Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM ISLAM DI MASA ABAD MODERN

Penulis:
M. Jihad Annafsi N.A KH
NIM: 04040120096

Dosen Pengampu:
Dr. H. Fahrur Razi, S.Ag, M.HI

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,
Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan apapun
sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Sejarah Hukum Islam. Penulis menyadari bahwasannya bila segala urusan telah
selesai, maka akan dampak kekurangan. Tiada gading yang tak retak. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi peningkatan
kualitas dan mutu dari Makalah yang penulis susun ini.
Akhir kata, semoga Makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Sukabumi, 30 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1

C. Tujuan .................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Hukum Islam Di Masa Abad Modern................................................................. 3

B. Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Masa Abad Modern ................... 4

C. Cara Melakukan Hukum Islam Di Masa Abad Modern .................................. 5

D. Ijtihad Kolektif (Trend Hukum Islam Di Masa Abad Modern)....................... 8

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 11

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran hukum Islam di masa abad modern umumnya
berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi
klasik. Paradigma yang digunakan cenderung menekankan wahyu dari sisi
konteksnya.
Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan soisal tidak hanya disusun
dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap
pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Walaupun tawaran
metodologi hukum Islam tersebut memiliki model yang berbeda-beda antara
satu tokoh dengan yang lainnya, namun secara umum mereka memiliki
kecenderungan rasional-filosofis atau dengan kata lain menggunakan
paradigma nalar burhani (rasio) sebagai pijakan pemikiran mereka.
Rasionalitas yang dibangun oleh ulama fikih ingin melakukan penalaran
yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. yang ujungnya adalah tercapainya
kemaslahatan manusia pada umumnya di dunia dan akhirat.

B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka
fokus dari makalah ini adalah:
A. Apa konsep dasar pemikiran hukum islam di masa abad modern?
B. Bagaimana perkembangan pemikiran hukum islam di masa abad
modern?
C. Bagaimana cara melakukan pemikiran hukum islam di masa abad
modern?
D. Bagaimana Ijtihad Kolektif dalam tren hukum islam di masa abad
modern?

1
C. Tujuan
A. Untuk mengetahui serta memahami hukum islam di masa abad modern.
B. Untuk mengetahui serta memahami perkembangan pemikiran hukum
islam di masa abad modern.
C. Untuk mengetahui serta memahami cara melakukan pemikiran hukum
islam di masa abad modern.
D. Untuk mengetahui serta memahami Ijtihad Kolektif dalam tren hukum
islam di masa abad modern.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Islam Di Masa Abad Modern


Sistem hukum Islam dibangun dengan landasan wahyu ilahi tradisi
ketuhanan dan sangat erat dengan nilai-nilai penghormatan terhadap
kemanusiaan, yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk seluruh
umat manusia dan seluruh alam, originalitas dan internalisasinya ditaati oleh
seluruh umat Islam, dan hukum islam telah melewati perjalanan sejarah yang
panjang seiring perkembangan zaman.1
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup
manusia. Hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan
petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban
terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat
untuk menata kehidupan manusia.
Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul
sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal
tersebut yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam
hukum Islam.2
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat
sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi dan lain-
lainnya. Bahkan menurut para ahli linguistik dan semantik bahasa akan
mengalami perubahan setiap 90 tahun.
Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung
arti perubahan dalam masyarakat. Hukum Islam hidup di tengah-tengah
masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum
Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi di
masyarakat tersebut.

1
Nasarudin Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif keindonesiaan, integrasi Sistem
Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional, IAIN Ambon, 2014, 2
2
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.12.

3
Hal itu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan
dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu. Dalam teori
hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai
akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-adah
muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam.3
Gambaran tentang kemampuan syariat Islam dalam menjawab tantangan
modernitas dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat
Islam diantaranya adalah prinsip yang terkait dengan muamalah dan ibadah.
Dalam bidang muamalah hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali
apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Sedangkan
dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang
mendasarinya.4
Berdasarkan prinsip tersebut dapat dipahami bahwa modernisasi yang
terkait dengan segala macam bentuk muamalah diizinkan oleh syariat Islam
selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam.
Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak
terbuka kemungkinan adanya modernisasi melainkan materinya harus
berorientasi kepada nas al-Qur’an dan hadis yang telah mengatur secara jelas
tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam
bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.

B. Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Masa Abad Modern


Menurut Harun Nasution sejarah Islam terbagi ke dalam tiga periode yaitu
periode klasik (650-1250 M.), periode pertengahan (1250-1800 M.) dan periode
modern (1800 M.- dan seterusnya). Persepsi muslim tradisional (pra modern),
hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan yang tidak ada
kaitannya dengan berbagai perkembangan historis.
Muslim tradisional berpendapat bahwa al-Qur’an dan sunah telah
memberikan uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurut muslim tradisional

3
Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Pres, 1999),
h. 23.
4
Nasroen Harun, Ushul Fiqih I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), h. 34

4
hanya ada satu sumber yang terdapat aturan-aturan hukum yang dikembalikan
yaitu wahyu Tuhan. Ide tentang hukum natural tidak dikenal. Coulson
menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional tentang perkembangan hukum
Islam tidak memiliki historis.5
Menurut Harun Nasution era modern bermula pada abad ke-19, merupakan
periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan
mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, pengaruh peradaban Barat
terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam sangat kuat.
Akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan dan salah satu aspek
tersebut adalah pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin hukum Islam. Pada
perkembangan berikutnya modernitas ini berpengaruh terhadap konsepsi
hukum Islam.6
Perubahan pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam tersebut salah
satunya dihembuskan oleh Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional
tentang hukum Islam. Schaht tidak mengkaji hukum Islam secara teologis
dogmatis, melainkan lebih bersifat historis dan sosiologis.
Schaht menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang
diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan
realitas sosial. Schaht menyimpulkan bahwa sebagian besar hukum Islam
termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses
perkembangan historis.7

C. Cara Melakukan Hukum Islam Di Masa Abad Modern


Abad ke-20 merupakan masa kelanjutan dari kecenderungan ke arah
modernisasi melalui pengabsahan diberlakukannya hukum-hukum Barat di
beberapa negara Islam. Dalam kenyataanya, bangsa-bangsa muslim justru
hanya berhasil mengembangkan sistem-sistem hukum yang modern secara
terbatas pada hukum keluarga saja.

5
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. II;
Jakarta:PT Bulan Bintang, 1990), h. 42.
6
Ibid., h.46.
7
Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 14.

5
Di pihak lain,muncul wacana menghendaki cara sekuler yang menyatakan
perlunya dikembangkan Islam modern dengan cara memisahkan agama dari
persoalan politik dan hukum.8
Di dunia Islam sekarang timbul tuntutan-tuntutan baru untuk kembali lagi
kepada pandangan hidup yang Islami. Kebangkitan kembali Islam di bidang
politik harus dibarengi tuntutan bagi pembinaan sistem hukum yang Islami,
yang dilakukan oleh orang-orang yang meyakini bahwa syariahlah yang
seharusnya memberikan cirri khas Islam pada negara dan rakyatnya.9
Subhi Mahmasami mengemukakan perlunya reinterpretasi dan adaptasi
hukum Islam sejalan dengan perkembangan dunia modern saat ini. Subhi
Mahmasami menambahkan bahwa untuk mengobati penyakit taklid buta dan
fanatisme terhadap mazhab dperlukan adanya ijtihad.
Pintu ijtihad harus terbuka lebar bagi siapa saja yang memiliki kemampuan
yang dapat diandalkan di bidang hukum. Memberikan kebebasan kepada kaum
muslimin untuk menafsirkan hukum Islam, kebebasan berpikir dan menjadikan
pikiran itu mampu menciptakan karya-karya ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.10
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaharuan hukum Islam,
sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu
menjawab permasalahn dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahn dan
perkembangan baru itu mengandung dua unsur. Pertama, menetapkan hukum
terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah
bayi tabung. Kedua, menetapkan dan mencari ketentuan hukum baru bagi suatu
masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.

8
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah
(Cet. IV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 319.
9
Ibid., h. 321.
10
Ibid., h. 324.

6
Maksud dari dengan tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan
manusia masa sekarang adalah ketentuan hukum lama yang merupakan hasil
ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasikan kebutuhan
dan kemaslahatan masyarakat masa kini.11
Sejalan dengan hal tersebut, Umar Shihab mengemukakan metode ijtihad
yang cocok dengan kondisi saat ini sebagai berikut:
1. Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)
Para ulama salaf telah memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapinya, bukan berarti apa yang mereka tetapkan atau hasilkan
dalam bentuk ijtihad adalah suatu ketetapan akhir untuk sepanjang
masa. Akan tetapi, para mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan
studi perbandingan di antara pendapat dan meneliti dalil-dalil yang
dijadikan landasan atau mujtahid dewasa harus memilih pendapat yang
dipandang kuat dan sesuai dengan kondisi.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu,
melainkan ditransformasikan sesuai perkembangan zaman.
Berkomitmen dengan suatu mazhab atau pendapat tidaklah salah, tetapi
harus meneliti secara keseluruhan agar bisa mendapat ketetapan yang
kuat dan sesuai dengan realitas masalah umat Islam saat ini.

2. Ijtihad Insya’i (Penalaran Baru)


Ijtihad ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahan yang
timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang
yang belum pernah diungkap dalam kitab klasik dan semuanya
memerlukan solusi secara ijtihadi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi dunia
banyak membawa pengaruh pola pikir dan sikap hidup masyarakat.
Sikap rasional yang menjadi cirri utama masyarakat modern membuat
praktik ilmu fikih kurang mampu lagi menjawab permasalahan baru
tersebut.

11
Husein Muhammad, Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taqlid Versus Ijtihad (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987), h. 120.

7
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai
apabila mujtahid sekarang hanya terpaku pada pendapat ulama salaf,
sebab para mujtahid belum mengalami kasus-kasus itu dan berijtihad
dalam hal tersebut.

3. Ijtihad Komparatif
Ijtihad komparatif adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad
intiqa’i dan insya’i. Untuk menguatkan atau mengkompromikan
beberapa pendapat perlu diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan
keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.12

D. Ijtihad Kolektif (Trend Hukum Islam Di Masa Abad Modern)


Pada masa sekarang ini dan paling relevan serta dapat
dipertanggungjawabkan kualitasnya secara ilmiah dan akademik adalah
dilakukan dengan cara kolektif (jama’i), yaitu ijtihad yang melibatkan beberapa
ahli lintas profesi. Sebenarnya apa yang disebut dengan ijtihad kolektif (dalam
Bahasa Arab sering disebut al-ijtihad al-Jama’i) tidak jauh bedanya dengan al-
ijtihad al-fard (ijtihad personal). Bedanya hanya kalau dalam ijtihad kolektif,
ijtihad dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah ulama. Sedangkan al-
ijtihad al-fard, ijtihad dilakukan secara sendiri-sendiri. Dengan demikian,
pengertian ijtihad kolektif dapat dimaknai dengan : “Usaha sungguh-sungguh
sejumlah ulama dalam memahami hukum syar’i dari dalil-dalil yang mu’tabar,
kemudian mereka sepakat terhadap sebuah keputusan hukum setelah terjadi
dialoq di antara mereka.”
Perkataan “sejumlah ulama” dalam devinisi di atas, supaya dipahami bahwa
ijtihad kolektif ini tidak temasuk dalam katagori ijmak. Karena syarat ijmak
sebagaimana dimaklumi dalam kajian ushul fiqh harus merupakan kesepakatan
semua ulama mujtahid yang hidup pada suatu masa tanpa kecuali.13 Sedangkan
ijtihad kolektif hanya diikuti oleh sekelompok ulama yang bisa saja dibatasi
oleh letak geografi tertentu seperti Indonesia atau organisasi tertentu.

12
Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
76-77.
13
Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 107

8
Dr Wahbah Zuhaili menyebut pengertian ijtihad kolektif ini dengan lebih
rinci, yakni sebagai berikut :
‫ واالطالع على‬،‫هو ما يتفق عليه فئة مستنيرة من العلماء بعد دراسة موضوع معين وتقديم بحث فيه‬
،‫وإيراد أدلتهم ومناقشتها والترجيح بينها واالنتهاء لرأي معين ما يجدونه مقرراً لدى العلماء السابقين‬
‫بحسب قوة الدليل وتحقيق المصلحة‬

Hukum yang disepakati oleh sejumlah ulama yang diakui kafasitasnya


setelah melakukan kajian terhadap objek tertentu dan mendahulukan kajian
atasnya serta dengan mengkaji pendapat-pendapat yang didapati dari ulama-
ulama terdahulu. Kemudian mendatangkan dalil-dalil ulama-ulama tersebut
serta mendiskusikannya, kemudian melakukan tarjih di antara pendapat-
pendapat tersebut, sehingga menghasilkan suatu pendapat berdasarkan dalil
yang kuat dan kepastian mashlahahnya.14

Ijtihad yang dilakukan secara secara bersama-sama dari orang yang


memiliki dan menguasai disiplin beragam akan bisa menyerap seluruh
persoalan yang dihadapi. Hasil ijtihadnya pun diharapkan mampu memberikan
jawaban secara utuh dan menyeluruh.15
Ijtihad kolektif merupakan bentuk ijtihad yang mengakui dan
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan di kalangan ahli untuk
memecahkan problem hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan
berbagai para ahli dapat memudahkan jalan bagi seorang yang sedang
menghadapi problematika serius.16
Ahli fikih kontemporer Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa fikih harus
berkaitan dengan kenyataan dan menjelaskan hikmahnya. Bahkan seyogyanya
fikih kontemporer memanfaatkan hasil istinbat hukum para fuqaha yang bersifat
umum dan kaidah yang berkaitan dengan perusahaan yang mereka tetapkan
dalam rangka bergiat fikih perusahaa kontemporer.

14
Wahbah Zuhaili, al-Ijtihad fi ‘Asrina haza min Haitsu al-Nadhriyah wa al-Tathbiiq, Majalah
Dirasaat al-Alam al-Islami, Maret 2011, Hal. 1
15
Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
76-77.
16
Ibid., h. 78.

9
Contoh, pembahasan zakat ternak seperti unta, kambing dan sapi masih
berpedoman pada kitab-kitab klasik yang belum menyentuh ranah perusahaan
seperti perbankan, perusahaan sekurites, pasar saham, pasar uang, indeks saham
dan sejenisnya yang membuat kaum muslimin bertanya tentang hukumnya di
mana-mana.17
Searah dengan pendapat tersebut, reformasi serta renovasi bahasa kitab-
kitab klasik yang dikemas ke dalam bahasa modern agar cepat dipahami dengan
dengan bahasa masa kini, seperti mereformasi kata qullah, hasta, bintu labun,
mud dan sejenisnya dengan ukuran standar masa kini seperti kilogram, meter
meter kubik, dollar dan lain-lain.
Rasionalitas hukum Islam modern tidaklah sepenuhnya benar. Membuang
atau menghilangkan pemikiran klasik tidaklah sepenuhnya salah.
Menyandingkan dan menyelaraskan keduanya sangat diperlukan dalam
kearifan hukum.
Rasionalitas yang terbingkai oleh nas menjadi rambu bagi pemikir-pemikir
hukum Islam modern untuk menjaga keaslian hukum agar tidak lepas dari
maqasid syari’ah yang sesungguhnya.

17
Ibid

10
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep dasar pemikiran hukum Islam modern mengedepankan modernitas
yang realistis sesuai kebutuhan dan tuntutan persoalan yang diharapkan
mampu menjawab segala persoalan dari segala aspek.
2. Pemikiran hukum Islam terus mengalami perkembangan seiring dengan
persoalan yang makin kompleks. Pemikiran ulama terdahulu dianggap
sudah relevan dalam menyahuti segala persoalan. Merubah paradigma
taklid buta dengan rasionalitas.
3. Mayoritas ulama mendukung akan perkembangan pemikiran hukum Islam
tetapi berbeda dalam penerapan sistem. Para ulama sepakat
mengedepankan rasional tanpa harus meninggalkan nas. Hal ini dilakukan
agar maqasid Tuhan tetap terjaga.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Anshari, Zakariya. Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang.


Umar, Nasarudin. 2014. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif keindonesiaan,
integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional. Ambon: IAIN
Ambon.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Muallim, Amir dan Yusdani, 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam.
Yogyakarta: UII Pres,
Harun, Nasroen. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Nasution, Harun. 1990. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta:PT Bulan Bintang.
Uways, Abdul Halim. 1998. Fiqih Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah.
J. Donohue, John dan John L. Esposito. 1990. Islam dan Pembaharuan:
Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husein, Muhammad. 1987. Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taqlid Versus Ijtihad.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Mustafa dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika.
Zuhaili Wahbah. 2011. Al-Ijtihad fi ‘Asrina haza min Haitsu al-Nadhriyah wa al-
Tathbiiq, Majalah Dirasaat al-Alam al-Islami. Maret.
Mustafa dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika.

12

Anda mungkin juga menyukai