuntungan

dengan permintaan dari pemilik modal (rab al-mal).

Secara istilah, mudharabah berarti seorang malik atau pemilik

modal menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga

dengan modal tersebut, dimana keuntungan dibagi diantara

keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang dipersyaratkan

dalam akad. Jadi. Mudharabah adalah akad kerja sama pemilik

modal dan pengelola modal dimana keuntungan dan kerugian

dibagi berdasarkan kesepakatan oleh beberapa pihak yang

terlibat.52

Pembiayaan Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan

baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam

bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh DSN (Dewan Syari’ah

Nasional) Majelis Ulama Indonesia sebagaimana berikut:

a) UU Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan mudharabah

merupakan salah satu bentuk pembiayaan bagi hasil.

b) UU Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 21 disebutkan bahwa

satu diantara tabungan ialah investasi dana berdasarkan akad

mudharabah.

52
Chefi Abdul Latif. Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah di Perbankan
Syariah. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

31
c) UU Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 22 disebutkan bahwa

deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah.

d) UU Nomor 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 24 menyebutkan

bahwa investasi adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah

kepada bank syariah dan/atau UUS berdasarkan akad

mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

prinsip syari’ah dalam bentuk deposito, tabungan atau bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu.

e) UU Nomor 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 poin (a)

menyebutkan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau

tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi

hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.

f) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang surat berharga syari’ah

negara pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa mudharabah adalah

akad kerjasama antara dua pihak atau lebih, yaitu suatu pihak

sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia

tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan

dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui sebelumnya,

sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya

oleh pihak penyedia modal.

g) UU Nomor 19 Tahun 2008 pasal 3 disebutkan bahwa SBSN

dapat berupa SBSN mudharabah, yang diterbitkan berdasarkan

akad mudharabah.

32
h) PBI Nomor 7/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang kegiatan

usaha berdasarkan prinsip syari’ah dan PBI Nomor

7/46/PBI/2005.

i) DSN MUI Fatwa Nomor 7 tentang pembiayaan mudharabah

(Qiradh).

j) DSN MUI Fatwa Nomor 33 tentang Obligasi Syari’ah

Mudharabah.

k) DSN MUI Fatwa Nomor 38 tentang Sertifikat IMA

l) DSN MUI Fatwa Nomor 51 tentang Akad mudharabah

musyarakah pada Asuransi Syari’ah.

m) DSN MUI Fatwa Nomor 59 tentang Obligasi Syari’ah

mudharabah.

Dasar hukum di atas merupakan sebuah landasan

diperbolehkannya akad Mudharabah di perbankan syariah

Indonesia. Namun terlepas dari hukum yang ada, dalam

pembiayaan Mudharabah harus memenuhi rukun dan syarat

sebagai berikut:

a) Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah, disyaratkan

harus memiliki kemampuan untuk dibebani hukum/cakap

hukum (mukallaf) untuk melakukan kesepakatan, dalam hal ini

pemilik modal akan memberikan kuasa dan pengelola modal

menerima kuasa tersebut, karena di dalam akad mudharabah

terkandung akad wakalah/Kuasa.

33
b) Modal (Ra’sul Maal) dalam akad mudharabah harus

memenuhi kententuan bahwa modal harus berupa alat tukar

(uang). Kedua, modal harus diketahui sehingga mudah untuk

diukur. Ketiga, Modal harus dalam bentuk tunai dan terakhir,

modal harus dapat dipindahkan/diserahkan dari pemilik modal

kepada pengelola modal.

2) Pembiayaan Musyarakah

Dalam mendistribusikan pendapatan dana, bank syariah

meiliki produk pembiayaan di antaranya adalah musyarakah. Di

mana secara etimologi kata musyarakah berasal dari bahasa Arab

yang diambil dari kata Syaraka yang bermakna bersekutu,

menyetujui. Sedangkan pengertian secara istilah, Musyarakah

adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu

usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi

dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan

resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.53

Secara bahasa syarikah berarti ikhtilath (percampuran), yakni

bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak

bisa dibedakan antara keduanya. Selanjutnya jumhur ulama

mempergunakan kata syarikah untuk label satu transaksi tertentu,

meski tidak ada percampuran dua bagian, karena terjadinya sebuah

transaksi merupakan sebab terjadinya percampuran. Ada perbedan

pendapat dikalangan ulama dalam mendefinisikan syarikah secara

53
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta, Gema Insani Press,
2001, h. 90.

34
syar’i (terminologi). Malikiyah mengatakan syarikah adalah

pemberian wewenang kepada pihak-pihak yang bekerjasama,

artinya setiap pihak memberikan wewenang kepada parternya atas

harta yang dimiliki bersama, dengan masih absahnya wewenang

atas harta masing-masing. Hanabilah mengatakan syarikah adalah

percampuran dalam kepemilikan wewenang. Syafi’iyah

mengatakan syarikah tertetapnya hak kepemilikan bagi dua pihak

atau lebih. Hanafiyah berkata, syarikah adalah transaksi yang

dilakukan dua pihak dalam hal permodalan dan keuntungan.

Definisi ini paling tepat karena mengungkapkan hakekat syarikah

yang notabene sebuah transaksi.

Dalam PSAK 106 tentang musyarakah dibahas beberapa

pengertian dan istilah yang terkait dengan pembahasan

musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak

memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan

dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan risiko berdasarkan porsi

kontribusi dana.

Menurut Kasmir musyarakah adalah akad kerja sama antara

dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-

masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan

bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai

dengan kesepakatan.

35
Ibn Rusyd mengartikan syirkah atau Musyarakah itu sebagai

akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha

tertentu dimana setiap pihak memberikan kontribusi dana dengan

kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan. Syirkah ini disepakati oleh

kalangan fuqhaha akan kebolehannya selagi memenuhi rukunnya,

yaitu ijab dan qabul, untuk memperjelaskan bentuk transaksinya.54

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan

bahwa musyarakah adalah akad kerjasama dua pihak atau lebih

untuk berserikat dalam modal serta keuntungan dan kerugian yang

diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan secara proporsional.

Adapun Musyarakah adalah akad yang diperbolehkan

berdasarkan Al-Quran, Hadist dan Ijma’.

Menurut Al-Quran Q.S. An Nisa Ayat 12

“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu” Q.S. Shaad

Ayat 24: “Dari sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang

berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian

yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”.

Adapun dalam hadist disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:

Aku adalah pihak ketiga dari orang yang berserikat selama satu

54
Syukri Iska. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi.
Yogyakarta: Fajar Media Press. 2012., h. 198

36
pihak tidak mengkhianati pihak yang lain.” “Jika sala satu pihak

telah berkhianat, aku keluar dari mereka. (HR. Abu Daud dari Abu

Hurairah).

Dasar hukum ijma’ diperbolehkannya musyarakah bahwa Ibnu

Qudamah dalam kitabnya, al Mughni telah berkata: “Kaum

muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi masyarakat

secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam

beberapa elemen darinya.”

Akad Musyarakah harus memenuhi rukun sebagai berikut:55

a) Pihak yang berakad adalah bank dan nasabah dimana keduanya

sebagai pemilik modal (Shahibul Maal) sedangkan Nasabah

selain sebagai pemilik modal juga sebagai pelaksana

(Musyarik).

b) Modal, yakni masing-masing pihak menyertakan modal

dengan tujuan untuk membeli suatu aset atau melaksanakan

usaha atau proyek tertentu.

c) Obyek akad, dapat berupa aset, proyek atau usaha yang akan

menghasilkan keuntungan bagi para pihak yang bekerja sama.

d) Ijab Qabul, yaitu pernyataan penawaran (ijab) dan penerimaan

(qabul) yang dinyatakan oleh para pihak terkait untuk

menunjukkan kehendak masing-masing dalam mengadakan

perjanjian (akad). Ni

55
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan. 2016. Standar Produk Perbankan SyariahMusyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah.,
h.. 41.

37
e) sbah Bagi Hasil, merupakan pembagian porsi keuntungan yang

akan diperoleh para pihak dalam bentuk presentase bukan

jumlah uang yang tetap.

f) Pengikatan Perjanjian Pembiayaan Musyarakah antara

BUS/UUS/BPRS dan Nasabah harus dituangkan secara

tertulis yang dapat dilakukan secara di bawah tangan atau di

bawah legalilasi secara notariil.

c. Pembiayaan berupa jasa

Pembiayaan dalam bank syariah berupa jasa antara lain adalah

Rahn (gadai) dan Ijarah (Sewa).

1) Rahn

Dalam istilah bahasa Arab, gadai atau rahn dan dapat juga

disebut al-habsu. Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan

lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang

dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari

barang tersebut. Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu

Qudamah dalam Kitab al-Mughni adalah sesuatu benda yang

dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari

harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari

orang yang berpiutang.

Gadai dalam fikih Islam adalah suatu jenis perjanjian untuk

menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian rahn

dalam bahasa arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang berarti

tetap dan kekal.56


56
Zaenudin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafik, 2008), h. 1

38
Menurut ulama Hanafiah rahn adalah menjadikan barang

sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai

pembayaran piutang, baik seluruhnya ataupun sebagiannya.

Ulama Malikiyah mendifinisikan rahn sebagai harta pemilik

yang dijadikan sebagai jaminan utang yang memiliki sifat

mengikat. Menurut mereka, yang dijadikan jaminan bukan hanya

barang yang bersifat materi, bisa juga barang yang bersifat manfaat

tertentu.

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat

bahwa rahn adalah menjadikan barang pemilik sebagai jaminan

utang, yang bisa dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang

yang berutang tidak bisa melunasi utangnya.57

Pengertian gadai menurut KUHP pasal 1150 adalah suatu hak

yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu

barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang lain atas

dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang

berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut

secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya,

dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya

mana yang harus didahulukan.58

57
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: Rajawali Pers, 2017), h.160.
58
Muklis dan Risti Wulandari, Pengaruh Produk Jasa Gadai (Rahn) dengan Akad Qard dan
Ijarah terhadap Kepeminatan Masyarakat untuk Berbank di Bank Syariah Mandiri.
ISLAMINOMIC JURNAL Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah

39
Dari beberapa pengertian penulis menyimpulkan pengertian

rahn sebagai penahanan barang sebagai jaminan manakala

seseorang berhutang dan barang tersebut dapat dijadikan bayaran

apabila si penghutang tidak sanggup melunasi hutangnya.

Pembiayaan rahn diperbolehkan di Indonesia sesuai dengan

adanya landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa

Dewan Syariah Nasional nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26

Juni 2002 tentang rahn, fatwa nomor: 26/DSN-MUI/III/2002

tentang rahn emas dan fatwa Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008

tentang rahn tasjily.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional menyatakan bahwa

pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang

dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut

a) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan

Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang

menyerahkan barang) dilunasi.

b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada

prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin

kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun

dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan

perawatannya.

c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya

menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh

40
murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan

tetap menjadi kewajiban rahin.

d) Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh

ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

e) Penjualan marhun

i. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan

rahin untuk segera melunasi utangnya.

ii. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka

marhun dijual paksa atau dieksekusi.

iii. Hasil Penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang,

biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar

serta biaya penjualan.

iv. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan

kekurangannya menjadi kewajiban rahin.59

2) Ijarah

Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau

berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, ijarah diartikan sebagai suatu

jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian

sejumlah uang.60

Secara terminologi, ada beberapa defenisi ijarah yang

dikemukakan oleh para ulama fiqh sebagaimana berikut:

59
Rokhmat Subagiyo, Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn). IAIN Tulungagung.
60
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al Ma’arif,
2007), h. 15

41
Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:

“transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.61

Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi

terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan

boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”.62

Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya

dengan: “pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu

tertentu dengan suatu imbalan”.63

Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki

pandangan yang sama terhadap pengertian ijarah.

Sedangkan menurut Sutan Remy ijarah adalah akad pemindahan

hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,

tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan

(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.64

Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum

positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank

Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah

sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah

mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui

pembayaran sewa atau imbalan jasa.”65

61
Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 174
62
Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.233
63
Ibnu Qudama, al-Mugni, Jilid V ( Riyadh al-Haditsah, t.th.), h. 398
64
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Grafiti, 1999), h.2
65
Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998, e-usu
Repository, 2005, h. 12

42
Menurut Fatwa DSN MUI No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah

adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau

jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa

diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan

demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,

tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan

kepada penyewa.66

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

ijarah adalah pemindahan hak guna atau manfaat terhadap suatu

barang atau jasa dari sesorang kepada orang lain dalam kurun

waktu tertentu sesuai kesepakatan.

Pembiayaan Ijarah diperbolehkan sesuai dengan Al-Qur’an

surah Ath-Thalaq ayat 6 yang artinya:

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu

maka berikanlah kepada mereka upahnya”.67

Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan

“berikanlah kepada mereka upahnya, ungkapan tersebut

menunjukan adanya jasa yang diberikan sehingga berkewajiban

membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya

jasa penyewaan. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk

umum, mencakup semua jenis sewa-menyewa (ijarah).

66
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan (Cet:I, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 137
67
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989), h. 1060,
Lihat juga Q. S. Al-Baqarah: 133 dan Q.S al-Qashas: 26

43
Dan kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga

kepada hadist Rasulullah SAW, di antaranya hadist yang

diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa:

Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan

yang mahir dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.

(HR Bukhari).68

Dalam melakukan transaksi ijarah juga diharuskan memenuhi

ketentuan sebagai berikut:

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu

ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap

sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa

rukun ijarah itu ada empat yakni:

a) Adanya orang yang berakad

b) Sewa atau imbalan

c) Manfaat, dan

d) Shighat (ijab dan qabul).

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,

sewa atau imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat ijarah,

bukan rukunnya.69

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa jika salah satu dari

beberapa rukun sewa-menyewa (ijarah) tersebut tidak terpenuhi,

maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak sah. Sebab

68
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz IV (Beirut: Dal-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 442
69
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 231

44
ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas bersifat kumulatif

(gabungan) dan bukan alternatif.

Beberapa produk di atas merupakan produk dari perbankan syariah baik

yang berupa pengumpulan dana (funding), pembiayaan (financing), dan jasa.

Namun seiring perkembangan dunia perekonomian maka akad-akad atau

produk dari perbankan syariah harus mengalami pembaharuan. Pembaharuan

dalam produk perbankan syariah di antaranya adalah multi akad atau

penggabungan beberapa akad dalam satu transaksi.

C. KEBUTUHAN MULTI AKAD DALAM PERBANKAN SYARIAH

Perkembangan perbankan dan keuangan syariah mengalami

kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin

kompleks. Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi

kebutuhan bisnis modern dengan menyajikan produk-produk inovatif dan

lebih kreatif serta pelayanan yang memuaskan. Tantangan ini menuntut

para praktisi, regulator, konsultan, dewan syariah dan akademisi bidang

keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif dalam memberikan

respon terhadap perkembangan tersebut. Para praktisi dituntut secara

kreatif melakukan inovasi produk regulator membuat regulasi yang

mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh praktisi, dan

akademisi pun dituntut memberikan pencerahan dan tuntunan agar produk

maupun regulasi benar-benar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip

syariah.

45
Dewan syariah dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-

fatwa yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan zaman, dan akademisi pun

dituntut memberikan pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun

regulasi mendukung kebutuhan Industri modern dan benar-benar tidak

menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.

Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank

syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar

untuk menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan

syariah tidak boleh hanya sekedar ‗mengimitasi‘ produk perbankan

konvensional. Bank syariah harus berinovasi untuk menciptakan produk

dan layanan yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan

kebutuhan nyata dari masyarakat.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengembangkan

industri atau bisnis praktisi telah melakukan berbagai upaya untuk

mecipatakan produk-produk baru. Salah satu pilar penting untuk

menciptakan produk pembiayaan syariah dalam menyahuti tuntutan

kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hybrid conctract

(multi akad). Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu merespon transaksi

keuangan kontemporer.

Multi akad merupakan suatu terobosan dalam transaksi bisnis modern,

meskipun pada zaman Nabi multi akad ini telah terjadi. Terbukti adanya

hadits Nabi yang melarang praktek multi akad yang tidak sesuai dengan

syari‘at Islam. Dalam kegiatan bisnis modern, transaksi yang

46
menggunakan multi akad beragam dan bermacam-macam dan sebagian

besar umat membutuhkan transaksi tersebut.

1. Pengertian multi akad

Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak

dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek

akad. Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum

satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah

akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua

pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai

tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam modern. Pada

zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar Fuqoha

memang memisahkan secara tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi

sebagian lain menjadikan akad meliputi juga kehendak sepihak.70

Multi akad dalam bahasa Indonesia berarti banyak; lebih dari satu; lebih

dari dua; berlipat ganda.71 Dengan demikian, multi akad dalam bahasa

Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.

Sedangkan menurut istilah Fiqih, kata multi akad merupakan terjemahan

dari kata Arab yaitu al-Uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda

(rangkap). Al-Uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’Uqud (bentuk

jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya

mengokohkan, mengikat, menyambung atau menghubungkan dan hukum

perdata Indonesia diartikan dengan perjanjian.72 Sedangkan secara


70
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
2007
71
Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 671
72
Ahmad Werson Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab–Indonesia Terlengkap. Surabaya :
Pustaka Progresif. Hal 953

47
terminologi ‘aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang

mengakibatkan munculnya sebuah kewajiban.73

Menurut Wahbah Zuhaily ‘aqd adalah pertalian atau perikatan antara

ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya

akibat hukum pada objek perikatan.74

Multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad

yang lebih banyak, lebih dari satu. Hybrid Contract atau dikenal dengan

multi akad (dalam bahasa arab murakkab) secara etimologi berasal dari

kata al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau perhimpunan.

Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yarakkibu-tarkiban”

yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu lain hingga

menumpuk, ada yang di atas ada yang di bawah. 75. Sedangkan murakkab

menurut pengertian para ulama Fiqih adalah sebagai berikut:

a) Himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama.

Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama)

dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkib).

b) Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan

dari sesuatu yang sederhana (tunggal atau basit) yang tidak memiliki

bagian-bagian.

c) Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu

dengan yang lainnya.

73
Ttn. 1986. Al-Munjid Fil Lughati. Beirut, Libanon : Darul Masyruq. Hal 519
74
Al-Zuhaily. 2004. Al-Fiqh al-Islami .... Juz 4. Hal 2918
75

48
Mencermati tiga pengertian di atas yang memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna yang lebih

mendekati dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk

digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya

beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu

pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari

terhimpunnya beberapa hal itu. Meskipun pengertian kedua menyatakan

adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan

bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih

dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk

suatu istilah tertentu. Dengan demikian pengertian multi akad/al-Uqud al-

murakkabah dalam istilah ada beberapa pengertian dari kalangan

cendekiawan muslim di antarannya:

a) Nazih Hammad menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan multi

akad merupakan kesepakatan dua belah pihak untuk melaksanakan

suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih sehingga semua

akibat hukum-hukum akad yang terhimpun tersebut, semua hak dan

kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang

tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari suatu

akad. 76

b) Menurut al-‘Imrani kata murakkab diartikan sebagai himpunan

beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad baik

secara gabungan maupun secara timbal balik, sehingga seluruh hak

Nazih Hammad, al-uqud al-murakkabah fi fiqhul Islam, https://www.feqhweb.com (diakses 14


76

Maret 2021).

49
dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum

dari suatu akad.77

Jadi pengertian akad ganda adalah kesepakatan dua pihak untuk

melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih,

misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst,

sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu,

serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu

kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya

dengan akibat-akibat hukum dari satu akad.

2. Macam-macam Multi Akad

Agustianto membagi hybrid contract (multi akad) ke dalam empat

macam.78

a) Hybrid contract yang mukhtalitah (bercampur) yang memunculkan

nama baru, seperti bai‘ istiglal, bai‘ tawarruq, musyarakah

mutanaqisah dan bai‘ wafa’.

b) Hybrid contract yang mujtami‘ah/mukhtalitah dengan nama akad

baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli (bai‘

at-takjiry), lease and purchase. Contoh lain ialah mudharabah

musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.

Contoh lainnya yang cukup menarik ialah menggabungkan wadiah

dan mudharabah pada GIRO, yang biasa disebut Tabungan Giro

77
Muhammad bin Abdullah al-Imrani. Al-uqud al-maliyah al-Murakkabah. Dirasah fiqhiyyah Ta
‘siliyyah wa Thahbiqiyyah. Riyadh: Dar Kunuz Esbhellia, 2006, h.. 46-53.
78
Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, h. 46.

50
Aotomatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2

rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus (2 rekening dalam 1

produk). Setiap rekening dapat pindah se cara otomatis jika salah satu

rekening membutuhkan.

c) Hybrid contract yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak

melahirkan nama akad baru, tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan

eksis serta dipraktikkan dalam suatu transaksi.

Al-‘Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-uqud al-

mutaqabilah, al-uqud al-mujtami’ah, al-uqud al-mutanaqidhah wa al-

mutadhadah wa al-mutanafiyah, al-uqud al-mukhtalifah, al-uqud al-

mutajanisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama;

al-uqud al-mutaqabilah, al-uqud al-mujtami’ah, adalah multi akad yang

umum dipakai.79

a) Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-uqud al-mutaqabilah)

Al-mutaqabilah menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu

dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada

yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqud al-Mutaqabilah

adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama,

di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya

akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu

bergantung dengan akad lainnya.

b) Akad Terkumpul (al-uqud al-mujtami’ah)

79
Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer, Op. Cit., hal. 7

51
Al-uqud al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam

satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti

contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang

lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu”. Multi

akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad

yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua

objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu

akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu

akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik

dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.

c) Akad berlawanan (al-uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa

al-mutanafiyah)

Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah

memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya

perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang

berbeda.

Mutanaqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh

seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan

dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar,

lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut

mutanaqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah karena

antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan

mematahkan.

d) Akad berbeda (al-uqud al-mukhtalifah)

52
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah

terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua

akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti

perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad

sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli

sebaliknya. Contoh lain, akad ijarah dan salam. Dalam salam, harga

salam harus diserahkan pada saat akad (fil majlis), sedangkan dalam

ijarah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad. Perbedaan

antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang mutanaqidhah,

mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan akad masing-

masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi

ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun

berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk

kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan

di antara akad-akad yang membangunnya. Dari pendapat ulama di atas

disimpulkan bahwa multi akad yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan

mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi

satu

akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi

akad tersebut tidak seragam.

e) Akad sejenis (al-uqud al-mutajanisah)

Al-uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang

mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di

dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri

53
dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari

beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad

jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum

yang sama atau berbeda.

f) Akad ganda yang banyak di aplikasikan dalam ekonomi Islam.

1) Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewa menyewa yang berakhir

dengan kepemilikan/jual beli)

2) Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang

berakhir dengan jual beli kredit)

3) Murabahah murakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir

dengan jual beli biasa)

4) Ta ’min tauni murakkabah (asuransi berganda)

5) Akad Murabahah lil Amir bi asy-Syira` atau Murabahah KPP

(Kepada Pemesan Pembelian) atau Deferred Payment Sale.

6) Ta’jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewa

menyewa) walaupun ada sebagian ulama mengatakan bahwa akad

ini sebenarnya adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik.

3. Dasar hukum multi akad

Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari

akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf yang

secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi. Akan tetapi jika kedua

akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf

diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara

sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu)

54
hukumnya boleh. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari

hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang

membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram

ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Ketentuan seperti ini

pernah diutarakan oleh al-Syâtiby yang artinya:

“Penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak

hukum dari sesuatu kumpulan (akad) tidak sama seperti saat akad itu

berdiri sendiri-sendiri.”80

Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama

dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain,

hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum

dari multi akad.

Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi

akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan

hukum akad yang membangunnya Artinya setiap muamalat yang

menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang

membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang pada

pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad. Ketentuan ini

berlaku umum, sedangkan beberapa hadis Nabi dan nashnash lain yang

mengharamkan multi akad adalah ketentuan pengecualian. Hukum

pengecualian ini tidak bisa diterapkan dalam segala praktik muamalah

yang mengandung multi akad.81

80
Al-Syâtiby, Al-Muwâfaqât, j. 3, h. 144-146
81
Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah, h. 11-12

55
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama

berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi

akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan.

Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut;

membolehkan dan melarang.

Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah,

ulama Syafiiyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah

dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan

beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak

diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang

mengharamkan atau membatalkannya.82

Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia

adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang

haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang

disyariatkan.83

Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi

akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan

sendirisendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya.

Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara

umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil

itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah

umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan

menjalankan perjanjian yang telah disepakati.84


82
Al-Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, h. 69
83
Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, h. 317
84
Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy , h. 8

56
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum

asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang

oleh agama.85 Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan

syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa

dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara

rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas

keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan

yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh

menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.86

Al-Syatiby menjelaskan perbedaan an tara hukum asal dari ibadat dan

muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan

(ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran

hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan

substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifat ila ma’ani). Dalam hal

ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah

ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan

untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip

dasarnya adalah diperbolehkan (alidzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).87

85
Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, h. 344
86
Ibid.
87
Al-Syatiby, al-Muwafaqat, j. 1, h. 284

57
Ulama lain, terutama dari kalangan Dzahiriyyah88 mengharamkan

multi akad. Menurut kalangan Dzahiriyyah hukum asal dari akad adalah

dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama.

Kalangan Dhahiriyah beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah

dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak

disebutkan dalam nash-nasah agama berarti membuat ketentuan sendiri

yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan perbuatan seperti ini dianggap

melampaui batas agama, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-

baqarah ayat 229 yang artinya:

“Barangsiapa melampaui ketentuan-ke tentuan Allah, maka

merekalah orang-orang yang dhalim”

Berdasarkan pada argument di atas, kalangan Dhahiriyah

menyimpulkan bahwa hukum asal dari akad adalah dilarang, kecuali yang

dinyatakan kebolehannya oleh agama.

Ditinjau dari sisi relevansi dengan kebutuhan zaman, pembaruan dan

penemuan akad mutlak dibutuhkan. Perkembangan modern membuktikan

88
Pendapat Dhahiriyah ini dapat ditelusuri dari beberapa literature, antara lain dari kitab a l-
Muhalla karya Ibn Hazm. Pada jilid 56 hal 15 dinyatakan Ayat-ayat ini adalah bukti nyata batalnya
setiap janji, akad, perikatan, dan syarat karena tidak ada perintah dalam al-Qur ’an atau tidak ada
nash yang membolehkannya. Setiap akad dan janji adalah syarat dan setiap yang mengandung
unsur syarat hukumnya sama, tidak boleh. Di bagian lain disebutkan Ketika bukti telah nyata atas
segala yang telah disebutkan (multi akad red), maka setiap akad, janji, nadzar, dan syarat yang
telah berlaku bagi seseorang wajib dibatalkan dan digugurkan, tidak bisa berlaku dari apa yang
disebutkan tadi kecuali ada dalil yang membolehkannya. Ulama lain Ibn Taimiyyah dalam al-
Qawâid al-Nûrâniyyah al-Fiqhiyyah (hal. 206), al-Zarkasyi dalam al-Mantsûr (j. 2, hal. 70), al-
Suyûthi dalam al-Asybâh wa al-Nazhâir (hal. 60). Dalam kitabnya alQawâid al-Nûrâniyyah al-
Fiqhiyyah, Ibn Taimiyah menyatakan bahwa Pendapat ini (mengharamkan multi akad) adalah
pendapat ulama Dhahiriyah, dan sebagian dari ulama ushul dari kalangan mazhab Hanafiyah
mendasarkan pendapatnya atas pendapat Dhahiry ini. Padahal dalam kenyataannya Abu Hanifah
justru berbeda dengan pendapat Dhahiriyah. Abu Hanifah dan mayoritas pengikutnya mengatakan
bahwa hukum asal dari sesuatu adalah boleh. Lihat catatan kaki al- ‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah
al-Murakkabah , hal. 70

58
bahwa banyak praktik muamalah dan transaksi keuangan yang belum

pernah dipraktikkan pada masa Nabi dan tidak disebutkan secara jelas

hukumnya dalam agama. Kebutuhan akad transaksi baru menjadi sebuah

keniscayaan seiring dengan pertumbuhan manusia dan perkembangan ilmu

dan teknologi. Kalangan Malikiyah dan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa

multi akad merupakan jalan keluar dan kemudahan yang diperbolehkan

dan disyariatkan89selama mengandung manfaat dan tidak dilarang agama.

Karena hukum asalnya adalah sahnya syarat untuk semua akad selama

tidak bertentangan dengan agama dan bermanfaat bagi manusia.90

Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan melalui metode

muqâranah dan tarjîh bahwa pendapat pertama lebih kuat dan sesuai

dengan perkembangan zaman dibanding dengan pendapat kedua.

Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan:

a) Dalil yang digunakan pendapat pertama memiliki status yang kuat dan

kejelasan makna yang dikandungnya.

b) Kesesuaian dengan tujuan syariah (maqâshid syarî'ah), yaitu adanya

kemudahan dalam muamalah, keringanan dalam beban, dan memberi

peluang inovasi.

c) Relevansi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia akan

transaksi dan akad-akad modern.91

Kebolehan multi akad yang didasarkan atas prinsip hukum asal dari

akad adalah boleh dan hukum multi akad diqiyaskan dengan hukum akad-

akad yang membangunnya, harus memperhatikan ketentuanketentuan


89
Ibn Qudâmah, Al-Mughny, j. 6, h. 332 dan Kasyâf al-Qanâ, j. 3, h. 181
90
Ibn Taimiyah, Nazhariyat al-‘aqd, h. 227
91
Al-Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, h. 74-75

59
agama yang membatasinya. Artinya, meskipun multi akad diperbolehkan,

ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi

rambu bagi multi akad agar tidak terjerumus kepada praktik muamalah

yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana dijelaskan pada bagian

sebelumnya adalah garis batas bagi praktik multi akad yang tidak boleh

dilewati.

4. Batasan dan standar multi akad

Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti

membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh

dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi

dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan

diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama

adalah sebagai berikut:

a) Multi akad dilarang karena nash agama

Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad

yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman,

dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam

satu transaksi. Dalam sebuah hadist disebutkan: “Dari Abu Hurairah,

Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman.” (HR. Ahmad)

Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya

diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak

jelas, maka hukum dari akad itu dilarang. Imam al-Syafi’i memberi

contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus,

dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka

60
sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus

atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena

seratus yang diterima adalah pinjaman (ariyah). Sehingga penggunaan

manfaat dari seratus tidak jelas apakah dari jual beli atau pinjaman.

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara

akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua

akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan

menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari

terjerumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena

seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang

bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu

dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu.

Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.

Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan,

ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan

qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual

beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi,

seperti antara ijarah dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan

sebagainya.

Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun

menurut al-‘Imrani tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad

ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada

tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang

memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu

61
kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam

rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh.

Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad

jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu

Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual

beli.” (HR. Malik)

b) Multi akad sebagai hilah ribawi

Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui

kesepakatan jual beli inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.

a) Al-inah

Contoh inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan

harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya

kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai.

Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya

merupakan hilah riba dalam pinjaman (qardh), karena objek akad

semu dan tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan

manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan

dalam transaksi ini.

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang

yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya

kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang

menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hilah atau lainnya.

Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang

mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan

62
harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba

nasa’, bukan bertujuan pada harga dan barang.

Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga

diaramkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga

delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan

harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan

adanya riba.

b) Hilah riba fadhl

Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2

kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp

10.000) dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama (Rp

10.000) harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi

sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau

lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah

model hilah riba fadhl yang diharamkan.

Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada

zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi

kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah

dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti

ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual

kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula

ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga

sendiri.

63
Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual

beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah

menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri

sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak

saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan

lainnya.

c) Multi akad menyebabkan jatuh ke riba

Multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba,

hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah

boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh

namun membawanya kepada yang dilalang menyebabkan hukumnya

menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:

1) Multi akad antara akad salaf dan jual beli

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi

akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena

upaya mencegah (dzari’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa

transaksi ribawi.

Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya

penghimpunan akad jual beli (mu’awadhah) dengan pinjaman

(qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi

secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana

untuk melakukan qardh yang mengandung riba.

2) Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman

(muqridh)

64
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan

persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti

contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta

kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima

pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada

pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas

obyek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang

karena mengandung unsur riba.

Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai

hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh

orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan

sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur riba

di dalamnya.

d) Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling

bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-

akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya

saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas

larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini

mengandung hukum yang berbeda.

Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan

upaya perhitungan untung rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial

yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta

tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari

65
akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan

ju’alah, sharf, musaqah, syirkah, qiradh.

Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas Ulama

non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan

perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan

akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad

jenis ini adalah pendapat yang unggul.

Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang

berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya

kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek

dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda.

Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu

dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhadah) inilah

yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.

5. Model Multi Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah

Dalam prakteknya, ada beberapa contoh penerapan model multi akad

dalam lembaga keuangan syariah seperti musyarakah mutanaqishah,

ijarah muntahiya bittamlik, dan bai’ al-wafa. Akad musyarakah

mutanaqishah, ijarah muntahiya bi tamlik sudah banyak diterapkan dalam

lembaga keuangan syariah. Namun akad bai’ alwafa masih sangat jarang

ditemukan penerapannya pada lembaga keuangan syariah.

a) Musyarakah Mutanaqishah

Menurut fatwa DSN MUI no.73 tahun 2008, diberlakukan adanya

akad turunan dari musyarakah, yakni akad musyarakah

66
mutanaqishah. Musyarakah mutanaqishah yang dikenal dengan istilah

MMQ adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk

kepemilikan suatu barang atau aset. Dimana kerjasama ini akan

mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang

lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini

melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain.

Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak

kepada pihak lain.92

Produk Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) telah diterapkan oleh

beberapa bank syariah yang meliputi Bank Umum Syariah (BUS) dan

Unit Usaha Syariah (UUS) dalam rangka memenuhi kebutuhan

masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui pembiayaan

berbasis kemitraan bagi hasil antara pihak nasabah dan Bank yang

pada akhir perjanjian seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi

milik Nasabah. Pengalihan kepemilikan aset tersebut melalui cara

nasabah mengambil alih porsi modal (hishshah) dari Bank secara

angsuran berdasarkan suatu metode pembayaran tertentu selama

jangka waktu kontrak yang disepakati bersama. Produk Musyarakah

Mutanaqishah dapat dilakukan untuk tujuan pembiayaan kepemilikan

aset seperti rumah maupun kendaraan baik baru maupun lama.

Struktur produk berbasis akad Musyarakah Mutanaqishah dibuat

92
Putri Kamilatur Rohmi, Implementasi Musyarakah Mutanaqishah pada Pembiayaan
Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Jurnal Iqtishoduna Vol. 5 No.1: 2015, h. 19

67
secara multi akad (hybrid) yang selain akad Musyarakah terdiri atas

akad ijarah (leasing).93

b) Ijarah Muntahiya bi Tamlik

Ijarah Muntahiya bi Tamlik adalah perpaduan antara kontrak jual

beli dan sewa, lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan

kepemilikan barang di tangan si penyewa. Fatwa Dewan Syariah

Nasional tentang Ijarah Muntahiya bi Tamlik sebagaimana tertuang

dalam fatwanya Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 mendefinisikan akad

ini adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak

guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi

sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada pihak

penyewa.94

Dalam prakteknya, akad Ijarah Muntahiya bi Tamlik digunakan

oleh perbankan syariah untuk pembiayaan KPR (Kredit Kepemilikan

Rumah). Berdasarkan skim ijarah ini, bank syariah menyewakan

rumah, sebagai objek akad, kepada nasabah. Meskipun pada

prinsipnya tidak terjadi pemindahan kepemilikan (hanya pemanfaatan

rumah), tetapi pada akhir masa sewa bank dapat menjual atau

menghibahkan rumah yang disewakannya kepada nasabah.95

c) Ba’i al – Wafa

Secara kebahasaan, bai’ berarti jual beli dan al-wafa berarti

pelunasan hutang. Secara terminologis, bai’ al-wafa berarti jual beli

93
Otoritas Jasa Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah, 2016, h. 115
94
Ali Syukron, Implementasi Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT) di Perbankan Syariah, Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.2, No. 2: 2012, h. 79
95
Ibid

68
bersyarat yang mana barang yang dijual dapat ditebus kembali jika

tenggang waktunya tiba. Jual beli dalam ba’i al-wafa biasanya

mengenai barang yang tak bergerak seperti tanah dan rumah. Akad

ba’i al-wafa telah ditegaskan sebagai jual beli, maka dengan bebas

pembeli memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak

boleh menjual barang tersebut kepada orang lain kecuali kepada

penjual semula, karena jaminan yang berada di tangan pemberi hutang

merupakan jaminan hutang selama tenggang waktu yang disepakati

tersebut. Apabila pihak yang berhutang telah mempunyai uang untuk

melunasi hutangnya sebesar harga jual semula pada saat tenggang

waktu jatuh tempo, barang tersebut harus diserahkan kembali kepada

penjual.

69
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa perbankan di

Indonesia telah mempunya legalisasi hukum dalam melaksanakan kegiatan

transaksi baik berupa pengumpulan dana, penyaluran dana atau produk

layanan jasa. Dan dalam menanggapi kebutuhan masyarakat maka perbankan

syariah dapat melaksanakan pengembangan akad yang kemudian di sebut

dengan hybrid contract diperbolehkan selama dalam pemberlakuan akad

tidak melanggar prinsip sunnah terkait peleburan akad agar nantinya dapat

menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di masa kini dan menjadi

pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Multi akad di antaranya yang sudah terealisasi di Indonesia adalah seperti

model musyarakah mutanaqishah, ijarah muntahiya bittamlik, dan bai’ al-

wafa, di mana produk-produk tersebut tidak menafikan akad sebelumnya

namun menjadi turunan dari akad atau trasaksi yang telah dilaksanakan

sebelumnya.

B. Saran

a.

70
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, dkk. 2019. Manajemen Bank. Surabaya: CV. Penerbit Qiara Media

A. Karim, Adiwarman. 2006. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Abdul Latif, Chefi. Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah di

Perbankan Syariah. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung

Djati Bandung.

Agama RI.

Ajeriyah. 2012. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Pesanan/Al-

Istishna’ di Malengkeri Raya Kelurahan Mangasa Kecamatan Tamalate

Kota Makassar. Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Ekonomi Islam

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Al-’Imrani, Abdullah . Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah.

Al-Bukhari. 1992. Sahih al-Bukhari juz IV. Beirut: Dal-Kutub al-Ilmiyyah.

Ali, Zaenudin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafik.

Al-Kasani. al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qardhawi, Yusuf. 1995. Ijtihad Kontemporer, diterjemahkan oleh Abu

Barzani. Surabaya: Risalah Gusti.

Amin Isfandiar, Ali. 2013. Analisis Fiqh Muamalah tentang Hybrid contract

Model dan Penerapannya pada Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal

Penelitian, Volume. 10. No. 2

Andrianto, dkk. 2019. Manajemen Bank. Surabaya: CV. Penerbit Qiara Media

71
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Aryanti, Yosi. 2016. Multi Akad (Al-Uqud Al-Murakkabah) di Perbankan Syariah

Perspektif Fiqh Muamalah, Jurnal Ilmiah Syariah Volume. 15, No. 2.

Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Rajawali Pers.

Azam Al Hadi, Abu. 2017. Fikih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus : Dar al-

Fikr.

Cahyono, Yeni. Analisis Akad Jual beli As-Salam pada Perbankan Syari’ah.

2014. Program Pascasarjana Program Studi Ekonomi Syari’ah Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo.

Chairi, Zulfi. 2005. Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10

Tahun 1998. e-usu Repository.

Departemen Agama. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Mahkota

Surabaya.

Devita Purnamasari, Irma. 2001. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-

Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah.

Bandung: PT Mizan Pustaka

Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah

Otoritas Jasa Keuangan. 2016. Standar Produk Perbankan

SyariahMusyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah.

Djuwaini, Dimyauddin .2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

72
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Fartiani, Rini. 2018. Bentuk-Bentuk Produk Bank Konvensional ddan Bank

Syariah di Indonesia. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Riau.

Hajar, Siti. 2019. Analisis Penerapan Akad Ba’i Al - Istishna’ Dan Akad Qardh

dalam Kepemilikan Rumah pada Developer D’ahsana Property Syariah

Mojokerto. Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel.

Hammad, Nazih. al-uqud al-murakkabah fi fiqhul Islam,

https://www.feqhweb.com

Haris Simal, Abdul. Pelaksanaan Jual Beli Dengan Menggunakan Akad As-

Salam ditinjau dari Prinsip Tabadul Al-Manaf. 2019. Hukum Ekonomi

Syariah Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Harun, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Hasanah, Uswah. Bay' Al-Salam dan Bay' Al-Istisna' (Kajian Terhadap Produk

Perekonomian Islam). 2018. Fakultas Agama Islam Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara.

Hasanuddin. 2008. Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer.

Imaduddin Abdulrahim, Muhammad. 1999. Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja

dalam Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, oleh Firdaus Effendi. Jakarta:

Nusa Madani.

73
Irawan, dkk. Konsep Ba’i Salam dan Implementasiya dalam Mewujudkan

Ketahanan Pangan Nasional. 2020. Ekonomi Islam, Pascasarjana UIN

Sunan Gunung Djati Bandung.

Iska, Syukri. 2012. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif

Fikih Ekonomi. Yogyakarta: Fajar Media Press.

Ismail. 2012. Perbankan Syariah. Jakarta: Prenamedia Grup.

Izzan, Ahmad. 2006. Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’ân Yang

Berdimensi Ekonomi Bandung: Rosda karya.

Kamilatur Rohmi, Putri. 2015. Implementasi Musyarakah Mutanaqishah pada

Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Jurnal

Iqtishoduna Vol. 5 No.1.

Karim, Adiwarman A. 2007. Bank Islam: Analisa Fikih dan Keuangan. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada

Maksum, Muhammad. 2012. Peran Fatwa DSN Dalam Menjawab Perkembangan

Produk Keuangan Syariah” dalam Ebook Fatwa MUI dalam Perspektif

Hukum dan Perundang-undangan. Jakarta: Puslitbang Lektur dan

Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Maksum, Muhammad. 2014. Model-Model Kontrak dalam Produk Keuangan

Syariah. Jurnal Al‘Adalah, Volume. XII, No. 1.

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Prenamedia

Grup.

Marimin, Agus dkk. 2015. Perkembangan Bank Syariah di Inonesia. Jurnal

Ilmiah Ekonomi Islam –Vol 01, No. 02.

74
Maulana, Hasanudin. 2011 “Multi akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer

pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia,” Jurnal Al-Iqtishad

Volume. III, No. 1.

Mingka, Agustianto. 2014. Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Fikih Muamalah

KeIndonesiaan “Upaya Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan

Syariah”. Jakarta: Iqtishad Publishing

Muhammad bin Abi `Abbas, Syamsuddin. 1984. Nihayatu Al Muhtaj Ila Syarah

Al Minhaj Jilid 4. Dar Al Fikr Beirut Libanon

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd al-Qurtubi. Bidayat al-

Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr.

Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Muhammad. 2006. Al-uqud al-maliyah al-Murakkabah. Dirasah fiqhiyyah Ta

‘siliyyah wa Thahbiqiyyah. Riyadh: Dar Kunuz Esbhellia.

Muklis dkk. Pengaruh Produk Jasa Gadai (Rahn) dengan Akad Qard dan Ijarah

terhadap Kepeminatan Masyarakat untuk Berbank di Bank Syariah

Mandiri. Islaminomic Jurnal Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah

Muslim. Al-iman, bab qauluhu Saw. Man Ghasysyana fa laisa minna. No. 102.

N. Haroen. 2000. Fiqh muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Najamuddin. 2013. Al-Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah.

Jurnal Syariah Volume. II, No. II.

Nawad Haidar Naqvi, Syed. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Otoritas Jasa Keuangan. 2016. Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah

dan Musyarakah Mutanaqishah.

75
Pradnya Danur Dara, Anindita. Analisis Implementasi Produk Pembiayaan

Murabahah Segmen Consumer di Bank Syariah (Studi Kasus Bank

Syariah Mandiri Kantor Cabang Banyuwangi. 2020. Jurusan Ilmu

Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

Qudama, Ibnu. al-Mugni, Jilid V. Riyadh al-Haditsah.

Rahman al-Jaziriy, Abdur. 1996. Kitab al-Fiqh 'Ala Mazahib al-Arba'ah. Beirut:

Dar al-Fikr

Rastono. 2008. Penerapan Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan terhadap

Nasabah Bank Syariah. Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro Semarang.

Remy Syahdeini, Sutan. 1999. Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata

Hukum Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Sabiq, Sayyid. 1995. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12, Alma;Arif,

Bandung.

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki

Bandung: PT al Ma’arif.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 12

Saeed, Abdullah. 2004. Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan

Interpretasi Kontemporer, Yogyakara: Pustaka Pelajar.

Saprida. Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. 2016. Vol. 4 No. 1 (2016), pp.

121-130, https://www.academia.edu/31855597 (diakses 17 Maret 2021).

Soetopo, Kartika, dkk. Analisis Implementasi Prinsip Bagi Hasil, Risiko dan

Penanganan Pembiayaan Bermasalah terhadap Pembiayaan

76
Musyarakah dan Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus: Bank Syariah

Mandiri KC Manado).

Subagiyo, Rokhmat. Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn). IAIN

Tulungagung.

Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:

Ekonisia.

Suharso dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux. Semarang: CV Widya

Karya.

Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta,

Gema Insani Press.

Syafi’i Antonio, Muhammad. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.

Jakarta: Pustaka Alfabeta.

Syarbini Al Khatib, Muhammad. 1958. Mugni Al Muhtaj Ila Ma`rifah Ma`ani

Alfazh Al Minhaj, Jilid 2. Mesir

Syukron, Ali. 2012. Implementasi Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT) di

Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.2, No. 2.

Tehuayo, Rosita. 2018. Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Sistem Perbankan

Syariah. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon.

Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Trimulato, Analisis Potensi Produk Musyarakah terhadap Pembiayaan Sektor

Riil UMKM. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 18, Nomor

1, April 2017, DOI: 10.18196/jesp.18.1.3830. Universtias Muhammadiyah

Parepare (Diakses 19 Maret 2021).

77
Trisna Taufik Darmawansyah dan Miko Polindi. Akad As-Salam dalam Sistem

Jual Beli Online. 2020. Jurnal Aghinya STIESNU Bengkulu Volume 3

Nomor 1 , E-ISSN 2621-8348. (diakses 16 Maret 2021)

Triyono, Budi. Penerapan Fatwa DSN MUI NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Murabahah Dd BPRS Sukowati Sragen Cabang Grobogan. 2017. Jurusan

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Walisongo Semarang.

Utama, Chandra. 2009. Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah.

Jurnal Volume 13, Nomor 2. Fakultas Ekonomi Universitas Khatolik

Parahyangan.

Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,

Yogyakarta: Pustaka Profresif.

Werson Munawwir, Ahmad. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab–Indonesia

Terlengkap. Surabaya : Pustaka Progresif.

Wibowo, Edy dkk. 2005. Mengapa Memilih Bank Syariah?. Bogor: Ghia

Indonesia.

Wiroso. 2005. Jual-beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press

Wiroso. 2011. Produk Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti

Zuhaili dan Kattani, 2010. Fiqih Islam Wa adillatuhu. Gema Insani.

78

Anda mungkin juga menyukai