PUTUSAN PENGADILAN
3
Jawaban atas tangkisan terdakwa atau pengacaranya
4
Jawaban kedua sebagai jawaban atas replik
5
Kesimpulan (Pendapat)
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada
putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan
oleh pembuat Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu
menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya
bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat,
tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970) .
2. Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat,
tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama,
alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang
bersangkutan menguasakan kepada orang lain.
3. Pertimbangan (alasan-alasan)
Dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri
atas 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden),
adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya
pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi
didepan pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan
penggugat dan jawaban tergugat dikutif secara lengkap, padahal
dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap
putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat
ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.
2. Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah
pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya,
pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu
putusan pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang
berperkara dan hakim yang meninjau putusan tersebut dalam
pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.
4. Amar Putusan
Dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni
apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi
Amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan
jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.Dalam Hukum
Acara Perdata hakim wajib mengadili semua tuntutan, baik dalam
konvensi maupun rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan tersebut
harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968). 6
C. TUJUAN PUTUSAN PENGADILAN
Secara umum manfaat dari putusan hakim peradilan agama adalah
dapat diselesaikannya sengketa-sengketa yang terkait dengan hal-hal yang
terkait dengan syariat-syariat hukum perdata Islam seperti perkawinan,
waris, waqaf dan sebagainya dengan berdasarkan pada asas keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan. Disamping itu tujuan adanya putusan
pengadilan adalah memberikan kepastian hukum.
D. ASAS-ASAS PUTUSAN PENGADILAN
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan
beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara
yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang
telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak
terdapat cacat hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar
putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang –
undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta
berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum
kebiasaan atau hukum adapt baik tertulis maupun tidak tertulis,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang – undang No. 4 tahun 2004
pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) hakim wajb
6
H. Riduan Syahrani, S.H. 2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Cet V. PT. Citra
Aditya Bakti Bandung.
mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak
yang berperkara.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus
secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan
mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memerriksa
sebagian saja dari tuntutn yang diajukan oleh penggugat.
3. Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan
yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim
yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah
melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau
invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur
dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
4. Diucapkan di Muka Umum
Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan
dalam Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan
dalam sidang tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga,
misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan
perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.
Namun dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975
menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan
ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan,
pelanggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi
cacat hukum.
E. JENIS-JENIS PUTUSAN PENGADILAN
1. Berdasarkan Lingkungan Peradilan
a. Putusan Perkara Pidana
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan utama dalam
penyusunannya. KUHAP merupakan penyebutan dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8
Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal
285.
b. Putusan Perkara Perdata
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara perdata dengan HIR, Rbg, dan Rv sebagai
ketentuan utama dalam penyusunannya.
c. Putusan Perkara Perdata Agama
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara agama. Putusan dalam perkara agama mengikuti
putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
d. Putusan Perkara Tata Usaha Negara
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara tata usaha negara. Putusan dalam perkara tata
usaha negara mengikuti putusan perkara perdata dengan beberapa
modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
e. Putusan Perkara Militer
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana militer dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai ketentuan utama
dalam penyusunannya.
2. Berdasarkan Pada Tahap Persidangan
a. Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim,
namun belum menyinggung pokok perkara yang terdapat dalam
dakwaan/gugatan. Dalam perkara pidana, putusan sela berkaitan
dengan pengajuan keberatan dari Terdakwa/Penasihat Hukumnya
mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara,
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.
Pada sisi lainnya, didalam perkara perdata, putusan sela dapat berupa
putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan incidenteel, dan
putusan provisioneel.
1) Putusan Preparatoir, merupakan salah satu spesifikasi yang
terkandung dalam putusan sela, yang dijatuhkan oleh hakim guna
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar
dari putusan ini adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu
sendiri. Misalnya, putusan yang menetapkan bahwa gugatan
balik (gugatan dalam rekonvensi) tidak akan diputus bersama-
sama dengan gugatan dalam konvensi, atau sebelum hakim
memulai pemeriksaan, terlebih dahulu menjatuhkan putusan
tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya
pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap
pembuktian. Akan tetapi, dalam praktik hal ini jarang terjadi.
Proses pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai dengan
kebijakan hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang
pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu
ditentukan tahap-tahapnya. Heikhal A. S. Pane, Penerapan
Uitvoerbaar bij Voorraad dalam Putusan Hakim pada
Pengadilan Tingkat Pertama (Studi Kasus: Putusan Perkara
Perdata Register Nomor: 89/PDT.G/ 2005/PN.TNG), Skripsi,
(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 20.
2) Putusan Interlacutoir adalah putusan sela yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang berisikan perintah pembuktian dan
dapat mempengaruhi pokok perkara. Misalnya putusan yang
berisi perintah untuk memberikan keterangan ahli, putusan
tentang beban pembuktian kepada salah satu pihak agar
membuktikan suatu putusan dengan amar memerintahkan
dilakukan pemeriksaan setempat (descente).
3) Putusan Insidentil, adalah salah satu jenis putusan sela yang
berhubungan dengan adanya incident, yang diartikan dalam Rv.
sebagai peristiwa atau kejadian yang menunda jalannya proses
pemeriksaan perkara. Putusan incidenteel dapat dibedakan
menjadi putusan incidenteel dalam gugatan intervensi yang
terbagi menjadi voeging, tussenkomst, dan vrijwaring dan
putusan incidenteel dalam sita jaminan (conservatoir beslag).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis
hakim setelah memeriksa pokok perkara dengan memperhatikan
fakta-fakta yang terjadi di persidangan. Putusan yang lazim disebut
sebagai end vonis ini dapat dibedakan dalam perkara pidana dan
militer pada satu sisi dan perkara perdata, agama, dan tata usaha
negara pada sisi lainnya, yang secara lengkap adalah sebagai berikut:
1) Putusan Akhir dalam Perkara Pidana dan Militer, dalam
perkara pidana dan militer, putusan akhir dapat berupa putusan
yang bersifat pemidanaan dan putusan yang bukan bersifat
pemidanaan, yang terdiri dari bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum.
2) Putusan Akhir dalam Perkara Perdara, Agama dan TUN,
Dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara, putusan
akhir dapat dibedakan menjadi putusan yang bersifat declaratoir,
condemnatoir, dan constitutief.
a) Putusan Declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan
tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut
hukum semata-mata. Misalnya, tentang kedudukan sebagai
anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang
pengangkatan anak.
b) Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk
hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman
dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk
hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau
memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang
terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi,
berbuat, atau tidak berbuat.
c) Putusan Constitutif
Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuh-kan oleh
hakim yang amarnya menciptakan suatu keadaan hukum
yang baru, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan
hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.
Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang
meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan
hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu
meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan
dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami
dan istri, yaitu sebagai janda dan duda.
3. Berdasarkan Hadir Tidaknya Pihak
a. Putusan Verstek
Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena
tergugat/termohon tidak hadir dalam persidangan padahal sudah
dipanggil secara resmi, sedangkan penggugat/pemohon hadir.
b. Putusan Gugur
Putusan gugur, yaitu putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah
hadir meskipun sudah dipanggil secara resmi dan tergugat/termohon
hadir dalam sidang dan mohon putusan.
c. Putusan Kontadiktoir
Putusan kontradiktoir, yaitu putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak
atau para pihak.
4. Berdasarkan Amar
a. Putusan Tidak Menerima Penggugat
Putusan tidak menerima penggugat yaitu gugatan
penggugat/permohonan pemohon tidak diterima karena tidak
terpenuhinya syarat hkum baik formil maupun materil (putusan
negatif).
b. Putusan Menolak Gugatan Penggugat
Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang
dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi
ternyata dalil- dalil penggugat tidak terbukti (putusan negatif).
c. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Untuk Sebagian Dan
Menolak Tidak Menerima Selebihnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan
menolak tidak menerima selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil
gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak
memulai syarat ( putusan campuran positif dan negatif).
d. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Seluruhnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, yaitu putusan
yang terpenuhinya syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat
(putusan positif).
7
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Citra
Aditya Bakti. Jakarta.
8
Ibid
dihadapkan kepada hakim saat ini.9 Para ahli juga berbeda pandangan
mengenai formulasi tentang bagaimana hakim memutuskan perkara, yang
menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam memutus
perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang
ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan
semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain? Dengan
perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal
reasoning yaitu:
-Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam
masalah yang sedang terjadi.
-Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap
putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
-Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu
perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek.
I. METODE DAN PENAFSIRAN HAKIM DALAM PUTUSAN
Penafsiran hakim adalah suatu kegiatan hakim didalam menemukan
hukum yang dilakukan dengan cara menafsir arti atau maksud dari teks
undang-undang dan memberi penjelasan agar ruang lingkup kaidah itu
dikaitkan dengan fakta peristiwa. Definisi lain menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan penafsiran hakim adalah menetapkan pengertian, asas
dan dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang
dikehendaki oleh para pembuat undang-undang kemudian diterapkan oleh
hakim terhadap perkara yang sedang ditanagani. Penafsiran hukum juga
disebut sebagai upaya menerangkan, menjelaskan, menegaskan dalam arti
memperluas ataupun membatasi penegrtian hukum yang ada dan
penggunaannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Kualitas hakim itu dilihat dari putusannya. Hukum itu pasalnya tetap
atau sulit berubah sementara masyarakat terus berubah. Undang-Undag
selalu ketinggalan dengan fakta atau peristiwa. Terkadang Undang-Undang
itu tidak lengkap, tidak jelas atau kurang jelas. Maka untuk melengkapinya
dan memperjelaskannya adalah oleh hakim. Pengadilan tidak boleh menolak
9
Simorangkir, J.C.T., et al. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru. Jakarta. hlm. 42
sebuah perkara dengan dalih hukumnya belum ada. Maka apapun masalah
yang terjadi dalam masyarakat hakim harus melakukan penemuan hukum.
Jika tidak ada Undang-Undangnya maka hakim harus menciptakan hukum.
Penemuan hukum adalah karena hukumnya tidak ada. Faktanya ada,
kasusnya ada namun hukumnya tidak ada. Maka hakim melakukan
penemuan hukum. Hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak jelas,
maka dibutuhkan interpretasi dari hakim. Beberapa bentuk interpretasi di
dalam hukum.
1. Penafsiran secara bahasa adalah penafsiran untuk memukan arti kata, lalu
dihubungkan arti kata tersebut dalam bahasa sehari hari. Dalam peraturan
perundnag-undangan kata harus diberikan arti sebagaimana kara tsb
digunakan dalam sehari hari.
2. Penafsiran secara otentik yaitu penafsiran yang resmi terhadap peraturan
ketentuan hukum yang dimuat dalam peraturan hukum itu sendiri.
Penafsiran itu memang berdasarkan pada pembentukan hukum.
3. Penafsiran secara histori yaitu penafsiran yangdiambil berdasarkan
sejarah diebntuknya undang-undang seperti halnya Pasal 2 dalam
Undang-Undang Perkawnan yang menyebutkan bahwa perkawinan sah
berdasarkan agama masing-masing.
4. Penafsiran secara sistemis yaitu penafsiran yang diddasarkan pada
pengaturan hukum dan hubungannya antar pasal atau antar ayat dari
peraturan masalah itu. Contoh Pasal 87 KUHP, ditafsirkan sebagai Pasal
104-105 KUHP. Peraturan yang sama atau sejenis.
5. Penafsiran interpretasi atau ekspansi yaitu penafsiran yang berupa
perluasan makna dari suatu Undang-Undang. Conthnya kerugian, tidak
termasuk kerugian yang berwujud seperti sakit kepala.
6. Penafsiran secara nalogis/qiyas yaitu penafsiran pada fakta hukum dan
peristiwa hukumnya ada. Peristiwa yang sebetulnya tidak dimasukkan
tapi bisa dianggap sesuai dengan peraturan. Seperti menyambung aliran
listrik sama dengan mengamnil aliran listrik.
J. PENEMUAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN
K. KESIMPULAN DAN AMAR PUTUSAN
L. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
M. MODEL DAN METODE ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN
N. LANDMARK DECISIN
O. TEKNIK MEMBUAT PUTUSAN
P. PENULISAN PUTUSAN MENURUT EYD
Q. MDERNISASI PUTUSAN PENGADILAN
DAFTAR PUSTAKA