Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

HUKUM FILSAFAT
TENTANG
PAKSAAN HUKUM DAN NILAI KEBEBASAN

Oleh :

KELOMPOK 2 :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

HILMAN PRAYUDA
INDRA HADI WIJAYA
INGGRID ISTAMI
JIMMY HUTAGALUNG
MUH. BAHRUL HULUM
MUH. SAIFUL FAHMI
SATRIAWAN DHARMA B
SURYA BAKTI
SYAHRUL FADLI

(
(
(
(
(
(
(
(
(

12B016024
12B016030
12B016031
12B016033
12B016039
12B016041
12B016049
12B016052
12B016054

)
)
)
)
)
)
)
)
)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MATARAM
2016

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, saya panjatkan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Paksaan Hukum Dan Nilai Kebebasan dengan baik.
Adapun makalah Paksaan Hukum Dan Nilai Kebebasan ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada
dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran
dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Paksaan Hukum Dan Nilai
Kebebasan ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi
terhadap pembaca.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Dewasa ini permasalahan kebebasan masih menjadi pembahasan yang mendalam


dan terkadang menjadi perdebatan dalam masyarakat. Hampir seluruh lapisan masyarakat
sangat peka dan tanggap atas masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan
permasalahan hukum dan kebebasan di Indonesia. Kaum intelektual dan praktisi hukum
sering membahasnya dalam forum resmi ataupun seminar-seminar kecil sampai yang
bertaraf nasional bahkan masyarakat awampun tidak hanya diam, tetapi mereka juga aktif
dalam menanggapi setiap isu-isu yang terjadi dan dialami oleh mereka sendiri. Masalahmasalah yang timbul seperti pemukulan yang dilakukan oleh oknum aparat penegak
hukum (polisi/TNI) terhadap reporter televisi saat menjalankan tugas meliput berita,
masalah intoleransi antar umat beragama dan aliran kepercayaan baru, juga masalah
penyampaian pendapat dalam media sosial yang berujung pada tuntutan di pengadilan.
Semua kasus-kasus yang tersebut berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum atas
kebebasan di Indonesia.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah hukum dalam pengertian
Undang-undang benar-benar telah menjamin kebebasan masyarakat dalam setiap segi
kehidupannya? Dihadapkan dengan kenyataan masyarakat kita yang terdiri atas berbagai
macam suku, bangsa, dan bahasa, maka jawaban atas pertanyaan di atas akan sangat
beranekaragam pula. Namun dalam kenyataannya, yang pasti pada prinsipnya semua
orang tanpa membeda-bedakan suku, bangsa dan bahasa tentu menginginkan hal yang
baik yang terjadi dalam hidupnya. Itu berarti dalam hidupnya semua orang memiliki
harapan dan keinginan untuk selalu dilindungi oleh hukum yang berlaku di negara ini.
Mengutip pendapatnya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah),
terdapat tiga elemen yang sangat vital dalam kehidupan berdemokrasi jika negara

Indonesia ingin tertib dan beradab yakni kebebasan, hukum, dan etika. 1Menurut beliau,
ketiga unsur tersebut harus terpenuhi dan seimbang terlebih dalam penegakan hukumnya
sehingga wibawa hukum secara perlahan akan membaik. Kalau tidak, yang akan
mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum yang dilecehkan, dan etika
semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Dengan demikian, kebebasan dalam
hal apapun harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan dan penegakkannya
benar-benar mencerminkan dan menaikan wibawa hukum di Indonesia. Dalam karya tulis
ini secara khusus akan dibahas mengenai hukum dan kebebasan secara teoritik, dengan
mengemukakan pengertian-pengertian dasar dari para ahli hukum dan menganalisis
mengenai perkembangan hukum dan kebebasan dalam masyarakat di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Ekstensi Hukum Dalam Konsep Paksaan Hukum Dan Nilai Kebebasan ?
b. Bagaimana Daya Paksa Hukum Dan Nilai Kebebasan Dalam Persepektif Mazhab
Hukum ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum filsafat.

1 http://suar.okezone.com/read/2010/10/15/58/382760/redirect,

2013.

di akses tanggal 1 Maret

2. Untuk menambah wawasan mengenai Paksaan Hukum Dan Nilai Kebebasan dalam
diskusi kelompok.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ekstensi Hukum Dalam Konsep Paksaan Hukum


Hukum pada hakikatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang
merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak. Akan tetapi
hukum tidak sekedar merupakan pedoman belaka, perhiasan atau dekorasi. Hukum harus
diataati, dilaksanakan, dipertahankan dan ditegakkan. Pelakasanaan hukum dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang

menjadi tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu. Ketertiban dan
ketentraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum dilaksanakan. Kalau
tidak, maka peraturan hukum itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak
mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum yang demikian akan
menjadi mati sendiri. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung dalam masyarakat secara
normal karena tiap-tiap individu menaati dengan kesadaran, bahwa apa yang ditentukan
hukum tersebut sebagai suatu keharusan atau sebagai sesuatu yang memang sebaiknya.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan
hukum. Sedangakan menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian dan pergaulan hidup.
Dalam menegakkan hukum ini, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
1. Kepastian hukum
2. Kemanfaatan .
3. Keadilan

B. Ekstensi Hukum Dalam Nilai Kebebasan


Dikutip dari referensi makalah 2Istilah kebebasan dari segi etimologi adalah kata
sifat berasal dari kata bebas, yang berarti merdeka, tak terkendali. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia kata bebas mempunyai arti lepas sama sekali, dalam arti tidak
2 http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-kebebasan-manusia.html diakses tanggal
2 Maret 2013

terhalang, tidak terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, tiap-tiap anggota
dapat mengungkapkan pendapatnya. Secara etimologi makna kebebasan, tidak dapat
dipastikan artinya. Kata bebas menggambarkan pada suatu kondisi yang memungkinkan
seseorang tidak terikat pada sesuatu hal yang lain, lepas dari kewajiban atau tuntutan
yang lain, murni dilakukan oleh dirinya sendiri. Seseorang lebih cenderung menyatakan
ia bebas untuk, daripada menyatakan ia bebas dari sesuatu. Dalam konteks
kebebasan manusia, berarti ketiadapaksaan. Ada beberapa macam kebebasan dan
paksaan, yaitu kebebasan fisik dan kebebasan moral, paksaan fisik dan paksaan moral.
Kebebasan fisik berarti tiadanya paksaan fisik, sedangkan kebebasan moral adalah
ketiadapaksaan moral atau hukum. Ketika seseorang merasa tertekan pada kondisi
psikologisnya ia belum merasakan kebebasannya, karena kebebasan psikologis adalah
ketiadapaksaan psikologis. Suatu paksaan psikologis dapat berupa kecenderungan
kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
atau sebaliknya membuatnya tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu.
Istilah kebebasan manusia menggambarkan seseorang tidak mendapat paksaan, tuntutan,
ataupun kewajiban dan tanggungjawab, akan tetapi dengan adanya kebebasaan seseorang
dapat merasakan makna keberadaannya selaku sebagai manusia.
Manusia di dunia mempunyai sebuah tujuan. Tujuan dari hidup manusia adalah
meraih sebuah kebahagiaan, sedangkan kebahagian tidak dapat dicapai ketika sesorang
tidak mengaktualisasikan dalam sebuah tindakan, dalam bentuk kebebasan manusia. Hal
ini dapat dilihat dalam kehidupan seseorang, bahwa seseorang yang arif bijaksana,
berfikir sendiri, berbicara berdasarkan pemahamannya sendiri dan menyatakan apa yang
dikatakan olehnya dan juga ia mengetahui mengapa ia menyatakannya, dengan
dibandingkan dengan seseorang yang dangkal pemikirannya, yang selalu ikut-ikutan dan

hanya mengulangi apa yang dikatakan orang lain. Kebebasan manusia akan berhadapan
pada suatu batas. Hal ini yang kemudian mengharuskan seseorang untuk memutuskan
sebuah pilihan. Pada saat manusia memilih atau jatuhnya keputusan munculah keakuan
manusia, karena pada dasarnya manusia merealisir diri secara otonom sejak pertama ia
meng-aku-i dirinya sendiri. Ia menerima faktisitasnya sendiri dan menjadi dirinya sendiri
dengan keunikannya. Ia bersifat otonom dan berdikari. Kebebasan manusia merupakan
suatu kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karyanya,
kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai
yang terus menerus ditawarkan kepadanya. Ada dua hal yang berpengaruh dalam diri
manusia, yang ini nantinya mempengaruhi kebebasan manusia otodeterminisme.
Pertama, dalam menentukan pilihan manusia ditentukan oleh faktor-faktor diluar
kemampuannya sendiri, seperti halnya pembauran kondisi sosialnya, sedang pada satu
sisi manusia secara otonom juga ikut menentukan tindakannya.
C. Daya Paksa Hukum Dan Nilai Kebebasan Dalam Persepektif Mazhab Hukum
a) Pandangan Aliran Postivisme Terhadap Hukum
Sebelum lahirnya aliran ini telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum dikenal sebagai Legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad
pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali
Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum
di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di
Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh msialnya Paul Laband,
Jellinek, Rudolf van Jhering, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.
Di negeri Positivisme Hukum seperti dari Jhon Austin dengan Analyticaln
Jurisprudencenya/Positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum yang berlaku di

negara inggris adalah common law tidak tertulis. Di indonesia sendiri pengaruh
pemikiran legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada Pasal 15 Algemene Bepalingen
van Wetgving yang antara lain berbunyi : Terkecuali penyimpangan-penyimpangan
yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia dan mereka yang dipersamakan dengan
orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undangundang menentukannya 3.
Kalimat-kalimat tersebut bila dikaji jelas mencerminkan pemikiran hukum
yang menjadi dasarnya, yaitu dinamakan hukum haruslah bentuknya tertulis. Hukum
merupakan perintah dari penguasa, dalam artian bahwa perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Selanjutnya,
Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang yang dibebankan untuk mengatur
makhluk perpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang
dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang
logis, tetapp dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum scara tegas
dipisahkan dari keadilan dan tidak didasrkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.4
Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk menusia
2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia
3. hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum yang tepat untuk disebut hukum.
Jensi hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sesungguhnya

3 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditiya

Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 56.


4 Ibid, Hlm. 58.

ini terdiri dari hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain-lain.
4. hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan
untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya : hak kurator
terhadap badan/orang dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada di

bawah perwaliannya.
hukum dalam arti yang tidak sebenar-benarnya- hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh
penguasa/badan berdaulat yang berwenang. 5
Pada akhirnya hendaknya diperhatikan pokok-pokok ajaran Analytical
Juriprudence sebagai berikut :
1. ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk, sebab
penilaian tersebut berada di luar bidang hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat
namun secara yuridis tidak penting bagi hukum. Anustin memisahkan secara
tegas antara moral di satu pihak dan hukum di lain pihak;
3. Pandangan bertolak belakang dengan, baik penganut hukum alam maupun
mazhab sejarah;
1. Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah
dari yang berdaulat/penguasa;

5 Ibid, Hlm. 59.

2. Kedaulatan adalah hal di luarh hukum, yaitu berada pada dunia politik
atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai
sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
3. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup
dalam masyarakat.6
Selain John Austin, penganut aliran postivisme lainnya adalah Hans
Kelsen, Hans Kelsen terkenal dengan konsep hukum murninya (reine rechtslehre,
the pure theory of law), yang ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir
yang sifatnya nonhukum, seperti kultur, moral, politik, sosiologis, dan sebagainya.
Menurut Hans Kelsen tentang positivisme dinyatakan bahwa Law is a coercive
order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction.
(Hukum adalah sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum
adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi). Karakteristik postivistis
dari Hans Kelsen, sangat kental dalam tiga ajarannya yang utama, yang sangat
menekankan pengakuannya hanya pada eksistensi hukum positif. Ada tiga ajaran
utama dari Hans Kelsen, yaitu :
a. Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang
sifatnya nonhukum, Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian
pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan masalah ideologi
b.
6 Ibid, Hlm. 60.

yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya.


Ajaran Tentang Grundnorm

Bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui undang-undang


sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundnorm yang
merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum, dalam suatu
tatanan sistem hukum tertentu. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar
mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan
hukum.

c.

Ajaran Tentang Stufenbautheorie


Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang
berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan
menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah
semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang
seharusnya, berubah menjadi sesuatu yang dapat dilakukan.Menurut Curzon,
persamaan antara ajaran hukum murni Kelsen dengan ajaran perintah dari Austin
adalah karena:
1. Kedua-duanya ingin memisahkan hukum dari moral, dan unsur-unsur
nonhukum lain.
2. Kedua-duanya juga menggunakan analisis formal; kedua-duanya hanya

3.
4.

mengakui hukum positif sebgai satu-satunya hukum.


Kedua-duanya melihat esensi hukum in terms of an ultimate concept.
Kedua-duanya menitiberatkan perhatiannya pada struktur dan fungsi negara.
Berdasarkan hal tersebut, bagi penganut positivisme, analisis mereka
melibatkan

pengkosenterasian pada kajian tentang undang-undang sebagai

keberadaannya, yakni undang-undang yang diberlakukan bagi warga negate. Jadi


bagi kaum postivis, hukum di pahami sebagai berikut:

1. Hukum adalah seperangkat perintah.


2. Yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara).
3. Ditujukan kepada warga masyarakat.
4. Hukum berlaku local (dalam yurisdiksi negara pembuatnya).
5. Hukum harus dipisahkan dari moralitas.
6. Selalu tersedia sanksi eksternal bagi pelanggar hukum.
Di dalam khazanah ilmu hukum ada dua istilah yang diterjemahkan secara
sama ke dalam bahasa Indonesia menjadi negara hukum, yakni Rechtsstaat dan the
Rule of Law. Meskipun terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sama-sama
negara hukum, sebenarnya ada perbedaan antara Rechtsstaat dan the Rule of Law.
Sebagaimana diidentifikasi oleh Roscoe Pound, Rechtsstaat memiliki karakter
administratif sedangkan the Rule of Law berkarakter yudisial. Rechtsstaat
bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersandar
pada civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah tertulis. Kebenaran
hukum dan keadilan di dalam Rechtsstaat tertelatk pada ketentuan bahkan
pembuktian tertulis. Hakim yang bagis menurut paham civil law (legisme) di
dalam Rechtsstaat adalah yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai
dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham legisme di
Rechtsstaat didasari oleh penekanan pada kepastian hukum. The Rule of Law
berkembang

dalam

tradisi

hukum

negara-negara

Anglo

Saxon

yang

mengembangkan common law (hukum tak tertulis). Kebenaran hukum dan


keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan di
sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi
tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah
yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis.
Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusanputusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari masyarakat. Hakim yang
baik di sini adalah hakim yang dapat membuat keputusan berdasarkan nilai
keadilan yang digalinya dari tengah-tengah masyarakat. Keleluasaan diberikan
kepada hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis, karena
penegakan hukum di sini ditekankan pada pemenuhan rasa keadilan, bukan pada
hukum-hukum formal. 7Dalam negara hukum, hukum lah yang memegang
komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin
dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip The
Rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian nomocratie yaitu
kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos. 8Dalam paham negara hukum
yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supermasi hukum
dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.

7 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2010, Hlm 24-25.


8 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana

Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2008, Hlm. 209.

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya maka dapat disimpulkan
bahwa hukum dan kebebasan pada dasarnya merupakan dua elemen yang berhubungan
satu sama lain, hukum sebagai peraturan yang menopang dan mewujudkan terjaminnya
kebebasan individu sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum itu sendiri. Namun,
sepaham dengan Prof. Dr. Komarudin Hidayat bahwa diatas hukum dan kebebasan
terdapat etika yang sangat penting untuk keharmonisan kedua elemen tersebut. Meskipun
demikian terkadang elemen etika kurang diperhatikan terlebih oleh pemegang kekuasaan
sehingga tidak seimbang antara hukum dan penerapannya ketika berhadapan dengan
kekuasaan. Kekuasaan juga harus dibatasi, karena jika tidak maka akan berdampak pada
pelanggaran atas kebebasan dalam masyarakat. Oleh karena itu, mengutip Hermanto
Harum (Ketua IKADI Jambi, Dosen Fak Syariah IAIN) bahwa menurutnya kebebasan

yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun perilaku yang
terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat ketuhanan maupun kemanusiaan.
Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan pengikat yang menjadikannya tidak bebas.
Artinya, kebebasan tidak lepas tapi terbatas.
b. Saran
Untuk menjamin terjaminnya kebebasan dalam negara hukum maka masyarakat
dituntut untuk lebih meningkatkan dan membudayakan kesadaran akan hukum

dan

kepatuhan terhadap etika yang ada sehingga dengan demikian apa yang telah diatur
dalam peraturan hukum tidak hanya dengan sadar dilaksanakan tetapi juga
memperhatikan etika dan sekaligus moral yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
Daftar pustaka
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditiya
Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 56.
Mahfud MD, Moh., Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2010, Hlm 24-25.
Asshiddiqie Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2008, Hlm. 209.
http://suar.okezone.com/read/2010/10/15/58/382760/redirect, di akses tanggal 1 Maret
2013.
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-kebebasan-manusia.html diakses
tanggal 2 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai