Anda di halaman 1dari 14

INSTUMEN DALAM FILSAFAT HUKUM ISLAM

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 2
Nama : Muhammad Asyraf
Muhammad Reza
Prodi : HES
Sem/Unit : 5/3
Dosen : Fajarwati, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


PERGURUAN TINGGI ISLAM
AL-HILAL SIGLI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Alah yang masih memberikan kesempatan kepada kami
untuk memecahkan masalah yang telah menjadi kewajiban kami dalam bentuk
makalah yang berjudul “INSTRUMEN DALAM FILSAFAT HUKUM ISLAM.”
Setelah ditinjau ternyata masih banyak yang belum mengetahui tentang pemahaman
ini. Maka kami akan mengupas semua permasalahan yang belum dimengerti
menjadi masalah yang tuntas dan dapat dipahami.
Terima kasih kepada Ibu Fajarwati, MA yang sudah memberikan
kesempatan kepada saya untuk membahas judul ini. Dan apabila ada kesalahan
maupun kesilapan, saya mohon maaf sebesar-besarnya.

Sigli, Oktober 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Pengertian/Sumber ......................................................................................... 3
B. Pengertian Syariah dan Fiqh ......................................................................... 4
C. Pengertian Tasyri’ dan Ciri-Cirinya ............................................................ 5
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 9
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Latar belakang filsafat hukum Islam adalah kompleks dan sangat dipengaruhi
oleh sejumlah faktor sejarah, budaya, dan agama. Untuk memberikan pemahaman
yang lebih detail, berikut adalah latar belakang yang lebih terperinci tentang
perkembangan filsafat hukum Islam:
Islam Sebagai Agama: Filsafat hukum Islam memiliki akar yang dalam dalam
agama Islam. Islam adalah agama monotheistik yang mendasarkan ajarannya pada
Al-Quran, kitab suci Islam, dan Hadis, catatan tentang perkataan dan tindakan Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran dan Hadis berisi prinsip-prinsip etika, moralitas, dan
hukum yang membentuk dasar pemikiran hukum Islam.
Konsep Syariah: Syariah adalah istilah yang mengacu pada hukum Islam dan
ajaran agama. Al-Quran dan Hadis merupakan dua sumber utama syariah. Prinsip-
prinsip syariah mencakup aspek-aspek seperti ibadah, moralitas, keadilan, dan
etika. Ini menjadi dasar bagi pemikiran filosofis dalam mengembangkan hukum
Islam.
Perkembangan Madzhab: Selama sejarah Islam, berbagai madzhab hukum
seperti Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi'i muncul. Masing-masing madzhab
memiliki metodologi dan interpretasi yang berbeda terhadap syariah. Madzhab-
madzhab ini memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat hukum Islam,
karena ulama dari berbagai madzhab membantu merumuskan pandangan-
pandangan filosofis tentang hukum.
Pengaruh Filsafat Yunani: Selama Abad Keemasan Islam (sekitar abad ke-8
hingga ke-13), banyak karya filsafat Yunani seperti karya-karya Aristoteles, Plato,
dan Sokrates diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ini memperkaya pemikiran
filsafat Islam dan membantu dalam memahami dan merumuskan konsep-konsep
filosofis tentang hukum.
Konteks Sosial dan Sejarah: Filsafat hukum Islam juga sangat dipengaruhi
oleh konteks sosial dan sejarah di mana perkembangannya terjadi. Perubahan dalam
pemerintahan, perang, perdagangan, dan perkembangan intelektual memengaruhi

1
pemikiran hukum Islam. Para pemikir hukum Islam sering kali harus merespons
isu-isu sosial dan politik dalam pemikiran filosofis mereka tentang hukum.
Pemikiran Ulama dan Filosof Islam: Berbagai pemikir ulama dan filosof
Islam seperti Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averroes), dan Ibnu
Taymiyyah, memiliki kontribusi signifikan dalam pengembangan filsafat hukum
Islam. Mereka merumuskan pandangan-pandangan filosofis tentang berbagai aspek
hukum Islam, termasuk hak asasi manusia, keadilan, dan etika.
Prinsip-Prinsip Hukum Islam: Filsafat hukum Islam berpusat pada prinsip-
prinsip hukum Islam seperti qiyas (analogi), ijma' (konsensus), ijtihad (pemikiran
hukum), istihsan (penyaringan hukum), dan maslahah (kemanfaatan). Prinsip-
prinsip ini membentuk dasar pemikiran filosofis dalam mengembangkan dan
menerapkan hukum Islam.
Latar belakang ini menggambarkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang perkembangan filsafat hukum Islam. Filsafat hukum Islam adalah usaha
untuk memahami, menginterpretasikan, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum
dalam kerangka syariah dan memecahkan masalah-masalah hukum yang
berkembang dalam berbagai konteks sosial dan sejarah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian/Sumber
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistem yang berarti pengetahuan
dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu, atau teori. Dengan demikian,
epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).
Sedangkan secara terminologi, epistemologi merupakan cabang filsafat yang
berkaitan dengan teori atau sumber pengetahuan, cara mendapatkannya, serta
tatacara menjadikan kebenaran menjadi sebuah pengetahuan serta bagaimana
pengetahuan itu diuji kebenarannya.1
Para ahli mengatakan ada tiga problematika yang dibahas dalam
epistemologi, yaitu a) sumber pengetahuan; b) metode untuk memperoleh
pengetahuan; dan c) validitas Pengetahuan. Maka ketika dikaitkan dengan hukum
Islam, epistemologi hukum Islam juga berbicara mengenai sumber hukum Islam,
metode penggalian hukum Islam, dan validitas hukum Islam.
Sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari maṣādir al-aḥkām oleh
ulama fikih dan usul fikih klasik; atau al-adillah al-syar’iyyah oleh ulama sekarang.
Yang diartikan sebuah wadah yang merupakan tempat penggalian norma-norma
hukum dan ini hanya berlaku pada Al-Qur’an dan Sunnah.2 Jadi, sumber hukum
Islam dapat dipahami sebagai asal atau tempat pengambilan hukum Islam.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril, sebagai hujjah
(argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai pedoman
hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat serta media ber-taqarrub kepada Allah dengan membacanya.
Dalam hukum Islam, Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum.
Tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin mengenai kedudukan al-Qur’an

1
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, cet ke-6 (Yogyakarta,
Kanisius, 2008), hlm. 18.
2
Fathurrrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1997), hlm. 80.

3
sebagai sumber utama dan pertama dalam hukum Islam. Bukti yang menyatakan
bahwa al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum yang utama danpokok adalah
al-Qur’an itu sendiri.
Dalam merumuskan semua hukum, jika menghendaki kemaslahatan dan
keselamatan harus berpedoman kepada al-Quran. Sebagai sumber, hukum dan
undang-undang yang dibuat manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah hukum
al-Qur’an. Dengan kesesuaian dan kesejiwaan dari produk penemuan hukum,
manusia akan memperoleh keselamatan dan kesejahteraannya.
b. Sunnah
Sunnah adalah suatu laporan mengena masa lalu, khususnya laporan seputar
Nabi, baik itu menyangkut perkataanya, perbuatannya, dan persetujuan diam yang
ditunjukinya (taqrīr). Selain al-Qur’an, Sunnah adalah salah satu sumber tempat
penggalian hukum Islam. Selain sebagai sumber hukum, al-Qur’an juga berfungsi
sebagai penguat terhadap teks, penjelas, penafsir, mengkhususkan, serta membuat
hukum baru, yang tidak ada dalam al-Qur’an.3

B. Pengertian Syariah dan Fiqh


1. Syari'ah
Secara leksikal, syarī’ah/syir’ah mempunyai makna jalan menuju ke mata
air (mā yusrau’ ilā al-māi’),4 yang mempunyai konotasi keselamatan. Sementara
dalam terminologi, kata syarī’ah dipakai dalam dua pengertian, yaitu dalam arti
luas dan dalam arti sempit.
Dalam pengertian luas syarī’ah sama dengan al-dīn yaitu keseluruhan
norma agama Islam yang meliputi aspek doktrinal (aqīdah) dan aspek praktis
(‘amaliyah).
Dengan pengertian ini, syariah adalah sebuah sistem normatif Islam yang
sangat komprehensif. Ia mencakup persoalan akidah, hukum, doktrin, ritual,
interaksi dan hubungan internasional.

3
Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), hlm. 37-39.
4
Ibnu Kaṡīr, Tafsīr Ibn Kaṡīr (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), II, hlm. 61

4
Sementara dalam arti sempit syariah hanya merujuk kepada aspek praktis
(‘amaliyah), tingkah laku konkret manusia saja.5 Dengan demikian, ketika
disebut “hukum Islam” maka yang dimaksud adalah syariah dalam arti sempit.
Syariah merupakan ketentuan-ketentuan universal yang terdapat dalam
teks (nash) al-Qur’an dan Sunah. Dengan demikian syariah adalah kewenangan
ilahi yang di dalamnya tidak ada intervensi manusia. Dari sini, yang membuat
syariah (syari’) adalah Allah SWT. yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad.
2. Fikih
Berbeda dengan syariah yang mutlak hanya kewenangan ilahi, maka fikih
mempunyai pengertian adanya intervensi nalar manusia di dalamnya. Secara
bahasa fikih adalah al-fahm, yakni pemahaman yang mendalam mengenai
sesuatu. Fikih adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut hukum Islam.
Sebagai sebuah istilah, fikih dipakai dalam dua arti: Pertama, fikih dalam arti
ilmu hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan jurisprudence. Fikih
ketika dimaknai sebagai ilmu hukum mempunyai pengertian sebagai cabang
studi yang mengkaji hukum Islam. Kedua, istilah fikih dipakai dalam arti hukum
itu sendiri, atau paralel dengan law dalam bahasa Inggris.6
Di sini, fikih dimaknai sebagai himpunan norma atau peraturan yang
mengatur tingkah laku konkret baik berasal dari al-Qur’an, Sunnah, maupun dari
hasil ijtihad ahli hukum Islam.
Intervensi manusia dalam fikih berwujud dalam nalar (akal) seorang
mujtahid. Artinya, ketika seorang mujtahid mendialogkan syariah dalam
pengertian sempit yang itu terdapat dalam teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah-- ke
dalam realitas yang hidup yang dihadapinya, maka hasil dari dialog itulah yang
disebut dengan fikih.

C. Pengertian Tasyri’ dan Ciri-Cirinya

5
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam Al-Mustasfa Min “Ilm Al-Usul Karya
Al- Gazzali [450-505 H / 1058-1111 M] (Yogyakarta: Disertasi, 2000), hlm 118-121.
6
Aḥmād Musṭafā az-Zarqā’, Al-Fiqh al-Islāmī fī Ṣaubihi al-Jadīd (Bairut: Dār al-Fikr, 1967),
I, hlm. 54-55.

5
Kata tasyri’ berasal dari bahasa Arab dalam bentuk mas}dar (verbal noun)
dari kata kerja syara’a yang berarti membuat syari’ah.7 Sedangkan secara istilah
Tasyri’ adalah Penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyusunan
perundang-undangan.
Dengan demikian, tasyri’ merupakan istilah teknis tentang proses
pembentukan fiqih atau peraturan perundang-undangan, karena dalam mengkaji
dasar-dasar fiqih yakni al-Qur’an dan Sunnah, tentunya kita akan mendalami proses
pembentukannya, disamping itu kajian tentang langkah-langkah ijtihad ‘ulama>’
pun menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Tasyri’ juga dikaitkan dengan fiqih yang secara bahasa berarti pengetahuan
dan pemahaman tentang sesuatu. Secara istilah fiqih diartikan sebagai pengetahuan
atau kumpulan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang
diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci. Jadi, fiqih adalah hukum yang berasal
dari hasil ijtihad para ‘ulama. Kemudian fatwa berarti nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Secara istilah fatwa berarti sebuah keputusan yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang ulama,
sebagai jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan kata lain fatwa merupakan
produk hukum sebagai jawaban dari pertanyaan terkini. Adapun yang dimaksud
dengan tasyri’ dalam penelitian ini lebih mengarah kepada qanun yakni hukum
yang telah dikodifikasikan dan disahkan pemberlakuannya oleh negara dan
pemerintah.
Tasyri' memiliki beberapa ciri-ciri utama yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Ketuhanan: Tasyri' dalam hukum Islam mendasarkan diri pada prinsip
ketuhanan. Artinya, hukum-hukum Islam bersumber dari ajaran dan tuntunan
Allah melalui Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Hukum-hukum ini
diterima sebagai wahyu ilahi yang harus diikuti oleh umat Islam.
2. Ketentuan Syariah: Hukum Islam tasyri' didasarkan pada hukum syariah, yaitu
seperangkat prinsip dan pedoman moral yang diungkapkan dalam Al-Quran dan

7
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III, (Jakarta:
Amzah, 2015), h. 1

6
Hadis. Tasyri' bertujuan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan hukum
syariah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kedaulatan Allah: Dalam sistem tasyri', kedaulatan hukum ada pada Allah. Ini
berarti bahwa hanya Allah yang memiliki hak untuk menentukan apa yang halal
dan haram, serta bagaimana hukum-hukum tersebut harus dijalankan. Manusia
memiliki kewajiban untuk tunduk pada hukum-hukum yang ditetapkan oleh
Allah.
4. Kontekstualitas dan Ijtihad: Dalam tasyri', terdapat prinsip ijtihad, yaitu upaya
pemikiran dan penafsiran ulama untuk menghadapi masalah hukum yang baru
dan kontekstual. Ini memungkinkan adaptasi hukum Islam terhadap perubahan
zaman dan lingkungan sosial. Meskipun prinsip-prinsip dasar tidak berubah,
aplikasinya dapat disesuaikan dengan konteks saat ini.
5. Keberagaman Madzhab: Dalam Islam, terdapat berbagai madzhab (aliran
pemikiran hukum) seperti Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi'i. Ciri penting dari
tasyri' adalah keberagaman madzhab ini, yang memungkinkan interpretasi yang
berbeda dalam menerapkan hukum Islam. Ini mencerminkan fleksibilitas dalam
pemahaman hukum Islam.
6. Keadilan dan Kepastian Hukum: Salah satu tujuan tasyri' adalah menciptakan
keadilan dalam masyarakat. Hukum harus diterapkan dengan adil dan
memberikan kepastian hukum bagi individu. Ini mencakup perlindungan hak
asasi manusia dan hak-hak individu.
7. Etika dan Moralitas: Tasyri' tidak hanya berkaitan dengan aturan hukum, tetapi
juga dengan etika dan moralitas. Prinsip-prinsip moral dan etika Islam juga
ditegakkan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, tasyri' mencakup aspek-aspek
moral dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri tasyri' dalam filsafat hukum Islam mencerminkan prinsip-prinsip
dasar dalam agama Islam yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Ini
merupakan dasar bagi hukum-hukum Islam dan panduan bagi umat Islam dalam
menjalani kehidupan mereka.8

8
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III, (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. 3

7
Manusia diciptakan dalam keadaan yang serba terbatas, baik dari tingkat
pemahaman maupun kemampuan, maka ketika ia diminta ia diminta untuk
membuat sebuah aturan atau undang-undang dengan segala perangkatnya, pastilah
ia tidak akan sanggup menunaikannya secara sempurna atau menghasilkan suatu
produk aturan yang sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, menjadi suatu
kenniscayaan agar yang membuat aturan hidup manusia adalah Yang Maha
Menciptakan bumi ini yaitu Allah sebab Dia Maha Tahu akan segala hal. Dengan
demikian, tujuan tasyri’ adalah untuk terwujudnya kemaslahatan umat manusia
yakni antara lain sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa sumber dan tujuan kehidupan ini
sama yaitu mengesakan Allah.
b. Untuk memberikan syariat dan aturan hidup bagi setiap kaum.
c. Untuk memberikan kabar gembira bahwa syariat nabi datang sebagai penutup
semua syariat kepada manusia.
d. Untuk menerangkan bahwa syariat sebagai pemersatu umat Islam.
e. Untuk mengatur hubungan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain yang
hidup bersama mereka.9

9
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III, (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. 4.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat hukum Islam dalam konteks syariah, fiqih, dan tasyri' sangat
berkaitan dengan perkembangan dan pemahaman hukum Islam dalam tradisi agama
Islam.
Syariah: Syariah adalah kata Arab yang berarti "jalan menuju air" atau "jalan
menuju sumber kehidupan." Dalam konteks Islam, syariah mengacu pada hukum
agama Islam yang diberikan oleh Allah dalam Al-Quran dan melalui Hadis Nabi
Muhammad SAW. Syariah merupakan landasan utama bagi hukum Islam dan
mencakup prinsip-prinsip etika, moralitas, dan tindakan yang diharapkan dari umat
Islam. Latar belakang syariah sebagai sumber hukum Islam memberikan landasan
filosofis untuk pengembangan filsafat hukum Islam, karena syariah memberikan
pedoman moral dan etika yang menjadi dasar hukum.
Fiqih: Fiqih adalah ilmu hukum Islam yang membahas pemahaman dan
aplikasi hukum Islam. Dalam latar belakang filsafat hukum Islam, fiqih memiliki
peran penting. Para ulama fiqih melakukan interpretasi dan penafsiran terhadap Al-
Quran dan Hadis untuk mengembangkan hukum-hukum Islam yang lebih rinci.
Mereka merumuskan aturan-aturan hukum yang mengatur aspek-aspek kehidupan
sehari-hari umat Islam. Dalam proses ini, pemikiran filosofis menjadi relevan,
karena para ulama fiqih harus memahami dan membenarkan hukum-hukum ini
dalam kerangka moral dan etika Islam.
Tasyri': Tasyri' adalah proses pembentukan dan penetapan hukum dalam
kerangka syariah. Ini melibatkan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam konteks
hukum yang lebih konkret. Tasyri' memungkinkan hukum Islam untuk beradaptasi
dengan perubahan sosial dan konteks sejarah. Seiring berjalannya waktu, tasyri'
memicu pemikiran filosofis tentang bagaimana menerapkan hukum Islam dalam
berbagai situasi yang berkembang.
Penggabungan syariah, fiqih, dan tasyri' dalam konteks hukum Islam
menciptakan landasan kuat untuk pengembangan filsafat hukum Islam. Para
pemikir hukum Islam harus merenungkan dan memahami prinsip-prinsip syariah,

9
memahami interpretasi fiqih, dan berpikir filosofis tentang bagaimana menerapkan
hukum ini dalam berbagai situasi. Dengan demikian, hal ini memberikan dasar yang
kuat untuk pemikiran hukum dan filsafat hukum Islam yang lebih mendalam dan
kontekstual dalam menjawab berbagai tantangan hukum dan etika yang muncul.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aḥmād Musṭafā az-Zarqā’, Al-Fiqh al-Islāmī fī Ṣaubihi al-Jadīd (Bairut: Dār al-
Fikr, 1967).

Fathurrrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1 (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 1997).

Ibnu Kaṡīr, Tafsīr Ibn Kaṡīr (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008).

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, cet ke-6


(Yogyakarta, Kanisius, 2008).

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III,
(Jakarta: Amzah, 2015).

Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam Al-Mustasfa Min “Ilm Al-Usul
Karya Al- Gazzali [450-505 H / 1058-1111 M] (Yogyakarta: Disertasi, 2000).

Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999).

11

Anda mungkin juga menyukai