Khozainuddin (21382011045)
FAKULTAS SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................I
DAFTAR ISI.............................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................11
B. Saran...............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sudargo Gautama mendefinisikan Hukum Perdata Internasional sebagai
suatu keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan atau peristiwa antara warga (warga) negara pada suatu waktu
tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat,
pribadi, dan soal-soal.
Hukum Perdata Internasional (HPI) pada dasarnya merupakan perangkat di
dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-hubungan atau peristiwa-
peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan lebih dari satu sistem hukum nasional.
Persoalan-persoalan HPI pada dasarnya muncul dalam perkara-perkara yang
melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum dan hukum intern dari yurisdiksi-
yurisdiksi itu berbeda satu sama lain, HPI juga dapat dipahami sebagai proses dan
aturan-aturan yang digunakan oleh pengadilan untuk menentukan hukum mana
yang harus diberlakukan pada perkara yang sedang dihadapi
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Titik Taut ?
2. Apa saja jenis-jenis Titik Taut?
3. Bagaimana Perbedaann dan Persamaan ?
4. Apa Sistem Titik Taut?
5. Bagaimana Konflik Hukum ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian titik taut.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis titik taut.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan.
4. Untuk mengetahui sistem titik taut.
5. Untuk mengetahui konflik hukum.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
B. Jenis-Jenis Titik Taut
a. Titik-titik Taut Primer (Primary points of contact)
Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai hal-hal yang
merupakan tanda akan adanya persoalan hukum antargolongan. Pengertian ini
tidak hanya dapat diterapkan di dalam hukum antar golongan, tetapi juga pada
bidang-bidang hukum perselisihan pada umumnya. Titik taut primer adalah fakta
yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya
tunduk pada satu aturan/ sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan
bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Ciri yang membedakan
3
Sunaryati Hartono, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional, (Bandung, BINACIPTA : 1976), hlm. 83
4
Ari Purwadi, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, (Surabaya, (PPHP) : 2016) hlm.68
3
adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita mengetahui terlibatnya lebih
dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara tersebut.5
Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum
apa atau hukum mana yang seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang
melibatkan lebih dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Yang dianggap
sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan adalah faktor-faktor penentu,
seperti:
1) Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di dalam
perjanjian. Titik taut ini hanya diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.
2) Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara diam-diam
(tidak tegas). Hal ini dapat disimpulkan dari: Bentuk dan isi perjanjian yang
dipilih para pihak. Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan
hukum. Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih dominan/lebih
menentukan.
3) Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/diwajibkan
pemberlakuannya oleh negara/penguasa melalui perundang-undangan, yang
mengakibatkan berlakunya suatu sistem hukum tertentu terhadap seseorang
yang seharusnya tidak terikat pada sistem hukum tersebut. Fakta-fakta khusus
yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan negara tersebut ditetapkan sebagai
titik taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah
hukum perselisihan tertentu.
Persamaan Titik Taut Primer Dan Sekunder
1. Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi
Titik Pertalian Primer (TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian
Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam
peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di
Perancis)
2. Demikian juga “Domisili” dapat menjadi Titik Pertalian Primer
(TPP) dalam suatu peristiwa hukum, sekaligus juga merupakan Titik
5
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid kedua Bagian Pertama (Buku 2), (Bandung, ERESCO :
1986), hlm.64-65
4
Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum asing apa yang
berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang
Warga Negara Inggris, yang dilaksanakan di Indonesia dan
keduanya berdomisili di Indonesia)
1. Kewarganegaraan (nasionalitas)
6
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga, ( Bandung, PT. Aditiya
Bakti : 2001), hlm. 6
5
melahirkan hubungan hukum yang memiliki unsur hukum perdata
internasional (mengandung unsur asing).
3. Domisili
4. Tempat kediaman
6
terdiri dari orang atau badan hukum asing dan orang atau badan hukum
Indonesia adalah PT yang berkebangsaan Indonesia.
7
perkawinan diresmikan/dilangsungkan. Umumnya di perbagai sistem hukum,
berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas bahwa validitas/persyaratan
formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis.
4) Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)
Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum
dari tempat dimana kontrak itu dibuat . Jadi tempat dibuatnya sesuatu kontrak
adalah faktor yang penting untuk menentukan hukum yang berlaku. Dimana
suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dikapai. Akan tetapi
dalam praktek dagang internasional pada waktu sekarang ini prinsip tersebut
sukar sekali dipergunakan. Jelas sekali hal ini apa yang dinamakan kontrak-
kotrak antara orang-orang yang tidak bertemu, tidak berada
ditempat,“Contract between absent person”. Jika para pihak melangsungkan
suatu kontrak tetapi tidak sampai bertemu maka tidak ada tempat
berlangsungnya kontrak”.
5) Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis / lex loci executionis)
Kita melihat bahwa orang memakai pula tempat di mana harus di
laksanakan sesuatu kontrak sebagai hukum yang harus diberlakukan ,
Misalnya seorang WNI mengadakan kontrak pemborongan dengan kontraktor
asing dari luar negri tentang pembangunan hotel di Jakarta. Hukum Indonesia
lah yang akan dipakai jika para pihak tidak menentukan laindalam kontrak
mereka, karena bangunan hotel bersangkutan telah berlangsung di Jakarta.
6) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
Dalam perbuatan melanggar hukum dipakai menurut teori klasik, hukum
dari tempat di mana perbuatan melanggar hukum di lakukan. Contoh: tuntutan
dari Ford Motor Company of Canada Ltd terhadap seorang reparatur mobil di
Jakarta yang dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan
memasang merek di depan bengkelnya “Ford Service”: diadili menurut hukum
Indonesia.
7) Pilihan hukum (choice of law)
Maksud para pihak adalah factor yang menentukan apa yang berlaku ,
misalnya Seorang warga Negara Indonesia dan eropa menentukan dalam
kontrak perjanjian dagang mereka bahwa mereka bersepakat memakai hukum
B.W Indonesia. Hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian ditentukan
pertam-pertama oleh maksud dari para pihak, apa yang dikehendaki para pihak
8
apa yang diingini para pihak. Jadi di hukum perjanjian HPI para pihak memiliki
keluasaan untuk memenuhi hukum mana yang digunakan.
E. KONFLIK HUKUM
Kasus Ilustrasi
Analisis:
9
Definisinya adalah “fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu
penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan
persoalan HPI yang sedang dihadapi”.
Merupakan Titik Taut Penentu.
Membantu menentukan sistem hukum mana yang harus diberlakukan
(applicable law).
Berdasarkan pendekatan HPI tradisional, TTS dicari dalam kaidah HPI Forum.
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Titik taut adalah Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang
menunjukkan pertautan antara perkara ini dengan suatu tempat (dalam hal ini: negara)
tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan
dengan sistem hukum dari tempat itu.
Titik taut terbagi menjadi dua yaitu, titik taut primer dan titik taut sekunder.
Keduanya memiliki perbedaan yaitu titik taut primer merupakan fakta yang
membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada
satu aturan/ sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan bahwa kasus
tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Sedangkan titik taut sekunder merupakan
fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana yang
seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem
hukum/kaidah hukum/peraturan.
B. SARAN
Demikian makalah yang di buat, besar harapan semoga dapat bermanfaat bagi
kalangan banyak. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu saran dan keritik yang membangun sangat di harapkan agar makalah ini
dapat di susun menjadi lebih baik lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
gautama, s. (1986). hukum perdata internasional, jilid kedua bagia pertama (buku2).
bandung: ERESCO.
Hartono, S. (1976). pokok-pokok hukum perdata internasional. bandung: BINACIPTA.
jaelani, e. (2023). dasar-dasar hukum internasional. bandung : Winda Bhakti Persada.
Puwardi, A. (2016). dasar-dasar hukum perdata internasional. surabaya: (PPHP).
seto, b. (2001). dasar-dasar hukum perdata internasional, buku kesatu,edisi ketiga. bandung:
PT. Aditiya Bakti.
Widiatedja, I. G. (2015). buku ajar hukum perdata internasional. Bali: Udayana University
Press.