Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA


DELIK-DELIK TERTENTU DALAM KUHP B2

DOSEN PENGAMPU :
Ruli Ardiansyah, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5 :
1. Teguh Hazain Assagaf (D1A117299)
2. Fariyal irfany (D1A118283)
3. Gusti Ayu Anastasya A.f (D1A020561)
4. Arbian Mahmassani (D1A020063)
5. Rozzakul Hafair Marekhan (D1A020467)
6. Miftahul Ansari (D1A020333)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1...............................................................................................................................1
1.2...............................................................................................................................1
1.3...............................................................................................................................2
1.4...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
2.1...............................................................................................................................3
2.2...............................................................................................................................4
2.3...............................................................................................................................6
BAB III PENUTUP............................................................................................................30
3.1 KESIMPULAN...................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia telah memiliki beberapa konsep keamanan negara yang tersebar


dalam beberapa produk hukum seperti dalam KUHP, RUU KUHP, Ketetapan MPR,
Undang-undang Subversi, Undang- undang Pertahanan Keamanan dan lain-lain. Namun
pada tahap aplikasi dari semua produk hukum tentang konsep keamanan negara ini,
oleh elit penguasa disalahgunakan untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Salah satu penyebabnya adalah adanya kekaburan tentang perumusan
kejahatan terhadapkeamanan negara yang dikategorikan sebagai kejahatan politik.
Sehingga penguasa dapat memilih penafsirannya sendiri untuk menangkap, mengadili
dan memvonis penjara seumur hidup bahkan dihukum mati setiap orang atau kelompok
yang tidak sepaham dengan penguasa untuk melindungi kekuasaan atau
kesalahannya.Perumusan tentang kejahatan atau delikpolitik memang belum ada
kejelasan dan kesamaan pendapat dikalangan publik dan kalangan ilmiah. Hal ini
disebabkan adanya kesulitan dalam merumuskan definisi yang universal tentang politik.
Delik politik merupakan istilah sosiologis, bukan istilah yuridis.
Di kalangan hukum lebih terkenal dengan Delik Keamanan Negara.Maka perlu
ada kajian yang mendalam dari berbagai aspek tentang delik politik yang berkaitan
dengan keamanan negara ini, khususnya kajian politik, yuridis dan sosiologis. Sehingga
delikkeamanan negara sebagai delik politik dapat terumus dengan jelas guna
menghindari penggunaan konsep keamanan negara yang represif oleh penguasa.
B. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah pengertian kejahatan tentang keamanan Negara ?


2. Bagaimanakah pengaruh kejahatan tentang keamanan negara yang termuat dalam
KUHP?
3. Memahami Sejarah pengaturan keamanan negara ?

1
C Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari Penulisan makalah ini adalah ;

1. Mengetahui jalannya sejarah perkembangan KUHP tentang kejahatanmegenai


keamanan Negara.
2. Memahami tentang bagaimana penerapan KUHP mengenaipelangaran
keamanan Negara.

D. Manfaat

1. Untuk menambah kasanah ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana


khususnya mengenai KUHP.
2. Bahan masukan bagi pihak lain yang hendak mengadakan penelitian lebih
lanjut mengenai makalah ini.
3. Dapat menjadi pelajaran berbagai pihak khususnya pelajar dan mahasiswa
untuk lebih memahami tugas maupun pekerjaannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.

Kejahatan terhadap keamanan negara merupakan kejahatan yang menyerang


kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, kejahatan ini mempunyai obyek
keamanan negara. Lebih tepat apabila disebut sebagai Kejahatan Terhadap Pelestarian
Kehidupan Negara, karena yang dijaga di sini adalah berlangsungnya kehidupan
bernegara, atau Kejahatan Tata negara. Dibentuknya kejahatan ini adalah ditujukan
untuk melindungi kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan negara dari
perbuatan-perbuatan yang mengancam, mengganggu dan merusak kepentingan hukum
negara.

Dari hal di atas dapat diketahui ada ketertiban hukum yang harus dilindungi
dalam aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu. Ketertiban hukum
tersebut meliputi:

 Keamanan kepala negara


 Keamanan wilayah negara
 Keamanan bentuk pemerintahan.

Kejahatan terhadap keamanan negara secara sosiologis disebut Kejahatan


politik Kata politik berasal dari bahasa Yunani “politia” artinya “segala sesuatu yang
berhubungan dengan negara atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai
pemerintahan suatu negara”1.

Ada beberapa teori untuk menentukan tindak pidana sebagai kejahatan politik, yaitu:

a) Teori obyektif atau disebut teori absolut: ditujukan terhadap negara dan
berfungsinya lembaga-lembaga negara.
b) Teori Subyektif atau teori relatif: semua tindak pidana berlatarbelakang dan
bertujuan politik
c) Teori Predominan: membatasi pengertian pada dominannya perbuatan politik
d) Teori Political Incidence: melihat perbuatan yang dianggap bagian dari kegiatan
politik.2

Jadi kejahatan politik adalah suatu kejahatan, yang menyerang baik


organisasi ataupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut.

3
Bentuk klasik dari delik politik dapat ditemukan dalam Bab I Buku Ke dua dari
Nederlands Strafrecht yang bunyinya pada hakekatnya sama dengan Bab I Buku Ke
dua KUHP Indonesia.3 Jadi bila demikian maka delik politik adalah delik yang
terumuskan dalam undang-undang hukum pidana politik yang menggunakan motif
politik. Sedangkan motivasi politik adalah menyalahi (membahayakan atau
mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan. Dan pembuat undang-undang dalam
hukum politik memberikan kekuasaan yang luas pada hakim untuk menentukan
apa yang dianggap sebagai hukum dalam setiap kasus konkrit.

B. JENIS KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

Sebagaimana telah sama diketahui KUHP secara garis besar membuat


perbedaan atas semua jenis tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran. Buku II
memuat segala jenis kejahatan dan Buku III segala jenis pelanggaran, didasarkan atas
perbedaan antara Rechtsdelicten dan wetsdelicten.Maksudnya, Rechtsdelicten:
perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajar untuk dapat
dihukum, meskipun belum terdapat dalam UU yang melarang dan mengancam dengan
hukuman. SedangkanWetsdelicten: perbuatan-perbuatan dapat dihukum, karena
perbuatan-perbuatan tersebut secara tegas dinyatakan dalam UU sebagai terlarang dan
diancam dengan hukuman4.

Di samping pendapat di atas, di antara para penulis hukum pidana hampir


merata suatu pendapat bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini tidak
bersifat “kualitati”, tetapi hanya “kuantitatif”, yaitu kejahatan yang pada umumnya
diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini nampaknya
didasarkan pada sifat yang lebih berat kejahatan dari pelanggaran.

Sifat yang khusus dimiliki oleh Kejahatan terhadap terhadap negara adalah
adanya sifat pengkhianatan, yakni Pengkhianatan intern dan pengkhinatan ekstern.
Walaupun KUHP tidak mengadakan perbedaan untuk hal itu. Untuk lebih jelasnya
berikut diketengahkan pokok-pokok yang menjadi bahasan dalam Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, sebagai berikut:

a. Makar terhadap kepala negara


b. makar untuk menaklukan Indonesiia di bawah kekuasaan asing
c. makar untuk menggulingkan pemerintah
d. pemberontakan
e. permufakatan jahat

4
f. berhubungan dengan negara asing
g. pengedaran surat-surat rahasia
h. memasuki bangunan pertahanan negara
i. masalah yang memberatkan
j. pengkhianatan diplomatik
k. mata-mata musuh
l. penipuan dalam penyerahan barang keperluan negara
m. hukuman tambahan
n. kejahatan terhadap kawan perang.

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa lingkup kejahatan terhadap


keamanan Negara di dalamnya termasuk pula delik politik. Di dalam kepustakaan
hukum, delik politik dibedakan menjadi 2, yaitu: Kesatu. kejahatan terhadap
pemerintah, dapat berupa kekerasan sebagai protes atas kebijaksanaan yang
dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan merubah struktur pemerintah di luar
konstitusi dan sebagainya; Kedua. kejahatan yang lakukan pemerintah, dapat berupa
serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, kejahatan penyalahgunaan
wewenang dan sebagainya6.

Dari situ terlihat, kejahatan politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan dalam
berbagai bentuk kejahatan, baik oleh rakyat sebagai warga negara maupun oleh
pemerintah sebagai penguasa negara, dalam lingkup satu negara nasional ataupun yang
mempunyai dimensi antar negara/ internasional, yang mengancam berbagai sendi
kelangsungan kehidupan bernegara..

Kejahatan terhadap keamanan Negara berdimensi nasional, yang merupakan


kejahatan politik, bisa berupa:

1. Pengkhianatan (pelanggaran tugas kesetiaan)


2. Penghasutan (provokator/ penganjur)
3. Makar terhadap kepala Negara.
4. Bergabung dengan musuh
5. Pemberontakan
6. Penculikan
7. Penyerangan
8. Kegiatan mata-mata
9. Kerusuhan (gangguan dengan kekerasan/ ancaman kekerasan)
10. Permusuhan antar ras/ suku/ penganut agama

5
11. Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
12. Fitnah terhadap pejabat pemerintah. 7

Kejahatan terhadap keamanan negara berdimensi internasional, yang


merupakan kejahatan politik, bisa berupa:

1) Piracy (Pembajakan kapal laut)


2) Hijacking (Pembajakan pesawat terbang)
3) Teroris (Penggunaaan kekerasan untuk tujuan politik)
4) Sabotase ( perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau gangguan).
5) Genocide (pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok
agama)
6) Hostages (penyanderaan)
7) Misuse of Drugs (Penyalahgunaan obat)
8) Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan)
9) Apartheid ( tindakan kekerasan atas dasar perbedaan ras, warna kulit atau asal
kebangsaan).8

C. SEJARAH PENGATURAN KEAMANAN NEGARA

Untuk mengetahui dengan lebih lengkap tentang pengaturan keamanan negara di


Indonesia, maka akan dilihat pengaturannya secara umum dan secara khusus dalam
peraturan perundang-undangan yang ada. Secara umum, dimaksudkan untuk menampilkan
nama-nama peraturan di bidang keamanan negara. Sedangkan secara khusus, dimaksudkan
akan menyoroti beberapa peraturan yang dijadikan contoh, yang pernah coba dipergunakan
untuk menjerat kasus keamanan negara tertentu.

Pengaturan masalah yang berkaitan dengan keamanan negara secara umum di


Indonesia, antara lain terdapat dalam:

1. UU No. 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi


2. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korups
3. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
4. UU No, 19 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
5. UU No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

6
6. UU No. 1 tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Hong Kong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang
Melarikan Diri
7. UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
8. UU No. 15 tahun 2003 tentang PERPU No. 1 Tahum 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU
9. UU No. 16 tahun 2003 PERPU No. 2 Tahum 2002 tentang Pemberlakuan PERPU
No.1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan
Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UU
10. UU No. 2 tahun tentang 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
11. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
12. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
13. UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara
14. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
15. UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
16. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
17. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
18. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
19. UU No. 5 Thn 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
20. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
21. UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
22. UU No.1 tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
23. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
24. UU No12/ DRT/ 1951 tentang senjata api dan bahan peledak
25. UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Dalam
Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam
26. UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua
27. UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28. UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
29. PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

7
30. PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
31. PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
32. KepPres No. 103 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat
33. Instruksi Presiden No. 4 Th. 2002 kepada Menteri negara Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme;
34. Instruksi Presiden No. 5 Th. 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sebagai
koordinator bagi operasi intelijen, dsb.

Pengaturan keamanan negara secara khusus, disajikannya dalam periodesasi


pengaturan, sebagai berikut:

1. Periode 1945 - 1963.

2. Periode 1963 - 1999.

5. Periode 1999 - 2002.

6. Periode 2002.- sekarang.

Pembagian beberapa periode tersebut, baik seperti yang diatur dalam KUHP maupun
di luar KUHP, engan asumsi adanya perbedaan penerapannya, yang mungkin dipengaruhi
oleh politik pemerintahan pada masa-masa tersebut.

1. Periode 1945 - 1963:

Sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai masa dikeluarkannya Penpres


No. 11/PNPS/1963, yakni masa pengaturan kejahatan keamanan Negara hanya
bersumber KUHP belaka. Kebijakan pengaturan berkaitan dengan KUHP tersebut,
antara lain:

a. Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945.

Pada Aturan Peralihan UUD 1945 dikatakan,bahwa segala badan


negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini. Maka pada masa itu berlakulah Wetboek van
Strafrecht voor nederlandsch Indie, yang telah dilakukan perubahan oleh
pemerintah Tentara pendudukan Jepang, yang dianggap perlu bagi kekuasaan
mereka. Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya berlaku dualisme KUHP yaitu
wetboek van Strafrecht voor Indonesie dan KUHP hasil Undang-Undang. No.1

8
tahun 1946, yang sama-sama bersumber dari Staatblaad 732 tahun 1915 tentang
Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 januari 1918 di Hindia Belanda, dan masing-masing melakukan
perubahan sendiri-sendiri.

b. Berdasarkan staatblaad no.135 tahun 1945.

Pemerintah Pelarian Hindia Belanda di Ausrtralia (di kota Brisbane)


mengatur tentang perubahan Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie
menjadi wetboek van Strafrecht voor Indonesie, untuk daerah-daerah selain
jawa dan madura berlaku KUHP ini, yang lebih dikenal dengan “Brisbane
Ordonantie”. Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indieini, teks aslinya
masih dalam bahasa Belanda, dimana dasar yuridis, filosofis maupun
sosiologisnya merupakan pandangan Belanda pada masa tersebut

Perubahan yang dilakukan oleh “Brisbane Ordonantie”, antara lain:

 diaturnya kejahatan mata-mata,


 penambahan pasal 159 a dan pasal 159 b yaitu mengancam perbuatan
yang dianggap mengganggu ketertiban umum dengan kekerasan dan
merobohkan pemerintah syah.
 pasal 335 tambah ayat (3), mengatur perbuatan menyangkut kepentingan
perekonomian.
 penambahan satu pasal baru yaitu pasal 570 tentang pelanggaran terhadap
keamanan Negara, sehingga Wetboek van Strafrecht voor Indonesie
menjadi berjumlah 570 pasal.
 penambahan ancaman pidana pasal 110, semula diancam dengan pidana
penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara
selama-lamanya dua puluh tahun

Perubahan ancaman pidana yang semula telah ada, misalnya yang


semula diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara
seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Padahal pidana
mati di negara Belanda telah dihapus. Dapat disimpulkan, perubahan yang
dilakukan tersebut mempunyai tujuan politik. Untuk menunjang kembalinya
mereka ke negara bekas jajahannya yaitu Indonesia.

Perubahan itu mempunyai dampak pada tahun-tahun berikutnya, antara


lain terhadap timbulnya UU Anti Subversi. Ini terjadi karena ada perbuatan

9
yang tidak diatur dan diancam pidana oleh KUHP, umpamanya perbuatan
mata-mata. Sehingga Pemerintah Indonesia perlu mengadakan peraturan
tentang beberapa perbuatan yang belum diatur oleh KUHP.

c. Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946,

Dengan UU ini, Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa untuk


hukum pidana diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah
berlaku sejak tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor
Nederladch Indie yang belum dirubah oleh pemerintah tentara pendudukan
Jepang, disebut “KUHP hasil Undang-Undang. No.1 tahun 1946”. UU ini
memberikan kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP dengan kondisi
negara Indonesia, terlihat pada ketentuan dalam pasal V, yang menyebutkan:
“Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai
negara yang merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap
seluruhnya atau sebagian tidak berlaku”. Menurut pasal XVII, UU ini berlaku
bagi Jawa dan madura, kemudian menyusul Jakarta dan sebagian dari pulau
sumatra.

Materi pengaturan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I


Buku Ke dua KUHP dirumuskan mulai pasal 104 sampai dengan pasal 129,
ringkasnya sebagai berikut:

1. Pasal 104, makar dengan maksud membunuh, atau merampas


kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya
memerintah.
2. Pasal 106, makar dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah Negara
jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara.
3. Pasal 107, makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.
4. Pasal 108, pemberontakan.
5. Pasal 110, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 104, 106,
107, 108.
6. Pasal 111, mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan maksud
menggerakkannya untuk melakukan perbuatan memusuhi atau perang
dengan Negara RI dsb.
7. Pasal 111 bis, mengadakan hubungan dengan orang atau badan di luar
negeri dengan maksud menggerakkannya supaya membantu

10
mempersiapkan, memperlancar, atau menggerakkan untuk menggulingkan
pemerintah yang sah dsb.
8. Pasal 112, sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita yang
diketahuinya harus dirahasikan untuk kepentingan Negara.
9. Pasal 113, sengaja mengumumkan , atau memberitahukanmaupun
menyerahkan kepada orang yang tidak wenang mengetahui, surat-surat,
peta-peta dan lain sebagainya yang bersifat rahasia yang bersangkutan
dengan pertahan dan keamanan Negara.
10. Pasal 114, karena kealpaannya menyebabkan surat-surat atau benda-benda
dalam pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui
umum atau yang tidak berhak dsb.
11. Pasal 115, melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia
dalam pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu dimaksudkan
untuk diketahui olehnya dsb.
12. Pasal 116, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 113 dan
115.
13. Pasal 117, sengaja memasuki bangunan AD atau AL atau daerah terlarang
dsb.
14. Pasal 118, tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dsb, yang
bersangkutan dengan kepentingan militer.
15. Pasal 119, memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya
mempunyai niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut
dalam pasal 113.
16. Pasal 120, kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan
aqal curang.
17. Pasal 121, orang yang ditugasi untuk berunding dengan Negara asing,
dengan sengaja merugikan Negara Indonesia.
18. Pasal 122, dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan
sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan Negara.
19. Pasal 123, WNI yang masuk menjadi tentara asing yang sedang
menghadapi perang atau perang dengan Indonesia.
20. Pasal 124, dalam masa perang sengaja memberi bantuan pada musuh dsb.
21. Pasal 125, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam pasal 124.
22. Pasal 126, dalam masa perang tidak dengan maksud membantu musuh,
memberi pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikan dsb.

11
23. Pasal 127, dalam masa perang melakukan perbuatan tipu muslihat atau
aqal curang dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut dan
Angkatan Darat.
24. Pasal 129, diterapkannya pidana-pidana yang ditentukan terhadap
perbuatan-perbuatan dalam pasal 124–127, kepada si pembuat yang
melakukan salah satu perbuatan itu terhadap atau bersangkutan dengan
Negara sekutu dalam perang bersama.

Pada periode berlakunya KUHP berdasar UU No.1 tahun 1946 ini, ada beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang keamanan negara, antara lain:

1) Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya


sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor
52 Prp Tahun 1960 .

UU keadaan bahaya yang lazim dinamakan UU darurat, dalam


rangka menindaklanjuti pasal 12 UUD 1945, yang menyatakan "Syarat-
syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang".
Keadaan bahaya adalah “suatu keadaan terganggunya keamanan atau
ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan,
pemberontakan bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah
negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang
yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara biasa”.

UU 23/ 1959 ini, dalam proses penegakan hukum kejahatan


terhadap keamanan Negara, mempunyai beberapa ketentuan untuk itu,
antara lain:

Pasal 1 Presiden dapat menyatakan seluruh atau sebagian wilayah


RI dalam keadaan bahaya dengan tiga tingkatan: darurat sipil, darurat
militer, keadaan perang.

(1) Keadaan darurat dapat diumumkan Presiden jika keamanan atau


ketertiban hukum di seluruh atau sebagian RI terancam
pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam,
sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat negara secara
biasa.

12
(2) Keadaan darurat itu dapat pula diumumkan jika timbul perang,
atau bahaya perang, atau dikhawatirkan terjadi perkosaan
wilayah RI dengan cara apa pun juga. Dengan kata lain, hidup
negara dalam bahaya.

Sehingga Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum dalam


penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan
negara, terpeliharanya persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan
wilayahnya, bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai ancaman dari
dalam dan luar negeri dengan intensitas tinggi, memerlukan
penanggulangan keadaan bahaya itu.

Dalam situasi seperti di atas, tanggung jawab utama ada pada Presiden
sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, oleh karena itu
berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan
negara, dengan menetapkan negara dalam keadaan bahaya dengan status
darurat sipil atau status darurat militer atau dalam keadaan perang. Dan
berhak mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka,
karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya.
Presiden dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati seminggu,
sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR.

Mengenai kekuasaan presiden untuk menyatakan negara dalam keadaan


bahaya, berikut diketengahkan beberapa peraturan perundangan yang
pernah ada, antara lain:

a) Keppres RI no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil


di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagaimana telah
diubah dengan KeppresNo.40 Tahun 2002

b). Keppres RI no. 97 tahun 2003 Tentang Pernyataan


Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan Tingkatan Keadaan
Darurat Militer Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.

2) UU No. 73 tahun 1958 Tentang pemberlakuan UU No. 1 tahun 1946 untuk


seluruh wilayah Indonesia

Dualisme sistem hukum pidana tersebut berlangsung terus


meskipun kedaulatan sepenuhnya ada pada pemerintah Indonesia baik

13
secara de jure maupun secara de facto, Hal ini disebabkan karena baik
konstitusi RIS maupun UUDS 1950 tetap memberlakukan semua
peraturan yang ada sebelum adanya peraturan yang baru, sehingga baik
KUHP maupun Wetboek van Strafrecht voor Idonesia masih tetap
berlaku secara berdampingan dalam daerah masing-masing di wilayah
Indonesia.

Keadaan demikian baru disadari setelah timbulnya beberapa


kasus, umpamanya “kasus Cikini”, yaitu kasus percobaan pembunuhan
terhadap Presiden Soekarno yang terjadi di jalan Cikini Raya Cakarta
tahun 1957, dengan cara melemparkan granat yang menimbulkan
korban tewas 9 orang dan luka-luka sebanyak 55 orang. Peristiwa
tersebut merupakan suatu peristiwa yang dilatar belakangi politik atau
bertujuan politik, yakni ingin merobohkan pemerintahan dengan jalan
membunuh kepala negara agar tidak dapat berfungsi sebagai kepala
negara. Tetapi di depan pengadilan para pembela terdakwa
mengemukakan bahwa di Jakarta sebenarnya yang berlaku adalah
Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, dalam dalam undang-ungdang
pidana tersebut yang dilarang adalah seseorang yang ingin mencoba
atau membunuh “koning/ koningen” yang diterjemahkan raja atau ratu.
Sedangkan dalam peristiwa Cikini yang akan dibunuh adalah Presiden.
Presiden bukan raja, sehingga pasal-pasal dalam KUHP tidak dapat
dipergunakan untuk menuntut terdakwa.

Dualisme sistem perundang-undangan hukum pidana tersebut


baru diakhiri dengan dikeluarkannya UU No. 73 tahun 1958 yang
menyebutkan bahwa UU No. 1 tahun 1946 berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia, artinya di seluruh wilayah Indonesia berlaku KUHP
hasil perubahan UU No. 1 tahun 1946 dari Wetboek van Strafrecht voor
Nederladsch Indie, yang diberlakukan di Hindia Belanda secara
efektif sejak 1 Januari 1918., yang tentunya teks aslinya masih dalam
bahasa Belanda.

Dan Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie itu


merupakan saduran atau dapat dikatakan sama seperti yang berlaku di
negeri Belanda tahun 1886. Sehingga dapat diperkirakan bahwa baik
dasar yuridis, filosofis maupun sosiologis yang mendasari adalah

14
merupakan pandangan pada masa tersebut, yang jelas pasti berbeda
dengan bangsa Indonesia.

Aslinya di negeri Belanda Wetboek van Strafrecht telah banyak


dilakukan perubahan, antara lain dengan menambahkan ketentuan
tentang perbuatan mata-mata serta perbuatan sabotase. Sehingga
dengan keluarnya UU No. 73 tahun 1958 maka perbuatan mata-mata
serta perbuatan sabotase itu tidak terlarang lagi di Indonesia dan
belum didapati pengaturannya dalam KHUP.

Peristiwa Cikini tersebut diikuti dengan dikeluarkannya


Penpres No. 5 tahun 1959 yang memperberat ancaman pidana terhadap
delik yang tersebut dalam titel I dan II Buku Ke dua KUHP, dengan
tambahan kualifikasi menghalang-halangi program pemerintah.
Memang ketentuan-ketentuan tsb merupakan tindak pidana politik juga
, tetapi belum mencakup kejahatan-kejahatan seperti kegiatan mata-
mata, sabotase, penjualan rahasia negara kepada pihak asing , subversi
dalamarti merencanakan dan mempersiapkan intervensi atau invasi
tentara asing ke dalam negeri dan sebagainya. Hal seperti itu baru
diatur dalam UU Anti subversi.

2. Periode 1963 – 1999

Masa berlakunya hukum pidana dibidang subversi, yakni sejak


berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi hinggadikeluarkannya UU No. 26 tahun 1999 tentang pencabutan UU
No. 5 tahun 1969 tentang pengesahan Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi
Undang-Undang. Pada periode ini sekedar untuk memberikan gambaran
mengenai perbedaan dalam pelaksanaannya, maka disajikan sebagai berikut:

a. Masa berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde lama.

Sejak berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sampai dengan


mulanya Orde Baru yaitu 11 Maret 1966. Yakni masa setelah ada
peraturan tentang pemberantasan kegiatan subversi, akan tetapi dalam
masa pemerintah Orde Lama. Dalam periode ini KUHP sebagai
undang-undang pidana umum dan Penpres No. 11 tahun 1963 yang
saat itu berlaku sebagai penetapan presiden, merupakan undang-undang
pidana khusus.

15
Dalam membicarakan keabsahan Penetapan Presiden ini, tidak dapat
dilepaskan dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1969, karena dekrit ini yang mendorong
timbulnya Penpres No. 11 tahun 1963. Dekrit Presiden 5 Juli 1969 lahir karena keadaan
pada saat itu dianggap membahayakan kesatuan bangsa, jadi pada waktu itu negara
dalam keadaan darurat, sehingga ada sebagian orang yang membenarkan presiden
membuat peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka struktur dan hirarki
perundang-undangan menurut UUD 1945. Jadi sebagai hukum revolusi. Ia merupakan
alat Orde Lama . Bersama Partai Komunis yang tergabung di dalamnya, yang ditujukan
kepada lawan politiknya.

Sebagai hukum pidana khusus, Penpres No 11 tahun 1963 memuat beberapa


penyimpangan terhadap KUHP. Secara ringkas penyimpangan tersebut antara lain:

25. Perumusan delik bersifat meluas dan serba meliputi.


26. Kemungkinan dijatuhkannya putusan in absentia.
27. Dimungkinkannya pemidanaan terhadap badan hokum perseroan,
perserkatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, disamping orang
sebagai subyek hukum.
28. Penerobosan rahasia bank.
29. Dapat ditempuhnya upaya banding atas putusan hakim yang berupa
pembebasan.
30. pelaksanaan sidang perkara mutlak harus terdiri 3 hakim.
31. Putusan pengadilan yang bukan pidana mati, tidak tertunda karena
permohonan grasi.
32. Jaksa Agung/ Oditur Jendral berwenang mengadakan penahanan terhadap
seseorang yang didakwa melakukan kegiatan subversi untuk paling lama
satu tahun.
33. Perkara subversi diperiksa dalam batas waktu tertentu.
34. Mengecualikan berlakunya pasal 63 ayat 2 KUHP, yang berbunyi:”Jika
untuk seseuatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum
ditentukan aturan pidakhusus, maka hanyalah aturan pidana khusus itu saja
yang dikenakan”.
35. Kemungkinan dijatuhkannya pidana (penjara) dan denda, dengan variasi
berupa pidana badan saja, dapat pula pidana badan dan denda, juga
mungkin pidana denda saja.

16
36. Dapat dirampasnya benda yang menjadi milik atau bukan milik terpidana
yang diperoleh dari atau digunakan alat melakukan tindak pidana subversi.

b. Masa berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde Baru.

Yakni tenggang waktu antara sejak 11 Maret 1966 (Surat Perintah Sebelas
maret) sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969. Saat digunakannya
peraturan tentang kegiatan subversi dalam masa Orde Baru, untuk menjerat
berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara.

Dalam periode ini Penpres No. 11 tahun 1963 dipakai sebagai undang-undang
dalam mengadili pera pelaku gerakan 30 September 1966/ PKI, yaitu tokoh-tokoh
Orde Lama dan PKI. Hal ini dapat dibenarkan secara filosofis, bahwa barang siapa
membuat suatu aturan yang dipandang adil dan sah untuk diterapkan kepada orang
lain, tentulah adil dan sah jika diterapkan pula kepadanya, jika ia melakukan
perbuatan yang memnuhi unsur-unsur dalam peraturan tersebut. Dalam sejarah
pernah terjadi, yaitu peraturan “darurat” yang dibuat oleh regim Nazi Hitler,
diberlakukan pula terhadap mereka sebagai penjahat perang.

c. Masa berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sebagai UU No. 11/PNPS/1963


dengan UU No. 5 tahun 1969.

Periode ini terjadi antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1999. Yakni masa
sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan Berbagai Penpres dan
dan Keppres sebagai undang-undang, sebagai tindak lanjut atas peninjauan kembali
terhadap semua produk perundang-undangan dari tahun 1959 sampai tahun 1966
sampai dengan ditetapkannya UU No.26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No.
11 tahun 1963 dan UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang
berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.

Dengan UU No. 5 tahun 1969 tersebut , maka Penpres No. 11 tahun 1963
menjadi UU No. 11/PNPS/1963. Sehingga pada periode ini kejahatan terhadap
keamanan negara dijerat dengan UU Anti Subversi. Dengan dilegalisasikan dan
ditempatkan dalam jajaran perundang-undangan yang konstitusional, maka
menjadi hukum formal bagi hukum pidana politik. Walaupun disadari saat itu
belum ada putusan Mahkamah Agung yang konstan mengenai harus ada atau
tidaknya latar belakang serta tujuan politik pelaku tindak pidana politik, ada
kalanya berlatar belakang politik ada kalanya tidak. Beberapa kasus yang bisa

17
dijadikan contoh, misalnya: Kasus Gerakan Aceh Merdeka. Kasus Jayus dan Slamet
dalam kasus Wei Jepara Lampung, yang ditahan sejak1989 dan baru diketahui
LBH pada 1993. Kasus HR Darsono, Kasus Tengku Bantaqia, Kasus Sri Bintang
Pamungkas dan Kasus Budiman Sujatmiko.

Tetapi setidaknya UU No. 5 tahun 1969 telah memberikan ruang gerak kepada
hakim yang cukup memadai untuk menerapkan penafsiran penghalusan hukum,
bahwa undang-undang tersebut bersifat darurat yang akan ditinjau dan diselaraskan
dengan UUD 1945 dan hati nurani rakyat.12

Pada periode ini ada beberapa peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan
keamanan Negara, antara lain:

1). UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi.

Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang


meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam
yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya. Di dalam Pasal 4, ekstradisi dilakukan
berdasarkan suatu perjanjian yang di dalamnya memuat daftar kejahatan yang
dapat di ekstradisi13. Dalam hal belum ada perjanjian, ekstradisi dapat
dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara
menghendakinya.

Ekstradisi dapat dilakukan terhadap orang yang oleh pejabat yang


berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan
atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Ekstradisi dapat juga
dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena
melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan
kejahatan. Sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat
dipidana menurut hukum Negara Indonesia dan menurut hukum negara yang
meminta ekstradisi.

Di dalam pasal 2 dari UU ini, disebutkan pelanggaran hukum yang


dapat diserahkan oleh suatu Negara Diminta kepada Negara Peminta
penyerahan, antara lain:

18
 pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum
Negara yang terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yakni berdasarkan
asas tindak pidana ganda (double criminality),
 pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu)
tahun atau dengan pidana lebih berat.

Secara garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU ini, Negara Diminta boleh
menolak untuk menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan
pidana yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara
lain.

1. tindak pidana yang berlatar belakang politik,


2. tindak pidana militer,
3. penuntutan yang telah kadaluarsa,
4. ne bis in idem.
5. tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak
diatur menurut hukum Negara Diminta
6. tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.

Dalam UU ini ketentuan ekstradisi tidak dapat dipisahkan dari hak


asasi manusia, sehingga amat mempengaruhi pelaksanaan ekstradisi atas diri
seorang penjahat. Hak asasi manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa
azas-azas ekstradisi yang berlaku dalam perjanjian antar Negara. Hal yang perlu
di garis bawahi, bahwa terhadap delik politik tidak dapat diekstadisi, ini
sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian
kejahatan politik. Pengecualian terhadap tidak dapat diserahkannya seorang
penjahat politik dari Negara yang Diminta kepada Negara Peminta adalah
apabila terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala
Negara atau anggota keluarganya. Karena perbuatan tersebut dianggap bukan
kejahatan politik, meskipun mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan-
tujuan politik. Kasus yang menarik untuk disimak misalnya kasus ekstradisi
Umar al. Faruq yang dituduh bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir
terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap presiden Megawati Soekarno Putri

19
Beberapa peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti
Undang-undang No.1 tahun 1979 tentang ekstradisi antara lain:

 Undang-undang No. 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi


antara Pemerintah indonesia dengan Pemerintah Malaysia,
 Undang-undang No. 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi
antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Thailand.

2). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982

UU no. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan


Keamanan Negara Republik Indonesia (LNRI Tahun 1982 No. 51, TLN No.
3234), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988 tentang
Perubahan atas UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (LNRI Tahun 1988 No. 3,
TLN No. 3368), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan RI dan perubahan kelembagaan TNI, yang didorong
perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga UU
tersebut perlu diganti.Dalam era reformasi diupayakan untuk diganti dengan
munculnya RUU Penanggulangan keadaan bahaya (RUU PKB) dan RUU
Keamanan dan Keselaman Negara (RUU KKN), yang dalam masa pembahasan
dan persetujuannya kedua RUU ini telah memicu pro kontrak masyarakat yang
mengkhawatirkan akan kembali dan menguatnya peran TNI seperti semasa
Orde Baru, sehingga pemerintah terpaksa penunda pemberlakuannya.

3. Periode 1999 – 2002

Masa sejak ditetapkannya UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan


UU No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan
ditetapkannya UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan
dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara sampai dengan dikeluarkannya
Perpu No. 1 dan No. 2 tahun 2002. Pada masa ini seiring dengan tidak
berlakunya lagi UU Anti Subversi, maka kejahatan terhadap keamanan negara
penanganannya dikembalikan kepada KUHP.

Beberapa peristiwa menarik di Indonesia pada saat itu antara lain:

1. Tahun ketiga setelah penghancuran (bumi hangus saat jajag pendapat)


oleh militer Indonesia dan milisi pro-integrasi, belum diketahui secara

20
pasti berapa jumlah korban tewas, hilang, korban perkosaan, dan
kejahatan lainnya di Timor Timur. Semua masih menjadi misteri.
Sedangkan para pelaku kejahatan itu masih bebas, sementara para
korban dan keluarga korban terus menuntut keadilan kepadaUnited
Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET) untuk
membentuk Special Panel (Regulasi 2000/15) yang memiliki
kewenangan mengusut kejahatan-kejahatan serius.

2. Penanganan atas Peristiwa idul fitri berdarah di Ambon pada 19


Januari 1999, antara muslim (yang belakangan dibantu Laskar Jihad)
dengan Kristen yang di dukung oleh Forum Kedaulatan Maluku (FKM)
yang diketuai oleh Alex Manuputy, yang sampai masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri belum
juga tuntas.

3. Adanya pemahaman lain tentang makar, yang dilontarkan pada


ceramah anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur
Muhammad Iskandar SQ di Kebumen, Jawa Tengah. yang menyebut
Amien Rais dan Akbar Tandjung telah berbuat makar dan halal
darahnya karena bermaksud untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan
Presiden “

4. Periode 2002 – sekarang

Pada periode ini ada beberapa ada beberapa peraturan perundangan


yang berkaitan dengan keamanan negara, antara lain:

1). UU no. 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.

Dalam UU no. 3 tahun 2002, diatur tentang pertahanan


Negara, Sistem pertahanan Negara, tujuan dan usaha
pertahanan Negara.. Pertahanan negara, diselenggarakan oleh
pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem
pertahanan Negara. Pengelolaan sistem pertahanan negara
sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk
melindungi kepentingan nasional dan mendukung kebijakan
nasional di bidang pertahanan. Dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai
komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan

21
dan komponen pendukung, dalam menghadapi ancaman
nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang
pertahanan sebagai unsur utama, didukung oleh unsur-unsur
lain dari kekuatan bangsa, misalnya komponan cadangan dan
pendukung.

Komponen cadangan, terdiri atas warga negara,


sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan
prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat
komponen utama. Dan Komponen pendukung, yang terdiri atas
warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta
sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak
langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan
komponen utama dan komponen cadangan.

Ancaman pertahanan negara, sebenarnya merupakan


Ancaman terhadap kedaulatan Negara, semula bersifat
konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multi
dimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar
negeri maupun dari dalam negeri.Ancaman bisa berupa
ancaman militer dan ancaman non militer.

UU Pertahanan Negara ini, isinya mengesankan hanya


mengatur tentang pemberian wewenang yang lebih besar pada
pihak militer untuk berkuasa, tidak mengatur syarat-syarat
keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari ancaman
krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek. Sehingga
menimbulkan penafsiran bahwa UU ini memiliki tujuan
tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang
berlebihan terhadap militer. Terlihat dari dimungkinkannya
TNI untuk melakukan operasi militer.

UU ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa


total dengan menggantikan fungsi keamanan domestik yang
merupakan tugas Polri, dan fungsi administratif pemerintahan
sipil, baik pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa
memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan

22
hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku, dan mengambil
alih pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer.
diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya
banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan
demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat
karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer.
Dengan demikian sistem pertahanan negara "Militerisme"
bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun
justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang
mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa.
tentuan seperti itu beresiko tinggi melahirkan rejim militer di
Indonesia, karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang
sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun,
setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer
dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.

Dalam UU ini, memang Presiden berwenang dan


bertanggung jawab mengelola sistem pertahanan negara
sebagai salah satu fungsi pemerintahan Negara, dengan
menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi
acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan
sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip demokrasi,
HAM, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan
hukum nasional, hukum dan kebiasaan internasional, serta
prinsip hidup berdampingan secara damai.

Warna militerisme di masa lalu, tampil dalam sosok


kekuasaan Presiden Indonesia. Terungkap dalam laporan: Al-
Qaeda in South-east Asia: the Case of the "Ngruki Network" in
Indonesia (2002), oleh Direktur International Crisis Group,
Sidney Jones, peneliti dari Amerika Serikat. Dalam laporan itu,
tergambar suatu operasi intelijen yang merekayasa kasus Darul
Islam (DI) dan Jama’ah Islamiyah (JI) oleh Ali Murtopo masa
Presiden Soeharto, dalam rangka mempertahankan kekekuasan
rezim tersebut.

23
2) UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penetapan atas


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang,
yang mana Perpu no 1 tahun 2002 itu sempat diberlakukan terhadap kasus
peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di Bali berupa Perpu no. 2 tahun
2002 yang kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003, kemudian untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 pemerintah telah
membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.

Pada masa ini, saat-saat isu terorisme demikian menglobal dan sarat
dengan muatan kepentingan pasca peledakan bom 11 September 2001,
maka di Indonesia untuk menangani kasus-kasus kejahatan terhadap
keamanan negara dikeluarkanlan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Kegiatan Terorisme Namun seiring dengan meningkatnya
jumlah ledakan bom dan perbuatan teror maka Perpu tersebut ditingkatkan
menjadi UU No. 15 dan 16 tahun 2003. Sehingga pada masa ini kejahatan
terhadap keamanan negara dijerat dengan UU Anti Terorisme.

Sekedar gambaran tentang beberapa peristiwa teror yang terjadi, dapat


dikemukakan, antara lain:

1. Ledakan bom yang terjadi di Bali pada Sabtu (12/10) pukul 23.15 WITA
disebut-sebut sebagai aksi teror terburuk semenjak peristiwa 11 September
2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York,
dan menghancurkan markas militer AS, Pentagon.Sebagian orang
menyebut dua tragedi tersebut saling berkaitan karena ledakan bom di
jalan Legian, Kuta, Bali, terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari selang
tragedi "Black September". Setidaknya 182 orang tewas dan 300 orang
mengalami luka-luka dalam tragedi yang menimbulkan kengerian dan
kepanikan luar biasa itu16.

2. Ledakan hebat terjadi di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan, Selasa (5/8)


pukul 12.45. Diperkirakan, ledakan dari bom yang diletakkan di dalam
mobil. Kuat dugaan bencana itu akibat bom bunuh diri. Korban tewas

24
ledakan bom di kawasan Hotel Marriott sedikitnya tercatat 12 orang.
Sebanyak 52 orang lainnya saat ini telah dievakuasi ke RS Jakarta, kawasan
Benhil, Jaksel, Selasa (5/8/2003). Asap tebal hingga kini masih tergambar
jelas di kawasan bisnis di segitiga emas itu. Sekadar diketahui, Marriott
adalah hotel bintang lima yang sering digunakan untuk pertemuan-
pertemuan perwakilan asing. Hotel ini terdiri dari 33 lantai, 333 kamar dan
beroperasi pada September 200117.

3. Sebuah bom berkekuatan besar (high explosive), meledak di depan kantor


Kedutaan Besar Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta
Selatan, Kamis (9/9) sekitar pukul 10.25. Hingga Kamis malam, setidaknya
enam orang tewas dalam kejadian ini, serta 161 lainnya luka-luka. Ledakan
itu dipastikan berasal dari bom mobil, modus yang mirip dengan bom Bali
dan bom JW Marriot.

Terorisme sebagai sebuah isu global dalam dunia internasional,


regional, maupun nasional sebenarnya sudah lama kita kenal meskipun
harus diakui tidaklah mudah untuk mendefinisikannya. Namun, barangkali
perlu diupayakan secara lebih spesifik agar mendapatkan suatu karakteristik
dari pengertian teror maupun terorisme, paling tidak untuk membentuk
sarana hukum yang tepat dalam penanggulangan kejahatan terorisme.

Dalam UU No. 15 Tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diupayakan untuk memberikan
batasan dan karakteristik pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun
tidak memberikan definisi yang memuaskan tentang perbuatan teror
sebagai sebuah delik pidana, seperti halnya dalam delik pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan sehingga unsur-unsur perbuatan pidana menjadi
kabur dan terlalu luas pengertiannya. Hal ini sulit untuk dirumuskan dan
membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses
penegakan hukumnya.

Sejauh ini masyarakat internasional telah mengategorikan terorisme


sebagai extra ordinary crime karena akibat dari kejahatannya menyebabkan
rangkaian kejahatan dan kerugian yang sangat luas mulai dari nyawa
manusia, harta, fasilitas umum, objek-objek vital negara, kepentingan
umum, dan kemerdekaan masyarakat diciderai secara serius. Hal ini juga
memberikan peluang bagi pihak-pihak yang ingin menjatuhkan pihak

25
tertentu yang berseteru dengan berusaha memasukkan lawan seterunya
sebagai pelaku terorisme. Untuk itu harus sangat berhati-hati terhadap
kategorisasi kejahatan terorisme tersebut, apalagi bila yang dominan
memberi label teroris tersebut adalah pihak yang berkuasa sosial politik
maupun ekonomi secara internasional.

Apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme. Dalam ketentuan


umum UU no.15 tahun 2003 terorisme didefinisikan sebagai: perbuatan
yang merupakan kekerasan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa
dan harta benda orang lain, atau atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional

Dari rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, bisa ditafsirkan meliputi dua macam
tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:

1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menim-bulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain.

2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang


mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional.

Rumusan tindak pidana teror selanjutnya, disebutkan dalam


Pasal 8, yang mengharuskan adanya kesengajaan dan memungkinkan
menjerat kealpaan sebagai suatu perbuatan terorisme ( pasal 8, d dan g
)20. Pasal 8 memasukan 18 macam perbuatan sebagai tindak pidana
teror dalam bidang penerbangan (sama dengan KUHP) dan dipidana
sama dengan tindak pidana teror dalam Pasal 6.

Kata “merencanakan” dan kata “menggerakkan” dalam pasal


ini tidak memiliki ukuran jelas sehingga bisa saja ditafsirkan yang

26
“memotivasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu perbuatan yang
masuk kategori tindak pidana teror. Seorang guru, ulama, pastor, atau
pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang
melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan mereka.

Selain longgarnya definisi dalam UU ini juga bertebar rumusan


pasal yang bersifat karet, yang banyak mengandung implikasi negatif
dalam penerapkan. Rumusan karet dalam UU Anti terorisme tersebut,
antara lain:

1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

2. suasana terror/ rasa takut thd orang secara meluas

3. objek-objek vital yang strategis (ps. 6)

4. pengertian kata “bermaksud” (ps. 7)

5. merencanakan dan/atau menggerakkan orang (ps. 14)

6. tafsir : mengintimidasi, proses peradilan menjadi terganggu, tidak


langsung (ps.20, 22)

7. dapat menggunakan setiap laporan intelijen (ps.26)

Untuk dapat membedakan antara tindak pidana teror dengan tindak


pidana lainnya, maka perlu disampaikan unsur-unsur tindak pidana teror yang
berbeda dengan tindak pidana biasa. Unsur pokok tindak pidana teror, adalah:

1. tindak kekerasan itu terencana rapi, bukan bersifat impulsif atau


spontan.

2. perbuatan itu berlatar belakang politis, bukan kriminal seperti tindak


kejahatan yang dilakukan para mafia yang bermotifkan uang. Politis
dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan
atau sistem politik yang ada.

3. sasaran terorisme selalu masyarakat sipil, bukan instalasi militer atau


pasukan bersenjata.

4. dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan dalam negeri yang


merasa tidak puas dan marah terhadap kebijakan pemerintah.

27
Apakah tindak pidana teror dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime?
Banyak pihak menyatakan, tindak pidana teror adalah extra ordinary crime. karena sifat
perbuatannya yang luar biasa, dengan alasan sulitnya pengungkapan, juga karena
merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional.

Tindakan teror bisa dilakukan oleh individu atau sekelompok individu,


organisasi dan negara. Tindakan terror yang dilakukan individu, sering kali merupakan
bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius
tertentu.Namun dijumpai pula beberapa kasus teror yang dilakukan seorang atau
beberapa orang, bukan berasal dari sebuah organisasi.Tindakan teror yang dilakukan
oleh negara, bisa berupa tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat
HAM (gross violation against human rights). Terorisme negara berkembang seiring
sejarah perkembangan peradaban manusia, contoh fenomena sosial yang pernah terjadi
adalah, “perang psikologis yang ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius (14-37
SM) dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi Romawi mempraktekkan terorisme dalam
penyingkiran, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan politiknya.
Roberspierre (1758-1794) saat revolusi Perancis. Setelah perang sipil di AS muncul
kelompok teroris rasialis Ku Klux Klan. Demikian juga Hitler di Jerman dan Joseph
Stalin di Rusia.

Mengenai hal di atas dan dalam rangka menindak lanjuti upaya penegakan
hukum dari resolusi PBB no 1267 tahun 1999, pemerintah Indonesia melakukan
beberapa hal, antara lain: Mengajukan permohonan kepada PBB agar memasukkan
GAM, JI dan beberapa WNI (Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar
Makawata), kedalam daftar teroris yang disusun PBB dalam revolusi PBB tersebut.

Bila tindakan teror itu dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya sendiri,
maka akan diadili oleh Pengadilan HAM (di Indonesia bernama Pengadilan ad hoc
HAM berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM serta PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat). Bila tindak pidana
teror itu dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya yang melanggar
international criminal law, walaupun ini erat bersinggungan dengan masalah kedaulatan
negara maka idealnya diselesaikan pada Pengadilan internasional. Perlu diingatuntuk
tindak pidana teror oleh suatu negara terhadap negara lainnya, bila melibatkan negara-
negara kecil, pengadilan Internasional masih mungkin untuk dilakukan, tetapi bila
melibatkan negara besar terhadap negara kecil, akan sulit dilakukan.

28
Sehingga seharusnya alternatif Kebijakan Legislasi dalam pemberantasan
tindak pidana terorisme, yang seharusnya bisa dilakukan adalah:

1. Karena terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada


dasarnya pengaturan anti-terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukan
dalam satu peraturan.

2. Mengefektifkan ketentuan hukum yang ada dan terpencar dalam UU, dengan
mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum yang komprehensif.

3. Melakukan aksesi dan atau ratifikasi berbagai ketentuan internasional tentang


terorisme

4. Kerangka hukum di atas harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan:


pengawasan perbatasan (darat, laut dan udara), keamanan transportasi, bea-
cukai, keimigrasian, money laundering, basis rekrutmen dan pelatihan (milisi
dan latihan-latihan militer ilegal), keuangan, bahan peledak, bahan kimia, dan
persenjataan, serta perlindungan terhadap keselamatan masyarakat.

5. Mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum secara non-diskriminatif,


selalu menghormati dan melindungi HAM yang non-derogable rights.

29
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kejahatan terhadap terhadap negara, terdiri dari berrmacam-macam jenis,


namun ada sifat khusus yang menadainya yaitu adanya sifat pengkhianatan, secara
intern dan ekstern. Pengaturan mengenai Kejahatan terhadap keamanan negara di
Indonesia, dapat dilihat secara umum dan secara khusus, di dalam KUHP maupun di
dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yang penerapannya bisa dibedakan
melalui periodesasi pengaturannya.

Keamanan negara merupakan suatu instrumen yang sangat penting dan sangat
dibutuhkan demi menjaga stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka perlu ada suatu perumusan tentang kejahatan atau tindak pidana
terhadap keamanan dan keselamatan negara. Kejatahan ini sangat erat kaitannya dengan
aspek politik, sehinggadikualifikasikan sebagai kejahatan atau delik politik. Karena
menyangkut kepentingan dan perlindungan negara. Pada prinsipnya telah ada beberapa
produk hukum tentang delik keamanan negara, seperti dalam UU subversi, KUHP dan
RUU KUHP. Namun adanya ketidakjelasan dan multitafsir terhadap delik politik ini,
disalahgunakan oleh penguasa yang dengan persepsinya sendiri untuk membungkam
atau menangkap pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan
rakyat dengan legitimasi dalam rangka menjaga keamanan negara. Maka harus ada
kajian yang lebih mendalam lagi tentang jenis-jenis tindak pidana terhadap keamanan
negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan menutup akses aspirasi rakyat.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazami, 2001, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Biro
Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,

Andi hamzah, 1992, Hukum Pidana Politik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

H.A.K.Moch.Anwar, 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung,

Loebby Loqman, 1985, Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Lebsi, Jakarta

Loebby Loqman, 1993, Delik Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta,

Sumiyanto, 1999,Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat
Dikualisir Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang.

http://pdfsearchpro.com/pdf/tindak-pidana-kejahatan-terhadap-keamanan-negara.html

31

Anda mungkin juga menyukai