Anda di halaman 1dari 20

ASAS HUKUM ISLAM:

PRINSIP MASLAHAH DAN PRINSIP KESELARASAN

Mata Kuliah : Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : 1. Dr. H. Sukris Sarmadi, S.H., M.H


: 2. Dr. Hj. Mariani, S.H., M.Ag

Oleh:

NASRULLAH, S.H.I
NIM: 170211050161

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCA SARJANA
HUKUM KELUARGA (HK)
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Yang jiwa saya ada dalam

genggaman-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan ke haribaan sang

pemimpin para utusan, Muhammad Saw. beserta keluarga, para sahabat, dan

pengikut setianya hingga hari kemudian. Amma ba‟du …

Saya bersyukur atas-Nya, karena dengan izin-Nya lah tugas mata kuliah

”Filsafat Hukum Islam”, ini selesai. Dibuatnya tugas ini bertujuan untuk

menunaikan tugas yang diasuh oleh Bapak / Ibu Dosen sekaligus saya ingin

berterima kasih atas keramahan Bapak / Ibu dalam mengajar mata kuliah ini.

Tanpa lupa, untuk menyadari bahwa tugas ini masih memiliki kekurangan ditinjau

dari beberapa sudut. Mohon bimbingannya.

Semoga, Makalah sederhana ini bermanfaat secara keilmuan pada saya.

Sekaligus, bagi para pembaca. Untuk membuka satu dialog yang sehat sebagai

bentuk perbaikan maupun tambahan. Akhir kata, Allah-lah yang Maha Tahu atas

segala ciptaan-Nya.

Banjarmasin, Desember 2018

( NASRULLAH, S.H.I )

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Hukum Islam Dan Prinsip Kemaslahatan ........................................... 3
B. Kondisi Sosiohistoris Dan Dinamika Perkembangan Intelektual Najm
Din Thufi ............................................................................................. 8
C. Teori Kemaslahatan Dalam Kontruksi Pemikiran Najm Din Thufi ... 11
D. Teori Kemaslahatan Najm Din Thufi Dalam Kerangka Pembaruan
Hukum Islam ....................................................................................... 13
E. Prinsip Keselarasan ............................................................................. 15

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 16


A. Simpulan .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini masyarakat tengah mengalami perubahan sosial yang sangat


cepat. Suatu perubahan masyarakat yang ber-mega trend, ber-mega mesin, atau
yang disebut oleh para ahli sebagai perubahan kinetik (kinetic image). Hubungan
interaksi sosial sudah semakin kompleks. Hubungan itu cenderung berbentuk pola
gabungan info, otak, dan mesin. Hubungan yang kian kompleks itu merupakan
refleksi dari dinamika perubahan sosial (social change), sains dan teknologi.
Selaras dengan hal itu, permasalahan kehidupan manusia semakin cepat
berkembang dan makin kompleks. Permasalahan itu makin dihadapi umat Islam
dan menuntut adanya jawaban penyelesaian (way out) dari segi hukum. Semua
persoalan tersebut tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode konvensional yang digunakan para fuqaha’
terdahulu.
Padahal tujuan syara’ secara substansial ialah terciptanya kemaslahatan
umum (public interest)dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan umum itu
bersifat dinamis dan fleksibel yang seiring dengan lajunya perkembangan zaman.
Nilai-nilai dan tujuan syara’ dengan pertimbangan kemaslahatan umum menjadi
solusi alternatif terhadap kompleksitas permasalahan kehidupan manusia.
Kemaslahatan umum dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang
prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam
telah disepakati oleh para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam
menentukan kriteria kemaslahatan umum tersebut. Di antara gagasan yang
mengemuka dan cukup kontroversial dalam teori kemaslahatan dalam visi
pembaruan hukum Islam ini dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi.
Najm al-Din al-Thufi adalah seorang ilmuwan dalam bidang fiqh dan
ushul fiqh yang berkebangsaan Irak. Dengan segenap ilmu yang dikuasainya, ia
berupaya mengembangkan pemikiran secara liberal dan mengajak para ulama di
zamannya untuk komitmen pada al-Qur’an dan Sunnah secara radikal dalam
mencari kebenaran. Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi tidak terikat
1
2
dengan suatu aliran pemikiran atau mazhab manapun. Metode kebebasan berpikir
yang dicanangkan al-Thufi menyebabkan ia berbeda dengan para ulama
semasanya. Pemikirannya yang mengundang polemik adalah teori kemaslahatan
sebagai fokus kajian dalam tulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam Dan Prinsip Kemaslahatan


Kajian terhadap hukum Islam, term ini sebenarnya secara tegas, tidak
dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Dalam berbagai literatur, term yang biasanya
muncul adalah syari’at Islam, fiqh atau hukum syar’i.
Para ahli ushul fiqh secara mayoritas mengemukakan definisi hukum
syar’i itu sebagai“Tuntutan (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan
perbuatan orang dewasa (mukallaf), berupa kehendak (tuntutan), pilihan, atau
hubungan antara sesuatu dengan yang lain (al-wadh‟i); baik sebagai sebab,
syarat, penghalang (mani‟), sah, batal, rukhshah, atau „azimah”.1
Secara leksikal, term syari’ah berarti “jalan ke sumber mata air” dan
“tempat orang-orang pada minum”. Kalimat ini digunakan secara khas dalam
bahasa Arab dengan pengertian “jalan setapak menuju sumber mata air yang
tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mengacu pada
pengertian secara lughawy tersebut, syari’ah berarti suatu jalan yang harus
dilalui.2
Dalam pengertian terminologis, syari’ah dimaksudkan sebagai ketentuan
yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk
manusia, dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan
syara’ itu terbatas dalam firman Allah dan sabda Rasul.3
Term fiqh berarti al-fahm (paham yang mendalam). Dalam konteks ini,
fiqh berarti interpretasi para fuqaha’ terhadap syari’at. Secara khas,
fiqh dimaksudkan “mengkaji hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliah
(practical) yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.”4

1
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6 dan Ibn al-
Hajib,Mukhtashar al-Muntaha, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H) h. 33.
2
Abu Fadhl Jamaluddin, Lisan al-Arab, 1975-1976, jilid III.
3
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h.17
4
Ditransliterasi dari : Al-Allamah al-Bannany, Hasyiyah al-Bannany „ala Syarh al-Mahally „ala Matn Jam‟ al-
Jawami‟ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid I, h. 25

3
4

Hukum Islam, dalam pandangan para ahli di barat seperti Noel J.


Coulson,5 JND Anderson6, Joseph Schacht7, mencuat dengan term Islamic
law. Berbagai studi tentang dinamisasi dan implementasi hukum Islam dalam
dimensi sejarah (Islamic law history), terlihat bahwa term yang dimaksud lebih
mangacu kepada fiqh yang telah dikembangkan oleh para fuqaha dalam situasi
dan kondisi tertentu. Tetapi penjelasan terhadap Islamic law sendiri,
defenisi yang sering mencuat adalah “keseluruhan khitab Allah yang mengatur
kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.8 Atas dasar itu, term Islamic
law memuat arti antara syari’ah dan fiqh.
Istilah hukum dalam hukum Islam itu sendiri secara umum dapat berdiri
sendiri. Secara sederhana, hukum diartikan sebagai “seperangkat peraturan
tentang tindak-tanduk, atau tingkah laku, yang diakui oleh suatu negara atau
masyarakat, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya”. Jika term hukum itu
dihubungkan dengan Islam atau syara’, maka hukum Islam akan berarti
“seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua yang beragama Islam”.9 Dengan demikian, term hukum Islam
mencakup pengertian hukum syara’ dan hukum fiqh, karena arti syara’ dan
fiqh itu tercakup di dalamnya.
Hukum Islam bersifat elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif
dengan dinamika perubahan sosial dan kemajuan zaman. Sifat
multidimensional dalam ruang lingkup hukum Islam meliputi semua aspek
kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah
mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

5
Noel J. Coulson, History of Islamic Law, (Edinburg Press, 1967)
6
JND Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: 1959).
7
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic law, (Oxford: Oxford university Press, 1967).
8
Diadaptasi dari S.Waqar Ahmed Husaini, Islamic Environmetal Systems Engineering, (London: The Macmillan Press
Ltd., 1980), h. 24, 31.
9
Amir Syariduddin, Loc.Cit.
5
Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang
baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu
mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu
itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.10
Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka
“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan
syara’.”11 Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, harus seiring dengan tujuan
syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang
menjadi tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak
syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.
Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu
pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan
maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup
di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada
pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau
buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus
sesuai dengan tujuan syara’.
Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli
mengklasifikasikan teori al-mashlahah kepada tiga jenis.12 Pertama, mashlahah
dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berkaitan dengan lima
kebutuhan pokok, yang disebut dengan al-mashalih al-khamsah, yaitu (1)
memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara
keturunan, dan (5) memelihara harta.

10
Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 3-
4.
11
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa fi „Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), Jilid I, h. 286.
12
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973),jilid II, h. 8-12, Ibn al-
Hajib, Mukhtashar al-Muntaha‟, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H), Jilid II, h. 240 dan Abu Hamid al-
Ghazali, op.cit., h. 139.
6
Segala sesutu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas
adalah bertentangan dengan tujuan syara’. Karena itu, tindakan tersebut dilarang
tegas dalam agama. Allah melarang murtad demi untuk memelihara
agama; membunuh dilarang untuk memelihara jiwa, minum-minuman keras
dilarang untuk memelihara akal sehat, berzina diharamkan untuk memelihara
keturunan, dan mencuri atau merampok dilarang untuk memelihara kepemilikan
terhadap harta.
Kedua, mashlahah hajiyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang
berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan
akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyari’atkan
untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.
Ketiga, mashlahah tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat
pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus
bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu
dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup
manusia. Umpamanya, dianjurkan memakan yang bergizi, berpakaian yang rapi,
melaksanakan ibadah-ibadah sunat, dan lain sebagainya.
Ditinjau dari dimensi cakupan kemaslahatan, para ahli mengklasifikasikan
teori ini kepada dua hal. Pertama, mashlahah „ammah, yaitu kemaslahatan
umum yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak atau mayoritas
umat. Misalnya, ulama membolehkan membunuh
penyebar bid‟ahdan dhalalah karena dapat merusak aqidah mayoritas umat.
Kedua, mashlahah khasshah, yaitu kemaslahatan khusus yang
berhubungan dengan kemalahatan individual. Misalnya, kemaslahatan yang
berkenaan dengan pemutusan hubungan status perkawinan terhadap seseorang
yang dinyatakan hilang (mafqud).
7
Urgensi dari pengklasifikasian kedua jenis kemaslahatan ini berkaitan
dengan skala prioritas manakala antara teori kemaslahatan umum dengan
kemaslahatan individual terjadi perbenturan. Dalam konteks ini, mendahulukan
kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam aspek keberadaan mashlahah dalam perspektif syara’ dan adanya
keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara’, teori ini
diklasifikasikan kepada tiga hal.13 Pertama, mashlahah mu‟tabarah, yaitu
kemaslahatan yang berada dalam kalkulasi syara’. Dalam hal ini ada dalil yang
secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan itu, baik secara langsung
ada indikator dalam syara’ (munasib mu‟atstsir) ataupun secara tidak langsung
ada indikatornya (munasib mulaim).
Misalnya, salah satu bentuk hukuman bagi pencuri adalah
keharusan mengembalikan barang curian kepada pemiliknya, apabila masih utuh
atau mengganti dengan sesuatu yang sama nilainya. Hukuman ini dianalogikan
kepada ketentuan hukuman ghashab (orang yang mengambil harta orang lain
tanpa izin) sebagai suatu keharusan mengambil barang orang lain tanpa izin
pemiliknya.
Kedua, mashlahah mulghah, yaitu bentuk kemaslahatan yang ditolak,
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Meskipun sesuatu itu secara rasio
dianggap baik, tetapi syara’ menetapkan hukum yang berbeda karena muatan
maslahat itu. Misalnya, dewasa ini dengan alasan gender dan emansipasi wanita,
secara rasional dapat diterima kedudukan yang sama antara hak perempuan dan
laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Tetapi berdasarkan ketentuan
syara’, hak waris anak laki-laki tetap dua kali lipat hak anak perempuan.14
Ketiga, mashlahah mursalah, atau dalam beberapa literartur disebut juga
dengan al-istishlah, mashlahah muthlaqah, atau munasib mursal. Yaitu
kemaslahatan yang eksistensinya tidak didukung syara’ dan esensinya tidak

13
Abu Ishaq al-Syathibi, Loc. Cit.
14
Lihat: QS. Al-Nisa’ (4): 11 dan 176.
8
pula ditolak melalui dalil yang terperinci, tetapi cakupan makna nash terkandung
dalam substansinya. Dalam hal ini, sesuatu itu dalam anggapan baik secara rasio
dengan pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Sesuatu
yang baik menurut rasio akan selaras dengan tujuan syara’ dalam penetapan
hukum, yang secara khusus tidak ada indikator dari syara’ untuk menolak
ataupun mengakui keberadaannya.
Mashahah mursalah dalam kedudukan sebagai metode ijtihad secara
jelas digunakan oleh Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki. Selain
itu, mashlahah mursalah juga digunakan kalangan ulama non-Maliki
sebagaimana dinukilkan oleh al-Syathibi.
Dalam perspektif pemikiran Najm al-Din al-Thufi, klasifikasi
teori mashlahah seperti di atas adalah sesuatu yang tidak urgen. Rumusan teori
yang dikemukakan oleh Jumhur ulama tersebut tidak dapat diterima oleh al-
Thufi. Kekhasan corak pemikirannya, terlihat bahwa
asumsi mashlahahditempatkan sebagai dalil yang bersifat mandiri dan dominan
dalam penetapan hukum, baik secara substansial kemaslahatan itu sendiri
didukung oleh syara’ ataupun tidak.15

B. Kondisi Sosiohistoris Dan Dinamika Perkembangan Intelektual Najm Din


Thufi

Najm al-Din al-Thufi (675 H/ 1276 M – 716 H/ 1316 M)16 dilahirkan di


desa Thufi, Sharshar, Irak17. Nama lengkapnya adalah Najm al-Din Abu al-
Rabi’ Sulaiman Ibn Abd al-Qawi Ibn Abd al-Karim Ibn Sa’id al-Thufi al -

15
Al-Thufi berbeda dengan persepsi Jumhur ulama yang menyatakan bahwa bila terdapat pertentangan antara nash
dengan mashlahah , maka nash harus didahulukan. Dalam pemikiran al-Thufi, meskipun nash maupun ijma’
menyalahi pertimbangan maslahat, maka yang harus diprioritaskan adalah pertimbangan kemaslahatan.
16
Telaah : Mustafa zaid, Al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1959), h. 68 dan Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir al-Tasyri‟ fima La Nashsha Fih, (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1972), h. 105.
17
Ibn al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbar Man Zahab, (Beirut: al-Maktab al-Tijari, t.t.), jilid V, h. 39
9
Sharshari al-Baghdadi al-Hanbali. Ia adalah seorang ilmuwan yang terkenal
dalam bidang fiqh dan ushul fiqh yang pada dasarnya menganut mazhab
Hanbali. Dalam pengembangan potensi intelektualitas al-Thufi mendalami
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, selain fiqh dan ushul fiqh ialah tafsir, hadits,
ilmu kalam, ilmu mantiq, bahasa Arab dan sejarah. Kitab fiqh rujukan mazhab
Hanbali, al-Muharrar fi al-Fiqh al-Hanbali dikuasaiya dalam usia yang relatif
muda. Demikian juga dengan kitab Mukhtashar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-
Husain Ibn Abdullah Ibn Ahmad al-Khiraqi dalam bidang fiqh juga sangat
digandrunginya. Studi fiqh makin didalami al-Thufi pada Syekh Zain al-Din Ali
Ibn Muhammad al-Sharshari atau yang lebih dikenal di kalangan mazhab Hanbali
sebagai Ibn al-Bauqi.18 Kebanyakan guru-guru al-Thufi adalah ulama-ulama
Hanbali yang besar pada zamannya.
Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi juga menggali literatur-
literatur Syi’ah yang ketika itu dinilai sangat tabu dan kontroversial dalam
masyarakat yang mayoritas Sunni. Meskipun al-Thufi berada dalam komunitas
mazhab Hanbali dan menekuni studi tentang Syi’ah, namun tradisi kebebasan
berpikir dalam pengembaraan intelektualnya tetap terus melaju.
Dengan sekelumit ilmu yang dipelajarinya, al-
Thufi berupaya mengajak para ulama ketika itu untuk tetap komitmen pada al-
Qur’an dan Sunnah dalam mencari kebenaran secara radikal. Seruan al-Thufi ini
mencuat dalam karyanya, al-Akbar fi Qawaid al-Tafsir, kitab tentang kaidah-
kaidah tafsir. Dalam mengembangkan dan memelihara tradisi kebebasan berpikir,
al-Thufi tidak terikat dengan suatu pendapat, aliran pemikiran atau mazhab
manapun.
Sosok al-Thufi memang pribadi yang berbeda pada zamannya. Secara
situasional ketika itu, malahan terjadi kristalisasi mazhab-mazhab. Stagnasi
pemikiran mulai melanda masyarakat dan dunia Islam. Hak dan kebebasan
berijtihad dibatasi dan bahkan pintu ijtihad mulai
dinyatakan tertutup. Kejumudan pemikiran tengah merajalela. Mulai
18
Mustafa Zaid, op.cit. h. 70,
10
pertengahan abad ke-9 M, muncul pendapat bahwa hanya ulama masa lampau
yang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Pendapat ini makin mendapat tempat
dengan didukung oleh sejumlah opini bahwa seluruh permasalahan secara
esensial telah dibahas tuntas. Terlihat adanya semacam konsensus secara gradual
bahwa tidak seorang pun memiliki otoritas untuk melaksanakan ijtihad secara
mutlak dan bahwa aktifitas di masa mendatang harus dibatasi pada penjelasan,
aplikasi, dan penafsiran dari doktrin yang telah diformulasikan. Penutupan pintu
ijitihad itu menggiring pada munculnya kondisi taqlid buta, suatu term yang
secara umum diartikan sebagai penerimaaan secara pasrah terhadap doktrin-
doktrin dan otoritas-otoritas mazhab yang telah mapan.19
Puncak dari iklim ini adalah runtuhnya Bagdad sebagai mercu suar dan
pusat perkembangan aktifitas intelektual Islam. Pencaplokan yang dilakukan
Hulagu Khan terjadi pada 1258 M. Invasi yang dilakukan Kaisar Tartar ini
mengakibatkan jatuhnya kekuatan politik Islam yang kian parah. Integritas politik
dunia Islam betul-betul menjadi berantakan.20 Didasarkan atas kekhawatiran yang
lebih besar terhadap munculnya perpecahan dan perselisihan dalam masyarakat
Islam, para fuqaha’ Sunni menyerukan pada keseragaman kehidupan
sosial umat Islam dengan mencegah adanya pembaruan substantif dalam hukum
Islam.21
Perkembangan hukum Islam makin tidak dinamis dan terisolasi
dari berbagai persoalan kehidupan baru. Berbagai masalah makin bermunculan,
sementara solusi terhadap masalah-masalah yang cukup pelik itu tidak
mencuat. Persoalan-persoalan hukum dicukupkan pada hasil-hasil ijtihad masa
lalu. Hukum Islam secara praksis tidak dapat merespon kasus-kasus baru dalam
kehidupan manusia.

19
Joseph Schacht, Op.Cit., h. 70-72.
20
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 37-38.
21
Muhammad Iqbal, The Reconstructon of Religious Thought in Islam. (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 149-151
11
Masa itu merupakan fase kemunduran hukum Islam yang cukup
menyejarah. Kondisi ini berlangsung cukup lama, yaitu dari pertengahan abad
IV H sampai akhir abad XIII H. Memang pada fase ini para ulama tidak cukup
berani berinisiatif untuk mecapai tingkatan mujtahid mutlak, menggali hukum-
hukum Islam dari sumbernya secara langsung, atau mencari ketentuan hukum
baru terhadap suatu persoalan. Kondisi ini makin merajalela dan memicu bagi
munculnya iklim taqlid.
Dalam kondisi stagnan ini, Najm al-Din al-Thufi muncul dengan
gagasan-gagasannya yang berbeda dengan para pemikir di zamannya. Pemikiran
al-Thufi tertuang dalam segenap karyanya, antara lain dalam bidang ushul fiqh,
seperti kitab Mukhtashar al-Raudah al-Qudamiyah, Mukhtashar al-Hashil, al-
Zari‟ah ila Ma‟rifah Asrar al-Syari‟ah. Dalam bidang ilmu fiqh, ia menulis
kitab al-Qawaid al-Kubra, al-Qawaid al-Shughra, , Al-Riyad al-Nawazir fi al-
Asybah wa al-Nadzair, Syarh Nishf Mukhtashar al-Khiraqi dan lain
sebagainya. Di antara gagasan al-Thufi yang berbeda dengan mayoritas ilmuwan
ketika itu dan cukup mengundang polemik ialah tentang al-mashlahah.

C. Teori Kemaslahatan Dalam Kontruksi Pemikiran Najm Din Thufi

Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi bercorak


sangat khas. Pemikirannya jauh berbeda dengan arus umum mayoritas ulama
yang hidup sezaman dengannya. Formulasi teori al-mashlahah dalam pemikiran
al-Thufi bertitik tolak dari hadis “La dharara wa la dhirar fi al-
Islam” 22 (Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh pula dimudaratkan orang
lain dalam Islam).
Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi, intisari dari keseluruhan ajaran
Islam yang termuat dalam nash ialah kemaslahatan bagi manusia secara
universal. Atas dasar itu, versi al-Thufi, seluruh ragam dan bentuk kemaslahatan
disyari’atkan dan keberadaan maslahat itu tidak perlu mendapatkan konfirmasi

22
HR. al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal.
12
dari nash. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat
mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum.
Secara terminologis, al-Thufi merumuskan al-mashlahah sebagai “suatu
ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah
atau adat kebiasaan”. Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’
dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.
Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah membawa nuansa lain terhadap
pendapat mayoritas ulama semasanya. Dalam persepsi umum para
ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’, baik melalui
nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Pemikiran al-Thufi
yang tidak sejalan dengan para ulama semasanya menyebabkan ia terisolasi, tetapi
substansi pemikirannya kemudian mendapat perhatian para ahli sesudahnya.
Dalam teori Najm al-Din al-Thufi, al-mashlahah tidak diklasifikasikan
kepada berbagai ragam bentuk, sebagaimana yang diformulasikan oleh kalangan
Jumhur ulama. Menurut al-Thufi, al-mashlahah merupakan hujjah yang
mandiri dan paling dominan sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks
ini, kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi dari nash, apakah ada
nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah nash, ataupun
nash menolak keberadaannya sama sekali.
Teori kemaslahatan dalam rumusan al-Thufi memuat empat
prinsip. Dalam hal ini pemikirannya terlihat sangat berbeda dengan mayoritas
ulama. Keempat prinsip itu adalah :23
1. Akal dapat secara bebas menentukan kemaslahatan dan kemudaratan,
khususnya dalam bidang mu’amalah dan adat. Untuk menilai dan
menentukan sesuatu itu maslahat atau mudarat cukup dengan akal (rasio).
Kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk tanpa harus
melalui wahyu menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikiran al-
Thufi. Di sinilah letak perbedaan yang cukup serius antara al-Thufi dengan

23
Mushthafa Zaid, Loc.Cit. dan Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-
Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 529-568
13
Jumhur ulama. Menurut Jumhur, meskipun kemaslahatan itu dapat dicapai
dengan akal, namun harus mendapatkan konfirmasi dari nash atau ijma’.
2. Al-mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi
paling kuat dalam penetapan hukum. Atas dasar ini, kehujjahan al-
mashlahah tidak diperlukan adanya dalil pendukung. Kemaslahatan cukup
didasarkan kepada kekuatan penilaian rasio tanpa perlu melalui wahyu.
3. Al-mashlahah hanya berlaku dalam masalah mu’amalah dan adat
kebiasaan. Sedangkan dalam masalah ibadah , seperti shalat maghrib tiga
rakaat, puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan, dan
tawaf dilakukan sebanyak tujuh kali, tidak termasuk kategori
objek mashlahah. Masalah-masalah ini merupakan hak dan otoritas Tuhan
secara penuh.
4. Al-mashlahah merupakan dalil syara’ yang paling dominan. Dalam konteks
ini, versi al-Thufi, jika nash atau ijma’ bertentangan dengan al-
mashlahah, maka kemaslahatan diprioritaskan dengan metode takhshish
nash (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian).

D. Teori Kemaslahatan Najm Din Thufi Dalam Kerangka Pembaruan


Hukum Islam

Gagasan pembaruan pemikiran dalam hukum Islam tetap selalu mendapat


perhatian berbagai kalangan. Banyak ahli yang concern dengan tema-tema ini.
Gagasan ini kian urgen karena selaras dengan dinamika perubahan sosial dan
mobilitas kemajuan zaman.
Teori kemaslahatan umum (public interest) sebagai kerangka dasar dari
ide pembaruan hukum Islam tetap menjadi sorotan yang secara gradual terus
melaju. Para penulis kontemporer dalam bidang hukum Islam atau secara khusus
bidang ushul fiqh turut menjadikan teori tentang kemaslahatan sebagai kerangka
referensinya. Berbagai kasus dan masalah-masalah baru yang muncul ditinjau
dari perspektif hukum Islam dengan menjadikan acuan utamanya adalah
dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal.
14
Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi mengemuka
secara substantif dalam kerangka kajian legislasi Islam. Kemaslahatan umum
sebagai shariah based merupakan tujuan penetapan hukum Islam. Nash atau
dalil-dalil syara’ lain merupakan metode untuk merealisasikan tujuan pencapaian
kemaslahatan itu. Paradigma ini mengacu pada realitas perubahan sosial, jika
pengamalan makna nash sesuai dengan zhahirnya secara probabilitas akan
membawa kesenjangan dan kurang menampung rasa keadilan dan muatan
kemaslahatan, maka dalam hal ini makna nash itu dipalingkan kepada makna
lain yang lebih mengacu kepada rasa keadilan dan mengandung kemaslahatan
umum.
Pemikiran al-Thufi juga menyiratkan adanya suatu upaya
untuk memperoleh suatu hukum fiqh melalui perluasan makna suatu teks
syari’ah yang bersifat eksplisit dengan mengungkap pengertian-pengertian
implisitnya.24 Ini dilakukan dengan menggali causalegis (illat) suatu nash untuk
diterapkan pada kasus-kasus serupa yang secara ekplisit tidak termasuk ke
dalamnya. Atau juga dengan menggali semangat, tujuan dan prinsip
umum, yang terkandung dalam suatu nash untuk diterapkan secara lebih luas
dalam masalah lain yang diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan
umum. Corak pemikiran al-Thufi dalam teori maslahat ini, dalam kerangka
pembaruan pemikiran hukum Islam, terlihat dengan pendekatan transformatif.
Pendekatan transformatif mengemuka sebagai suatu pendekatan alternatif
dari pendekatan realis-positivistik yang melihat perubahan (change) sebagai
suatu sarana untuk menggapai cita kemaslahatan kualitatif dalam
visi Ilahiyyah. Esensi kemaslahatan dalam syara’ bukan hanya berfungsi
sekadar sistem legitimasi tetapi melainkan sebagai pemenuhan terhadap sesuatu
yang mendasar mengenai makna dari apa yang tengah terjadi.25

24
Substansi dari gagasan al-Thufi ini misalnya dalam teori al-mashlahah dalam kerangka legislasi Islam. Lihat: Musthafa
Zaid, loc.cit., dan Husain Hamid Hasan, loc.cit.
25
Masdar F. Mas’udi, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran
Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 180.
15
Dalam wacana pembaruan pemikiran dalam hukum Islam, teori
kemaslahatan dalam pandangan al-Thufi mencakup lapangan mu’amalah dan adat
kebiasaan. Karena, memang bidang-bidang ini yang rentan terhadap berbagai
dinamika perubahan. Sedangkan dalam lapangan ibadah adalah semata hak
prerogatif Tuhan. Hakekat yang terkandung dalam ibadah , baik kualitas maupun
kuantitas, waktu dan tempat, tidak mungkin diketahui kecuali hanya ditentukan
dalam syara’. Kemashlahatan umum dalam hal ini tetap menjadi tujuan syara’.

E. Prinsip Keselarasan
Ini menunjukkan bahwa seluruh hukum Islam yang terinci dalam berbagai
bidang hukum bertujuan meraih maslahat dan menolak keburukan. Kemaslahatan
dan keburukan dunia dapat diketahui dengan jelas.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Kekhasan corak pemikiran Najm al-Din al-Thufi


terlihat bahwa mashlahah ditempatkan sebagai dalil yang bersifat mandiri dan
paling dominan dalam legislasi Islam, baik secara substansial kemaslahatan itu
sendiri mendapat konfirmasi dari syara’ ataupun sebaliknya. Corak pemikiran al-
Thufi dalam teori maslahat ini, terlihat dalam nuansa pembaruan pemikiran
dalam hukum Islam.
Diskursus teori kemaslahatan umum (public interest) sebagai kerangka
dasar dari ide pembaruan hukum Islam tersebut selalu menjadi perhatian banyak
kalangan yang secara gradual terus melaju. Berbagai kasus dan masalah-masalah
baru yang muncul ditinjau dari perspektif hukum Islam menjadikan acuan
utamanya adalah dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara
universal
Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi memang
berbeda dengan arus umum mayoritas ulama. Menurut al-Thufi, al-
mashlahah merupakan hujjah yang mandiri dan menempati posisi paling kuat
sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini, kemaslahatan itu tidak
perlu mendapatkan justifikasi dari nash, apakah ada nash yang mendukungnya
atau ada cakupan makna dari sejumlah nash, ataupun tidak ada pengakuan dari
nash mengenai keberadaannya. Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-
Din al-Thufi ini mengemuka secara esensial dalam kerangka kajian legislasi
Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.), h. 6 dan Ibn al-Hajib,Mukhtashar al-Muntaha, (Mesir: Al-
Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H)

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang:


Angkasa Raya, 1990)

Ditransliterasi dari : Al-Allamah al-Bannany, Hasyiyah al-Bannany „ala Syarh


al-Mahally „ala Matn Jam‟ al-Jawami‟ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)

Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo:


Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971)

Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa fi „Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1983)

Telaah : Mustafa zaid, Al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-


Din al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68 dan Abd al-
Wahhab al-Khallaf, Mashadir al-Tasyri‟ fima La Nashsha Fih, (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1972)

Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin,


(Bandung: Pustaka, 1983)

Mushthafa Zaid, Loc.Cit. dan Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-


Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah,
1971)

Anda mungkin juga menyukai