Penulis:
M. Jihad Annafsi N.A KH
NIM: 04040120096
Dosen Pengampu:
Dr. H. Fahrur Razi, S.Ag, M.HI
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran hukum Islam di masa abad modern umumnya
berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi
klasik. Paradigma yang digunakan cenderung menekankan wahyu dari sisi
konteksnya.
Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan soisal tidak hanya disusun
dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap
pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Walaupun tawaran
metodologi hukum Islam tersebut memiliki model yang berbeda-beda antara
satu tokoh dengan yang lainnya, namun secara umum mereka memiliki
kecenderungan rasional-filosofis atau dengan kata lain menggunakan
paradigma nalar burhani (rasio) sebagai pijakan pemikiran mereka.
Rasionalitas yang dibangun oleh ulama fikih ingin melakukan penalaran
yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. yang ujungnya adalah tercapainya
kemaslahatan manusia pada umumnya di dunia dan akhirat.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka
fokus dari makalah ini adalah:
A. Apa konsep dasar pemikiran hukum islam di masa abad modern?
B. Bagaimana perkembangan pemikiran hukum islam di masa abad
modern?
C. Bagaimana cara melakukan pemikiran hukum islam di masa abad
modern?
D. Bagaimana Ijtihad Kolektif dalam tren hukum islam di masa abad
modern?
1
C. Tujuan
A. Untuk mengetahui serta memahami hukum islam di masa abad modern.
B. Untuk mengetahui serta memahami perkembangan pemikiran hukum
islam di masa abad modern.
C. Untuk mengetahui serta memahami cara melakukan pemikiran hukum
islam di masa abad modern.
D. Untuk mengetahui serta memahami Ijtihad Kolektif dalam tren hukum
islam di masa abad modern.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nasarudin Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif keindonesiaan, integrasi Sistem
Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional, IAIN Ambon, 2014, 2
2
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.12.
3
Hal itu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan
dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu. Dalam teori
hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai
akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-adah
muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam.3
Gambaran tentang kemampuan syariat Islam dalam menjawab tantangan
modernitas dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat
Islam diantaranya adalah prinsip yang terkait dengan muamalah dan ibadah.
Dalam bidang muamalah hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali
apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Sedangkan
dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang
mendasarinya.4
Berdasarkan prinsip tersebut dapat dipahami bahwa modernisasi yang
terkait dengan segala macam bentuk muamalah diizinkan oleh syariat Islam
selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam.
Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak
terbuka kemungkinan adanya modernisasi melainkan materinya harus
berorientasi kepada nas al-Qur’an dan hadis yang telah mengatur secara jelas
tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam
bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.
3
Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Pres, 1999),
h. 23.
4
Nasroen Harun, Ushul Fiqih I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), h. 34
4
hanya ada satu sumber yang terdapat aturan-aturan hukum yang dikembalikan
yaitu wahyu Tuhan. Ide tentang hukum natural tidak dikenal. Coulson
menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional tentang perkembangan hukum
Islam tidak memiliki historis.5
Menurut Harun Nasution era modern bermula pada abad ke-19, merupakan
periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan
mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, pengaruh peradaban Barat
terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam sangat kuat.
Akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan dan salah satu aspek
tersebut adalah pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin hukum Islam. Pada
perkembangan berikutnya modernitas ini berpengaruh terhadap konsepsi
hukum Islam.6
Perubahan pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam tersebut salah
satunya dihembuskan oleh Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional
tentang hukum Islam. Schaht tidak mengkaji hukum Islam secara teologis
dogmatis, melainkan lebih bersifat historis dan sosiologis.
Schaht menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang
diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan
realitas sosial. Schaht menyimpulkan bahwa sebagian besar hukum Islam
termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses
perkembangan historis.7
5
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. II;
Jakarta:PT Bulan Bintang, 1990), h. 42.
6
Ibid., h.46.
7
Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 14.
5
Di pihak lain,muncul wacana menghendaki cara sekuler yang menyatakan
perlunya dikembangkan Islam modern dengan cara memisahkan agama dari
persoalan politik dan hukum.8
Di dunia Islam sekarang timbul tuntutan-tuntutan baru untuk kembali lagi
kepada pandangan hidup yang Islami. Kebangkitan kembali Islam di bidang
politik harus dibarengi tuntutan bagi pembinaan sistem hukum yang Islami,
yang dilakukan oleh orang-orang yang meyakini bahwa syariahlah yang
seharusnya memberikan cirri khas Islam pada negara dan rakyatnya.9
Subhi Mahmasami mengemukakan perlunya reinterpretasi dan adaptasi
hukum Islam sejalan dengan perkembangan dunia modern saat ini. Subhi
Mahmasami menambahkan bahwa untuk mengobati penyakit taklid buta dan
fanatisme terhadap mazhab dperlukan adanya ijtihad.
Pintu ijtihad harus terbuka lebar bagi siapa saja yang memiliki kemampuan
yang dapat diandalkan di bidang hukum. Memberikan kebebasan kepada kaum
muslimin untuk menafsirkan hukum Islam, kebebasan berpikir dan menjadikan
pikiran itu mampu menciptakan karya-karya ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.10
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaharuan hukum Islam,
sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu
menjawab permasalahn dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahn dan
perkembangan baru itu mengandung dua unsur. Pertama, menetapkan hukum
terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah
bayi tabung. Kedua, menetapkan dan mencari ketentuan hukum baru bagi suatu
masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
8
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah
(Cet. IV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 319.
9
Ibid., h. 321.
10
Ibid., h. 324.
6
Maksud dari dengan tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan
manusia masa sekarang adalah ketentuan hukum lama yang merupakan hasil
ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasikan kebutuhan
dan kemaslahatan masyarakat masa kini.11
Sejalan dengan hal tersebut, Umar Shihab mengemukakan metode ijtihad
yang cocok dengan kondisi saat ini sebagai berikut:
1. Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)
Para ulama salaf telah memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapinya, bukan berarti apa yang mereka tetapkan atau hasilkan
dalam bentuk ijtihad adalah suatu ketetapan akhir untuk sepanjang
masa. Akan tetapi, para mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan
studi perbandingan di antara pendapat dan meneliti dalil-dalil yang
dijadikan landasan atau mujtahid dewasa harus memilih pendapat yang
dipandang kuat dan sesuai dengan kondisi.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu,
melainkan ditransformasikan sesuai perkembangan zaman.
Berkomitmen dengan suatu mazhab atau pendapat tidaklah salah, tetapi
harus meneliti secara keseluruhan agar bisa mendapat ketetapan yang
kuat dan sesuai dengan realitas masalah umat Islam saat ini.
11
Husein Muhammad, Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taqlid Versus Ijtihad (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987), h. 120.
7
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai
apabila mujtahid sekarang hanya terpaku pada pendapat ulama salaf,
sebab para mujtahid belum mengalami kasus-kasus itu dan berijtihad
dalam hal tersebut.
3. Ijtihad Komparatif
Ijtihad komparatif adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad
intiqa’i dan insya’i. Untuk menguatkan atau mengkompromikan
beberapa pendapat perlu diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan
keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.12
12
Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
76-77.
13
Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 107
8
Dr Wahbah Zuhaili menyebut pengertian ijtihad kolektif ini dengan lebih
rinci, yakni sebagai berikut :
واالطالع على،هو ما يتفق عليه فئة مستنيرة من العلماء بعد دراسة موضوع معين وتقديم بحث فيه
،وإيراد أدلتهم ومناقشتها والترجيح بينها واالنتهاء لرأي معين ما يجدونه مقرراً لدى العلماء السابقين
بحسب قوة الدليل وتحقيق المصلحة
14
Wahbah Zuhaili, al-Ijtihad fi ‘Asrina haza min Haitsu al-Nadhriyah wa al-Tathbiiq, Majalah
Dirasaat al-Alam al-Islami, Maret 2011, Hal. 1
15
Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
76-77.
16
Ibid., h. 78.
9
Contoh, pembahasan zakat ternak seperti unta, kambing dan sapi masih
berpedoman pada kitab-kitab klasik yang belum menyentuh ranah perusahaan
seperti perbankan, perusahaan sekurites, pasar saham, pasar uang, indeks saham
dan sejenisnya yang membuat kaum muslimin bertanya tentang hukumnya di
mana-mana.17
Searah dengan pendapat tersebut, reformasi serta renovasi bahasa kitab-
kitab klasik yang dikemas ke dalam bahasa modern agar cepat dipahami dengan
dengan bahasa masa kini, seperti mereformasi kata qullah, hasta, bintu labun,
mud dan sejenisnya dengan ukuran standar masa kini seperti kilogram, meter
meter kubik, dollar dan lain-lain.
Rasionalitas hukum Islam modern tidaklah sepenuhnya benar. Membuang
atau menghilangkan pemikiran klasik tidaklah sepenuhnya salah.
Menyandingkan dan menyelaraskan keduanya sangat diperlukan dalam
kearifan hukum.
Rasionalitas yang terbingkai oleh nas menjadi rambu bagi pemikir-pemikir
hukum Islam modern untuk menjaga keaslian hukum agar tidak lepas dari
maqasid syari’ah yang sesungguhnya.
17
Ibid
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep dasar pemikiran hukum Islam modern mengedepankan modernitas
yang realistis sesuai kebutuhan dan tuntutan persoalan yang diharapkan
mampu menjawab segala persoalan dari segala aspek.
2. Pemikiran hukum Islam terus mengalami perkembangan seiring dengan
persoalan yang makin kompleks. Pemikiran ulama terdahulu dianggap
sudah relevan dalam menyahuti segala persoalan. Merubah paradigma
taklid buta dengan rasionalitas.
3. Mayoritas ulama mendukung akan perkembangan pemikiran hukum Islam
tetapi berbeda dalam penerapan sistem. Para ulama sepakat
mengedepankan rasional tanpa harus meninggalkan nas. Hal ini dilakukan
agar maqasid Tuhan tetap terjaga.
11
DAFTAR PUSTAKA
12