Anda di halaman 1dari 18

RESUME MATERI PERKULIAHAN

PUTUSAN PENGADILAN

Firda Nisa Syafithri


1173010057
Hukum Keluarga
Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

A. PENGERTIAN PUTUSAN PENGADILAN


Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan
adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa.” Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim
adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi
wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.1
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan
pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para
pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan
putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam
perkara yang mereka hadapi.2 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis
oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang
diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang
menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu
pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan
suatu perbuatan yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila
pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses
pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari
1
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.
Jogyakarta. hlm. 174.
2
Moh. Taufik Makarao. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Cet. I. Rineka Cipta. Jakarta.
2004. Hlm. 124.
tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan
replik3 dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik 4 dari
tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.5
Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan
pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau
pengucapan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap
musyawarah bagi Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak
dijatuhkan kepda pihak yang berperkara. Perlu dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat
pertama.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar
menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang
berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan
peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam
perundang - undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum
adat.
Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang
karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua
alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan.Pengadilan menjatuhkan
putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang
digugat.
B. STRUKTUR PUTUSAN PENGADILAN
Dilihat dari wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara
perdata terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu : 
1. Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang
berbunyi : 

3
Jawaban atas tangkisan terdakwa atau pengacaranya
4
Jawaban kedua sebagai jawaban atas replik
5
Kesimpulan (Pendapat)
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada
putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan
oleh pembuat Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu
menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya
bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat,
tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970) .
2. Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat,
tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama,
alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang
bersangkutan menguasakan kepada orang lain.
3. Pertimbangan (alasan-alasan)
Dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri
atas 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden),
adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya
pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi
didepan pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan
penggugat dan jawaban tergugat dikutif secara lengkap, padahal
dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap
putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat
ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.
2. Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah
pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya,
pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu
putusan pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang
berperkara dan hakim yang meninjau putusan tersebut dalam
pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.
4. Amar Putusan
Dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni
apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi
Amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan
jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.Dalam Hukum
Acara Perdata hakim wajib mengadili semua tuntutan, baik dalam
konvensi maupun rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan tersebut
harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968). 6
C. TUJUAN PUTUSAN PENGADILAN
Secara umum manfaat dari putusan hakim peradilan agama adalah
dapat diselesaikannya sengketa-sengketa yang terkait dengan hal-hal yang
terkait dengan syariat-syariat hukum perdata Islam seperti perkawinan,
waris, waqaf dan sebagainya dengan berdasarkan pada asas keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan. Disamping itu tujuan adanya putusan
pengadilan adalah memberikan kepastian hukum.
D. ASAS-ASAS PUTUSAN PENGADILAN
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan
beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara
yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang
telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak
terdapat cacat hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar
putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang –
undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta
berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum
kebiasaan atau hukum adapt baik tertulis maupun tidak tertulis,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang – undang No. 4 tahun 2004
pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) hakim wajb
6
H. Riduan Syahrani, S.H. 2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Cet V. PT. Citra
Aditya Bakti Bandung.
mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak
yang berperkara.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus
secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan
mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memerriksa
sebagian saja dari tuntutn yang diajukan oleh penggugat.
3. Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan
yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim
yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah
melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau
invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur
dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
4. Diucapkan di Muka Umum
Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan
dalam Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan
dalam sidang tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga,
misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan
perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.
Namun dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975
menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan
ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan,
pelanggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi
cacat hukum.
E. JENIS-JENIS PUTUSAN PENGADILAN
1. Berdasarkan Lingkungan Peradilan
a. Putusan Perkara Pidana
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan utama dalam
penyusunannya. KUHAP merupakan penyebutan dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8
Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal
285.
b. Putusan Perkara Perdata
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara perdata dengan HIR, Rbg, dan Rv sebagai
ketentuan utama dalam penyusunannya.
c. Putusan Perkara Perdata Agama
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara agama. Putusan dalam perkara agama mengikuti
putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
d. Putusan Perkara Tata Usaha Negara
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara tata usaha negara. Putusan dalam perkara tata
usaha negara mengikuti putusan perkara perdata dengan beberapa
modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
e. Putusan Perkara Militer
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana militer dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai ketentuan utama
dalam penyusunannya.
2. Berdasarkan Pada Tahap Persidangan
a. Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim,
namun belum menyinggung pokok perkara yang terdapat dalam
dakwaan/gugatan. Dalam perkara pidana, putusan sela berkaitan
dengan pengajuan keberatan dari Terdakwa/Penasihat Hukumnya
mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara,
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.
Pada sisi lainnya, didalam perkara perdata, putusan sela dapat berupa
putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan incidenteel, dan
putusan provisioneel.
1) Putusan Preparatoir, merupakan salah satu spesifikasi yang
terkandung dalam putusan sela, yang dijatuhkan oleh hakim guna
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar
dari putusan ini adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu
sendiri. Misalnya, putusan yang menetapkan bahwa gugatan
balik (gugatan dalam rekonvensi) tidak akan diputus bersama-
sama dengan gugatan dalam konvensi, atau sebelum hakim
memulai pemeriksaan, terlebih dahulu menjatuhkan putusan
tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya
pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap
pembuktian. Akan tetapi, dalam praktik hal ini jarang terjadi.
Proses pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai dengan
kebijakan hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang
pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu
ditentukan tahap-tahapnya. Heikhal A. S. Pane, Penerapan
Uitvoerbaar bij Voorraad dalam Putusan Hakim pada
Pengadilan Tingkat Pertama (Studi Kasus: Putusan Perkara
Perdata Register Nomor: 89/PDT.G/ 2005/PN.TNG), Skripsi,
(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 20.
2) Putusan Interlacutoir adalah putusan sela yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang berisikan perintah pembuktian dan
dapat mempengaruhi pokok perkara. Misalnya putusan yang
berisi perintah untuk memberikan keterangan ahli, putusan
tentang beban pembuktian kepada salah satu pihak agar
membuktikan suatu putusan dengan amar memerintahkan
dilakukan pemeriksaan setempat (descente).
3) Putusan Insidentil, adalah salah satu jenis putusan sela yang
berhubungan dengan adanya incident, yang diartikan dalam Rv.
sebagai peristiwa atau kejadian yang menunda jalannya proses
pemeriksaan perkara. Putusan incidenteel dapat dibedakan
menjadi putusan incidenteel dalam gugatan intervensi yang
terbagi menjadi voeging, tussenkomst, dan vrijwaring dan
putusan incidenteel dalam sita jaminan (conservatoir beslag).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis
hakim setelah memeriksa pokok perkara dengan memperhatikan
fakta-fakta yang terjadi di persidangan. Putusan yang lazim disebut
sebagai end vonis ini dapat dibedakan dalam perkara pidana dan
militer pada satu sisi dan perkara perdata, agama, dan tata usaha
negara pada sisi lainnya, yang secara lengkap adalah sebagai berikut:
1) Putusan Akhir dalam Perkara Pidana dan Militer, dalam
perkara pidana dan militer, putusan akhir dapat berupa putusan
yang bersifat pemidanaan dan putusan yang bukan bersifat
pemidanaan, yang terdiri dari bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum.
2) Putusan Akhir dalam Perkara Perdara, Agama dan TUN,
Dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara, putusan
akhir dapat dibedakan menjadi putusan yang bersifat declaratoir,
condemnatoir, dan constitutief.
a) Putusan Declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan
tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut
hukum semata-mata. Misalnya, tentang kedudukan sebagai
anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang
pengangkatan anak.
b) Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk
hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman
dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk
hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau
memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang
terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi,
berbuat, atau tidak berbuat.
c) Putusan Constitutif
Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuh-kan oleh
hakim yang amarnya menciptakan suatu keadaan hukum
yang baru, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan
hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.
Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang
meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan
hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu
meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan
dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami
dan istri, yaitu sebagai janda dan duda.
3. Berdasarkan Hadir Tidaknya Pihak
a. Putusan Verstek
Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena
tergugat/termohon tidak hadir dalam persidangan padahal sudah
dipanggil secara resmi, sedangkan penggugat/pemohon hadir.

b. Putusan Gugur
Putusan gugur, yaitu putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah
hadir meskipun sudah dipanggil secara resmi dan tergugat/termohon
hadir dalam sidang dan mohon putusan.
c. Putusan Kontadiktoir
Putusan kontradiktoir, yaitu putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak
atau para pihak.
4. Berdasarkan Amar
a. Putusan Tidak Menerima Penggugat
Putusan tidak menerima penggugat yaitu gugatan
penggugat/permohonan pemohon tidak diterima karena tidak
terpenuhinya syarat hkum baik formil maupun materil (putusan
negatif).
b. Putusan Menolak Gugatan Penggugat
Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang
dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi
ternyata dalil- dalil penggugat tidak terbukti (putusan negatif).
c. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Untuk Sebagian Dan
Menolak Tidak Menerima Selebihnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan
menolak tidak menerima selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil
gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak
memulai syarat ( putusan campuran positif dan negatif).
d. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Seluruhnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, yaitu putusan
yang terpenuhinya syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat
(putusan positif).

F. ASPEK-ASPEK HUKUM FORMIL DAN MATERIIL DALAM


PUTUSAN
1. Berdasarkan Aspek Hukum Formiil
Berdasarkan aspek hukum formil sebuah putusan hakim harus
memenuhi struktur/unsur yang dipersyartman dalam ketentuan hukum acara
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 184 HIR atau Pasal 195 RBG. Adapun
isi dari Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Pasal 184 HIR :
Keputusan harus berisi keterangan ringkas, tetapi yang jelas gugatan dan
jawaban, serta dasar alasan-alasan keputusan itu: begitu juga keterangan,
yang dimaksud pada ayat keempat pasal 7. Reglemen tentang Aturan
Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia dan
akhirnya keputusan pengadilan, negeri tentang pokok perkara dan tentang
banyaknya biaya, lagi pula pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua
belah fihak pada waktu mengumumkan keputusan itu.
Di dalam keputusan-keputusan yang berdasarkan pada aturan undang-
undang yang pasti, maka aturan itu harus disebutkan. Keputusan-keputusan
itu ditandatangani oleh ketua dan panitera.
Penjelasan: Menurut pasal ini maka surat keputusan hakim itu harus berisi:
a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan,
b. Jawaban tergugat atas gugatan itu,
c. Alasan-alasan keputusan,
d. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara,
e. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu
keputusan itu dijatuhkan,
f. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus
disebutkan, g. tanda-tangan hakim dan panitera.
Dicatat di sini, bahwa tentang isi keputusan pengadilan pasal 23
Undang-undang Pokok Kehakiman (UU No. 14/1970) mengatakan
bahwa:
1) Segala keputusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2) Tiap putusan Pengadilan harus ditandatangani oleh Ketua, Hakim
Anggota yang memutus dan Panitera yang ikut bersidang.
3) Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan
berita-acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan
Panitera. Apakah keputusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata
apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas itu menjadi batal?
Di dalam HIR tidak ada ketentuannya.

Pasal 195 RBg :


1) Keputusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa
yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar
keputusan itu dan apa yang dimaksud dalam pasal 7 RO. dan akhirnya
putusan pengadilan negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya
dan mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan
diucapkan.
2) Keputusan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
pasti harus menyebutkan peraturan-peraturan itu. (RO. 7, 30 dst.; Rv.
61.)
3) Surat-surat keputusan ditandatangani oleh ketua dan panitera. (RO.
43;IR. 184.)

2. Berdasarkan Aspek Materiil


Jika ditinjau dari aspek materiil, suatu putusan harus mencantumkan
secara tegas (eksplisit) hal-hal berikut :
a. Dasar Gugatan yang diajukan para pihak.
b. Tuntutan yang diajukan para pihak.
c. Permohonan yang diajukan para pihak.
G. FAKTA HUKUM
Apabila membaca putusan (terutama putusan pengadilan tingkat
pertama) maka dalam salah satu bagian akan terdapat fakta hukum (ada
yang sebagaian menggunakan istilah fakta-fakta), akan tetapi ada juga yang
tidak menggunakan fakta hukum ini akan tetapi langsung pada
pertimbangan unsure-unsur pasal dakwaan). Menurut penulis fakta hukum
ini adalah hasil pergulatan hakim dalam mengkonstatir, yaitu melihat,
mengetahui dan membenarkan telah terjadinya peristiwa. Dari mana hakim
dapat membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa, tentu saja dari ruang
yang bernama pembuktian tadi. Sebagaimana telah disebutkan di atas baik
penuntut umum maupun terdakwa (dan penasehat hukumnya) diberikan
kesempatan yang sama untuk melakukan pembuktian dalam proses
persidangan.
Dengan demikian, berangkat dari sudut pandang yang kemudian
melahirkan pola sikap dan pola tindak komponen peradilan pidana, terutama
antara penuntut umum dan terdakwa, meskipun yang hendak dicari adalah
kebenaran materiil maka tidak jarang dari alat-alat bukti yang diajukan di
persidangan akan terjadi benturan dan tidak jarang juga saling bertolak
belakang. Benturan dan pertentangan tentu saja dalam bentuk alat-alat bukti
yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun yang diajukan oleh terdakwa.
Dalam proses peradilan pidana, maka pengadilan (dalam hal ini hakim) lah
yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menilai, tidak saja
untuk menilai apakah alat-alat bukti yang diajukan memenuhi syarat formil,
materiil, memenuhi batas pembuktian bahkan juga kekuatan
pembuktiannya.
Menurut penulis, hasil penilaian hakim terhadap alat-alat bukti
inilah, yang kemudian dijadikan dasar bagi hakim untuk ‘menetapkan’ suatu
peristiwa yang menjadi dasar dakwaan, yang disebut dengan fakta hukum.
Karena tentunya tidak semua alat-alat bukti yang diajukan tersebut setelah
memenuhi syarat formil tersebut memenuhi syarat materiil, dalam arti
mempunyai kekuatan pembuktian akan suatu peristiwa. Oleh undang-
undang pula, hakim pula yang diberi kewenangan untuk menilai kekuatan
pembuktian dari seluruh alat-alat bukti yang diajukan dipersidangan.
Hukum acara telah pula membatasi dan mengatur cara dan bagaimana
hakim dalam mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang
melekat pada setiap alat-alat bukti, yang tentunya dalam batas yang
dibenarkan undang-undang dalam mewujudkan kebenaran materiil.
Dalam menentukan apakah suatu alat bukti dalam persidangan
tersebut dapat membuktikan dan membenarkan akan adanya suatu peristiwa,
maka dalam teori banyak dikenal beberapa sistem pembuktian, diantaranya
conviction-intime yaitu pembuktian yang didasarkan pada semata keyakinan
hakim, conviction-raisonee, pembuktian dengan keyakinan yang didasarkan
pada alasan yang rasional, undang-undang secara positif, yaitu semata hanya
berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan dan undang-undang
secara negatit, yaitu dari minimal alat bukti yang dapat menimbulkan
keyakinan hakim. Yang terakhirlah yang dianut dalam hukum acara pidana
di Indonesia, biasa disebut sebagai ‘negatief wettelijk stelsel’ atau sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Singkatnya bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dengan dua alat bukti yang sah (sebagaimana telah disebutkan
diatas), hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem pembuktian ini jelas
tersurat dalam bunyi Pasal 183 KUHAP ;
Kembali ke fakta hukum, dalam putusan pidana terutama pengadilan
negeri, fakta hukum tertuang sebelum hakim mempertimbangkan unsur-
unsur pasal dakwaan penuntut umum. Biasanya didahului dengan perkataan
“ Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli, keterangan
terdakwa dikaitkan dengan barang bukti dalam perkara ini yang satu dengan
yang lain saling bersesuaian, maka diperoleh fakta hukum sebagai berikut”.
Dengan demikian jelas bahwa tidak seluruh pembuktian dari alat-
alat bukti yang diajukan dipersidangan kesemuanya akan menjadi fakta
hukum, fakta hukum hanya muncul setelah hakim melakukan penilaian dari
persesuaian alat-alat bukti dan alasan-alasannya, pun seandainya hakim
menganggap satu atau beberapa alat bukti tidak mempunyai kekuatan
pembuktian materiil. Karena dalam perkara pidana, yang hendak dicari
kebenaran materiil, maka keseluruhan alat-alat bukti yang ada tidak ada
satupun alat bukti yang dapat mengikat hakim, karena alat-alat bukti tidak
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim
diberi kebebasan untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti.
Dengan demikian, menurut penulis, fakta hukum dalam suatu putusan akan
sangat menentukan tahapan selanjutnya dari rangkaian pembuatan putusan.
Setelah ditetapkan fakta hukum dalam sebuah persidangan, maka hakim
telah menetapkan kebenaran (materiil) akan suatu peristiwa (yang diduga
tindak pidana). Selanjutnya secara singkat, hakim akan mengkualifisir, fakta
hukum tersebut apakah suatu tindak pidana atau bukan dengan
menghubungkannya dengan unsur-unsur pasal tindak pidana yang
didakwakan, dan akan diakhiri dengan mengkonstituir, dalam arti
menetapkan hukum apakah dari fakta hukum tersebut telah memenuhi
unsur-unsur pasal tindak pidana yang didakwakan dan adanya kesalahan
dari terdakwa yang akan berujung pada putusan bebas, lepas atau
pemidanaan.
H. PENALARAN HUKUM
Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian
“reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang
hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara
mengargumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar
hukum.7 Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana
apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan
hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim
memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara
meng-argumentasi-kan hukum? Pengertian lainnya yang sering diberikan
kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum
yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun
yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun
administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil
pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi
hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa
atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi
apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum
tersebut.8
Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning
ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan
mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana,
legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam
tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan
tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki. Bagi beberapa ahli
hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di atas
mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning
adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai:
(a) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada saat
ini, atau (b) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang
harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang

7
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Citra
Aditya Bakti. Jakarta.
8
Ibid
dihadapkan kepada hakim saat ini.9 Para ahli juga berbeda pandangan
mengenai formulasi tentang bagaimana hakim memutuskan perkara, yang
menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam memutus
perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang
ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan
semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain? Dengan
perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal
reasoning yaitu:
-Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam
masalah yang sedang terjadi.
-Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap
putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
-Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu
perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek.
I. METODE DAN PENAFSIRAN HAKIM DALAM PUTUSAN
Penafsiran hakim adalah suatu kegiatan hakim didalam menemukan
hukum yang dilakukan dengan cara menafsir arti atau maksud dari teks
undang-undang dan memberi penjelasan agar ruang lingkup kaidah itu
dikaitkan dengan fakta peristiwa. Definisi lain menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan penafsiran hakim adalah menetapkan pengertian, asas
dan dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang
dikehendaki oleh para pembuat undang-undang kemudian diterapkan oleh
hakim terhadap perkara yang sedang ditanagani. Penafsiran hukum juga
disebut sebagai upaya menerangkan, menjelaskan, menegaskan dalam arti
memperluas ataupun membatasi penegrtian hukum yang ada dan
penggunaannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Kualitas hakim itu dilihat dari putusannya. Hukum itu pasalnya tetap
atau sulit berubah sementara masyarakat terus berubah. Undang-Undag
selalu ketinggalan dengan fakta atau peristiwa. Terkadang Undang-Undang
itu tidak lengkap, tidak jelas atau kurang jelas. Maka untuk melengkapinya
dan memperjelaskannya adalah oleh hakim. Pengadilan tidak boleh menolak

9
Simorangkir, J.C.T., et al. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru. Jakarta. hlm. 42
sebuah perkara dengan dalih hukumnya belum ada. Maka apapun masalah
yang terjadi dalam masyarakat hakim harus melakukan penemuan hukum.
Jika tidak ada Undang-Undangnya maka hakim harus menciptakan hukum.
Penemuan hukum adalah karena hukumnya tidak ada. Faktanya ada,
kasusnya ada namun hukumnya tidak ada. Maka hakim melakukan
penemuan hukum. Hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak jelas,
maka dibutuhkan interpretasi dari hakim. Beberapa bentuk interpretasi di
dalam hukum.
1. Penafsiran secara bahasa adalah penafsiran untuk memukan arti kata, lalu
dihubungkan arti kata tersebut dalam bahasa sehari hari. Dalam peraturan
perundnag-undangan kata harus diberikan arti sebagaimana kara tsb
digunakan dalam sehari hari.
2. Penafsiran secara otentik yaitu penafsiran yang resmi terhadap peraturan
ketentuan hukum yang dimuat dalam peraturan hukum itu sendiri.
Penafsiran itu memang berdasarkan pada pembentukan hukum.
3. Penafsiran secara histori yaitu penafsiran yangdiambil berdasarkan
sejarah diebntuknya undang-undang seperti halnya Pasal 2 dalam
Undang-Undang Perkawnan yang menyebutkan bahwa perkawinan sah
berdasarkan agama masing-masing.
4. Penafsiran secara sistemis yaitu penafsiran yang diddasarkan pada
pengaturan hukum dan hubungannya antar pasal atau antar ayat dari
peraturan masalah itu. Contoh Pasal 87 KUHP, ditafsirkan sebagai Pasal
104-105 KUHP. Peraturan yang sama atau sejenis.
5. Penafsiran interpretasi atau ekspansi yaitu penafsiran yang berupa
perluasan makna dari suatu Undang-Undang. Conthnya kerugian, tidak
termasuk kerugian yang berwujud seperti sakit kepala.
6. Penafsiran secara nalogis/qiyas yaitu penafsiran pada fakta hukum dan
peristiwa hukumnya ada. Peristiwa yang sebetulnya tidak dimasukkan
tapi bisa dianggap sesuai dengan peraturan. Seperti menyambung aliran
listrik sama dengan mengamnil aliran listrik.
J. PENEMUAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN
K. KESIMPULAN DAN AMAR PUTUSAN
L. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
M. MODEL DAN METODE ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN
N. LANDMARK DECISIN
O. TEKNIK MEMBUAT PUTUSAN
P. PENULISAN PUTUSAN MENURUT EYD
Q. MDERNISASI PUTUSAN PENGADILAN

DAFTAR PUSTAKA

Makarao, Moh. Taufik Makarao. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara


Perdata. Cet. I. Rineka Cipta. Jakarta
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan
Hukum. Citra Aditya Bakti. Jakarta
Mertokusumo, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Liberty. Jogyakarta
Simorangkir, J.C.T., et al. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru. Jakarta
Syahrani, H. Riduan Syahrani, S.H. 2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara

Anda mungkin juga menyukai