Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah, Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Selawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.,
kepada keluarga serta sahabatnya dan tak lupa kepada semua pengikutnya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada dosen pengajar


mata kuliah Hukum Perdata yaitu Ibu DR. Hj. Azizah, SH., M.Hum serta Ibu Erisa
Ardika Prasada, MH. yang telah membimbing langsung maupun tidak dalam
pengerjaan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini tidak hanya berguna sebagai tugas yang
diberikan kepada dosen pengajar semata, namun setidaknya berguna dan menambah
wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

Terimakasih dan selamat membaca.

Kayuagung, April 2016

Penulis
Bab I
Pendahuluan

1. Latar belakang

Di dalam hukum indonesia terdapat hukum perdata yang merupakan hukum


warisan belanda. Sebagai negara hukum, maka masyarakat Indonesia hendaknya bersikap
dan berpedoman pada apa yang telah diatur. Namun didalam melakukan suatu perbuatan
hukum, seseorang haruslah telah dikatakan cakap / dewasa sebagaimana yang telah
ditetapkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Cakap / dewasa menurut KUH PERDATA adalah seseorang yang telah berumur 21
tahun atau sudah kawin. Lalu apakah seorang yang belum dikatakan cakap/ dewasa tidak
bisa melakukan perbuatan hukum? Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasa
perlu untuk mempersamakan seorang yang masih si bawah umur dengan seorang yang
sudah dewasa, agar orang tersebut dapat bertindak sendiri di dalam pengurusan
kepentingan-kepentingannya. Untuk memenuhi keperluan tersebut, diadakan peraturan
tentang handlichting ialah suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia
dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang
yang sudah dewasa. Sehingga Dalam hal ini seseorang yang belum cakap menurut undang-
undang bukan tidak bisa melakukan perbutan hukum, hanya saja setiap orang yang
dikatakan belum cakap / dewasa dapat melakukan perbuatan hukum dengan catatan harus
didampingi oleh seseorang yang dikatakan sebagai walinya.
2. Rumusan Masalah
1) Apa Bedanya Kedewasaan dengan Pendewasaan?
2) Apa yang dikatakan KUH Perdata mengenai Perwalian ?
3) Bagaiman Ketentuan Perwalian dalam KUH Perdata
4) Apa Dasar Pengaturan Pendewasaan dan Perwalian Menurut KUH Perdata ?
3. Maksud dan tujuan
Maksud dan tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah hukum perdata di
fakultas hukum Universitas Diponegoro
4. Metode penulisan
Penulis mempergunakan metode kepustakaan dalam metode ini penulis membaca
buku serta artikel-artikel yang berkaitan dengan penulisan makalah.
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Kedewasaan dan Pendewasaan


Kedewasaan merupakan perpaduan yang seimbang antara jiwa, raga dan
intelektual. Kedewasaan selalu dihubungkan dengan kematangan mental,
kepribadian, pola pikir dan prilaku sosial, namun dilain hal kedewasaan juga erat
hubungannya dengan pertumbuhan fisik dan usia. Kedewasaan juga kadang
dikaitkan dengan kondisi sexual seseorang walaupun kemampuan reproduksi
manusia tidak selalu ditentukan oleh faktor usia. Ukuran kedewasaan memang
sangat relatif, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya
Menurut ketentuan pasal 33 KUHPerdata belum dewasa (minderjarig)
adalah belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila mereka
yang kawin sebelum berumur 21 itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam
keadaan belum dewasa. Dalam staatsblad yang berlaku bagi orang timur asing
seperti disebutkan di atas tadi, apabila di dalam perundang – undangan dijumpai
istilah belum dewasa (minderjarig), maka itu berarti belum berumur 21 tahun
penuh itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Dari
ketentuan – ketentuan tersebut di atas ini dapat diketahui bahwa orang dewasa
(meerderjarig) yaitu orang yang sudah hampir berumur 21 tahun penuh, walaupun
belum berumur 21 tahun penuh tetapi sudah kawin. Demikian juga apabila dalam
perundang – undang dijumpai istilah dewasa (meerderjarig) itu berarti sudah
berumur 21 tahun penuh dan walaupun belum berumur 21 tahun penuh tetapi
sudah kawin.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang – undang ini disebut
kedewasaan. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu
melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan
perkawinan, membuat surat wasiat. Kecakapan hukum ini berlaku penuh selama
tidak ada faktor – faktor yang mempengaruhi atau membatasinya, misalnya
keadaan sakit ingatan, keadaan dungu, pemboros (pasal 1330 KUHPerdata). Dari
kenyataan di atas tadi dapat diketahui bahwa KUHPerdata memakai kriteria umur
untuk menentukan dewasa atau belum dewasa. Tetapi ini pun tidak mutlak,
karena kenyataannya walaupun belum berumur 21 tahun penuh apabila sudah
pernah kawin dinyatakan juga sebagai dewasa. Atau walaupun belum berumur 21
tahun penuh apabila kepentingannya menghendaki, ia dapat dinyatakan dewasa
untuk kawin, untuk membuat surat wasiat (pasal 29 dan pasal 897 KUHPerdata)
istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh
hukum dinyatakan sebagai dewasa. Secara hukum proses pendewasaan dapat
dilakukan dengan dua cara antara lain:
1) Pendewasaan Secara Penuh Menurut Pasal 421 KUH Perdata, untuk
mendapatkan pendewasaan secara penuh anak harus sudah berumur 20 tahun,
yang memberikan status pendewasaan terhadap anak tersebut adalah Presiden
(Menteri Kehakiman) setelah melakukan perundingan dengan Mahkamah
Agung. Pasal 420 KUH Perdata mengatur bahwa permohonan pendewasaan
tersebut diajukan disertai dengan Akta Kelahiran dan akan didengar
keterangan dari kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali badan harta
peninggalan (BHP) sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah/semenda
(Pasal 422 KUH Perdata) 
2) Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas) Untuk
diperbolehkan mengajukan permohonan pendewasaan terbatas seseorang
harus berusia genap 18 tahun. Instansi yang memberikan pendewasaan
tersebut adalah Pengadilan Negeri setempat (tempat tinggal si pemohon)
tetapi jika orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian
tidak setuju, pendewasaan terbatas tidak akan diberikan. (Pasal 426 KUH
Perdata). misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan,
membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status
hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk
perbuatan – perbuatan hukum tertentu (pasal 426 s/d 430 KUHPerdata)

B. Perwalian
Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan
untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak
yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan
hukum atau suatu perlindungan hukum yang diberikan pada seseorang anak yang
belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua
Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta
kekayaan anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua. “Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai
pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang
masih di bawah umur, sehingga dengan demikian perwalian itu sendiri dapat juga
diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur tentang hak dan kewajiban wali.” 
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam KUH Perdata ada juga disebutkan
pengertian dari Perwalian, yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan :“Mereka
yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian
ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.

C. Ketentuan Perwalian Menurut KUH Perdata


a. Perwalian pada umumnya
Didalam sistem perwalian menurut KUHPerdata ada dikenal beberapa asas,
yakni :
 Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal
331 KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian
dalam dua hal, yaitu :
o Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling
lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi
medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUHPerdata.
o Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang
mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia didasarkan pasal 361
KUHPerdata.
 Asas persetujuan dari keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga
tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak
keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut
berdasarkan pasal 524 KUH Perdata

b. Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali


Secara garis besar, menurut KUHPerdata perwalian itu dibagi atas 3 macam
yaitu :
1) Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.
Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan
sendirinya di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak meninggal dan ibu
saat itu mengandung, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi
pengampu (kurator) atas anak yang berada dalam kandungan tersebut. Kurator
yang demikian disebut “Curator Ventris”. Apabila bayi lahir, maka ibu demi
hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengawas.
Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum menjadi wali
peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng terhadap
perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.
Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat
terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian
salah satu orang tua. Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di
bawah perwalian bapak/ibu yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih
dahulu mengakuinyalah yang menjadi wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata).
Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan bersama – sama maka bapaklah
yang menjadi wali. 
2) Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan
akta autentik. 
Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing
yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau
lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana
sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik
dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termaksud dalam
Pasal 353 (5) KUHPerdata. Bagi wali yang diangkat yang diangkat oleh orang
tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai dari saat orang tua itu
meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima pengangkatannya. 
3) Perwalian yang diangkat oleh hakim. 
Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak
diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang
wali setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah dan
semenda (periparan). Bagi wali yang diangkat oleh hakim (datieve voogdij)
dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatannya. Bila
tidak hadir perwalian dimulai sejak diberitahukan  kepadanya.

c. Orang-orang yang berwenang menjadi Wali


 Wewenang menjadi wali.
Pada Pasal 332 b (1) KUHPerdata menyatakan “perempuan bersuami tidak
boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam Pasal 332 b (2)
KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu
dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim. Selanjutnya Pasal 332 b ayat
2 KUH Perdata menyatakan : “Apabila si suami telah memberikan bantuan
atau izin itu atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian
bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal
114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali
perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-
tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau
bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab
pula.”
 Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali.
Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai
wali adalah menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam Pasal 355 ayat 2 KUH
Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali.
Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh pengadilan.
Sesungguhnya tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib
memberitahukan hal itu tetapi juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi
akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban memberitahukan itu tidak
dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya,
demikianpula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan
tempat perawatan anak-anak tersebut.
Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi
Wali
1. Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang orang tua.
2.  Seorang istri yang diangkat menjadi wali.
3. Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau perwalian itu
diberikan atau diperintahkan kepadanya atau permohonannya sendiri atau atas
pertanyaan mereka sendiri.
d. Yang dapat meminta pembebasan untuk diangkat sebagai wali.
Dalam Pasal 377 (1) KUH Perdata, menyebutkan :
1. Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada diluar Indonesia.
2. Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya.
3. Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau untuk
suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi.
4. Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun.
5. Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh.
6. Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat perwalian
itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah atau semenda
yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.
Menurut Pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang
digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
1. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
2. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
3.  Mereka yang berada dibawah pengampuan.
4. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau
perwalian atau penetapan pengadilan.
5. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara,
juru buku dan agen balai hartaa peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau
anak tiri mereka sendiri.
e. Mulainya Perwalian
1. Dalam Pasal 331 a KUHPerdata, disebutkan Jika seorang wali diangkat oleh
hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu.
Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu
diberitahukan kepadanya.
2. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang
tua itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan
tersebut.
3. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang
menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
f. Wewenang Wali
1. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
Dalam Pasal 383 (1) KUH Perdata, “Setiap wali harus menyelenggarakan
pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai
dengan hartaa kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala
tindakan-tindakan.” Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan
anak yang menjadi perwaliannya. Dalam ayat 2 Pasal tersebut ditentukan , “si
belum dewasa harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang
memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
2. Pengurusan dari Wali
Pasa1 383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan : “…pun ia harus mewakilinya
dalam segala tindakan-tindakan perdata.” Namun demikian pada keadaan
tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya
dalam hal pupil itu akan menikah. Barang-barang yang termasuk pengawasan
wali. Menurut Pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah
berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan
ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa
pengurus.
g. Kewajiban wali adalah :
1. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Pasal 368 KUH
Perdata apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat
dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar
biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
2. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai hartaa si anak yang
diperwalikannya (Pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
3. Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
4. Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh
anak tersebut dan biaya pengurusan. (Pasal 338 KUH Perdata).
5. Menjual perabotan rumah tangga dan semua barang bergerak dan tidak
memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang
diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (Pasal 389 KUH
Perdata)
6. Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam
hartaa kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (Pasal 392 KUH
Perdata)
7. Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah
dikurangi biaya penghidupan tersebut.
h. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
1. Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir
karena :
1. Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
2. Matinya si anak.
3. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
4. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.

2. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir
karena :
1. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
2. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380
KUHP Perdata).Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih
mementingkan kepentingan anak minderjarigen itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam Pasal 382
KUHPerdata menyatakan :
1. Jika wali berkelakuan buruk.
2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan
kecakapannya.
3. Jika wali dalam keadaan pailit.
4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan
terhadap si anak tersebut.
5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta
Peninggalan (Pasal 368 KUHPerdata).
7. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Harta
Peninggalan (Pasal 372 KUHPerdata).

D. Dasar Pengaturan Pendewasaan Dan Perwalian Menurut KUH Perdata

     Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan
belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu
bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan
membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu
berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu
mencapai umur 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata).Didalam KUHPerdata Tentang
Kebelumdewasaan Dan Perwalian diatur dalam Bab XV yang terbagi kedalam tiga
belas bagian diantaranya :

1. tentang kebelumdewasaan ( Psl 330 )


2. tentang perwalian umumnya ( Psl 331-344 )
3. tentang perwalian oleh bapak atau ibu ( Psl 345 -353 )
4. tentang perwalian yag di perintahkan oleh bapak atau ibu ( Psl 355-358 )
5. tentang perwalian yang diperintahkan oleh pengadilan negeri (Psl 359-364 )
6. tentang perwalian oleh perhimpunan perhimpunan, yayasan-yayasan dan
lembaga-lembaga amal ( Psl 365 )
7. tentang perwalian pengawas (Psl 366-375)
8. tentang alasan-alasan yang mempermaafkandiri dari perwalian (Psl 376-378)
9. tentang pengecualian, pembebasan dan pemecatan perwalian (Psl  379-382)
10. tentang pengawasan wali atas pribadi anak belum dewasa (Psl 383-384)
11. tentang tugas mengurus wali (Psl 385-408)
12. tentang perhitungan tanggung jawab perwalian (Psl 409-414)
13. tentang tentang balai hartaa peninggalan dan dewan-dewan perwalian (Psl
415-418)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya
kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya
bantuan pihak lain, apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Sedangkan
pendewasaan (handlichting) adalah suatu pernyataan tentang seorang yang belum
mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan
dengan seorang yang sudah dewasa.

Perwalian pada dasarnya adalah setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu
melakukan perbuatan hukum karena mmenuhi syarat umur menurut hukum. Maka
kesimpulan perwalian menurut beberapa ahli adalah orang yang dinyatakan belum
dewasa maka diwalikan oleh walinya ketika melakukan perbuatan hukum. Pada
umumnya perwalian mempunyai 2 asas yaitu :

1. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid).


2. Asas persetujuan dari keluarga.
3. Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali
1. Perwalian oleh suami atau istri yang hidup lebih lama, Pasal 345 sampai Pasal
354 KUHPerdata.
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri
3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim

B. Saran
Demikian tugas makalah  ini kami buat. Kami yakin bahwa tugas yang
kami buat masih jauh dari yang dari kata memadai dan sempurna,
karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari kawan-kawan amat kami
perlukan demi kebaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab undang-undang hukum perdata.


Abdulkadir Muhammad S.H. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Lampung : P.T. Citra
Aditya Bakti.
Subekti, Prof.S.H. 1978. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa.
Komariah. 2001. Hukum Perdata Edisi Revisi. Malang : UMM Press.
Anonym. tanpa tahun. PENGATURAN MENGENAI PERWALIAN DITINJAU DARI
PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974. https://balianzahab.wordpress.com/makalah-
hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata-2/, 20 April 2016.
Firman Nugroho. 2014. Pendewasaan (handlichting)
http://www.slideshare.net/zainalzayabidin/pendewasaan-handlichting. 20 April 2016.
Linafatinah. 2014. Batas Kedewasaan dan Pendewasaan.
http://linafatinahberbagiilmu.blogspot.co.id/2014/05/hukum-perdata-batas-
kedewasaan-dan.html . 20 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai