Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN EPISTIMOLOGI TERHADAP HUKUM ISLAM I

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Dr. H. Sabilal Rosyad, M.S.I.

Disusun Oleh :

1. Yova Vanesa (1120045)


2. M. Zidni Nurol Ulum (1120050)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan pada kami untuk menikmati keindahan
di dunia ini, tentunya dengan nikmat dan karunia-Nya, kami selaku mahasiswa
yang mengemban tugas dalam bentuk makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik menurut pandangan kami.

Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar kita Nabi
Muhammad SAW, sahabat serta keluarganya yang telah membawa kita dari
zaman jahiliyah yang penuh dengan kebodohan ke zaman yang terang benderang
seperti sekarang ini.

Dan tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Sabilal
Rosyad, M.S.I. selaku dosen pengampu pada mata kuliah “Filsafat Hukum
Islam” ini yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada kami, serta
do’a dan dukungan dari teman-teman sehingga makalah yang berjudul “Kajian
Epistimologi Terhadap Hukum Islam I” dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.

Semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi yang positif dalam


kegiatan belajar mengajar. Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
sarannya untuk memperbaiki makalah kami agar lebih baik lagi di kemudian
hari. Setidaknya mendekati kata sempurna. Terima kasih.

Pekalongan, 6 September 2022

Penyusun

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
KAJIAN EPISTIMOLOGI TERHADAP HUKUM ISLAM I .......................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I ..................................................................................................................... iv

PENDAHULUAN ................................................................................................. iv

A. Latar Belakang ............................................................................................ iv

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ v

C. Tujuan .......................................................................................................... v

BAB II .................................................................................................................... 1

PEMBAHASAN .................................................................................................... 1

A. Pengertian Epistimologi Hukum Islam ........................................................ 1

B. Pengertian Sumber Hukum Islam ................................................................ 2

C. Sumber-Sumber Hukum Islam yang disepakati Fuqaha .............................. 2

D. Epistemologi Untuk Membangun Hukum Islam ......................................... 5

BAB III ................................................................................................................. 10

PENUTUP ............................................................................................................ 10

A. Kesimpulan ................................................................................................ 10

B. Saran ........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun bertujuan mengendalikan
masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan guna melindungi hak-
hak individu maupun sosial. Sistem hukum dalam setiap masyarakat
memiliki sifat karakter dan ruang lingkupnya sendiri, demikian juga halnya
dengan hukum Islam. Agama ( Islam) ini juga merniliki sistem hukum
sendiri yang dikenal dengan fiqih (hukum Islam). Fiqih bukanlah hukum
murni dalam pengertiannya yang sempit, akan tetapi ia mencakup seluruh
bidang kehidupan, baik etika, keagamaan, politik maupun ekonomi.

Hukum Islam adalah kaidah, asas, prinsip atau aturan yang digunakan
untuk mengendahkan masyarakat, baik berupa ayat Al-Qur’an, hadits Nabi
SAW, pendapat sahabat dan tabi’in, maupun pendapat yang berkembang di
suatu masa dalam kehidupan umat Islam.

Dengan karakteristiknya yang serba mencakup inilah, yang


menempatkannya pada posisi penting dalam pandangan umat Islam.
Bahkan sejak awalnya, hukum Islam sudah dianggap sebagai pengetahuan
par excellence suatu posisi yang belum pemah dicapai teologi. Itulah
sebabnya, ada ungkapan: “adalah mustahil memahami Islam tanpa
memahami hukum Islam”.

Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman


dalam pelaksanannya. Sumber hukum Islam adalah hukum yng di berikan
oleh Allah untuk hamba- hambanya yang di bawa oleh Nabi Muhammad,
baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah), maupun
hukum- hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).

Sumber hukum Islam sendiri terdiri dari al-Qur’an yang menduduki


sebagai sumber hukum utama, dan hadits sebagai sumber hukum kedua.
Ijma’ qiyas dan ijtihad sebagai sumber hukum ketiga dalam Islam.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Epistimologi Hukum Islam?
2. Apa Pengertian Sumber Hukum Islam ?
3. Apa Saja Sumber-Sumber Hukum Islam Yang Disepakati Para
Fuqaha ?
4. Bagaimana Epistimologi Untuk Membangun Hukum Islam?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Pengertian Epistimologi Hukum
Islam?
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Pengertian Sumber Hukum Islam ?
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Sumber-Sumber Hukum Islam
Yang Disepakati Para Fuqaha ?
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Epistimologi Untuk Membangun
Hukum Islam?

v
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistimologi Hukum Islam
Istilah “Epistemologi” dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
"theory of knowledge". Epistemologi berasal dari kata “epistem” dan “logos”.
Epistem berarti ilmu pengetahuan dan logos berarti teori. Sehingga
epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang mengkaji secara mendalam
dan radikal asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas
pengetahuan.1
Sedangkan hukum Islam (Fiqih Islam), para ulama fuqaha memberikan
definisi atau batasannya, yakni:

ِ ‫ب ِم ْن أَدِلَّتِ َها اْلت َ ْف‬


‫ص ِليَّ ِة‬ َ َ ‫ش ْر ِعيَّ ِة ْال َع َم ِليَّة اْل َم ْكت‬
ِ ‫س‬ َّ ‫ا َ ْل ِع ْل ُم ِباْأل َ ْح َك ِم ال‬
Artinya: “Ilmu pegetahuan hukum syara’ yang praktis diambil dari dalil-
dalil (sumber- sumber)nya yang terinci.”2
Jadi fiqih sebenarnya upaya manusiawi atau produk ijtihad, yang
melibatkan proses penalaran, baik dalam tataran teoritis maupun praktis,
dalam memahami menjabarkan dan mengkolaborasikan hukum hukum
agama. Bahasa singkatnya adalah “fiqih adalah refleksi dari syari’at”, karena
sifatnya reflektif, diperlukan kemampuan kognitif guna menjabarkan teks-
teks agama yang “ideales” ke dalam realitas sosial empiric dan inilah urgensi
ijtihad, karena fiqih timbul dari hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat
tertentu yang mengatur pencapaian produkproduk fiqih yang dikenal dengan
Ushul Fiqih (legal theory) dan Qawa‘id Fiqhiyah (legal maxim). Dengan
demikian epistemology hukum Islam itu adalah bagaimana caranya
mengetahui atau menangkap pesan yang ada dibalik suatu dalil yang sesuai
dengan pedoman hukum Islam.

1
Ashk Dahlen, Epistemology and Modernity: Legal Philosophy in Contemporary Iran,
Islamic Law (Routledge, 2004).
2
Anwar Hafidzi and Norwahdah Rezky Amalia, “Marriage Problems Because of Disgrace
(Study of Book Fiqh Islam Wa Adilâtuh and Kitâb al-Nikâh),” AL-IHKAM: Jurnal Hukum &
Pranata Sosial 13, No. 2 (2018), hlm. 273–290.

1
B. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber atau dalam bahasa Arab disebut masadir adalah wadah yang
darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian usul
fiqh dikenal dengan istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya
rujukan utama dalam menetapkan hukum syara’.3
Secara terminologi sumber adalah berangkat dari asalnya (pokok) yang
dimaksud sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi kata
sumber berlaku pada al-Qur’an dan al-Hadits, karena dari keduanyalah bisa
digali normanorma hukum. Sedangkan ijma’, qiyas, istihsan, istishlah,
istishhab, istidlal, dan mashalih al-mursalah tidak termasuk kepada kategori
sumber hukum Islam. Kesemuanya itu termasuk dalil hukum. Dengan
menggunakan istilah-istilah tersebut tentunya dapat ditemukan hukum-
hukum Islam.4

C. Sumber-Sumber Hukum Islam yang disepakati Fuqaha


Sumber hukum yang disepakati para fuqaha antara lain:

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir melalui malaikat Jibril dari
mulai surat AlFatihah diakhiri surat An-Nas dan membacanya
merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan sumber fi lsafat hukum Islam
yang abadi dan asli, dan merupakan sumber serta rujukan yang pertama
bagi syari’at Islam, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang
bersifat global beserta rinciannya.
Para ulama fiqh maupun ushul fiqh membagi ayat Al-Qur’an
kedalam dua jenis, yaitu ayat hukum dan ayat non hukum. Ayat hukum
adalah ayat ayat yang isinya mengandung ketetapan hukum dan dapat
menjadi dalil fiqh. Ayat ayat hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi lagi
dalam dua kategori dasar yaitu :

3
Moh. Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: PT. Liventurido, 2020), hlm.
61.
4
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.
82.

2
a. Hukum yang mengatur hubungan antara Allah dengan manusia.
Aturan aturan ini mengenai masalah ibadah.
b. Hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Hukum
dalam kategori ini dapat dibagi dalam empat macam, yaitu :
1) Hukum yang menjamin dan melindungi penyebaran Islam,
mencakup aturan aturan tentang jihad.
2) Hukum keluarga, yang bertujuan untuk membina dan
melindungi struktur keluarga.
3) Hukum perdagangan, yang mengatur masalah transaksi bisnis,
kontrak atau akad, dan sebagainya.
4) Hukum kriminal, yang mencakup permasalahan pelanggaran
keamanan dan ketertiban publik, seperti qiyas, hudud, dan
ta’zir.5
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun takrirnya. As-
Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, dasar
pokok as-Sunnah sebagai sumber hukum, sebagaimana firman Allah
surat anNisa [4] ayat 59:

‫س ْو َل‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا ا َ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya”.
Sunnah dari segi materi dan esensinya terbagi kepada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah Quliyah
Sunnah qouliyah adalah ucapan/perkataan Nabi SAW. yang
didengar oleh para sahabatnya yang kemudian ucapan ini dijadikan
sebagai hukum untuk dilaksanakan. Seperti ucapan (hadits Nabi
SAW.), yang artinya: “Berpuasalah karena melihat tanggal (satu
ramadhan) dan berbukalah (lebaran) karena melihat tanggal (satu
Syawal)”
b. Sunnah Fi’liyah

5
Suparman Usman dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015),
hlm. 29-30.

3
Sunnah fi’liyah yaitu semua perbuatan Rasul. Kecuali
perbuatan-perbuatan Nabi yang bersifat pribadi atau khusus untuk
Nabi tidak wajib ditaati kecuali ada penjelasan berupa hadits.
Seperti: “Lakukanlah shalat persis sebagaimana kalian melihatku
mengerjakan shalat”.
c. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah yaitu penetapan dan pengakuan Nabi
terhadap pernyataan dan perbuatan orang lain (membiarkan/Nabi
tidak melarang atau memerintahkannya).
3. Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata Ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang
berarti mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu
yang sulit.
Secara terminology sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad
Abu Zahrah, “Ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan ahli fiqh
dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal
perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu per satu).
Menurut sebagian ulama ushul fiqh sebagai dikutip oleh Abu Zahrah
bahwa Ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan
kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istinbat
(penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”.
Posisi ijtihad memilki dasar yang kuat dalam ajaran hukum Islam.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk
berijtihad, baik diungkapan secara isyarat maupun secara jelas.6

Di kalangan ulama’ fiqih, ijtihad dapat mengambil berbagai


bentuk. Keragaman model ijtihad itu di kalangan ulama’ telah
terepresentasikan, misalnya, dalam hal perbedaan pendapat dari empat
madzhab fikih mengenai sumber-sumber ajaran Islam. Bentuk-bentuk
ijtihad itu dapat berupa ijma’ ulama’ (kesepakatan para ulama’), qiyas
(analogi), al-mashlahat al-mursalah (kemaslahatan ummat), ‘urf (tradisi

6
Suparman Usman dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Laksita Indonesia,
2015), hlm. 30-31.

4
yang sudah berlangsung), istihsan (sesuatu yang dianggap baik), qaul
as-shahabat (pendapat para sahabat), syar’u man qablana (agama
sebelum Islam), dan sadd ad-dzari’ah (menolak keburukan).7 Agak
sedikit berlainan, Imam Syaukani menyebutkan metode ijtihad dengan
memberikan rincian sebagai berikut ini: ijma’, qiyas, istishab, istihsan,
istishlah, sadd ad-dzari’ah dan ‘urf.8 Sementara itu Abdullah Ahmed an-
Na’im menyebut ijma’ dan qiyas sebagai tehnik ijtihad,9 dan tehnik lain
yang merupakan tambahan adalah: istihsan, istislah atau maslahah,
istishab, darurah dan ‘urf.10
Ijtihad ditinjau dari segi jumlah pelakunya, maka akan terbagi
menjadi dua ketegori yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jama’i. Menurut al-
Thayyibi Khuderi al-Sayyid, adapun yang di maksud dengan ijtihad
fardhi yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa
mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid
besr; Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
bin Hambal. Sedangkan ijtihad jama’i merupakan apa yang dikenal
dengan ijma’ di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para
mujtahid dari ummat Rasululllah setelah beliau wafat dalam menjawab
masalah-masalah hukum tertentu11

D. Epistemologi Untuk Membangun Hukum Islam


Membahas tentang epistemologi hukum Islam, maka akan timbul
pertanyaan, bagaimanakah cara untuk membangun hukum Islam itu? maka
menjawab untuk pertanyaan ini, dapat dilakukan dengan cara
mengembangkan teori-teori atau kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalilnya, dengan merevisi teori yang telah

7
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif , (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 43
8
Syaukani, “Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia”, hlm. 42-56.
9
Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terjemah Ahmad Suaedy dan
Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 54.
10
An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, hlm. 50.
11
Satria Efendi, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hlm. 258

5
ada, memahamai teori lama dan atau membuat teori yang barn. Teori
dimaksud adalah yang dikenal dengan ushul fiqih.12
Ushul fiqih merupakan metodologi istinbath hukum sekaligus berfungsi
sebagai pengukur terhadap derajat kebenaran istinbath. Sebagai metode,
ushul fiqih berperan dalam menentukan prosedur istinbath hukum, dengan
metode ini kemungkinan fiqih disusun dan dikembangkan.13
Dengan demikian sangat jelas bahwa ushul fiqih merupakan suatu ilmu
yang berisikan tentang kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistinbathkan
hukum dari dari dalil-dalilnya. Melalui ushul fiqih, mujtahid mampu
mengistinbathkan hukum Islam dari sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara benar. Melalui dalil-dalil yang ada dalam kajian ushul
fiqih, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan ‘uruf dapat dijadikan landasan
menetapkan persoalan yang hukumnya tidak dijelaskan secara langsung oleh
nash. Bahkan dengan ilmu ini dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan
dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain.
Dalam ushul fiqih, seperti diungkapkan Syatibi, seorang ulama besar
Islam asal Spanyol, dibicarakan tentang siapa yang membuat hukum dalam
syari’at Islam. Para ulama sepakat menyatakan Allah sebagai pihak yang
berwenang membuat hukum. Dalam konteks ini Allah disebut syari’, yaitu
yang membuat syari’at, menentukan, memunculkan dan sebagai sumber
hukum. Ini sejalan dengan pengertian hukum yang dikemukakan oleh ulama
ushul, yaitu Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam
bentuk: tuntutan, pilihan berbuat atau tidak; atau dalam bentuk ketentuan-
ketentuan”.14
Atas dasar ini, tidak ada syariat dalam Islam kecuali bersumber pada
Allah, baik yang berkaitan dengan hukum taklifi (wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah) maupun hukum wadh’i (sebab, syarat, mani, sah, batal,

12
Sarmiji, Peranan Epistimologi Dalam Membangun Hukum Islam, “Jurnal of Islamic Law
and Studies 4, No. 1 (2020), hlm 5.
13
Akmaludin Sya’bani, “Maqasid Al-Syari’ah Sebagai Metode Ijtihad,” El-Hikam 8, No. 1
(2015), hlm. 127–142.
14
Sya’bani. Anwar Hafidzi and Eka Hayatunnisa, “Kriteria Poligami Serta Dampaknya
Melalui Pendekatan Alla Tuqsitu Fi Al-Yatama Dalam Kitab Fikih Islam Wa Adillatuhu,” Syariah:
Jurnal Hukum dan Pemikiran 17, no. 1 (2017).

6
fasid, azimah dan rukhsah). Kedudukan Allah sebagai pembuat hukum dapat
diterima logika. Sebab, Allah yang menciptakan manusia di bumi ini dan dia
pula yang menetapkan aturan-aturan tentang kehidupan manusia, baik
menyangkut kepentingan hidup di dunia maupun di akhirat; baik aturan yang
menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia
dengan sesamanya. Allah pula yang menetapkan pahala bagi orang-orang
yang melakukan aktivitas sesuai dengan aturanaturan-Nya dan menentukan
dosa serta sanksi bagi pelanggar-Nya . Sebagaimana Allah berfirman dalam
surah Al-An’am ayat 57 :

ِ ْ‫ص اْل َح َّق َو ُه َو َخي ُْر ا‬


َ‫لفص ِليْن‬ ُّ ُ‫ِإ ِن اْل ُح ْك ُم إالَّ هلل يَق‬
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Dalam kaitan dengan syari’at, Nabi Muhammad SAW. berfungsi
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkap hukum melalui
wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. kepadanya lewat perantaraan
Malaikat Jibril AS atau haditst yang disampaikannya. Setelah Nabi SAW.
wafat dan Al-Qur’an sempurna diturunkan, peranan Nabi sebagai pihak yang
menemukan dan menyingkap hukum Islam diteruskan oleh ulama mujtahid
melalui pemahaman terhadap dalil-dalil dan tanda-tanda yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka melakukan ijtihad, memahami kedua
sumber ini dengan menggunakan berbagai metode istinbath hukum.
Para mujtahid berupaya mengetahui Maqasid al-Syar‘i yang terdapat
pada kedua sumber Islam itu. Mereka menyadari dengan mengetahui Maqasid
al-Syar’i akan membantu mereka menetapkan dan membangun hukum sesuai
kehendak syari’.15 Bahkan membuka peluang untuk mengembangkan hukum
Islam agar tetap aktual, mampu menjawab tantangan zaman dan dinamika
perkembangan umat Islam setiap masa. Misalnya, ketika para mujtahid
hendak menyelesaikan persoalan-persoalan yang secara tekstual tidak
disebutkan di dalam nash, seperti perbankan, transplantasi organ tubuh, bayi
tabung, kloning, dan segudang persoalan kontemporer lainnya yang

Musa Aripin, Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, and A. Pengertian, “Eksistensi Urf
15

Dalam Kompilasi Hukum Islam,” Jurnal Al-Maqasid 2, No. 1 (2016).

7
memerlukan kejelasan atau kepastian status hukum. Kalau tidak direspons,
maka hukum Islam dikatakan ketinggalan, dan nantinya dikatakan ada satu
masalah yang mauquf dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf,
maka hukumnya dosa bagi ahli fiqih (mujtahid).
Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip
maqasid al-syar’iyah serta memperhatikan kaidahkaidah hukum yang bersifat
nilai atau legal value. Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran,
kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap
masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah.16
Pendekatan etis yang berorientasi isoterik (sufistik) yang bermuara pada
maqasid al-Syari’ah meminjam istilah al-Syathibi, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari substansi tujuan fiqih (hukum Islam) diformulasikan.
Adapun kemaslahatan umum (manusia) haruslah mengacu pada prinsip
maqashid al-syari‘ah atau al-Kulliyat al-khamsah, yang meliputi lima hal,
yaitu :
1. Melindungi agama (hifzh al-din),
2. Melindungi jiwa dari keselamatan fisik (hifzh al-nafs),
3. Melindungi kelangsungan keturunan (hifzh al-nasl),
4. Melindungi akal pikiran (hifzh al- ‘aql),
5. Melindungi harta benda (hifzh al-mal).17
Rumusan linia maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak
mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan kepada Tuhan
dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak
secara langsung dapat dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,
maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi (kecuali yang bersifat
ubudiyah murni) hal ini disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai
bahan pertimbangan, karena hanya dengan menjaga stabilitas kemaslahatan
inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Demikian pentingnya penguasaan terhadap maqashid al-syar‘i, al-subki
menjadikan penguasaan terhadapnya secara komprehensif sebagai syarat

16
Sya’bani, “Maqasid Al-Syari’ah Sebagai Metode Ijtihad.”
17
Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid Al-Syari’ah Dalam Hukum Islam,” Majalah Ilmiah Sultan
Agung 44, No.118 (2020), hlm. 117–130.

8
menjadi mujtahid. Memperbincangkan maqashid alsyar’i berarti mengkaji
secara mendalam maksud syari’ (Allah pembuat hukum) dalam Al-Qur ’an
dan As-Sunnah. Maqashid al-syar’i tidak terbatas pada hikmah tasyri atau
dalam ibadah termasuk asrarul ibadah, melainkan meliputi kajian tentang
kehendak dari lafal Al-Qur’an dan As-Sunnah.18

18
Sarmiji, Peranan Epistimologi Dalam Membangun Hukum Islam, “Jurnal of Islamic Law
and Studies 4, No. 1 (2020), hlm 8.

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Islam memang tidak bisa dipisahkan dari syari' at Islam
yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena Al-Qur'an dan As-
Sunnah tidak membahas secara detail tentang semua persoalan, maka
dalam persoalan-persoalan yang tidak ada dasarnya itulah kerja ijtihad
menjadi suatu keniscayaan.
Kajian untuk membangun hukum Islam, selain menempatkan Al-
Qur'an dan As- Sunnah sebagai acuan utama, juga dikenal beberapa
metode istinbath atau ijtihad, seperti qiyas, ijma ', istihsan, maslahat
mursalah, 'urf dan lain-lain. Di samping itu juga memperhatikan dan
mempertimbangkan aliran-aliran pemikiran yang menggunakan metode
berbeda dalam menemukan maqashid al-Syari , yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, yang meliputi memelihara lirna hal pokok; agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan (kehormatan).
Dalam pada itu untuk membangun hukum Islam tentunya harus
berlandaskan prinsip- prinsip dasar yang menjadi dasar berpijak dalam
pengembangan hukurn Islam dirnaksud. Di antara prinsip-prinsip tersebut
adalah bersifat universal, keseirnbangan, dinamis, relevan, persamaan
keadilan, musyawarah, persaudaraan, toleransi dan sebagainya.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan dan kekurangan didalamnya. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik. Demikian
dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aripin, M. (2016). Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, and A. Pengertian,


“Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Al-Maqasid, 2.
Dahlen, A. (2004). Epistimology and Modernity: Legal Philosophy in
Contemporary Iran. Islamic Law.
Djamil, F. (1997). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hafidzi, A., & Amalia, N. R. (2018). Marriage Problems Because of Disgrace
(Study of Book Fiqh Islam Wa Adilâtuh and Kitab al-Nikah). Jurnal Hukum
& Pranata Sosial, 3.
Jauhari, M. A. (2020). Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT. Liventurido.
Sarmiji. (2020). Peranan Epistimologi Dalam Membangun Hukum Islam. Jurnal
Islamic of Law and Studies, 4.
Shidiq, G. (2020). Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam. Majalah
Ilmiah Sultan Agung, 44.
Sya'bani. (t.thn.). Maqasid Al-Syari'ah Sebagai Metode Ijtihad.
Sya'bani, A. (2015). Maqasid Al-Syari'ah Sebagai Metode Ijtihad. El-Hikam, 8.
Sya'bani, Hafidzi, A., & Hayatunnisa, E. (2017). Kriteria Poligami Serta
Dampaknya Melalui Pendekatan Alla Tuqsitu Fi Al-Yatama Dalam Kitab
Fikih Islam Wa Adillatuhu. Jurnal Hukum dan Pemikiran, 17.
Usman, S., & Itang. (2015). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Lakista Indonesia .

11

Anda mungkin juga menyukai