DOSEN PENGAMPU :
Ruli Ardiansyah, S.H., M.H.
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5 :
1. Teguh Hazain Assagaf (D1A117299)
2. Fariyal irfany (D1A118283)
3. Gusti Ayu Anastasya A.f (D1A020561)
4. Arbian Mahmassani (D1A020063)
5. Rozzakul Hafair Marekhan (D1A020467)
6. Miftahul Ansari (D1A020333)
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2021
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1...............................................................................................................................1
1.2...............................................................................................................................1
1.3...............................................................................................................................2
1.4...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
2.1...............................................................................................................................3
2.2...............................................................................................................................4
2.3...............................................................................................................................6
BAB III PENUTUP............................................................................................................30
3.1 KESIMPULAN...................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................31
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
C Tujuan Penulisan
D. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dari hal di atas dapat diketahui ada ketertiban hukum yang harus dilindungi
dalam aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu. Ketertiban hukum
tersebut meliputi:
Ada beberapa teori untuk menentukan tindak pidana sebagai kejahatan politik, yaitu:
a) Teori obyektif atau disebut teori absolut: ditujukan terhadap negara dan
berfungsinya lembaga-lembaga negara.
b) Teori Subyektif atau teori relatif: semua tindak pidana berlatarbelakang dan
bertujuan politik
c) Teori Predominan: membatasi pengertian pada dominannya perbuatan politik
d) Teori Political Incidence: melihat perbuatan yang dianggap bagian dari kegiatan
politik.2
3
Bentuk klasik dari delik politik dapat ditemukan dalam Bab I Buku Ke dua dari
Nederlands Strafrecht yang bunyinya pada hakekatnya sama dengan Bab I Buku Ke
dua KUHP Indonesia.3 Jadi bila demikian maka delik politik adalah delik yang
terumuskan dalam undang-undang hukum pidana politik yang menggunakan motif
politik. Sedangkan motivasi politik adalah menyalahi (membahayakan atau
mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan. Dan pembuat undang-undang dalam
hukum politik memberikan kekuasaan yang luas pada hakim untuk menentukan
apa yang dianggap sebagai hukum dalam setiap kasus konkrit.
Sifat yang khusus dimiliki oleh Kejahatan terhadap terhadap negara adalah
adanya sifat pengkhianatan, yakni Pengkhianatan intern dan pengkhinatan ekstern.
Walaupun KUHP tidak mengadakan perbedaan untuk hal itu. Untuk lebih jelasnya
berikut diketengahkan pokok-pokok yang menjadi bahasan dalam Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, sebagai berikut:
4
f. berhubungan dengan negara asing
g. pengedaran surat-surat rahasia
h. memasuki bangunan pertahanan negara
i. masalah yang memberatkan
j. pengkhianatan diplomatik
k. mata-mata musuh
l. penipuan dalam penyerahan barang keperluan negara
m. hukuman tambahan
n. kejahatan terhadap kawan perang.
Dari situ terlihat, kejahatan politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan dalam
berbagai bentuk kejahatan, baik oleh rakyat sebagai warga negara maupun oleh
pemerintah sebagai penguasa negara, dalam lingkup satu negara nasional ataupun yang
mempunyai dimensi antar negara/ internasional, yang mengancam berbagai sendi
kelangsungan kehidupan bernegara..
5
11. Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
12. Fitnah terhadap pejabat pemerintah. 7
6
6. UU No. 1 tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Hong Kong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang
Melarikan Diri
7. UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
8. UU No. 15 tahun 2003 tentang PERPU No. 1 Tahum 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU
9. UU No. 16 tahun 2003 PERPU No. 2 Tahum 2002 tentang Pemberlakuan PERPU
No.1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan
Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UU
10. UU No. 2 tahun tentang 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
11. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
12. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
13. UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara
14. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
15. UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
16. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
17. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
18. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
19. UU No. 5 Thn 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
20. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
21. UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
22. UU No.1 tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
23. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
24. UU No12/ DRT/ 1951 tentang senjata api dan bahan peledak
25. UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Dalam
Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam
26. UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua
27. UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28. UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
29. PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
7
30. PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
31. PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
32. KepPres No. 103 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat
33. Instruksi Presiden No. 4 Th. 2002 kepada Menteri negara Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme;
34. Instruksi Presiden No. 5 Th. 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sebagai
koordinator bagi operasi intelijen, dsb.
Pembagian beberapa periode tersebut, baik seperti yang diatur dalam KUHP maupun
di luar KUHP, engan asumsi adanya perbedaan penerapannya, yang mungkin dipengaruhi
oleh politik pemerintahan pada masa-masa tersebut.
8
tahun 1946, yang sama-sama bersumber dari Staatblaad 732 tahun 1915 tentang
Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 januari 1918 di Hindia Belanda, dan masing-masing melakukan
perubahan sendiri-sendiri.
9
yang tidak diatur dan diancam pidana oleh KUHP, umpamanya perbuatan
mata-mata. Sehingga Pemerintah Indonesia perlu mengadakan peraturan
tentang beberapa perbuatan yang belum diatur oleh KUHP.
10
mempersiapkan, memperlancar, atau menggerakkan untuk menggulingkan
pemerintah yang sah dsb.
8. Pasal 112, sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita yang
diketahuinya harus dirahasikan untuk kepentingan Negara.
9. Pasal 113, sengaja mengumumkan , atau memberitahukanmaupun
menyerahkan kepada orang yang tidak wenang mengetahui, surat-surat,
peta-peta dan lain sebagainya yang bersifat rahasia yang bersangkutan
dengan pertahan dan keamanan Negara.
10. Pasal 114, karena kealpaannya menyebabkan surat-surat atau benda-benda
dalam pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui
umum atau yang tidak berhak dsb.
11. Pasal 115, melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia
dalam pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu dimaksudkan
untuk diketahui olehnya dsb.
12. Pasal 116, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 113 dan
115.
13. Pasal 117, sengaja memasuki bangunan AD atau AL atau daerah terlarang
dsb.
14. Pasal 118, tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dsb, yang
bersangkutan dengan kepentingan militer.
15. Pasal 119, memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya
mempunyai niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut
dalam pasal 113.
16. Pasal 120, kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan
aqal curang.
17. Pasal 121, orang yang ditugasi untuk berunding dengan Negara asing,
dengan sengaja merugikan Negara Indonesia.
18. Pasal 122, dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan
sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan Negara.
19. Pasal 123, WNI yang masuk menjadi tentara asing yang sedang
menghadapi perang atau perang dengan Indonesia.
20. Pasal 124, dalam masa perang sengaja memberi bantuan pada musuh dsb.
21. Pasal 125, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam pasal 124.
22. Pasal 126, dalam masa perang tidak dengan maksud membantu musuh,
memberi pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikan dsb.
11
23. Pasal 127, dalam masa perang melakukan perbuatan tipu muslihat atau
aqal curang dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut dan
Angkatan Darat.
24. Pasal 129, diterapkannya pidana-pidana yang ditentukan terhadap
perbuatan-perbuatan dalam pasal 124–127, kepada si pembuat yang
melakukan salah satu perbuatan itu terhadap atau bersangkutan dengan
Negara sekutu dalam perang bersama.
Pada periode berlakunya KUHP berdasar UU No.1 tahun 1946 ini, ada beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang keamanan negara, antara lain:
12
(2) Keadaan darurat itu dapat pula diumumkan jika timbul perang,
atau bahaya perang, atau dikhawatirkan terjadi perkosaan
wilayah RI dengan cara apa pun juga. Dengan kata lain, hidup
negara dalam bahaya.
Dalam situasi seperti di atas, tanggung jawab utama ada pada Presiden
sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, oleh karena itu
berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan
negara, dengan menetapkan negara dalam keadaan bahaya dengan status
darurat sipil atau status darurat militer atau dalam keadaan perang. Dan
berhak mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka,
karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya.
Presiden dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati seminggu,
sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR.
13
secara de jure maupun secara de facto, Hal ini disebabkan karena baik
konstitusi RIS maupun UUDS 1950 tetap memberlakukan semua
peraturan yang ada sebelum adanya peraturan yang baru, sehingga baik
KUHP maupun Wetboek van Strafrecht voor Idonesia masih tetap
berlaku secara berdampingan dalam daerah masing-masing di wilayah
Indonesia.
14
merupakan pandangan pada masa tersebut, yang jelas pasti berbeda
dengan bangsa Indonesia.
15
Dalam membicarakan keabsahan Penetapan Presiden ini, tidak dapat
dilepaskan dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1969, karena dekrit ini yang mendorong
timbulnya Penpres No. 11 tahun 1963. Dekrit Presiden 5 Juli 1969 lahir karena keadaan
pada saat itu dianggap membahayakan kesatuan bangsa, jadi pada waktu itu negara
dalam keadaan darurat, sehingga ada sebagian orang yang membenarkan presiden
membuat peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka struktur dan hirarki
perundang-undangan menurut UUD 1945. Jadi sebagai hukum revolusi. Ia merupakan
alat Orde Lama . Bersama Partai Komunis yang tergabung di dalamnya, yang ditujukan
kepada lawan politiknya.
16
36. Dapat dirampasnya benda yang menjadi milik atau bukan milik terpidana
yang diperoleh dari atau digunakan alat melakukan tindak pidana subversi.
Yakni tenggang waktu antara sejak 11 Maret 1966 (Surat Perintah Sebelas
maret) sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969. Saat digunakannya
peraturan tentang kegiatan subversi dalam masa Orde Baru, untuk menjerat
berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara.
Dalam periode ini Penpres No. 11 tahun 1963 dipakai sebagai undang-undang
dalam mengadili pera pelaku gerakan 30 September 1966/ PKI, yaitu tokoh-tokoh
Orde Lama dan PKI. Hal ini dapat dibenarkan secara filosofis, bahwa barang siapa
membuat suatu aturan yang dipandang adil dan sah untuk diterapkan kepada orang
lain, tentulah adil dan sah jika diterapkan pula kepadanya, jika ia melakukan
perbuatan yang memnuhi unsur-unsur dalam peraturan tersebut. Dalam sejarah
pernah terjadi, yaitu peraturan “darurat” yang dibuat oleh regim Nazi Hitler,
diberlakukan pula terhadap mereka sebagai penjahat perang.
Periode ini terjadi antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1999. Yakni masa
sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan Berbagai Penpres dan
dan Keppres sebagai undang-undang, sebagai tindak lanjut atas peninjauan kembali
terhadap semua produk perundang-undangan dari tahun 1959 sampai tahun 1966
sampai dengan ditetapkannya UU No.26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No.
11 tahun 1963 dan UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang
berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dengan UU No. 5 tahun 1969 tersebut , maka Penpres No. 11 tahun 1963
menjadi UU No. 11/PNPS/1963. Sehingga pada periode ini kejahatan terhadap
keamanan negara dijerat dengan UU Anti Subversi. Dengan dilegalisasikan dan
ditempatkan dalam jajaran perundang-undangan yang konstitusional, maka
menjadi hukum formal bagi hukum pidana politik. Walaupun disadari saat itu
belum ada putusan Mahkamah Agung yang konstan mengenai harus ada atau
tidaknya latar belakang serta tujuan politik pelaku tindak pidana politik, ada
kalanya berlatar belakang politik ada kalanya tidak. Beberapa kasus yang bisa
17
dijadikan contoh, misalnya: Kasus Gerakan Aceh Merdeka. Kasus Jayus dan Slamet
dalam kasus Wei Jepara Lampung, yang ditahan sejak1989 dan baru diketahui
LBH pada 1993. Kasus HR Darsono, Kasus Tengku Bantaqia, Kasus Sri Bintang
Pamungkas dan Kasus Budiman Sujatmiko.
Tetapi setidaknya UU No. 5 tahun 1969 telah memberikan ruang gerak kepada
hakim yang cukup memadai untuk menerapkan penafsiran penghalusan hukum,
bahwa undang-undang tersebut bersifat darurat yang akan ditinjau dan diselaraskan
dengan UUD 1945 dan hati nurani rakyat.12
Pada periode ini ada beberapa peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan
keamanan Negara, antara lain:
18
pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum
Negara yang terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yakni berdasarkan
asas tindak pidana ganda (double criminality),
pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu)
tahun atau dengan pidana lebih berat.
Secara garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU ini, Negara Diminta boleh
menolak untuk menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan
pidana yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara
lain.
19
Beberapa peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti
Undang-undang No.1 tahun 1979 tentang ekstradisi antara lain:
20
pasti berapa jumlah korban tewas, hilang, korban perkosaan, dan
kejahatan lainnya di Timor Timur. Semua masih menjadi misteri.
Sedangkan para pelaku kejahatan itu masih bebas, sementara para
korban dan keluarga korban terus menuntut keadilan kepadaUnited
Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET) untuk
membentuk Special Panel (Regulasi 2000/15) yang memiliki
kewenangan mengusut kejahatan-kejahatan serius.
21
dan komponen pendukung, dalam menghadapi ancaman
nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang
pertahanan sebagai unsur utama, didukung oleh unsur-unsur
lain dari kekuatan bangsa, misalnya komponan cadangan dan
pendukung.
22
hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku, dan mengambil
alih pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer.
diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya
banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan
demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat
karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer.
Dengan demikian sistem pertahanan negara "Militerisme"
bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun
justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang
mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa.
tentuan seperti itu beresiko tinggi melahirkan rejim militer di
Indonesia, karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang
sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun,
setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer
dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.
23
2) UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pada masa ini, saat-saat isu terorisme demikian menglobal dan sarat
dengan muatan kepentingan pasca peledakan bom 11 September 2001,
maka di Indonesia untuk menangani kasus-kasus kejahatan terhadap
keamanan negara dikeluarkanlan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Kegiatan Terorisme Namun seiring dengan meningkatnya
jumlah ledakan bom dan perbuatan teror maka Perpu tersebut ditingkatkan
menjadi UU No. 15 dan 16 tahun 2003. Sehingga pada masa ini kejahatan
terhadap keamanan negara dijerat dengan UU Anti Terorisme.
1. Ledakan bom yang terjadi di Bali pada Sabtu (12/10) pukul 23.15 WITA
disebut-sebut sebagai aksi teror terburuk semenjak peristiwa 11 September
2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York,
dan menghancurkan markas militer AS, Pentagon.Sebagian orang
menyebut dua tragedi tersebut saling berkaitan karena ledakan bom di
jalan Legian, Kuta, Bali, terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari selang
tragedi "Black September". Setidaknya 182 orang tewas dan 300 orang
mengalami luka-luka dalam tragedi yang menimbulkan kengerian dan
kepanikan luar biasa itu16.
24
ledakan bom di kawasan Hotel Marriott sedikitnya tercatat 12 orang.
Sebanyak 52 orang lainnya saat ini telah dievakuasi ke RS Jakarta, kawasan
Benhil, Jaksel, Selasa (5/8/2003). Asap tebal hingga kini masih tergambar
jelas di kawasan bisnis di segitiga emas itu. Sekadar diketahui, Marriott
adalah hotel bintang lima yang sering digunakan untuk pertemuan-
pertemuan perwakilan asing. Hotel ini terdiri dari 33 lantai, 333 kamar dan
beroperasi pada September 200117.
25
tertentu yang berseteru dengan berusaha memasukkan lawan seterunya
sebagai pelaku terorisme. Untuk itu harus sangat berhati-hati terhadap
kategorisasi kejahatan terorisme tersebut, apalagi bila yang dominan
memberi label teroris tersebut adalah pihak yang berkuasa sosial politik
maupun ekonomi secara internasional.
Dari rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, bisa ditafsirkan meliputi dua macam
tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
26
“memotivasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu perbuatan yang
masuk kategori tindak pidana teror. Seorang guru, ulama, pastor, atau
pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang
melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan mereka.
27
Apakah tindak pidana teror dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime?
Banyak pihak menyatakan, tindak pidana teror adalah extra ordinary crime. karena sifat
perbuatannya yang luar biasa, dengan alasan sulitnya pengungkapan, juga karena
merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional.
Mengenai hal di atas dan dalam rangka menindak lanjuti upaya penegakan
hukum dari resolusi PBB no 1267 tahun 1999, pemerintah Indonesia melakukan
beberapa hal, antara lain: Mengajukan permohonan kepada PBB agar memasukkan
GAM, JI dan beberapa WNI (Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar
Makawata), kedalam daftar teroris yang disusun PBB dalam revolusi PBB tersebut.
Bila tindakan teror itu dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya sendiri,
maka akan diadili oleh Pengadilan HAM (di Indonesia bernama Pengadilan ad hoc
HAM berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM serta PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat). Bila tindak pidana
teror itu dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya yang melanggar
international criminal law, walaupun ini erat bersinggungan dengan masalah kedaulatan
negara maka idealnya diselesaikan pada Pengadilan internasional. Perlu diingatuntuk
tindak pidana teror oleh suatu negara terhadap negara lainnya, bila melibatkan negara-
negara kecil, pengadilan Internasional masih mungkin untuk dilakukan, tetapi bila
melibatkan negara besar terhadap negara kecil, akan sulit dilakukan.
28
Sehingga seharusnya alternatif Kebijakan Legislasi dalam pemberantasan
tindak pidana terorisme, yang seharusnya bisa dilakukan adalah:
2. Mengefektifkan ketentuan hukum yang ada dan terpencar dalam UU, dengan
mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum yang komprehensif.
29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keamanan negara merupakan suatu instrumen yang sangat penting dan sangat
dibutuhkan demi menjaga stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka perlu ada suatu perumusan tentang kejahatan atau tindak pidana
terhadap keamanan dan keselamatan negara. Kejatahan ini sangat erat kaitannya dengan
aspek politik, sehinggadikualifikasikan sebagai kejahatan atau delik politik. Karena
menyangkut kepentingan dan perlindungan negara. Pada prinsipnya telah ada beberapa
produk hukum tentang delik keamanan negara, seperti dalam UU subversi, KUHP dan
RUU KUHP. Namun adanya ketidakjelasan dan multitafsir terhadap delik politik ini,
disalahgunakan oleh penguasa yang dengan persepsinya sendiri untuk membungkam
atau menangkap pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan
rakyat dengan legitimasi dalam rangka menjaga keamanan negara. Maka harus ada
kajian yang lebih mendalam lagi tentang jenis-jenis tindak pidana terhadap keamanan
negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan menutup akses aspirasi rakyat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazami, 2001, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Biro
Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,
Andi hamzah, 1992, Hukum Pidana Politik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
H.A.K.Moch.Anwar, 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung,
Loebby Loqman, 1985, Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Lebsi, Jakarta
Sumiyanto, 1999,Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat
Dikualisir Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang.
http://pdfsearchpro.com/pdf/tindak-pidana-kejahatan-terhadap-keamanan-negara.html
31