Oleh:
NASRULLAH, S.H.I
NIM: 170211050161
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Yang jiwa saya ada dalam
pemimpin para utusan, Muhammad Saw. beserta keluarga, para sahabat, dan
Saya bersyukur atas-Nya, karena dengan izin-Nya lah tugas mata kuliah
”Filsafat Hukum Islam”, ini selesai. Dibuatnya tugas ini bertujuan untuk
menunaikan tugas yang diasuh oleh Bapak / Ibu Dosen sekaligus saya ingin
berterima kasih atas keramahan Bapak / Ibu dalam mengajar mata kuliah ini.
Tanpa lupa, untuk menyadari bahwa tugas ini masih memiliki kekurangan ditinjau
Sekaligus, bagi para pembaca. Untuk membuka satu dialog yang sehat sebagai
bentuk perbaikan maupun tambahan. Akhir kata, Allah-lah yang Maha Tahu atas
segala ciptaan-Nya.
( NASRULLAH, S.H.I )
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6 dan Ibn al-
Hajib,Mukhtashar al-Muntaha, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H) h. 33.
2
Abu Fadhl Jamaluddin, Lisan al-Arab, 1975-1976, jilid III.
3
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h.17
4
Ditransliterasi dari : Al-Allamah al-Bannany, Hasyiyah al-Bannany „ala Syarh al-Mahally „ala Matn Jam‟ al-
Jawami‟ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid I, h. 25
3
4
5
Noel J. Coulson, History of Islamic Law, (Edinburg Press, 1967)
6
JND Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: 1959).
7
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic law, (Oxford: Oxford university Press, 1967).
8
Diadaptasi dari S.Waqar Ahmed Husaini, Islamic Environmetal Systems Engineering, (London: The Macmillan Press
Ltd., 1980), h. 24, 31.
9
Amir Syariduddin, Loc.Cit.
5
Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang
baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu
mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu
itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.10
Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka
“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan
syara’.”11 Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, harus seiring dengan tujuan
syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang
menjadi tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak
syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.
Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu
pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan
maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup
di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada
pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau
buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus
sesuai dengan tujuan syara’.
Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli
mengklasifikasikan teori al-mashlahah kepada tiga jenis.12 Pertama, mashlahah
dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berkaitan dengan lima
kebutuhan pokok, yang disebut dengan al-mashalih al-khamsah, yaitu (1)
memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara
keturunan, dan (5) memelihara harta.
10
Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 3-
4.
11
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa fi „Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), Jilid I, h. 286.
12
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973),jilid II, h. 8-12, Ibn al-
Hajib, Mukhtashar al-Muntaha‟, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H), Jilid II, h. 240 dan Abu Hamid al-
Ghazali, op.cit., h. 139.
6
Segala sesutu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas
adalah bertentangan dengan tujuan syara’. Karena itu, tindakan tersebut dilarang
tegas dalam agama. Allah melarang murtad demi untuk memelihara
agama; membunuh dilarang untuk memelihara jiwa, minum-minuman keras
dilarang untuk memelihara akal sehat, berzina diharamkan untuk memelihara
keturunan, dan mencuri atau merampok dilarang untuk memelihara kepemilikan
terhadap harta.
Kedua, mashlahah hajiyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang
berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa
bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan
akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyari’atkan
untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.
Ketiga, mashlahah tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat
pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus
bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu
dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup
manusia. Umpamanya, dianjurkan memakan yang bergizi, berpakaian yang rapi,
melaksanakan ibadah-ibadah sunat, dan lain sebagainya.
Ditinjau dari dimensi cakupan kemaslahatan, para ahli mengklasifikasikan
teori ini kepada dua hal. Pertama, mashlahah „ammah, yaitu kemaslahatan
umum yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak atau mayoritas
umat. Misalnya, ulama membolehkan membunuh
penyebar bid‟ahdan dhalalah karena dapat merusak aqidah mayoritas umat.
Kedua, mashlahah khasshah, yaitu kemaslahatan khusus yang
berhubungan dengan kemalahatan individual. Misalnya, kemaslahatan yang
berkenaan dengan pemutusan hubungan status perkawinan terhadap seseorang
yang dinyatakan hilang (mafqud).
7
Urgensi dari pengklasifikasian kedua jenis kemaslahatan ini berkaitan
dengan skala prioritas manakala antara teori kemaslahatan umum dengan
kemaslahatan individual terjadi perbenturan. Dalam konteks ini, mendahulukan
kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam aspek keberadaan mashlahah dalam perspektif syara’ dan adanya
keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara’, teori ini
diklasifikasikan kepada tiga hal.13 Pertama, mashlahah mu‟tabarah, yaitu
kemaslahatan yang berada dalam kalkulasi syara’. Dalam hal ini ada dalil yang
secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan itu, baik secara langsung
ada indikator dalam syara’ (munasib mu‟atstsir) ataupun secara tidak langsung
ada indikatornya (munasib mulaim).
Misalnya, salah satu bentuk hukuman bagi pencuri adalah
keharusan mengembalikan barang curian kepada pemiliknya, apabila masih utuh
atau mengganti dengan sesuatu yang sama nilainya. Hukuman ini dianalogikan
kepada ketentuan hukuman ghashab (orang yang mengambil harta orang lain
tanpa izin) sebagai suatu keharusan mengambil barang orang lain tanpa izin
pemiliknya.
Kedua, mashlahah mulghah, yaitu bentuk kemaslahatan yang ditolak,
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Meskipun sesuatu itu secara rasio
dianggap baik, tetapi syara’ menetapkan hukum yang berbeda karena muatan
maslahat itu. Misalnya, dewasa ini dengan alasan gender dan emansipasi wanita,
secara rasional dapat diterima kedudukan yang sama antara hak perempuan dan
laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Tetapi berdasarkan ketentuan
syara’, hak waris anak laki-laki tetap dua kali lipat hak anak perempuan.14
Ketiga, mashlahah mursalah, atau dalam beberapa literartur disebut juga
dengan al-istishlah, mashlahah muthlaqah, atau munasib mursal. Yaitu
kemaslahatan yang eksistensinya tidak didukung syara’ dan esensinya tidak
13
Abu Ishaq al-Syathibi, Loc. Cit.
14
Lihat: QS. Al-Nisa’ (4): 11 dan 176.
8
pula ditolak melalui dalil yang terperinci, tetapi cakupan makna nash terkandung
dalam substansinya. Dalam hal ini, sesuatu itu dalam anggapan baik secara rasio
dengan pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Sesuatu
yang baik menurut rasio akan selaras dengan tujuan syara’ dalam penetapan
hukum, yang secara khusus tidak ada indikator dari syara’ untuk menolak
ataupun mengakui keberadaannya.
Mashahah mursalah dalam kedudukan sebagai metode ijtihad secara
jelas digunakan oleh Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki. Selain
itu, mashlahah mursalah juga digunakan kalangan ulama non-Maliki
sebagaimana dinukilkan oleh al-Syathibi.
Dalam perspektif pemikiran Najm al-Din al-Thufi, klasifikasi
teori mashlahah seperti di atas adalah sesuatu yang tidak urgen. Rumusan teori
yang dikemukakan oleh Jumhur ulama tersebut tidak dapat diterima oleh al-
Thufi. Kekhasan corak pemikirannya, terlihat bahwa
asumsi mashlahahditempatkan sebagai dalil yang bersifat mandiri dan dominan
dalam penetapan hukum, baik secara substansial kemaslahatan itu sendiri
didukung oleh syara’ ataupun tidak.15
15
Al-Thufi berbeda dengan persepsi Jumhur ulama yang menyatakan bahwa bila terdapat pertentangan antara nash
dengan mashlahah , maka nash harus didahulukan. Dalam pemikiran al-Thufi, meskipun nash maupun ijma’
menyalahi pertimbangan maslahat, maka yang harus diprioritaskan adalah pertimbangan kemaslahatan.
16
Telaah : Mustafa zaid, Al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1959), h. 68 dan Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir al-Tasyri‟ fima La Nashsha Fih, (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1972), h. 105.
17
Ibn al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbar Man Zahab, (Beirut: al-Maktab al-Tijari, t.t.), jilid V, h. 39
9
Sharshari al-Baghdadi al-Hanbali. Ia adalah seorang ilmuwan yang terkenal
dalam bidang fiqh dan ushul fiqh yang pada dasarnya menganut mazhab
Hanbali. Dalam pengembangan potensi intelektualitas al-Thufi mendalami
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, selain fiqh dan ushul fiqh ialah tafsir, hadits,
ilmu kalam, ilmu mantiq, bahasa Arab dan sejarah. Kitab fiqh rujukan mazhab
Hanbali, al-Muharrar fi al-Fiqh al-Hanbali dikuasaiya dalam usia yang relatif
muda. Demikian juga dengan kitab Mukhtashar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-
Husain Ibn Abdullah Ibn Ahmad al-Khiraqi dalam bidang fiqh juga sangat
digandrunginya. Studi fiqh makin didalami al-Thufi pada Syekh Zain al-Din Ali
Ibn Muhammad al-Sharshari atau yang lebih dikenal di kalangan mazhab Hanbali
sebagai Ibn al-Bauqi.18 Kebanyakan guru-guru al-Thufi adalah ulama-ulama
Hanbali yang besar pada zamannya.
Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi juga menggali literatur-
literatur Syi’ah yang ketika itu dinilai sangat tabu dan kontroversial dalam
masyarakat yang mayoritas Sunni. Meskipun al-Thufi berada dalam komunitas
mazhab Hanbali dan menekuni studi tentang Syi’ah, namun tradisi kebebasan
berpikir dalam pengembaraan intelektualnya tetap terus melaju.
Dengan sekelumit ilmu yang dipelajarinya, al-
Thufi berupaya mengajak para ulama ketika itu untuk tetap komitmen pada al-
Qur’an dan Sunnah dalam mencari kebenaran secara radikal. Seruan al-Thufi ini
mencuat dalam karyanya, al-Akbar fi Qawaid al-Tafsir, kitab tentang kaidah-
kaidah tafsir. Dalam mengembangkan dan memelihara tradisi kebebasan berpikir,
al-Thufi tidak terikat dengan suatu pendapat, aliran pemikiran atau mazhab
manapun.
Sosok al-Thufi memang pribadi yang berbeda pada zamannya. Secara
situasional ketika itu, malahan terjadi kristalisasi mazhab-mazhab. Stagnasi
pemikiran mulai melanda masyarakat dan dunia Islam. Hak dan kebebasan
berijtihad dibatasi dan bahkan pintu ijtihad mulai
dinyatakan tertutup. Kejumudan pemikiran tengah merajalela. Mulai
18
Mustafa Zaid, op.cit. h. 70,
10
pertengahan abad ke-9 M, muncul pendapat bahwa hanya ulama masa lampau
yang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Pendapat ini makin mendapat tempat
dengan didukung oleh sejumlah opini bahwa seluruh permasalahan secara
esensial telah dibahas tuntas. Terlihat adanya semacam konsensus secara gradual
bahwa tidak seorang pun memiliki otoritas untuk melaksanakan ijtihad secara
mutlak dan bahwa aktifitas di masa mendatang harus dibatasi pada penjelasan,
aplikasi, dan penafsiran dari doktrin yang telah diformulasikan. Penutupan pintu
ijitihad itu menggiring pada munculnya kondisi taqlid buta, suatu term yang
secara umum diartikan sebagai penerimaaan secara pasrah terhadap doktrin-
doktrin dan otoritas-otoritas mazhab yang telah mapan.19
Puncak dari iklim ini adalah runtuhnya Bagdad sebagai mercu suar dan
pusat perkembangan aktifitas intelektual Islam. Pencaplokan yang dilakukan
Hulagu Khan terjadi pada 1258 M. Invasi yang dilakukan Kaisar Tartar ini
mengakibatkan jatuhnya kekuatan politik Islam yang kian parah. Integritas politik
dunia Islam betul-betul menjadi berantakan.20 Didasarkan atas kekhawatiran yang
lebih besar terhadap munculnya perpecahan dan perselisihan dalam masyarakat
Islam, para fuqaha’ Sunni menyerukan pada keseragaman kehidupan
sosial umat Islam dengan mencegah adanya pembaruan substantif dalam hukum
Islam.21
Perkembangan hukum Islam makin tidak dinamis dan terisolasi
dari berbagai persoalan kehidupan baru. Berbagai masalah makin bermunculan,
sementara solusi terhadap masalah-masalah yang cukup pelik itu tidak
mencuat. Persoalan-persoalan hukum dicukupkan pada hasil-hasil ijtihad masa
lalu. Hukum Islam secara praksis tidak dapat merespon kasus-kasus baru dalam
kehidupan manusia.
19
Joseph Schacht, Op.Cit., h. 70-72.
20
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 37-38.
21
Muhammad Iqbal, The Reconstructon of Religious Thought in Islam. (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 149-151
11
Masa itu merupakan fase kemunduran hukum Islam yang cukup
menyejarah. Kondisi ini berlangsung cukup lama, yaitu dari pertengahan abad
IV H sampai akhir abad XIII H. Memang pada fase ini para ulama tidak cukup
berani berinisiatif untuk mecapai tingkatan mujtahid mutlak, menggali hukum-
hukum Islam dari sumbernya secara langsung, atau mencari ketentuan hukum
baru terhadap suatu persoalan. Kondisi ini makin merajalela dan memicu bagi
munculnya iklim taqlid.
Dalam kondisi stagnan ini, Najm al-Din al-Thufi muncul dengan
gagasan-gagasannya yang berbeda dengan para pemikir di zamannya. Pemikiran
al-Thufi tertuang dalam segenap karyanya, antara lain dalam bidang ushul fiqh,
seperti kitab Mukhtashar al-Raudah al-Qudamiyah, Mukhtashar al-Hashil, al-
Zari‟ah ila Ma‟rifah Asrar al-Syari‟ah. Dalam bidang ilmu fiqh, ia menulis
kitab al-Qawaid al-Kubra, al-Qawaid al-Shughra, , Al-Riyad al-Nawazir fi al-
Asybah wa al-Nadzair, Syarh Nishf Mukhtashar al-Khiraqi dan lain
sebagainya. Di antara gagasan al-Thufi yang berbeda dengan mayoritas ilmuwan
ketika itu dan cukup mengundang polemik ialah tentang al-mashlahah.
22
HR. al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal.
12
dari nash. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat
mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum.
Secara terminologis, al-Thufi merumuskan al-mashlahah sebagai “suatu
ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah
atau adat kebiasaan”. Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’
dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.
Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah membawa nuansa lain terhadap
pendapat mayoritas ulama semasanya. Dalam persepsi umum para
ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’, baik melalui
nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Pemikiran al-Thufi
yang tidak sejalan dengan para ulama semasanya menyebabkan ia terisolasi, tetapi
substansi pemikirannya kemudian mendapat perhatian para ahli sesudahnya.
Dalam teori Najm al-Din al-Thufi, al-mashlahah tidak diklasifikasikan
kepada berbagai ragam bentuk, sebagaimana yang diformulasikan oleh kalangan
Jumhur ulama. Menurut al-Thufi, al-mashlahah merupakan hujjah yang
mandiri dan paling dominan sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks
ini, kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi dari nash, apakah ada
nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah nash, ataupun
nash menolak keberadaannya sama sekali.
Teori kemaslahatan dalam rumusan al-Thufi memuat empat
prinsip. Dalam hal ini pemikirannya terlihat sangat berbeda dengan mayoritas
ulama. Keempat prinsip itu adalah :23
1. Akal dapat secara bebas menentukan kemaslahatan dan kemudaratan,
khususnya dalam bidang mu’amalah dan adat. Untuk menilai dan
menentukan sesuatu itu maslahat atau mudarat cukup dengan akal (rasio).
Kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk tanpa harus
melalui wahyu menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikiran al-
Thufi. Di sinilah letak perbedaan yang cukup serius antara al-Thufi dengan
23
Mushthafa Zaid, Loc.Cit. dan Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-
Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 529-568
13
Jumhur ulama. Menurut Jumhur, meskipun kemaslahatan itu dapat dicapai
dengan akal, namun harus mendapatkan konfirmasi dari nash atau ijma’.
2. Al-mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi
paling kuat dalam penetapan hukum. Atas dasar ini, kehujjahan al-
mashlahah tidak diperlukan adanya dalil pendukung. Kemaslahatan cukup
didasarkan kepada kekuatan penilaian rasio tanpa perlu melalui wahyu.
3. Al-mashlahah hanya berlaku dalam masalah mu’amalah dan adat
kebiasaan. Sedangkan dalam masalah ibadah , seperti shalat maghrib tiga
rakaat, puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan, dan
tawaf dilakukan sebanyak tujuh kali, tidak termasuk kategori
objek mashlahah. Masalah-masalah ini merupakan hak dan otoritas Tuhan
secara penuh.
4. Al-mashlahah merupakan dalil syara’ yang paling dominan. Dalam konteks
ini, versi al-Thufi, jika nash atau ijma’ bertentangan dengan al-
mashlahah, maka kemaslahatan diprioritaskan dengan metode takhshish
nash (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian).
24
Substansi dari gagasan al-Thufi ini misalnya dalam teori al-mashlahah dalam kerangka legislasi Islam. Lihat: Musthafa
Zaid, loc.cit., dan Husain Hamid Hasan, loc.cit.
25
Masdar F. Mas’udi, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran
Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 180.
15
Dalam wacana pembaruan pemikiran dalam hukum Islam, teori
kemaslahatan dalam pandangan al-Thufi mencakup lapangan mu’amalah dan adat
kebiasaan. Karena, memang bidang-bidang ini yang rentan terhadap berbagai
dinamika perubahan. Sedangkan dalam lapangan ibadah adalah semata hak
prerogatif Tuhan. Hakekat yang terkandung dalam ibadah , baik kualitas maupun
kuantitas, waktu dan tempat, tidak mungkin diketahui kecuali hanya ditentukan
dalam syara’. Kemashlahatan umum dalam hal ini tetap menjadi tujuan syara’.
E. Prinsip Keselarasan
Ini menunjukkan bahwa seluruh hukum Islam yang terinci dalam berbagai
bidang hukum bertujuan meraih maslahat dan menolak keburukan. Kemaslahatan
dan keburukan dunia dapat diketahui dengan jelas.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.), h. 6 dan Ibn al-Hajib,Mukhtashar al-Muntaha, (Mesir: Al-
Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H)
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa fi „Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1983)