dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk
usaha gotong royong lainnya dan negara dapat bersama-sama dengan pihak lain
untuk menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
Hukum agraria berdasarkan azas kebangsaan menyatakan bahwa setiap warga
negara Indonesia baik asli maupun warga Indonesia keturunan berhak memiliki
hak atas tanah.
Hukum agraria berdasar azas unifikasi, menyatakan bahwa hukum agraria
disatukan dalam sebuah undang-undang yang diberlakukan bagi seluruh warga
negara Indonesia, yang berarti hanya ada satu hukum agraria yang berlaku di
Indonesia yaitu Undang-Undang Pokok Agraria.
Hukum agraria berdasar azas non-diskriminasi dengan tegas menyebutkan
bahwa azas yang melandasi hukum agraria (Undang-Undang Pokok Agraria)
adalah bahwa undang-Undang Pokok Agraria tidak membedakan antara sesama
warga negara Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing.
Hukum agraria berdasar atas azas pemisahan horizontal. Terdapat pemisahan
antara pemilikan hak atas tanah dengan benda atau bangunan yang terdapat
diatas tanah tersebut. Asas ini merupakan lawan asas vertikal atau asas
perlekatan yang menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu benda
atau yang merupakan satu bagian dengan benda tersebut dianggap menjadi satu
dengan bagian tersebut atau dengan kata lain tidak terdapat pemisahan antara
hak atas tanah dengan bangunan yang terdapat diatasnya.
dalam praktek. Selain juga peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu
berdasakan peraturan atau pasal peralihan yang masih berlaku.
Sedang sumber hukum agraria yang tidak tertulis ialah kebiasaan baru yang
timbul sesudah berlakunya
garapannya semakin dipersempit. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan zaman
sekarang dimana orang yang memiliki lahan pertanian luas maka ia wajib
membayar pajak lebih. Oleh Vand de Bosch, politik hukum agraria yang
digulirkan oleh Ravles tersebut kemudian diganti dengana hukum agraria yang
ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Kepemimpinan hukum agraria oleh van
den Bosch ini tepatnya pada tahun 1816- 1830. Kelak hukum agraria van den
Bosch ini kita kenal sebagai sistem tanam paksa. Karena ternyata semua jajahan
diwajibkan untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dibutuhkan di pasar
internasional seperti kopi, teh, panila dan lain sebagainya.
Politik hukum agraria ini sangat merugikan bangsa pribumi karena tujuannya
hanya untuk membangun negeri Belanda. Perkembangan politik hukum agraria
selanjutnya pada tahun 1870 menjadi titik balik dari berlangsungnya sejarah
politik hukum agraria belanda. Dengan diberlakukannya politik hukum agraria
stat blad tahun 1870 nomor 55 yang memberikan kemungkinan atau jaminan
modal yang besar pada wiraswasta asing agar tumbuh di Indonesia dan
melindungi hak-hak rakyat atas tanah.
Hukum agraria yang demikian itu terutama dapat di temukan dalam pasal 51
yang terdiri dari dan berasal dari pasal 63 saat itu. Hukum agraria yang diatur
dalam pasal 51 menjelaskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual
tanah. Larangan menjual tanah ini terutama tanah perluasan, namun gubernur
jenderal masaih dapat menyewakan tanah. Sedang tanah-tanah yang diberikan
kepada petani pribumi dilakukan sebagai tempat usaha pengembalaan. Masa
berlakunya ordenansi menurut hukum agraria saat itu ditetapkan selama 75
tahun. Dimana dalam hukum agraria tersebut ditegaskan bahwa gubernur
Jenderal diharapkan mampu menjaga jangan sampai ada pemberian tanah yang
melanggar hak-hak rakyat.
Hukum agraria lainnya adalah Deginsel Domein Verklaring terutama Pasal 1
yang menyebutkan bahwa semua tanah-tanah yang dikuasai oleh penduduk
peribumi yang tidak dapat dibuktikan oleh kepemilikannya adalah milik negara.
Hukum agraria Domain Verklaring ini membuktikan bahwa tanah-tanah yang
dikuasai oleh masyarakat pribumi dan tidak bisa memabuktikannya, maka tanah
tersebut adalah milik pemerintah Hindia Belanda.
Politik hukum agraria pada jaman Hindia Belanda dengan asas Domein dan
Agrarische Wet dengan jelas membuktikan bahawa hukum agraria tersebut
ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu
yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan
tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan
perlindungan. Politik hukum agraria menurut Agrarische Wet pemerintah Hindia
Belanda bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur
Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang
merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional.
Hubungan hukum agraria Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA adalah dimuatnya
pasal tersebut dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum
bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi
pengaturannya. bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan
pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam
pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia,
sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang
mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong.
Dalam penjelasan UUPA angka 1 disebutkan bahwa hukum agraria nasional
harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita
Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan
dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Pengaturan hukum agraria dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan
memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan
dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.
Hukum agraria UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional
yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian
hukum bagi bangsa dan negara