Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

TITIK TAUT PRIMER DAN TITIK TAUT SEKUNDER


DOSEN : Marnita, SH.I.MH

KELOMPOK 1 :
M.T. ADRIANTO A1011171062
DAVID MARBUN A1011171081
NUNUNG NURHALIZA A1011171041
RINI WINARSIH A1011171144

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................. 2
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 3
A. PENGERTIAN TITIK TAUT ......................................................................................... 3
B. MACAM TITIK TAUT ................................................................................................... 5
1. DEFINISI TITIK TAUT PRIMER .............................................................................. 5
2. DEFINISI TITIK TAUT SEKUNDER ......................................................................... 6
C. POLA PIKIR YURIDIK HPI .......................................................................................... 8
BAB III ..................................................................................................................................... 11
PENUTUP ................................................................................................................................ 11
A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 11
B. SARAN .......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 12

i
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT, karena berkat rahmat dan
karuniaNYA kami dapat menyelesaikan Makalah ini.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata kuliah
Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun makalah ini
baik dari segi moril dan materil.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih jauh dari sempurna, untuk itu
sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membaca.

Pontianak, 3 September 2019

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya setiap negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan
yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstrem hukum positif untuk
mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di indonesia adalah
Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail. Permasalahan
mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur unsur internasional pada era
gloobalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat.

Perusahaan perusahaan multi nasional, baik yang berorientasi pada


keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan, hilir mudik melintasi batas
teritorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan. Mereka yang
mempunyai uang lebih uatau ingin mencari uang lebih, keluar masuk dari satu negara
ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan antara dua
warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan di suatu negara, mempunyai harta
warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsensi dari sebuah globalisasi. Tidak
bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat
manusia.

Masalah masalah keperdataan diatas sangat diperlukan sebuah wadah untuk


dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari semua hal diatas. Wadah tersebut
dibutuhkan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari pada hukum rimba, dimana
yang kuatlah yang menang, dan yang lemah akan selalu tertindas, yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin. Permasalahan diataslah yang menjadikan hukum
tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam suatu kerangka kerangka hukum
positif. Hukum Perdata internasional merupakan sesuatu hal nyata rier terjadi di dunia
nyata yaitu adanya hubungan perdata yang lintas negara.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu titik taut primer dan titik taut sekunder ?
2. Bagaimana pola pikir yuridik penyelesaian Hukum Perdata Internasional ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu titik taut primer dan titik taut sekunder
2. Untuk mengetahui pola pikir yuridik dalam penyelesaian Hukum Perdata
Internasional

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TITIK TAUT


Berdasarkan pendekatan tradisional, proses penyelesaian perkara HPI
sebenarnya dengan evaluasi terhadap titik-titik taut ( primer ) dan setelah
melalui kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan ( dalam arti
sekunder ) dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam
perkara HPI yang bersangkutan.
Definisi titik taut ( points of contact, connecting factors, titik pertalian)
: fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan
pertautan antara perkara ini dengan suatu tempat ( dalam hal ini : Negara )
tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang
bersangutan dengan sistem huum dari tempat itu.
Atau seperti yan dilakukan oleh Sudargo Gautama, titik-titik pertalian
merupakan suatu hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu sistem
hukum tertentu. Kaitan ( connections ) antara fakta-fakta yang diperkarakan
dengan suatu tempat / negara dan juga sistem hukumnya :
1. Kewarganegaraan ( nasionalitas ) pihak pewaris ( Jerman )
2. Tempat kediaman tetap ( domisili ) pewaris ( inggris )
3. Letak benda ( situs rei ) ( Itlia, Inggris, Jerman )
4. Tempat perbuatan hukum dilakukan ( pembuatan testament) ( Prancis)
5. Tempat perkara diajukan ( forum ) ( Jerman )

Setiap titik taut menunjukkan kaitan antara perkara dengan suatu


tempat tertentu. Pada tahap awal adanya faktor-faktor yang menunjukkan
bahwa sebenarnya perkara yang dihadapi itu merupakan perkara HPI (
mengandung unsur asing )

Menurut Sudargo Gautama, titik taut ( point of contact ) itu dibedakan

Menjadi 2 yaitu :

1. Titik pertalian primer ( disingkat TPP )


2. Titik taut sekunder ( disingkkat TPS )

3
TPP adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menimbulkan atau
menciptakan persoalan HPI ( in casu foreign element )

Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah HPI, yaitu :

1. Kewarganegaraan ( nasionaalitas )
2. Domisili > pengertian de jure tempat kediaman ( residence ) > pengertian
de facto
3. Tempat kedudukan badan hukum
TPS ini adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan
berlakunya suatu sistem hukum tertentu.
TPS ini akan menjawab permasalahan : hukum mana yang berlaku ?
Jadi TPS ini adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang menentukan
berlakunya suatu sistem tertentu. TPS ini timbul setelah adanya TPP.
Contoh TPS ini adalah choice of law yang telah ditentukan dalam suatu
kontrak atas dasar ( asas kebebasan berkontrak ).

Secara tradisional, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI :


a) TTP yaitu untuk mengetahui suatu perkara HPI ( titik taut pembeda ),
serta pengadilan mana yang berwenang.
b) Tahap kualifikasi, dilakukan menurut Lex Fori
c) TPS dilakukan menurut Lex Fori, tetapi kadang-kadang Lex Causae
ditentukan oleh, misalnya :
 Tempat atau letak benda tetap : Lex Situs
 Tempat terjadinya perjanjian : Lex Loci Contractus
 Tempat pelaksanaan perjanjian : Lex Loci Solutionis
 Tempat terjadinya perkawinan : Lex Loci Celebrationis
 Tempat tinggal terakhir / tempat asal : Lex Domicili
d) Lex Causae diketahui melalui kualifikasi dan penentuan perkara HPI,
maka Lex Causae digunakan, kecuali kalau Lex Causae itu
memberikan hasil yang :
 Bertentangan dengan ketertiban umum Lex Fori, maka Lex Fori
yang berlaku atau,

4
 Demikian pula, apabila Lex Causae tidak mengatur persoalan HPI
yang bersangkutan.

B. MACAM TITIK TAUT

1. DEFINISI TITIK TAUT PRIMER


Yang dimaksud titik taut primer adalah fakta-fakta di dalam sebuah
perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukan bahwa peristiwa hukum itu
mengandung unsure-unsur asing dan peristiwa hukum yang dihadapi adalah
peristiwa hukum perdata internasional, bukan peristiwa hukum nasional
semata.
Yang tergolong ke dalam titik Taut Primer :

a) Kewarganegaraan
Perbedaan kewarganegaraan (nasionalitas) pihak-pihak yang
melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum akan
melahirkan permasalahan Hukum Perdata Internasional.

b) Bendera kapal atau pesawat udara


Dalam konteks hukum kapal dan pesawat udara memiliki
kebangsaan. Kebangsaan kapal dan pesawat udara berdasarkan dimana
mereka di daftarkan. Jika kapal milik perusahaan badan hukum
indonesia berdomosili di indonesia, tetapi di daftarkan di negara lain,
maka status kewarganegaraan kapal tersebut berada di mana kapal
tersebut di daftarkan.

c) Domisili
Faktor perbedaan domisili (domicile) subjek hukum yang
melakukan suatu hubungan hukum dapat pula menimbulkan hubungan
hukum yang memiliki unsur Hukum Perdata Internasional.

d) Tempat Kediaman

5
Dalam sistem common law, berkaitan dengan kediaman,
dibedakan dengan domosili dengan tempat kediaman (residence),
kediaman mengacu pada tempat kediaman sehari-hari.

e) Tempat Kedudukan Badan Hukum


Badan hukum sebagai subjek hukum memiliki kebangsaan
(nasionalitas). Nasionalitas badan hukum menenukan kepada hukum
negara mana badan hukum itu tunduk, nasionalitas badan hukum
ditentukan oleh tempat dimana badan hukum itu di dirikan dan di
daftarkan.

f) Hubungan Hukum di Dalam Hubungan Intern


Contohnya ada dua warga negara indonesia di indonesia
melakukan perjanjian bisnis mengenai barang yang berasal dari luar
negri.

2. DEFINISI TITIK TAUT SEKUNDER

Titik taut sekunder adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang


menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu
hubungan Hukum Perdata Internasional. Titik taut sekunder biasa disebut
Titik Taut Penentu, karena berfunsi untuk menentukan hukum dari
tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law.

Pendekatan HPI Tradisional, titik taut sekunder harus ditemukan di


dalam kaidah HPI lex fori yang relevan dengan perkara.

Jenis-jenis pertautan yang dianggap menentukan dalam HPI, antara


lain :
a) Tempat penerbitan ijin berlayar sebuah kapal ( bendera kapal )
b) Nasionaitas para pihak
c) Domisili, tempat tempat tinggal tetap, tempat tinggal asal orang atau
badan hukum
d) Tempat benda terletak ( situs )

6
e) Tempat dilakukannya perbuatan hukum ( locus actus )
f) Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum / tempat pelaksanakan
perjanjian ( locus celebrationis )
g) Tempat gugatan perkara diajukan / tempat pengadilan ( locus forum )

Penggunaan titiktaut secara tradisional dapat menimbulkan 2 ( dua )


masalah utama, yaitu :
1. Titik-titik taut yang digunakan secara tradisional tidak selalu menunjuk
ke arah pemilihan hukum yang rasional
2. Titik-titik taut yang dipilih seringkali didasarkan pada asumsi tentang
adanya kesetaraan / paralelisme konsep hukum, yang sebenarnya tidak
ada.

Bagaimana jalan keluarnya ?

 Suatu titik taut sebaiknya tidak digunakan, bila secara mekanis (


melalui prosedur tradisional ) ternyata menunjuk ke arah suatu sistem
hukum yang sama sekali tidak relevan dengan perkara yang sedang
dihadap.
 Substansi / isi suatu tata hukum asing yang di tunjuk harus
menunjukkan relevansi tertentu yang signifikan, dalam arti bahwa
kaidah hukum asing yang kemudian ditunjuk, adalah kaidah hukum
yang juga akan digunakan dalam perkara-perkara domestik sejenis di
negara yang bersangkutan.

Pendekatan yang di kembangkan dalam sistem HPI di Amerika


Serikat, dengan menganjurkan agar titik taut penentu adalah titik taut
yang menunjuk ke arah The Law Of Place Of The “Most Significant
Relationship”. Pendekatan lainnya, yaitu Teori Interest Analysis, yang
menekankan pada kepentingan negara untuk memberlakukan Lex Fori
untuk menyelesaikan perkara. Dalam keadaan ini ada cenderung hakim
bersifat subyektif dan memilih titik-titik taut yang menunjuk ke arah
forum saja yang disimpulkan sebagai titik taut yang domina karena
menunjukkan “The Most Significant Relationship” atau “the greates
governmental interest”.

7
C. POLA PIKIR YURIDIK HPI

Alur logika yang harus di lalui dalam penyelesaian suatu perkara HPI
dengan pendekatan HPI tradisional sebagai berikut :

1. Hukum menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan


fakta hukum yang mengandung unsur asing ( foreign elements ) dan
harus menentukan apakah merupakan persoalan HPI.
Hakim menyadari adanya fakta di dalam perkara yang
menunjukkan adanya keterkitan antara perkara ini dengan tempat-
tempat asing ( tempat di luar wilayah negara forum ). Fakta ini dalam
HPI disebut TPP.
Menghadapi suatu perkara HPI, maka hakim tidak dapat mengabaikan
kemungkinan bahwa Lex Fori bukanlah satu-satunya sistem hukum
yang diberlakukan, artinya ada kebutuhan untuk menentukan sistem
hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan, yang
harus diberlakukan.

2. Hakim harus menentukan ada / tidaknya kewenangan yurisdiksional


forum untuk mengadili perkara yang bersangkutan.
Hakim harus menetapkan forum memiliki kewenangan
yurisdiksional untuk memeriksa perkara. Untuk menentukan hakim
harus berpegangan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara
perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem
HPI Lex Fori.

3. Menemukan TPS di dalam kaidah / asas / aturan HPI Lex Fori yang
dianggap tepat.

Bila perkara jelas merupakan perkara HPI dan pengadilan telah


mempunyai kewenangan untuk mengadili, maka persoalan berikutnya :
bagaimanakah Lex Causae ini harus ditetapkan ?

8
Pada tahap ini pengadilan harus dapat menentukan TPS yang bersifat
menentukan dan yang akan menunjuk ke arah Lex Causae.

Hakim harus menemukan TPS yang tepat di dalam kaidah / aturan /


asas HPI yang tepat dan relevan dengan pokok perkara yang sedang di
hadapi. Kaidah / asas HPI yang dimaksud tentunya kaidah / asas /
aturan HPI Lex Fori.

Daalam tahap ini, hakim di dapatkan pada kenyataan akan berurusan


dengan sekumpulan kaidah / asas / aturan HPI yang beraneka ragam
dan berlaku dalam berbagai bidang hukum dan untuk berbagai kategori
perkara, dan disini hakim harus dapat menetapkan suatu kaidah HPI
yang relevan dan tepat untuk perkara yang dihadapi.

4. Mencari dan menemukan kaidah HPI yang tepat melalui tindakan


kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum.
Untuk dapat menetapkan kaidah HPI yang tepat di antara bergabai
kaidah HPI di dalam Lex Fori, hakim harus terlebih dahulu
menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapinya
sebagai perkara hukum.

Di dalam HPI, khususnya dalam pendekatan tradisional, persoalan


kualifikasi ini lebih kompleks dibandingkan dengan kualifikasi di
bidang hukum intern, karena hakim akan menghadapi berbagai sistem
hukum yang memiliki sistem kualifikasinya masing-masing.

kualifikasi adalah hakim dapat menentukan kategori perkara, pokok


persoalan ( isu ) hukum atau pokok perkara yang dihadapi.

5. Menentukan kaidah HPI Lex Fori yang relevan dalam rangka


penunjukan ke arah Lex Causae
Sesudah hakim menentukan kategori yuridik pada perkara yang
dihadapinya melalui tindakan kualifikasi, maka berikutnya hakim
menetapkan kaidah HPI yang tepat untuk digunakan dalam rangka
penunjukan ke arah Lex Causae.
Umumnya rumusan kaidah atau asas HPI, maka kaidah ini akan
merupakan kaidah petunjuk yang akan memuat titik taut sekunder yang

9
digunakan. Kaidah semacam ini disebut Choice Of Law Rule atau
kaidah kolisi.
6. Memeriksa kembali fakta-fakta dalam perkara dan mencari TPS ysng
harus digunakan untuk menunjukan ke arah Lex Causae
Sesudah titik taut sekunder yang harus digunakan dapat diketahui
berdasarkan berdasarkan kaidah HPI tertentu, maka hakim akan
memeriksa kembali fakta-fakta perkara ( terutama titik tautnya )
dengan menemukan fakta mana yang harus dianggap sebagai titik taut
sekunder.
Bila titik taut sekunder sudah ditemukan, maka hakim dapat tiba
pada kesimpulan bahwa hukum dari tempat / negara yang ditunjuk oleh
kaidah HPI itulah yang harus diberlakukan sebagai Lex Causae.

7. Menyelesaikan perkara dengan menggunakan kaidah-kadah hukum


intern dari Lex Causae
Dengan ditemukan Lex Causae sebenarnya tugas HPI pada
dasarnya telah selesai, dan hakim akan menyelesaikan perkara dengan
menggunakan kaidah-kaidah hukum intern dari Lex Causae itu.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Titik-titik taut / pertalian merupakan suatu hal atau keadaan yang
menyebabkan berlakunya suatu sistem hukum tertentu, Setiap titik taut
menunjukkan kaitan antara perkara dengan suatu tempat tertentu. Pada
tahap awal adanya faktor-faktor yang menunjukkan bahwa sebenarnya
perkara yang dihadapi itu merupakan perkara HPI ( mengandung unsur
asing ), serta dalam penentuan untuk mengetahui pola pikir yuridik yang di
gunakan dalam penyelesaian hukum perdata internasional harus
berdasarkan fakta-fakta dalam konsep titik taut berdasarkan pendekatan
tradisional.

B. SARAN
Melihat kompleksnya proses evaluasi dan kualifikasi fakta-fakta dalam
konsep titik taut, sebaiknya perlu memperhatikan bahwa suatu titik taut
sebaiknya tidak digunakan, bila secara mekanis ( melalui prosedur
tradisional ) ternyata menunjuk ke arah suatu sistem hukum yang sama
sekali tidak relevan dengan perkara yang sedang dihadap dan substansi /
isi suatu tata hukum asing yang di tunjuk harus menunjukkan relevansi
tertentu yang signifikan, dalam arti bahwa kaidah hukum asing yang
kemudian ditunjuk, adalah kaidah hukum yang juga akan digunakan dalam
perkara-perkara domestik sejenis di negara yang bersangkutan agar tidak
menimbulkan permasalahan baru.

11
DAFTAR PUSTAKA

Purwadi, Ari. 2016. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya : Pusat

Pengkajian Hukum dan Pembangunan.

http://folorensus.blogspot.com/2008/07/definisi-titik-taut-primer-dan-titik.html

http://materihukum.com/2018/06/06/titik-taut-primer/

12

Anda mungkin juga menyukai