Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ISLAM PERSPEKTIF PARADIGMA BARU

KEILMUAN

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pemikiran
Hukum Islam Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Hukum Islam

Oleh:

MUHAMMAD ADMIRAL
80100222028

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Hamzah Hasan, M.H.I.
Dr. M. Thahir Maloko, M.Th.I.

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, wa al-Ṣalātu wa al-Salāmu ‘Alā Rasūlillah,


Kami memuji dan beryukur kepada Allah azza wa jalla serta Salawat dan
salam kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ini
kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dalam mata kuliah “Pemikiran Hukum
Islam” dengan Judul “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan”.
Semoga apa yang telah kami susun dapat bermanfaat untuk Ummat dan Bangsa.
Wassalāmu ‘alaīkum warahmatullahi wabarakātu

Gowa, 17 Maret 2023

Penulis,
Muhammad Admiral

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 3
BAB II .................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
A. Pengertian Hukum Islam ....................................................................... 4
B. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Hukum Islam .......................... 9
C. Hukum Islam Menurut Paradigma Baru Keilmuan ......................... 11
KESIMPULAN .................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum Islam atau Syariat Islam merupakan hukum yang berasal dari
ajaran Islam, yaitu sebuah hukum yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan
hambanya didunia dan akhirat. Allah ‘azza wa jalla merupakan rabb yang
mempunyai hak dalam membuat suatu hukum yang kemudian disampaiakan
melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal tersebut dikuatkan oleh
Allah swt. dalam firmanya pada surah al-Nisa ayat 59.
Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”1

Hukum Islam tidak hanya bersumber dari Allah swt. secara langsung,
terkadang larangan atau bolehnya sesuatu dalam Islam juga disampaiakan secara
tersendiri melalui penyampaian dari Rasulullah saw., tentunya hal tersebut masih
dalam bimbingan wahyu dari Allah swt.,2 sebagaimana yang Allah konfirmasikan
melalui firmannya dalam surah al-Hasyr ayat 7:
Terjemahhnya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya
bagimu tinggalkanlah.”3

Setelah wafatnya Rasulullah saw. merupakan tanda bahwah berakhirnya wahyu


dari Allah swt. kepada ummat Islam, yang kemudian meninggalkan al-Qur‟an dan
Hadist sebagai pedoman bagi ummat setelahnya.
Secara mendasar, pemahaman dalam hukum Islam merupakan usaha
kontekstualisasi antara teks yang turun pada waktu tertentu dengan kebutuhan
manusia yang hidup pada waktu yang berbeda. Dengan demikian, terkadang usaha
menggabungkan teks dengan menjelaskan asbāb al-Nuzūl bagi al- Qur‟an dan

1
Quran Kemenag Online, al-Qur’ān al-Karĭm, al-Idārah al-Markaziyah Lisyu’ūni al-
Qur’ān al-Karĭm https://quran.kemenag.go.id/surah/4/59. (15 Maret 2023).
2
Muchammad Ichsan, Pengantar Hukum Islam (Cet-I; Yogyakarta: Gramasurya, 2015),
h. 2.
3
Quran Kemenag Online, https://quran.kemenag.go.id/surah/59 (15 Maret 2023).

1
2

asbāb al-Wurūd bagi Hadist pada saat itu menjadi sebuah kebutuhan. Di sinilah
pola pikir Islam sangat berperan dalam menentukan hukum sehingga konteks
menentukan teks atau fakta tidak menyalahi al-Quran dan Hadist.4
Dengan munculnya berbagai problematika baru, yang bahkan belum
pernah dihadapkan oleh orang-orang sebelumnya, menjadikan ummat Islam saat
ini mempunyai tantangan tersendiri, maka muncullah para „Ulama yang kemudian
berusaha merumuskan problematika kontenporer berdasarkan pedoman yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. yaitu al-Qur‟an dan Hadist. Djafar Alkatiri
menjelaskan bahwah ilmu dan teknologi memiliki kemajuan yang pesat maka hal
tersebut mempengaruhi pula pesatnya kemajuan dalam kehidupan social, budaya,
ekonomi hingga politik, sehingga jika dilihat dari perspektif aturan dalam
bersyariat maka Hukum Islam sangat perlu menyertakan paradigma baru keilmuan
dalam salah satu prosedur dalam mengeluarkan sebuah Fikih kontenporer
tentunya dengan tetap memperhatikan nilai-nilai utama Syariat Islam,5 sehingga
antara Syariat dan perkembangan social manusia dapat tetap sinkron dan
menjawab kebutuhan zaman.
Seiring perkembangan zaman dan terbukanya pintu Ijtihad maka
paradigma keilmuan dalam hukum Islam terus berjalan dalam memenuhi tuntutan
kebutuhan manusia dan terus beradaptasi dengan perkembangan sains modern.
Muhammad Ilham menjelaskan diantara bentuk pendekatan dalam paradigma
keilmuan ialah dengan paradigma analitis, kritis, metodologis, historis dan
empiris.6 Berdasarkan uraian pendekatan tersebut maka dalam penelitian ini
penulis berupaya menjelaskan bagaiamana dasar hukum Islam tersebut mampu
memberikan sebuah hukum yang bersifat rasional, dan bisa diuji dengan
perkembangan ilmu pengetahuan serta sesuai dengan fundamental dari sumbernya
yaitu al-Qur‟an dan Hadist Rasulullah saw.

4
Fadhlurrahman dan Yusuf Hanafiah, “Paradigma Ijtihad Dalam Hukum Islam; Kritik
Atas Epistemologi Berfikir Kaum Kontenporer” Journal Kalimah 18 no.02 (2020), h. 251.
5
Djafar Alkatiri, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan” al-Syir’ah 1, no.1
(2003), h. 1.
6
Muhammad Ilham, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan” Sangaji,
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum 5, no.5 (2021), h.150.
3

B. Rumusan Masalah
Berlandaskan uraian ringkas penjelasan sebelumnya maka dapat
dikeluarkan beberapa poin rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Dari Hukum Islam?
2. Bagaimana Efektifitas Hukum Islam Merespon Paradigma Keilmuan

Modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam berasal dari dua kata dasar yaitu Hukum dan Islam, dalam
KBBI kata hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, atau patokan kaidah, ketentuan mengenai peristiwa tertentu.7 Secara
sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa. Jika digabungkan dengan kata Islam maka menurut Marzuki
bahwah Hukum Islam merupakan seperangkan norma atau aturan yang bersumber
dari Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia.8
Dalam literature Arab penamaan Hukum Islam lebih dikenal dengan
sebutan Syariat, sedangkan istilah Hukum Islam sendiri merupkan serapan dari
penamaan Barat yaitu Islamic Law9. Kata Syariat berasal dari bahasa arab yiatu
‫ شسع‬yang secara etimologis berarti jalan ke sumber air. Syariat diartikan jalan air
karena siapa saja yang mengikuti syariat akan mengalir dan bersih jiwanya.10
Adapun defenisi Syariat yang biasa dipakai oleh sebgaian para Ulama diantaranya
ialah bahwah syariat merupakan wahyu yang turun kepada Rasulullah Muhammad
saw. yang membahas hukum-hukum yang mengatur keidupan manusia baik di
dunia dan akhirat baik itu berupa dalam perkara Akidah, Muamalah, maupun
Ahlak, sehingga dapat memperkuat hubungan antara hamba dengan rabbnya serta

7
KBBI Daring, Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum , (15 Maret 2023).
8
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep
Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia (Cet-II; Yogyakarta: Ombak, 2017), h. 12.
9
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, Dari Semenanjung Arab Hingga Indonesia (Cet-I;
Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), h. 1.
10
Ibnu Manżūr, Lisān al-‘Arab, Jilid-8 (t.Cet; Beirut: Dar Sādir, t.th), h. 175.

4
5

antara sesama ummat manusia lainya sehingga dapat memperoleh kebahagiaan di


dunia dan akhirat.11
Dari uraian penjelasan diatas dapat dipahami bahwah antara Hukum Islam
dan Syariat Islam hanya mengalami perbedaan pada sisi etimologi, dan memiliki
persamaan pada pemahaman secara isitlahnya, yaitu Syariat Islam merupakan
aturan yang ditetapkan bagi ummat manusia untuk mengatur segala urusan dan
problematikanya didunia dan akhirat, adapun jika ditarik pada dinamika
kehidupan modern dengan mengacu pada sifatnya yang universal maka Syariat
Islam merupakan fundamental dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh
manusia kedepannya. Adapun sumber Syariat Islam dalam mengambil sebuah
hukum serta menjadikannnya sebuah pedoman dalam mengembalikan sebuah
masalah diantaranya, sebagai berikut:
1. Al-Qur’ān al-Karīm

Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa


jallla sebagai petunjuk serta pedoman bagi ummat manusia, diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan kepada
ummatnya yang kemudian mengimani dan mengamalkannya, serta al-Qur‟an
sendiri telah dijamin langsung oleh Allah sebagaimana firmanya di dalam surah
al-Hijr. Jaminan yang dimaksud sebagaimana yang di sebutkan oleh Imam al-
Tabari ialah dijaganya dari tambahan atau pengurangan terhadap ayat-ayatnya.12
Al-Qur‟an memiliki berbagai fungsi dan diantara fungsinya ialah sebagai petunjuk
serta sumber hukum bagi ummat Islam.
Semua ayat al-Qur‟an adalah qaṭ’ī yaitu seluruh ayat al-Qur‟an datang dari
Allah swt. dengan demikian semua ayatnya adalah Mutawatir, sedangkan dari
segi Hukumnya sebagian ayatnya bersifat Muhkam yaitu tidak membutuhkan
penafsiran lagi, dan sebgaian lainya bersifat Mutasyabih, yakni masih
membuttuhkan penafsiran. Al-Qur‟an tidaklah sama dengan kitab Undang-undang
yang dibuat oleh manusia dengan menggunkan ibarat tertentu dalam menjelaskan

11
Mannā‟ al-Qaṭṭān, al-Tasyrī’u wa al-Fiqhu fī al-Islām (Cet-V; Kairo: Maktabah
Wahbah, 2001), h. 13.
12
Muhammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid 4 (Cet-I; Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1994), h. 469.
6

hukum, sedangkan al-Qur‟an merupakan kitab yang di dalamnya terkandung


norma dan kaidah yang dapat dikeluarkan dalam bentuk Hukum dan Undang-
undang.13 Sementara itu, dalam menjelaskan perkara hukum al-Qur‟an
menjelaskanya dengan tiga cara, yaitu terkadang menjelaskan permasalahan
secara terperinci atau khusus, menjelaskan permasalahan secara umum atau secara
garis besar, dan terkadang menjelaskan sebuah permasalahan hukum dalam
bentuk isyarat atau terkandung makna yang tersirat.
Dari jenis penyampaian Hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an tersebut
dapat disimpulkan bahwah penjelasan al-Qur‟an adakalanya bersifat terperinci
dan adakalanya bersifat umum. Marzuki menambahkan, diantara penjelasan al-
Qur‟an yang terperinci misalnya dalam hal ibadah, hukum-hukum keluarga dan
semisalnya yang mengandung sifat Ta’abbudiyah yaitu harus diterima dan
dilaksanakan dan akal tidak perlu mencari tahu hikmahnya secara detail sehingga
hukum ini tetap dan tidak boleh dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan
zaman, adapun hukum-hukum yang bersifat umum dan Mutasyābih memberi
keleluasaan kepada para Ulama untuk merinci dan menyesuaikanya dengan
kemaslahatan kebutuhan ummat Islam di setiap zaman dan tempat, sehingga tidak
dipungkiri jika Hukum Islam terus eksis dan selalu sesuai di setiap waktu dan
tempat.14
2. Hadist Beserta Sunnah Rasulullah saw.

Sumber hukum dalam Syariat Islam berikutnya ialah Hadist, Hadist


merupakan sumber ajaran kedua dalam Islam. diantara bentuk urgensi dari
keberadaan Hadist yaitu banyaknya hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an
dijelaskan secara terperinci didalam Hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ummat Islam bersepakat bahwah apa yang disandarkan kepada Rasulullah
saw. berupa perkataan, perbuatan serta hal-hal yang berdasarkan persetujuan
darinya maka merupakan bagian dari Syariat Islam, serta dapat dijadikan acuan
untuk diimplementasikan dalam kehidupan kaum muslimin. lebih dari itu, Hadist

13
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep
Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia, h. 80.
14
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep
Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia, h. 86.
7

dan Sunnah Rasulullah saw. merupakan sumber hukum para Ulama Mujtahidīn
dalam Istinbāṭ hukum-hukum syariat yang akan dikeluarkan, sehingga dapat
dikatakan bahwah Hadist atau Sunnah Rasulullah saw. meruapakan sumber kedua
dalam pengambilan Hukum setelah al-Qur‟an.15
Para Ulama mengelompokkan fungsi Sunnah dalam hubungannya dengan
al-Qur‟an kedalam tiga kelompok, yaitu16:
1. Menetapkan dan menguatkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan
oleh al-Qur‟an, seperti Ibadah Sholat, Zakat, Haji, dan larangan
berbuat Syirik
2. Menjelaskan secara rinci serta menafsirkan ayat al-Qur‟an yang masih
bersifat universal, juga mengikat ayat Qur‟an yang masih bersifat
bebas, atau mengkhususkan apa yang masih umum disebutkan oleh al-
Qur‟an
3. Menetapkan hukum baru yang bersifat khusus berdasarkan sumber dari
al-Qur‟an.
Adapun kedudukan Hadist ialah para Ulama menyimpulkan bahwah hadist
dan sunnah dari Rasulullah saw. dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan
sebuah hukum hal tersebut dikuatkan dengan dalil dari al-Qur‟an dan Ijma‟ para
sahabat.17
3. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Dalam Islam
Setelah berkembangnya zaman banyak dari aspek kehidupan yang juga
ikut mengalami perubahan yang signifikan, tidak terkecuali dengan persoalan
Hukum yang diharapkan dapat menjawab permasalahan dan dinamika baru
modern, maka hadirlah para Ulama yang berusaha menjawab kebutuhan zaman
tersebut dengan melalui ranah Ijtihad.

15
Mannā‟ al-Qaṭṭān, al-Tasyrī’u wa al-Fiqhu fī al-Islām, h. 73.
16
Abdul Wahhāb Khallāf, ‘Ilmu Uṣūl Fiqh (Cet-II; Kairo: Maktabah al-Da‟wah al-
Islamiyyah, 1956), h. 39.
17
Wahbah al-Zuhīlī, Uṣūl Fiqh al-Islāmī Jilid-I (Cet-I; Dar al-Fikr: Damaskus, 1986), h.
455.
8

Dasar hukum dalam menjalankan Ijtihad tentunya telah dijelaskan di


dalam al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw., salah satunya sebagaimana yang
digambarkan di dalam surah al-Nisa ayat 59:
۟ ‫ٌََٰٓأٌَُّهَا ٱل ِرٌيَ َءاهنُ َٰٓى ۟ا أَ ِطٍع‬
۟ ‫ُىا ٱّللَ َوأَ ِطٍع‬
‫ُىا ٱلسسُى َل َوأُ ۟ولِى ٱ أْلَ أه ِس ِهن ُك أن ۖ فَئِى تَنَ َز أعتُ أن فِى‬ َ

‫َش أى ٍء فَ ُس ُّدوهُ إِلَى ٱّللِ َوٱلسسُى ِل إِى ُكنتُ أن تُ أؤ ِهنُىىَ بِٱّللِ َوٱ أل ٍَىأ ِم ٱلأ َءا ِخ ِس‬

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”

Hal tersebut juga digambarkan oleh Rasulullah saw. kepada sahabatnya yaitu
Mu‟az ibn Jabal saat hendak mengutusnya ke Yaman:

َ‫ َكيْف‬: ‫ث ُه َعا ًذا إِلَى أالٍَ َو ِي قَا َل‬


َ ‫صلى َّللاُ َعلَ أٍ ِو َو َسل َن لَوا أَ َزا َد أَ أى ٌَ أب َع‬
َ ِ‫أَى َزسُى َل َّللا‬

‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬: ‫ قَا َل‬، ِ‫َّللا‬


‫ب ه‬ ِ ‫ أَ ْق‬: ‫ قَا َل‬، ‫ضا ٌء ؟‬
ِ ‫ضي بِ ِكتَا‬ َ ‫ضي إِ َذا َع َر‬
َ َ‫ض لَ َك ق‬ ِ ‫تَ ْق‬

‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬: ‫ قَا َل‬، ‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ‫سى ِل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ِ‫ فَب‬: ‫ قَا َل‬، ‫َّللا ؟‬
ُ ‫سنه ِة َر‬ ِ‫ب ه‬ ِ ‫ِكتَا‬

، ‫ أَ ْجتَ ِه ُد َر ْأيِي‬: ‫َّللاِ ؟ قَا َل‬


‫ب ه‬ ِ ‫ َو ََل فِي ِكتَا‬، ‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ‫سى ِل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫سنه ِة َر‬
ُ

‫ أال َح أو ُد ِّللِ ال ِري‬: ‫ َوقَا َل‬، ُ‫ص أد َزه‬


َ ‫صلى َّللاُ َعلَ أٍ ِو َو َسل َن‬
َ ِ‫ب َزسُى ُل َّللا‬ َ َ‫َو ََل آلُى ف‬
َ ‫ض َس‬
18
‫َّللا‬ ِ ‫ َزسُى ِل َّللاِ لِ َوا ٌُسأ‬، ‫ُىل‬
ِ ‫ضً َزسُى َل‬ َ ‫ق َزس‬
َ ‫َوف‬

Artinya:
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus
Mu‟adz ke Yaman, beliau bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukum
apabila datang kepadamu satu perkara?”. Mu‟adz menjawab : “Saya akan
menghukum dengan Kitabullah”. Rasulullah bersabda: “Bagaimana bila
tidak terdapat di Kitabullah ?”. Ia menjawab: “Saya akan menghukum

18
Abu Daud, Sunan Abī Dāud Jilid-V, Bab-Ijtihād al-Ra’yi fī al-Qaḍā’ Hadist no.3592
(t.Cet: Beirut: Dar al-Risalah al-“Alamiyah, 2009), h. 443.
9

dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda: “Bagaimana jika tidak


terdapat dalam Sunnah Rasulullah?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan
pikiran saya dan tidak akan mundur”.19

Diantara dalil-dalil yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan


banyaknya permasalahan yang dapat terjawab dengan metode ijtihad, terlebih lagi
dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang semakin pesat sehingga
menimbulkan berbagai persoalan yang semakin kompleks. Dengan demikian
penggunaan Ijtihad sebagai salah satu dasar dan sumber dalam menetapkan
Hukum Islam memperoleh legitimasi yang kuat baik dari al-Qur‟an dan Sunnah.

B. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Hukum Islam


Ontologi produk pemikiran hukum tidak hanya memiliki unsur yang sama,
baik dari segi obyek, sumber dan metodologi, tetapi juga lebih jauh ontologi
hukum juga berusaha menelusuri apa yang ada di balik obyek, sumber dan metode
tersebut. Teori klasik Islam, hukum bersumber kepada kehendak Allah swt.,
sehingga dinyatakan bahwa Pemberi Hukum dalam Islam adalah Allah swt. Oleh
karena itu, setiap usaha penemuan hukum Islam, tidak lain merupakan upaya
pencarian dan perumusan kehendak Ilahiah, kehendak ilahiah itu kemudian
dikenal dengan nama Syari‟ah. Dengan kata lain bahwa hukum dalam Islam tidak
berdiri sendiri. Hukum Islam tegak di atas landasan teologi yang sangat dalam.
Oleh karena itu, konsep-konsep hukum dalam Islam secara fundamental
dipengaruhi oleh doktrin-doktrin teologi.20
Doktrin-doktrin teologi dalam hukum Islam inilah yang kemudian
membedakan hukum Islam dengan produk pemikiran hukum sekuler di Barat.
Perbedaan itu bukan hanya terletak pada sikap masyarakat di mana hukum itu
masing- masing berlaku, tetapi lebih jauh lagi, antara keduanya dibedakan oleh
tujuannya masing-masing, yaitu Hukum Islam bertujuan untuk membangun

19
Terjemahan Hadist Muadz Ibn Jabal dalam Kitab Sunan Abu Daud
https://aliph.wordpress.com/2007/06/13/hadits-muadz-bin-jabal/ (17 Maret 2023).
20
Muhammad Ilham, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan” Sangaji,
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum 5, no.5 (2021), h.152.
11

kemaslahatan di dunia dan di Akhirat sekaligus, sedangkan hukum sekuler hanya


untuk kebaikan/keteraturan di dunia semata.21
Pada kajian Epistemologi, Jika pemaknaan ini dibawa ke dalam
pembahasan Hukum Islam, maka yang dimaksud epistemologi penetapan dan
penerapan hukum Islam adalah bagaimana mengetahui pesan-pesan Syari‟at
(Allah swt. sebagai pembuat hukum), dan RasulNya Muhammad saw., melalui
firman yang termaktub di tengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang.
Secara epistemologis, sebenarnya hukum Islam kaya akan metodologi penalaran
dan pembentukan hukum yang digali dari al-Quran dan Sunnah.
Meskipun terdapat perdebatan di kalangan ulama menyangkut interaksi
nash-nash tersebut dengan pemikiran manusia, namun kesemuanya tegas
terangkum dalam metode Ijtihad. Jika epistemologi hukum Islam di atas dapat
dikembangkan oleh para ulama mujtahid kita sekarang, maka tidak ada masalah
yang timbul dalam masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan ditentukan
hukumnya.22
Adapun Aksiologi dari Hukum Islam diuraiakan secara sederhana oleh
Soejono Soekanto kedalam tiga aspek pokok23, yaitu:
1. Aspek kognitif
Aspek kognitif ini berkaitan dengan ratio atau pikiran. Misalnya nilai suatu
perkawinan menurut adat istiadat dan agama. Secara kognitif perkawinan
merupakan suatu pergaulan antara dua manusia yang berbeda jenisnya, yang
dilakukan secara teratur menurut hukum Islam maupun hukum adat yang dianut
oleh masyarakat setempat.
2. Aspek Afektif
Aspek ini berkaitan dengan perasaan atau emosi. Misalnya perkawinan di
atas juga merupakan pergaulan hidup yang menghasilkan ketentraman pada
keluarga yang terbentuk karena perkawinan itu.

21
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqih (t.Cet; Makassar: Yayasan Al-Ahakam, 2000), h.
19.
22
Muhammad Ilham, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan”, h. 159.
23
Rusli Efendi, Teori Hukum (Cet-I: Ujung Pandang: Hasanuddin University Press,
1991), h. 35.
11

3. Aspek Konatif
Aspek Konatif ini berhubungan dengan penyerahan diri kedua aspek
sebelumnya, yang berkaitan dengan kehendak (untuk berbuat atau tidak berbuat),
Misalnya keserasian antara ketertiban dan keteraturan dalam perkawinan,
menghasilkan suatu kehidupan damai dalam keluarga.
C. Hukum Islam Menurut Paradigma Baru Keilmuan
Paradigma baru sebagaimana diungkapkan Harun Nasution adalah
kerangka berpikir, dan usaha untuk mengubah faham, adat istiadat, institusi-
institusi lama, disesuaikan dengan suasana bam yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.24 Menurut Yusriadi sebagiamana yang
dikutip oleh Muhammad Ilham mengenai sebuah paradigma, bahwah konsep
paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn (1962) melalui
karyanya yang berjudul ‚The Structure of Scientific Revolution. se
Prinsip-prinsip dasar paradigma sains yang dimaksud adalah obyektif,
empiris, deskriptif dan rasional (logic). Prinsip inilah yang kemudian digunakan
sebagai jaminan kebenaran bagi paradigma keilmuan moderen, diantaranya ialah
sebagai berikut:25
1. Obyektif, yaitu bahwa paradigma keilmuan moderen merupakan satu-
satunya ilmu yang otentik, yaitu ilmu yang hanya bersangkut paut dengan
fenomena dan dapat berubah dalam zaman yang lain.26
2. Empiris, yaitu bahwa apa diterima oleh paradigma keilmuan moderen
hanyalah teori-teori yang dapat direduksi kepada unsur-unsur
inderawi,walaupun teori- teori itu mungkin melibatkan gagasan-gagasan
yang melampaui jangkauan pengalaman empiris. Paradigma keilmuan
yang berprinsip pada empiris ini juga selalu menyandarkan seluruh ilmu
pada fakta-fakta yang dapat diamati dan dianalisis.

4. Deskriptif, artinya menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal menurut


apa adanya.28 Dalam prinsip ini paradigma keilmuan hanya bisa

24
Djafar Alkatiri, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan” al-Syir’ah 1,
no.1 (2003), h. 6.
25
Muhammad Ilham, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan”, h. 162.
12

menjelaskan sesuatu sesuai dengan realitas obyek yang faliditasnya bisa


dipertanggungjawabkan.
5. Rasional (logic), yaitu bahwa paradigma keilmuan moderen itu selalu
bersandar pada nalar dan dalam menguraikan sesuatu berdasarkan runtut
atau urutan pernyataan yang satudengan pernyataan berikutnya.

Prinsip-prinsip tersebut masing-masing memiliki indikator yang


menunjukkan adanya pemaduan paradigma keilmuan moderen dengan Hukum
Islam. Konsepsi pemaduan tersebut beserta indikator-indikatornya dapat
dijelaskan sebagai berikut:26
1. Wahyu, merupakan sumber utama pemikiran hukum Islam menempati
posisi paling atas dalam paradigma hukum Islam, baik sebagai induktif
maupun deduktif. Sebagai induktif, wahyu dijadikan tempat konsultasi
untuk pemikiran hukum ,sedang sebagai deduktif, wahyu dijadikan
tempat bertolak lalu diturunkan menjadi acuan Ijtihad.
2. Obyektivitas, adalah prinsip keilmuan moderen yang memandang suatu
pernyataan keilmuan hanya dibuat atas dasar bukti atau pada hal-hal yang
dapat diamati. Dalam Islam obyektivitas suatu hukum, lebih memiliki
keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, bukan pada kepentingan
pemilik bukti- bukti tersebut.
3. Empiris, adalah prinsip paradigma keilmuan moderen yang memandang
validitas suatu pernyataan sains bergantung pada bukti-bukti pelaksanaan
(yang sudah teruji), tujuannya maupun pandangan orang yang
menjalankannya. Sedangkan pada sisi Empirisme, Hukum Islam
senantiasa merujuk pada pengamatan dan sebuah realitas, dapat dilihat
bagaimana al-Qur‟an senantiasa menguji pembacanya dengan sebuah
pertanyaan analisa.
4. Deskriptif, adalah prinsip paradigma keilmuan yang hanya dapat
menjelaskan sesuatu apa adanya sesuai dengan realitas yang kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting diperhatikan agar orang

26
Muhammad Ilham, “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan”, h. 164.
13

melakukan pemaknaan dapat terhindar dari tekanan-tekanan politis dan


pisikis yang mungkin bisa mempengaruhi pengambilan sebuah putusan
hukum. Oleh karena itu, integritas moral seorang ilmuan dan hakim
sangat menentukan tegaknya supremasi hukum negeri ini.
5. Logik, adalah prinsip paradigma keilmuan moderen yang menekankan
pada urutan atau runtut suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain
sehingga terjadinya kesinambungan. Bagi paradigma Hukum Islam,
lahirnya sebuah produk Hukum Islam harus memiliki kesinambungan
antara sumber hukum al-Qur‟an dan Hadist dengan proses Ijtihad, antara
kebutuhan hukum masyarakat dengan hasil Isṭinbāṭ yang dilakukan oleh
para Mujtahid.

Dari uraian konsepsi keilmuan diatas, memberikan sebuah titik terang


terhadap Hukum Islam yang dapat memenuhi seluruh tantangan kemajuan
zaman, tidak lain dikarenakan dasar dari sebuah acuan dalam Ijtihad ialah al-
Qur‟an dan Hadist yang datang dan dibimbing langsung oleh Allah ‘azza wa
jalla, berapa banyak sebuah landasan keilmuan dan sains yang lahir dan
dibangun dari kosntruksi Syariat Islam, namun tidak sedikit pula suatu hukum
dan kemajuan yang dibuat dengan mengacuhkan nilai-nilai Syariat Islam yang
akhirnya mengalami stagnasi hingga menghasilkan kerugian.
Ijtihad sebagai salah satu ujung tombak dalam mengurai persoalan
modern memiliki peran yang vital, Fadhdlurrahman menambahkan bahwah
Ijtihad harus didasarkan dengan pemahaman bahwa syariat itu bersifat ilahi dan
berasal dari bukti-bukti kuat yang diturunkan secara lengkap dalam al-Quran
kemudian diperinci dan dijelaskan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam
melalui Sunnahnya. Kemudian dikembangkan untuk bisa sesuai dengan keadaan
yang dibutuhkan melalui instrument Ijtihad yaitu ijma` dan qiyas, atau yang
lainnya.
KESIMPULAN
Dari konstruksi penjelasan yang telah diuraiakan diatas dapat dikeluarkan
sebuah kesimpulan sebagai berikut:
1. Syariat Islam merupakan aturan yang ditetapkan bagi ummat
manusia untuk mengatur segala urusan dan problematikanya didunia
dan akhirat, adapun jika ditarik pada dinamika kehidupan modern
dengan mengacu pada sifatnya yang universal maka Syariat Islam
merupakan fundamental dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh
manusia kedepannya. Adapun sumber dari penetapan Hukum Islam
ada 3, yaitu: Al-Qur‟an, Hadist, dan hasil Ijtihad para „Ulama.
2. Ontologi dari dari Hukum Islam yaitu, setiap usaha penemuan hukum
Islam, tidak lain merupakan upaya pencarian dan perumusan
kehendak Ilahiah, kehendak ilahiah itu kemudian dikenal dengan
nama Syari‟ah. Dengan kata lain bahwa hukum dalam Islam tidak
berdiri sendiri. Hukum Islam tegak di atas landasan teologi yang
sangat dalam. Adapun pada aspek kajian Epistemologi, Jika
pemaknaan ini dibawa ke dalam pembahasan Hukum Islam, maka
yang dimaksud epistemologi penetapan dan penerapan hukum Islam
adalah bagaimana mengetahui pesan-pesan Syari‟at (Allah swt.
sebagai pembuat hukum), dan RasulNya Muhammad saw., melalui
firman yang termaktub di tengah kehidupan masyarakat yang terus
berkembang. Sedangkan pada aspek Aksiologi, dijelaskan kedalam
tiga bagian yaitu, pada Aspek Kognitif, Aspek Efektif dan Konatif.
3. Prinsip-prinsip dasar paradigma sains yang dimaksud adalah objektif,
empiris, deskriptif dan rasional (logic), jika di komparasikan kedalam
Hukum Islam maka yang dimaksud objektifitas dalam sebuah hukum
ialah memiliki keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, bukan
pada kepentingan individualisme. Sedangkan pada sisi Empirisme,
Hukum Islam senantiasa merujuk pada pengamatan dan sebuah
realitas, dapat dilihat bagaimana al-Qur‟an senantiasa menguji
pembacanya dengan sebuah pertanyaan analisa.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟ān al-Karīm
Alkatiri, Djafar. “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan” al-Syir’ah
1, no.1 (2003).
Al-Qaṭṭān, Mannā‟. al-Tasyrī’u wa al-Fiqhu fī al-Islām. Cet-V; Kairo: Maktabah
Wahbah, 2001.
Al-Ṭabari, Muhammad Ibn Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid 4. Cet-I; Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1994.
Al-Zuhīlī, Wahbah. Uṣūl Fiqh al-Islāmī Jilid-I. Cet-I; Dar al-Fikr: Damaskus,
1986.
Daud, Abu. Sunan Abī Dāud Jilid-V, Bab-Ijtihād al-Ra’yi fī al-Qaḍā’ Hadist
no.3592. t.Cet: Beirut: Dar al-Risalah al-“Alamiyah, 2009.
Fadhlurrahman dan Yusuf Hanafiah, “Paradigma Ijtihad Dalam Hukum Islam;
Kritik Atas Epistemologi Berfikir Kaum Kontenporer” Journal Kalimah
18 no.02 (2020).
Ichsan, Muchammad. Pengantar Hukum Islam, Cet-I; Yogyakarta: Gramasurya,
2015.
Ilham, Muhammad. “Hukum Islam Perspektif Paradigma Baru Keilmuan”
Sangaji, Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum 5, no.5 (2021).
Khallāf, Abdul Wahhāb. ‘Ilmu Uṣūl Fiqh. Cet-II; Kairo: Maktabah al-Da‟wah al-
Islamiyyah, 1956.
Manżūr, Ibnu. Lisān al-‘Arab, Jilid-8. t.Cet; Beirut: Dar Sādir, t.th.
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai
Konsep Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia, Cet-II;
Yogyakarta: Ombak, 2017.
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, Dari Semenanjung Arab Hingga Indonesia.
Cet-I; Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016.

15

Anda mungkin juga menyukai