Oleh :
MOH. SAIFUDIN ZUHRI, S.Pd.I
NIM . 19610412
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah......................................................................1
2. Rumusan Masalah...............................................................................2
3. Tujuan..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Islam Pada Abad Ke 11....................3
2.2 Sejarah Perkembangan Hukum Islam pada
masa kebangkitan sampai sekarang....................................................4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.........................................................................................13
3.2 Saran....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat, berkah, dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia yang membahas tentang “Sejarah Perkembangan Hukum Islam abad ke
XI – Sekarang. Sholawat dan salam tak lupa juga kami haturkan kepada baginda
nabi Muhammad SAW.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1 A Wasit Aulawi, ‘Sejarah Perkembangan Hukum Islam’, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH., 1996, 53.
iv
juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara
khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses
sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang
sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-
kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam
Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa
datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi
sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
2. Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana Sejarah dan Perkembangan hukum islam pada Abad
Ke 11 ?
2.2 Bagaimana Sejarah dan Perkembangan hukum islam pada ?
3. Tujuan
3.1 Mengetahui bagaimana perkembangan hukum islam abad ke 11.
3.2 Mengetahui perkembangan hukum islam di masa sekarang
2 Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum islam, (bandung : PT. remaja rosdakarya .
2000)hal.16
v
BAB II
PEMBAHASAN
vi
hari yang kemudian disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan
salah satu hukum yang diterapkan di Indonesia sejak ratusan tahun yang
lalu.
vii
ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah
SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan
melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh,
tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan
sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika
dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum
Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan
mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh
pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan
udara segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar
tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan
gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di
Minangkabau (Indonesia).
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka
ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas
kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang
berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman
orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide
seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya
tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat
berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya
secara serius.
Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang
tersebut di atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897)
terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang memasyhurkan
ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa
kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya
sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan
viii
kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada
waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada
dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.
Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan
Barat terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat
Islam dapat maju kembali, maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini
adalah penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka
Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai
dengan saat ini, yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.
Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan
Islamisme ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya
apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia
Islam yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan
mengental ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya
berdasarkan Islam. Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani
ini adalah relevan pada masanya, namun demikian masih perlu diterjemahkan
ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini.
Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran
Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh
dan Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di
seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti
oleh antara lain Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan
oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Hanya saja pikiran-
pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan
Islamisme, bukan pada pendirian negara islam internasionalnya.
Menurut Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan
kebodohan merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh
karena itu kemiskinan dan kebodohan harus di “perangi” melalui pendidikan.
Selain itu Poligami menurut Abduh adalah pintu darurat yang hanya dapat
dilalui kalau terjadi sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan perkawinan
ix
dan keluarga. Pemahaman Mohammad Abduh mengenai ayat ini sekarang
tercermin dalam Undang-Undang perkawinan umat Islam di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Mengenai mazhab, Mohammad Abduh bermaksud hendak
menghapuskan dinding pemisah antar mazhab, sekurang-kurangnya
mengurangi kalau tidak dapat menghapuskan kefanatikan mazhab sekaligus
dan menganjurkan agar umat Islam yang memenuhi syarat kembali lagi
menggali hukum Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al Qur’an dan Sunnah
Muhammad (Rasulullah), sebagaimana yang pernah terjaadi dalam sejarah
(hukum) Islam.
Ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempatnya
yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai
masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Mohammad
Abduh terkenal dengan gerakan salaf(gerakan salafiyah) mempunyai pengaruh
yang besar di negara-negara Islam.
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang
dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping
sistem pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah
berubah tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan)
hukum Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-
orang Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap
perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.
Dalam rangka kembali kepada hukum Islam, akhirnya di Lybia dibentuk
suatu Panitia Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum Islam secara
mendalam, di bawah pimpinan seorang ahli hukum terkenal bernama Ali
Mansur. Panitia ini bertugas meneliti dan mempelajari hukum Islam dalam
segala bidang. Bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun
kodifikasi hukum Islam itu bukan hanya bahan-bahan yang terdapat di
kalangan ahlus sunnah wal jama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang
terdapat dalam semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hati
pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat Islam di
abad ke-20 ini.
x
Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen
Agama telah dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan, kewarisan,
dan perwakafan. Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum
Islam pada bulan Februari 1988 dan (tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat
Islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama
(salah satu unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum
terapan.
Upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-
undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu
buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11
Tahun 2002.
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan
mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada
masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum islam mulai teraktualisasikan
dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya
dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum
publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi
Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU
No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui
UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang
ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri
termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam adalah banyak daerah
menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di
berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam
sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan
model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi
hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain
yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah
membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten
xi
Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan
Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam
pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44
tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
a. Penerapan syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
b. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa
mengabaikan kurikulum umum.
c. Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
d. Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia.
Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan
hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk
xii
kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuan
hukum islam di Indonesia, harus dilihat dari berbagai faktor yang mendukung
adanya penerimaan dan juga faktor yang menghambat atau melakukan
resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu
bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara
Indonesia sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah
kenyataan sosial. Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah mengetahui
berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi
implementasi hukum islam di Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap
sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum islam di Indonesia. Faktor-
faktor tersebut adalah: kedudukan hukum islam, penganut yang mayoritas,
ruang lingkup hukum islam yang luas, serta dukungan aktif organisasi
kemasyarakatan islam. Kedudukan hukum islam sejajar dengan hukum yang
lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan
hukum nasional. Namun, hukum islam mempunyai prospek yang lebih cerah
berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis,yuridis,maupun sosiologis.
Nilai-nilai hukum islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian
nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Sedangkan
hukum adalah bagian dari kebudayaan.
Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama dengan penganut
mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini,
umat islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik
eksekutif,legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan
menetapkan politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim,
maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas
ini tidak serta merta menjadi niscaya, karena sangat tergantung pada
bagaimana keinginan dan upaya umat islam mengimplementasikannya.
Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas.
Dengan keluasan bidangnya, hukum islam merupakan alternatif utama dalam
xiii
pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan
hukum masyarakat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil nilai-
nilai islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan
sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi
islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi islam dalam sistem
politik Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi
nyata dari berbagai organisasi islam setidaknya menjadi daya tawar dalam
pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Keempat faktor diatas memberikan gambaran betapa hukum islam
memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun semua itu
tergantung bagaimana umat islam mengelola potensi tersebut. Hal yang
terpenting adalah menyatukan visi tenteng islam, tanpa kesatuan islam maka
cita-cita untuk mengimplementasikan hukum islam hanya akan menjadi angan-
angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi di kalangan umat islam.
Disamping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga
hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum islam di
Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak mendukung prospek hukum
islam di Inddonesia tediri dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal
berasal dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal) institusionalisasi dan pandangan
dikotomis terhadap hukum islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah
pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum tertentu.
Belum kafahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari
pandangan dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah perdata atau hubungan antar pribadi hampir
sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Namun hukum-hukum selainnya,
seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim
perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berlaitan
dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius. Hal ini tidak
lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi
terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan islam, hukum Islam berlaku
sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/ qadhi untuk
xiv
memutuskan jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah
dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, dimana
hukum pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/ Eropa.
Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia
merdeka. Pemerintah yang baru hanya memberi kewenangan pemberlakuan
hukum perdata Islam. Sedangkan hukum publik menjadi monopoli
pemerintah,yang masih memberlakukan hukum Belanda. Pengadilan Agama
sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang
terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam,misalnya dalam bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, serta sadaqoh yang dilaksanakan
menurut hukum Islam.
Kurang melembagakan hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh
faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan
penetapan hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi
wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk pada
undang-undang yang diberikan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya
penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri agar para penganutnya
tidak melanggar ajaran agamanya. Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya
didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi
kelemahan dan kekurangan hukum positif.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum
Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat
Islam sendiri dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal
tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun
sebaliknya jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah
menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisin inilah
yang mewarnai sejarah hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga
masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan
seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan
eksistensi hukum Islam.
xv
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian dari makalah diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada abad ke 11 terjadi kejumudan dan kelesuan dalam hukum islam
ditandai dengan ulama hanya membatasi diri, mempelajari pikiran-
pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan dalam
berbagai madzab.
2. Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen
Agama telah dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan.
3. Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di berbagai wilayah
Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan
sepenuhnya dan penegakan sebagian.
4. Faktor-faktor yang menjadi penghambat diterimanya hukum islam di
Indonesia tediri dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal berasal
dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal) institusionalisasi dan pandangan
dikotomis terhadap hukum islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah
pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum
tertentu
B. SARAN
Dengan melihat Sejarah Perkembangan hukum islam khusunya di Indonesia maka
perlu adanya keinginan umat Islam sendiri dan kebijakan pemerintah yang
berkuasa. Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam
menjadi mudah tentunya dengan melihat dan menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada pada saat ini dengan tetap memperhatikan pada pendapat / fatwa
ulama baik ulama salaf maupun ulama kontemporer.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 42.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Pedata Islam di
Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No
1/1974 sampai KHI, Jakarta: Prenada Media
Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam (Dinamika
dan Perkembangannya di Indonesia), Jogjakarta:Kreasi Total Media
xvii