Anda di halaman 1dari 18

KONVENSI KETATANEGARAAN

Dosen: Dr. W. M. Herry Susilowati, S.H., M.Hum.

Anggota Kelompok 6:
Ahmad Naufal Thariq | 6051801072
Bryan Dharma Saputra | 6051801237
Dennis Tanneri | 6051801012
Falih Naganta | 6051801130
Freya Sera Dianira .H. | 6051801071
Leonardi Cristanto | 6051801083
Ratna Aulia | 6051801312
Stefani Valencia | 6051801005
Steven Soetrisno | 6051801060
Vialonika | 6051801330
Vincentius Aditya

2019
Hukum Tata Negara
Universitas Katolik Parahyangan
Kata Pengantar

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konvensi
Ketatanegaraan” ini.

Pada makalah ini, kami mengulas penjelasan mengenai hakikat konvensi


ketatanegaraan, pengakuan hakim terhadap konvensi, fungsi konvensi ketatanegaraan
dan contoh dari konvensi ketatanegaraan.

Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Herry Susilowati
selaku dosen mata kuliah Hukum Tata Negara. Kami harap dengan adanya
pembahasan mengenai konvensi ketatanegaraan ini, para pembaca bisa lebih
memahami dan mengerti tentang Konvensi Ketatanegaraan. Kami bersedia menerima
saran dan kritik dari para pembaca, agar kami dapat membuat makalah penelitian yang
lebih baik. Atas perhatian dan waktu yang diberikan untuk membaca makalah kami
ini, kami mengucapkan terima kasih.

Bandung, 8 Maret 2019

Kelompok 6
Daftar Isi

Halaman Judul
I. Kata Pengantar ............................................................................................ i
II. Daftar Isi ..................................................................................................... ii
III. Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1


B. Perumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ................................................................................. 2

IV. Bab II Pembahasan


A. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan ........................................................ 4
B. Pengakuan Hakim Terhadap Konvensi .................................................. 5
C. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan .......................................................... 7
D. Contoh Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia .................................... 8
V. Bab III Kesimpulan
A. Kesimpulan ............................................................................................ 13
VI. Kata Penutup ............................................................................................... iii
VII. Daftar Pustaka ............................................................................................. iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tata Negara berarti sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai
struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan
Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga
mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika
naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali
mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya
mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD
1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan
merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia merupakan Negara yang demokrasi, tentunya aturan-aturan


ketatanegaraan sangat kompleks. Dengan demikian untuk dapat menjalankan roda
pemerintahan secara baik, akan sulit untuk dicapai jika hanya berdasarkan UUD
NRI 1945 yang sangat terbatas sebagai norma dasar ketatanegaraan. Maka untuk
itu diperlukan pedoman lain berupa kebiasaan ketataengaraan, yang telah
dilakukan sebagai pendamping norma hukum dasar yang tertulis. Konvensi
ketatanegaraan sebagai konstitusi yang tidak tertulis mempunyai peranan yang
sangat penting dalam penyelengaraan pemerintahan, baik konvensi yang bersifat
kebiasaan ketatanegaraan (costum) maupun konvensi yang bersifat
kesepakatan(agreement). Konvensi ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang
sangat kuat dalam sistem hukum Indonesia. Konvensi ketatanegaraan merupakan
bagian dari norma hukum konstitusi tidak tertulis yang berfungsi melengkapi,
menyempurnakan atau bahkan merubah dan menyatakan tidak berlaku subtansi
konstitusi tertulis (UUD NRI 1945) sebagai norma hukum tertinggi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah terbentuknya DPD pasca
amandemen UUD NRI 1945, telah melahirkan konvensi ketatanegaraan baru,
yaitu pidato presiden di hadapan siding paripurna DPD dalam peringatan HUT RI
Tanggal 17 Agustus. Beberapa dasar atau faktor yang mendorong atau memaksa
ketaatan terhadap konvensi ketatanegaraan, yaitu : konvensi ditaati dalam rangka
memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, konvensi merupakan salah satu
upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi, konvensi ditaati karena hasrat
atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional
(constitutional government), konvensi ditaati karena setiap pelanggaran akan
membawa atau berakibat pelanggaran terhadap kaidah hukum, konvensi ditaati
karena didorong oleh hasrat atau keinginan agar roda pemerintahan Negara yang
kompleks tetap dapat berjalan secara tertib, konvensi ditaati karena takut atau
khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu sepertiimpeachment atau takut
terkena sanksi politik tertentu seperti kehilangan jabatan, konvensi ditaati karena
pengaruh pendapat umum (public opinion) dan konvensi ketatanegaraan terutama
di Indonesia ditaati karena merupakan suatu kebutuhan dalam penyelenggaraan
Negara.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat konvensi ketatanegaan itu?
2. Bagaimana fungsi dari konvensi ketatanegaraan?
3. Bagaimana pengakuan hakim terhadap konvensi?
4. Apa saja contoh-contoh dari konvensi ketatanegaraan?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari makalah ini adalah agar pembaca bisa lebih memahami dan
mengerti tentang Konvensi Ketatanegaraan.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah supaya pembaca dapat mengerti dan
memahami konvensi ketatanegaraan khususnya tentang hakikat dan fungsi
konvensi ketatanegaraan, pengakuan dari hakim tentang konvensi ketatanegaraan
beserta contoh-contohnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan


1. Konvensi ketatanegaraan (Constitutional Convention)

● Peristiwa yang sering digunakan untuk masalah-masalah praktik


ketatanegaraan dalam ilmu Hukum Tata Negara (contitutional law).
● Dalam praktik, konvensi juga dianggap sebagai salah satu cara untuk
menguubah apa yang tertulis dalam teks konstitusi, sesuai dengan kebutuhan
yang baik untuk memastikan bekerjanya norma konstitusi.
2. Sifat konvensi
● Tidak tertulis, sering digunakan sebagai kebiasaan dalam praktik politik.
● Sifatnya bisa saja tertulis dan tidak tertulis tetapi tidak mutlak.
● Menurut Ismail Suny, konvensi tidak perlu selalu merupakan ketentuan yang
tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan boleh saja berbentuk tertulis.
● Meskipun konstitusinya dianggap tidak tertulis seperti di negara
perkembangan, konstitusi tetap dianggap ada.
3. Fungsi konvensi
● Mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana konstitusi dijalankan, tumbuh
dan berkembang.
● Untuk mengetahui bekerjanya konstitusi yang tertulis dalam praktik.
4. Konvensi menurut para ahli:
● Hood Philips, Paul Jackson dan Partricia Leopold
Kegunaan konvensi memberikan arti kepada tradisi, prinsip-prinsip atau
nilai-nilai.
● Michael Allen dan Bryan Thomson
Konvensi dapat ditemukan dalam semua UUD yang dibentuk, termasuk
dalam konstitusi yang baru terbentuk sekalipun.
5. K.C Wheare menguraikan perubahan-perubahan konstitusi yang dapat terjadi,
yaitu melalui
● Perubahan melalui amandemen formal (strict).
● Perubahan melalui penafsiran yudisial atas teks konstitusi → melalui proses
peradilan tata negara.
● Perubahan melalui kebiasaan dan konvensi→ konvensi dapat dianggap
sebagai salah satu metode perubahan konstitusi.
6. Konvensi dalam kaitannya dengan daya ikat norma (sosiologi dan antropologi
hukum) dapat dibedakan menjadi pengertian:
● Cara (usages).
● Kebiasaan (folkways).
● Tata laku (mores).
● Adat istiadat (customs).
7. Konsepsi mengenai konvensi ketatanegaraan dapat dibedakan dari:
● Praktik, penerapan, kebiasaan / fakta-fakta yang tidak dianggap bersifat
kewajiban.
➢ Keberadaan Partai Politik.
➢ Kebiasaan presiden menerima tamu di hari raya.
● Norma-norma aturan yang tidak bersifat politik.
➢ Kode etik yang tidak berkaitan dengan persoalan pemerintahan.
➢ Berhubungan dengan sopan santun / upacara kerajaan.
● Judisial Rules Of Practice.
➢ Kebiasaan hakim dalam memeriksa dan memutus dengan mengikuti
rules of precedent.
● Rules enforced by the courts, yaitu peraturan perundang-undangan yang
diterapkan atau ditegakan oleh pengadilan, baik dalam bidang perdata,
pidana, tata usaha negara ataupun tata negara.
● Rules enforced by the houses of parliament.
➢ Melalui para pejabatnya ketua parlemen menurut peraturan tata tertib
parlemen yang bersangkutan.

B. Pengakuan Hakim Terhadap Konvensi (Judicial Recognition)

Para hakim tidak ada keharusan bagi pengadilan untuk menerapkan konvensi
dalam memutuskan perkara. Karena konvensi itu tidak dapat dipersamakan atau
bukan hukum dalam arti sebenarnya. C.R Munro menegaskan dalam artikelnya
yang berjudul Laws and Conventions Distinguished (1975), bukanlah status
konvensi itu berada di luar kategori hukum, tetapi konvensi itu tidak memiliki
kualitas kualifikasi yang sama dengan hukum dalam arti yang sebenarnya.

Konvensipun juga tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan dan pelanggaran


terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi oleh hakim. Tapi pengadilan tetap
mengakui keberadaan konvensi sebagai sumber hukum. Karena konvensi dijadikan
pegangan hakim sebagai alat bantu untuk menafsirkan peraturan tertulis yang
berlaku. Konvensi ketatanegaraan (constitusional conventions) juga dapat dijadikan
alat untuk justifikasi sikap pengadilan yang mengambil jarak dari keputusan-
keputusan tata usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri menganggap
dirinya tidak terlibat atau tidak boleh dilibatkan.

Beberapa contoh pengakuan pengadilan terhadap konvensi (constitution):

● Inggris: House of Lords dijadikan tanggung jawab Menteri Dalam Negri


kepada parlemen sebagai salah satu alasan untuk memutus dalam perkara
Liversidge vs Anderson (1942)
● Kanada: Mahkamah Agung Kanada berpendirian bahwa konvensi tidak dapat
direalisasikan menjadi hukum
Konvensi tidak dapat ditegakkan atau diterapkan oleh pengadilan karena jika
ada peraturan perundang-undangan tertulis, dan terdapat pertentangan antara
konvensi dengan peraturan perundang-undangan, pengadilan harus menerapkan
peraturan perundang-undangan tertulis di atas konvensi.

Sanksi konvensi bersifat politik, meskipun pelanggaran terhadap konvensi


ketatanegaraan dapat juga disebut sebagai sesuatu yang tidak konstitusional.
Konvensi diakui tidak saja oleh para politisi, tetapi juga oleh masyarakat luas pada
umumnya. Pada umumnya para sarjana mengakui bahwa konvensi itu merupakan
norma aturan yang mengikat untuk umum. Oleh karena itu, legislasi perundang-
undangan dapat pula mengakui atau menyerap isi konvensi sebagaimana mestinya.
Konvensi ketatanegaraan dapat diformulasikan ke dalam rumusan undang-undang,
atau bahkan ke dalam rumusan undang-undang dasar.
Contoh konvensi yang dimuat dalam undang-undang dan undang-undang dasar:

- The Statue of Westminster 1931 telah dimuat dalam berbagai konstitusi


Commonwealth atau negara-negara persemakmuran.

- Kedudukan konvensi ketatanegaraan Inggris yang terdapat dalam konstitusi


Nigeria.

Hukum konstitusi dapat berdiri sendiri sebagai hukum, tetapi dapat tertinggal
dalam perkembangan zaman karena normanya yang bersifat statis. Sementara itu,
konvensi dapat berkembang dinamis tetapi akan kehilangan arti jika didukung oleh
legal context. Setiap konvensi ketatanegaraan pastilah terkait erat dengan satu atau
beberapa norma hukum tertentu.

C. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan


Konvensi memfasilitasi evolusi dan perubahan dalam diri konstitusi itu
sendiri, sementara bentuk hukumnya tetap tidak berubah.Konvensi ketatanegaraan
dikembangkan untuk keperluan mengatur kewewenangan diskresi yang bersifat
terbuka. Jika kewenangan yang bersifat terbuka tidak diatur, kebijakan
ketatanegaraan akan ditetapkan berdasarkan discretionary power1 yang sangat
mungkin tidak terkendali. Hal demikian tentu akan rawan terhadap penyalahgunaan
semata-mata untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Dengan perkatan lain, konvensi merupakan non-legal rules yang mengatur
cara bagimana legal rules diterapkan dalam praktik. Hubungan antara hukum dan
konvensi dapat dikatakan sangat penting dan mempunyai karakteristik yang
fundamental dalam sistem dan struktur ketatanegaraa. Bahkan dalam
penyelenggaraan negara konstitusional di dunia, kovensi ketatanegaraan terus
tumbuh dan berkembang dalam praktik. Dapat dikatakan, tidaklah mungkin
menyelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa konstitsional dalam praktik
penyelenggaraan negara dengan hanya mengandalkan rujukan kepada norma
hukum.2

1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo Persada, Depok, 2009, hlm. 204
2
Ibid, hlm.205
Meskipun Pengadilan tidak dapat menetapkan atau menerapkan sanksi atas
pelanggaran terhadap konvensi ketatanegaraan, pengakuan pengadilan terhadap
adanya konvensi ketatanegaraan tersebut tetap mempunyai arti peting bagi hakim
dalam menjatuhkan putusan atas perkara konstitusi yang diajukan kepadanya.
Konvensi dapat dipakai sebagai alat penunjang penafsiran terhadap peraturan
tertulis atau untuk mendukung keputusan-keputusan hakim.
D. Contoh Konvensi di Indonesia
- Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.
Menurut ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, menteri negara
adalah pembantu Presiden oleh karena itu bertanggung jawab kepada presiden.
Namun dalam praktiknya, ketentuan itu disimpangi dengan dasar konvensi
ketatanegaraan. Ketentuan itu diubah sehingga Menteri bertanggung jawab
kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (KNIP). Hal itu dilakukan
dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober
1945, yang kemudian diikuti oleh Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945, dimana KNIP yang semula membantu Presiden dalam menjalankan
wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945 menjadi badan
yang sederajat dengan Presiden. Praktik ini dilakukan mulai dari Kabinet Syahrir
I, II, III sampai kabinet Amir Syarifudin yang menggantikannya.
- Pidato kenegaraan presiden di depan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada hakikatnya, pidato ini merupakan lebih dari suatu laporan tahunan
yang bersifat informatoris dari Presiden karena di dalamnya juga dimuat suatu
rencana mengenai kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh pada tahun yang
akan datang. Pada masa Presiden Soekarno, pidato semacam ini disampaikan
langsung di hadapan rakyat di depan istana, setiap 17 Agustus, yang disebut
sebagai “Amanat 17 Agustus”. Menurut Soekarno, pidato ini merupakan pidato
pertanggungjawabannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan bukan pidato
pertanggungjawabannya sebagai Presiden.
- Pidato keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) setiap minggu petama bulan Januari
Pidato ini berisi hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil penilaian tahun
yang lalu dan RAPBN untuk tahun yang akan datang. Namun setelah Orde Baru,
pidato “Amanat 17 Agustus” ditiadakan dan digabung menjadi Pidato
Kenegaraan dan Penyampaian Nota Keungan RAPBN di depan rapat paripurna
DPR setiap 16 Agustus. Namun, timbul tuntutan dari DPD sebagai hasil dari
pemilu 2004 untuk juga terlibat dalam forum persidangan 16 Agustus itu
sementara dengan adanya Peraturan Tata Tertib DPR-RI hal itu tidak
memungkinkan. Sebagai solusi, Presiden, Ketua DPR dan Ketua DPD sepakat
untuk menyampaikan pidato RAPBN yang berkaitan dengan kepentingan daerah
pada tanggal yang berbeda.
Contoh Konvensi Lainnya:
- Amerika Serikat
Seorang calon Presiden dan wakilnya dipilih oleh konvensi partai politik
yang bersangkutan baru kemudian dipilih oleh rakyat melalui electoral college.
- Belanda
Timbulnya sistem parlementer di Belanda akibat dari perselisihan antara
Pemerintah dan Parlemen tahun1966. Dalam perselisihan ini, Parlemen
menggunakan hak budgetnya untuk menolak RAPBN yang diajukan oleh
Menteri Keuangan saat itu. Penolakan ini terjadi karena perselisihan itu dan
akibatnya kabitnet berhasil dijatuhkan. Sejak itu, terjadi perubahan pada sistem
Pemerintahan di Belanda, yaitu setiap kali ada perselisihan yang timbul antarra
Pemerintah dan Parlemen, Parlemenlah yang menang dan kabinet harus berhenti.
Sistem ini tidak diatur dalam Grondwet Belanda, tetapi timbul dan hidup sebagai
konvensi yang menggeser ketentuan dalam Undang-Undang Dasarnya.
- Inggris
Ditentukan bahwa seorang Menteri haruslah mempunyai kedudukan
sebagai seorang anggota parlemen. Ketika Patrick Gordon Walker yang bukan
anggota parlemen diangkat oleh Partai Buruh Inggris sebagai Menteri setelah
pemilihan umum pada Oktober 1964, diharuskan memperoleh keanggotaan
House of Commons dan karena itu ia mengikuti pemilihan umum
tambahan/susulan. Sayangnya, dalam pemilihan umum itu Patrick tidak terpilih
dan harus meletakkan jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri. Ketentuan ini
timbul dari praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis di Inggris.
Di Inggris, ada banyak jumlah konvensi ketatanegaraannya dan atas
pengaruh pemikiran A.V Dicey dibedakan dengan hukum konstitusi karena
konvensi tidak dapat dipaksakan berlakunya atau tidak diakui oleh badan-badan
peradilan. Konvensi itu antara lain kebiasaan, praktik-praktik, asas-asas, atau tata
aturan lainnya yang hidup dalam praktik. Betapapun pentingnya konvensi-
konvensi itu ada dalam kehidupan ketatanegaraan, karena ia bukan hukum,
pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-konvensi sama sekali tidak
dihiraukan oleh pengadilan.

Sir Ivor Jennings menyatakan, “some of them, such as those expressed in


resolutions of the imperial Conference, are definite and clearly established”.
Dengan kata lain, konvensi dapat timbul kapan saja, tidak mutlak harus bersifat
berulang-ulang seperti dalam pengertian kebiasaan. Kebiasaan ketatanegaraan
dapat termasuk pengertian konvensi ketatanegaraan, tetapi konvensi ketatanegaraan
tidak hanya berbentuk kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi tidak selalu merupakan
ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan, tetapi juga berbentuk
tertulis. Contohnya adalah penandatanganan persetujuan antara Wakil Presiden RI
dengan badan pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945.

A.G. Pringgodigdo berpendapat bahwa perubahan sistem pertanggungjawaban


Menteri kepada KNIP dari Presiden dilakukan dengan mengubah UUD dan
perubahan itu didasarkan atas konvensi ketatanegaraan yang bersifat melengkapi
hukum konstitusi.

Sebenarnya tidak ada ketentuan dalam UUD yang secara eksplisit


mengharuskan pertanggungjawaban eksekutif kepada lembaga Dewan Perwakilan
Rakyat, tetapi tidak ada juga yang melarang. Hal ini dapat dikaitkan dengan
pendapat George Jellinek yang membedakan pengertian Verfassungs-anderung
dengan pengertian Verfassungs-wand-lung.
Verfassungs-anderung adalah perubahan UUD yang dengan sengaja
dilakukan menurut tata cara yang diatur sendiri oleh UUD, sedangkan Verfassungs-
wand-lung adalah perubahan UUD dengan cara-cara di luar yang diatur sendiri
dalam UUD itu. Sehubungan dengan itu, perubahan ke arah sistem parlementer
tersebut merupakan perubahan yang dilakukan bukan menurut tata cara yang diatur
dalam UUD, melainkan berdasarkan konvensi ketatanegaraan.
Menurut Bernard Schwartz, konvensi ketatanegaraan telah berkembang
sedemikian rupa dalam praktik kenegaraan Amerika Serikat yang artinya seringkali
sama atau tidak dapat dibedakan dengan ketentuan pasal-pasal yang resmi dalam
naskah UUD atau konstitusi yang tertulis.
Seorang Presiden Amerika dengan adanya konvensi ketatanegaraan
diwajibkan menjamin bahwa pelaksanaan kewenangannya dalam memilih
menterinya tidak boleh hanya diambil dari negara bagian Utara saja, atau bagian
Selatan saja, tetapi harus merata. Demikian pula di Indonesia, menteri-menteri yang
dipilih oleh Presiden tidak baik jika hanya dari pulau Jawa saja.
Oleh karena itu, Moh. Kusnadi, dan Harmaily Ibrahim, mungkin tepat untuk
menyebut ini sebagai konvensi ketatanegaraan, di mana seorang Presiden dalam
melaksanakan kewenangannya untuk menyusun kabinet, diharuskan untuk
berusaha mengakomodasikan unsur-unsur yang luas dalam kemajemukan
masyarakat Indonesia.

Suatu konvensi dapat menyebabkan salah satu pasal Undang-Undang Dasar


tidak berlaku. Dalam hal ini sesungguhnya konvensi tidak mengubah Undang-
Undang Dasar tersebut, hanya saja menyebabkan pasal tertentu tidak terpakai
dalam praktik ketatanegaraan. Sebagai contoh, dalam praktiknya di Indonesia
sendiri yaitu perubahan sistem pemerintahan dari presidentil menjadi parlementer,
perubahan sistem ini disertai dengan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang
mengangkat presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup, dengan demikian
mengesampingkan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945. Konvensi yang
menentukan bahwa presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak
menghilangkan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 secara formal, tetapi telah
menyebabkan pasal tersebut tidak berlaku pada praktik.
Suatu konvensi ketatanegaraan diukur atas ada-tidaknya atau memenuhi
syarat atau tidaknya dukungan dari masyarakat. Pada mulanya, tindakan itu dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi. Akan tetapi, jika perubahan itu
ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di antara semua pihak yang terkait
dan selanjutnya hal itu sudah dianggap sebagai praktik yang baik dan berguna, atas
dasar itulah bentuk pelanggaran konstitusi tersebut dapat disebut sebagai konvensi
ketatanegaraan.
Demikian pula konvensi ketatanegaraan yang dilakukan berkenaan dengan
perubahan UUD 1945. Ketentuan Bab XVI Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 menggambarkan jalan pikiran yang memang menghendaki perubahan melalui
penggantian. Dengan perkataan lain, bagaimana bentuk perubahan itu tidak
ditemukan dengan jelas. Akan tetapi, karena sistem hukum Indonesia banyak
dipengaruhi oleh tradisi Eropa Kontinental, jadi tradisi Eropa itulah yang lebih
dekat dengan maksud pernyusun UUD 1945, yaitu melalui metode perubahan atau
penyempurnaan dalam teks.
Namun, sejak Perubahan Pertama UUD 1945 sampai Perubahan Keempat,
perubahan itu dilakukan menurut tradisi Amerika Serikat yaitu dengan naskah
lampiran (appendix). Awalnya hal ini dianggap sebagai penyimpangan dari maksud
Pasal 37 UUD 1945, tetapi diterima dengan baik oleh semua pihak sebagai cara
yang dianggap konstitusional.
Selanjutnya, cara inipun berkembang menjadi kebiasaan yang baik dalam
praktik ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Keputusan untuk
menerapkan metode ini dikenal dengan sebutan the conventions of the constitution,
bukan the law of the constitution oleh A.V. Dicey.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa
Konvensi Ketatanegaraan walaupun dianggap identik dengan kebiasaan namun
sebenarnya berbeda. Kebiasaan mengisyaraktkan pengulangan, sedangkan
konvensi tidak. Selain itu, Pengakuan hakim atas konvensi tetap ada walaupun
konvensi tidak dapat ditegakkan atau diterapkan karena ada perundang-undangan
tertulis. Kemudian fungsi dari Konvensi ketatanegaraan sendiri adalah mengatur
kewenangan diskresi yang bersifat terbuka, selain itu konvensi ketatanegaraan
juga memiliki fungsi penting bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara
konstitusi karena konvensi dapat dipakai sebagai alat penunjang penafsiran-
penafsiran terhadap peraturan tertulis atau mendukung keputusan hakim.
Beberapa contoh dari konvensi di Indonesia adalah Maklumat Pemerintah tanggal
14 November 1945, pidato kenegaraan presiden di depan rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pidato keterangan Pemerintah tentang Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) setiap minggu petama bulan
Januari.
-
Kata Penutup

Terimakasih atas waktu yang telah diluangkan untuk membaca makalah kami
ini. Kami bersedia menerima kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun sehingga kami dapat membuat karya / makalah lain yang lebih baik dan
tidak mengandung kekurangan ataupun kesalahan yang sama.

Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi para pembaca,
khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi program studi hukum agar dapat lebih
memahami sub bab konvesi ketatanegaraan.

Mohon maaf apabila ada salah kata dalam makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih.

Kelompok 6
Daftar Pustaka

Prof. dr. Jimly Asshiddiqie. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada. hal 190-217.

Anda mungkin juga menyukai