Anda di halaman 1dari 15

SISTEM TITIK TAUT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kemahiran Ibadah

Yang diampu oleh Bapak Abd. Muni M.H.I

Disusun oleh kelompok 2 :

M Yoga Dwicahyo Prabowo (21382011027)

Khozainuddin (21382011045)

Mitha Lusiana Sari (21382012024)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, Yang


Dengan Kasih Sayang-Nya Telah Mengaruniai Akal Dan Pikiran Terhadap Manusia,
Sehingga Dengan Fungsi Akal Itulah, Manusia Bisa Membedakan Mana Yang Haq
Dan Mana Yang Bathil.
Shalawat Dan Salam Semoga Tercurah Limpahkan Kepada Junjungan Kita,
Panutan Kita, Rahmatan Lil Alamin, Yakni Baginda Nabi Besar Nabi Muhammad Saw,
Karena Dengan Hadirnya Beliau Kedunia Ini, Dengan Diutusnya Beliau Ke Jagad Raya
Ini, Manusia Yang Dulunya Berada Dalam Alam Kegelapan, Bisa Dibawa Kealam
Yang Terang Benderang, Dengan Agama Indahnya, Islam Dan Iman.
Selanjutnya Terimakasih Kami Haturkan Kepada Dosen Pemangku Kuliah
“Hukum Perdata Internasional” Yang Diampu Oleh Bapak Abd. Muni M.H.I” Dan
Semua Pihak Yang Berpartisipasi Dalam Menyusun Makalah Ini, Sehingga Penulis
Bisa Menyesuaikan Dan Menerbitkan Dengan Hasil Yang Insyaalah Baik. Dalam
Pembuatan Makalah Ini, Penulis Masih Banyak Kekurangan, Banyak Kesalahan,
Sehingga Membutuhkan Kritik Dan Saran Kepada Pembaca, Terutama Kepada Bapak
Abs. Muni M.H.I Agar Dalam Pembuatan Makalah Selanjutnya Menjadi Lebih Baik
Lagi. Harapan, Semoga Makalah Ini Dapat Memberikan Manfaat Kepada Pembaca Dan
Penulis Khususnya.
Hadanallahu Waiyyakum
Tsummas Salamu Alaikum Wr. Wb

Pamekasan, 28 Maret 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................I

DAFTAR ISI.............................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Pengertian Titik Taut......................................................................................2


B. Jenis-Jenis Titik Taut.....................................................................................3
C. Perbedaan dan Persamaan..............................................................................4
D. Sistem Titik Taut ...........................................................................................5
E. Konflik Hukum..............................................................................................9

BAB III PENUTUP..................................................................................................11

A. Kesimpulan....................................................................................................11
B. Saran...............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sudargo Gautama mendefinisikan Hukum Perdata Internasional sebagai
suatu keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan atau peristiwa antara warga (warga) negara pada suatu waktu
tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat,
pribadi, dan soal-soal.
Hukum Perdata Internasional (HPI) pada dasarnya merupakan perangkat di
dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-hubungan atau peristiwa-
peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan lebih dari satu sistem hukum nasional.
Persoalan-persoalan HPI pada dasarnya muncul dalam perkara-perkara yang
melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum dan hukum intern dari yurisdiksi-
yurisdiksi itu berbeda satu sama lain, HPI juga dapat dipahami sebagai proses dan
aturan-aturan yang digunakan oleh pengadilan untuk menentukan hukum mana
yang harus diberlakukan pada perkara yang sedang dihadapi
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Titik Taut ?
2. Apa saja jenis-jenis Titik Taut?
3. Bagaimana Perbedaann dan Persamaan ?
4. Apa Sistem Titik Taut?
5. Bagaimana Konflik Hukum ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian titik taut.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis titik taut.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan.
4. Untuk mengetahui sistem titik taut.
5. Untuk mengetahui konflik hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TITIK TAUT


Titik pertalian atau titik taut dalam HPI lazim juga disebut dengan istilah
anknopingspunten (Belanda), connecting factors atau point of contact (Inggris). Titik
taut atau titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan yang menimbulkan berlakunya
suatu stelsel hukum.
Definisi titik-titik taut ((Ponts of contact, Connecting Factors,
Aanknupfungspunkte, Aanknoping punten, Titik-titik pertalian): Fakta-fakta di dalam
sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara perkara ini
dengan suatu tempat (dalam hal ini: negara) tertentu, dan karena itu menciptakan
relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan sistem hukum dari tempat itu.
Cakupan kaitan (connections) antara fakta-fakta hukum yang ada dalam suatu
perkara dengan suatu tempat/ negara dan juga sistem hukumnya. Bila diambil dari
contoh sebelumnya, maka dapat disebutkan beberapa aspek yang menjadi kaitan
dalam diskursur Titik Taut dalam HPI;
1. kewarganegaraan (nasionalitas) pihak pewaris (Jerman)
2. tempat kediaman tetap (domisili) pewaris (Inggris)
3. letak benda (situs rei) (Italia, Inggris, Jerman)
4. tempat perbuatan hukum dilakukan (pembuatan testament) (Prancis)
5. tempat perkara diajukan (forum) (Jerman)
Setiap titik taut menunjukkan adanya kaitan antara peristiwa hukumdengan
suatu tempat tertentu. Pada tahap awal penelaahan, hal yang pertama kali ditentukan
adalah menemukan adakah faktor-faktor yang menunjukkan bahwa sebenarnya
perkara yang dihadapi itu merupakan perkara HPI, salah satunya memiliki unsur asing
(transnasional).1
Merujuk pendekatan tradisional, mekanisme penyelesaian perkara HPI
sesungguhnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah
melalui proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali dipraktekkan (dalam arti
sekunder) dalam rangka menjelaskan hukum yang diberlakukan dalam perkara HPI
yang bersangkutan.2
1
Elan Jaelani, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, (Bandung, Widina Bhakti Persada : 2023), hlm.31
2
I Gusti Parikesit Widiatedja, Buku Ajar Hukum Perdata Internasional, ( Bali, Udayana University Press: 2015)
hlm.12

2
B. Jenis-Jenis Titik Taut
a. Titik-titik Taut Primer (Primary points of contact)

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang


menunjukkan bahwa peristiwa hukum itu mengandung unsur-unsur asing dan karena
itu bahwa peristiwa hukum yang dihadapi dalam peristiwa HPI dan bukan peristiwa
hukum intern. Atau “faktor-faktor atau keadaan atau keadaan atau sekumpulan fakta
yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI”. Titik taut primer ini biasanya juga
disebut titik taut pembeda yaitu “dengan faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau
fakta-fakta itu dapat dibedakan apakah suatu peristiwa atau hubungan tertentu
termasuk kategori HPI atau bukan”3. Titik taut primer ini harus dipahami selalu dilihat
dari sudut pandang Lex fori tertentu.

b. Titik-titik Taut Sekunder (Secondary points of contact)


Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum
manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perkara HPI. Titik taut
sekunder biasa disebut Titik Taut Penentu, karena berfungsi akan menentukan
hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law 4.
Pendekatan HPI Tradisional, titik taut sekunder harus ditemukan di dalam Kaidah
HPI lex fori yang relevan dengan perkara.
Pendekatan HPI Tradisional, titik taut sekunder harus ditemukan di dalam
Kaidah HPI lex fori yang relevan dengan perkara.

C. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN


a. Titik taut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)

Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai hal-hal yang
merupakan tanda akan adanya persoalan hukum antargolongan. Pengertian ini
tidak hanya dapat diterapkan di dalam hukum antar golongan, tetapi juga pada
bidang-bidang hukum perselisihan pada umumnya. Titik taut primer adalah fakta
yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya
tunduk pada satu aturan/ sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan
bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Ciri yang membedakan
3
Sunaryati Hartono, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional, (Bandung, BINACIPTA : 1976), hlm. 83
4
Ari Purwadi, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, (Surabaya, (PPHP) : 2016) hlm.68

3
adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita mengetahui terlibatnya lebih
dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara tersebut.5

b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)

Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum
apa atau hukum mana yang seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang
melibatkan lebih dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Yang dianggap
sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan adalah faktor-faktor penentu,
seperti:

1) Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di dalam
perjanjian. Titik taut ini hanya diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.
2) Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara diam-diam
(tidak tegas). Hal ini dapat disimpulkan dari: Bentuk dan isi perjanjian yang
dipilih para pihak. Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan
hukum. Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih dominan/lebih
menentukan.
3) Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/diwajibkan
pemberlakuannya oleh negara/penguasa melalui perundang-undangan, yang
mengakibatkan berlakunya suatu sistem hukum tertentu terhadap seseorang
yang seharusnya tidak terikat pada sistem hukum tersebut. Fakta-fakta khusus
yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan negara tersebut ditetapkan sebagai
titik taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah
hukum perselisihan tertentu.
 Persamaan Titik Taut Primer Dan Sekunder
1. Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi
Titik Pertalian Primer (TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian
Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam
peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di
Perancis)
2. Demikian juga “Domisili” dapat menjadi Titik Pertalian Primer
(TPP) dalam suatu peristiwa hukum, sekaligus juga merupakan Titik
5
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid kedua Bagian Pertama (Buku 2), (Bandung, ERESCO :
1986), hlm.64-65

4
Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum asing apa yang
berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang
Warga Negara Inggris, yang dilaksanakan di Indonesia dan
keduanya berdomisili di Indonesia)

D. SISTEM TITIK TAUT


a) Titik taut Primer

Faktor-faktor yang tergolong titik taut primer antara lain6:

1. Kewarganegaraan (nasionalitas)

Nasionalitas yang berbeda di antara para pihak yang melakukan suatu


perbuatan hukum atau hubungan hukum akan menimbulkan masalah HPI.
Misalnya calon suami isteri yang akan melangsungkan pernikahan, di mana
calon suami berkewarganegaraan Indonesia dan calon isteri yang
berkewarganegaraan Singapura. Seorang warga negara Amerika Serikat
melakukan transaksi jual beli barang tertentu dengan seorang warga negara
Indonesia.

2. Bendera kapal dan pesawat terbang

Dalam konteks hukum, kapal dan pesawat memiliki kebangsaan, yaitu


dikaitkan dengan hukum negara mana kapal atau pesawat terbang harus
tunduk. Kebangsaan kapal atau pesawat terbang tersebut ditentukan
berdasarkan di negara mana kapal ataupesawat terbang tersebut didaftarkan.
Misalnya, kapal yang dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum
Indonesia dan berdomisili di Surabaya, tetapi terdaftar di Panama, maka
kebangsaan kapal itu adalah Panama. Dengan demikian, status hukum itu
tunduk kepada hukum Panama, bukan hukum Indonesia. Kebangsaan kapal
nampak dari bendera kapal tersebut. Jika ada warga negara Indonesia
melakukan perjanjian kerja atau perjanjian pengangkutan laut dengan
perusahaan pelayaran yang menggunakan kapal berbendera asing akan

6
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga, ( Bandung, PT. Aditiya
Bakti : 2001), hlm. 6

5
melahirkan hubungan hukum yang memiliki unsur hukum perdata
internasional (mengandung unsur asing).

3. Domisili

Domisili subyek hukum yang berbeda yang melakukan suatu hubungan


hukum dapat menimbulkan hubungan hukum yang memiliki unsur hukum
perdata internasional. Misalnya, Caroline Spencer, seorang warga negara
Inggris yang berdomisili di Colorado, Amerika Serikat menikah dengan Bob
Denver yang juga berkewarganegaraan Inggris, tetapi berdomisili di London.

4. Tempat kediaman

Dalam common law system, dibedakan antara domisili dan tempat


kediaman (residence), karena kediaman lebih mengacu pada tempat kediaman
sehari-hari. Misalnya dua orang warga negara Inggris yang sementara waktu
bekerja di Texas, Amerika Serikat dan memiliki kediaman di Texas
melakukan pernikahan di Texas juga akan melahirkan hubungan hukum
perdata internasional.

5. Kebangsaan badan hukum

Badan hukum sebagai subyek hukum juga memiliki nasionalitas.


Kebangsaan badan hukum ini akan menentukan tunduk kepada hukum negara
badan hukum yang bersangkutan. Kalau badan hukum itu berkebangsaan
Indonesia, maka status badan hukum itu tunduk kepada hukum Indonesia.
Salah satu cara untuk menentukan kebangsaan badan hukum berdasarkan
tempat atau negara di mana badan hukum didirikan dan didaftarkan. Misalnya,
Choe Peng Sum (warga negara Singapura), Abdul Badawi (warga negara
malaysia), dan Alim Tanujoyo (warga negara Indonesia) mendirikan PT di
Indonesia berdasar Tunas PT Limited Singapura (perusahaan yang didirikan
berdasarkan hukum Singapura), Waja, Sdn. Bhd (perusahaan yang
berdasarkan hukum Negeri Johor Bahru, Malaysia) dan PT Kok Seng
(perseroan yang berdasarkan hukum Indonesia) membentuk perusahaan
patungan dengan nama PT Tunas Waja Seng di Indonesia berdasarkan hukum
Indonesia. PT yang berkebangsaan Indonesia, meskipun pemegang sahamnya

6
terdiri dari orang atau badan hukum asing dan orang atau badan hukum
Indonesia adalah PT yang berkebangsaan Indonesia.

6. Pilihan hukum intern

Contoh berikut ini akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan


pilihan hukum intern: perjanjian jual beli minyak sawit mentah yang dilakukan
oleh dua perusahaan Indonesia di Jakarta, yang penyerahannya memakan
waktu berjangka panjang. Penyerahan barang tersebut akan dilakukan di
Rotterdam, Belanda, yang kemudian dalam perjanjian jual beli ini ditetapkan
tunduk pada hukum Belanda. Di sini lahir hubungan hukum perdata
internasional, sebab adanya pilihan hukum yang merujuk kepada hukum asing
yang berbeda dengan hukum perusahaan di mana perusahaan berasal dan
terdaftar, dalam hal ini hukum Indonesia.

b) Titik Taut Sekunder


Jenis-jenis pertautan yang dianggap menentukan dalam HPI, antara lain7:
1) Tempat terletak benda (lex situs / lex rei sitae)

Letaknya suatu benda merupakan titik taut yang menentukan hukum


yang harus diberlakukan. Untuk benda-benda tetap berlaku ketentuan bahwa
hukum dari tempat letaknya benda itu adalah yang dipakai untuk hubungan-
hubungan hukum berkenaan dengan benda itu. Sebagai contoh:Seorang warga
negara X hendak meletakkan hypotheek atas tanah dan rumah kepunyaan
warga negara Negara Y di mana benda tersebut terletak. Hukum yang harus
dipakai adalah hukum Y yaitu di mana benda tetap bersangkutan terletak.

2) Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus)


Tempat di mana perbuatan hukum dilangsungkan atau perjanjian dibuat
merupakan factor yang menentukan akan hukum yang harus diberlakukan,
contoh: Seorang WNI membuat kontrak dengan perusahaan jepang. Tempat di
mana kontrak dilangsungkan Jakarta adalah factor yang menentukan hukum
yang harus berlaku.
3) Tempat dilangsungkannya atau diresmikan perkawinan (lex loci celebrationis)
Asas Lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil
perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat dimana
7
Ronald Saija, Buku Ajar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta, CV BUDI UTAMA : 2019), hlm.36

7
perkawinan diresmikan/dilangsungkan. Umumnya di perbagai sistem hukum,
berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas bahwa validitas/persyaratan
formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis.
4) Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)
Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum
dari tempat dimana kontrak itu dibuat . Jadi tempat dibuatnya sesuatu kontrak
adalah faktor yang penting untuk menentukan hukum yang berlaku. Dimana
suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dikapai. Akan tetapi
dalam praktek dagang internasional pada waktu sekarang ini prinsip tersebut
sukar sekali dipergunakan. Jelas sekali hal ini apa yang dinamakan kontrak-
kotrak antara orang-orang yang tidak bertemu, tidak berada
ditempat,“Contract between absent person”. Jika para pihak melangsungkan
suatu kontrak tetapi tidak sampai bertemu maka tidak ada tempat
berlangsungnya kontrak”.
5) Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis / lex loci executionis)
Kita melihat bahwa orang memakai pula tempat di mana harus di
laksanakan sesuatu kontrak sebagai hukum yang harus diberlakukan ,
Misalnya seorang WNI mengadakan kontrak pemborongan dengan kontraktor
asing dari luar negri tentang pembangunan hotel di Jakarta. Hukum Indonesia
lah yang akan dipakai jika para pihak tidak menentukan laindalam kontrak
mereka, karena bangunan hotel bersangkutan telah berlangsung di Jakarta.
6) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
Dalam perbuatan melanggar hukum dipakai menurut teori klasik, hukum
dari tempat di mana perbuatan melanggar hukum di lakukan. Contoh: tuntutan
dari Ford Motor Company of Canada Ltd terhadap seorang reparatur mobil di
Jakarta yang dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan
memasang merek di depan bengkelnya “Ford Service”: diadili menurut hukum
Indonesia.
7) Pilihan hukum (choice of law)
Maksud para pihak adalah factor yang menentukan apa yang berlaku ,
misalnya Seorang warga Negara Indonesia dan eropa menentukan dalam
kontrak perjanjian dagang mereka bahwa mereka bersepakat memakai hukum
B.W Indonesia. Hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian ditentukan
pertam-pertama oleh maksud dari para pihak, apa yang dikehendaki para pihak

8
apa yang diingini para pihak. Jadi di hukum perjanjian HPI para pihak memiliki
keluasaan untuk memenuhi hukum mana yang digunakan.

E. KONFLIK HUKUM

Kasus Ilustrasi

A seorang WNI yang sehari-hari berdomisili di Singapura, meninggal di


Australia dan sempat membuat testamen mengenai pembagian harta warisan.
Testamen dibuat di Malaysia, sedangkan benda-benda yang diwariskan, baik bergerak
dan tidak bergerak menyebar di Singapura, Malaysia dan Indonesia. Para ahliwaris
bersengketa mengenai testamen tersebut dan mengajukan perkara di pengadilan
Indonesia.

Ada beberapa titik taut dalam kasus ini:

1) Kewarganegaraan Pewaris adalah Indonesia.


2) Domisili Pewaris di Singapura.
3) Lex Rei Sitae atau hukum yang berlaku atas suatu benda terletak. Benda-benda
yang diwariskan terletak di Singapura, Malaysia dan Indonesia
4) Lex Loci Actus atau tempat dimana testamen di buat
5) Forum adalah di Pengadilan Indonesia

Analisis:

Titik Taut Primer:

 Definisinya adalah “fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa


hukum, yang menunjukkan bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur
asing (foreign elements) dan peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa
HPI, bukan peristiwa hukum intern/domestik.”
 Merupakan Titik Taut Pembeda.
 Menunjukkan suatu perkara sebagai perkara HPI.
 Dilihat dari sudut pandang Forum.

Titik Taut Sekunder:

9
 Definisinya adalah “fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu
penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan
persoalan HPI yang sedang dihadapi”.
 Merupakan Titik Taut Penentu.
 Membantu menentukan sistem hukum mana yang harus diberlakukan
(applicable law).
 Berdasarkan pendekatan HPI tradisional, TTS dicari dalam kaidah HPI Forum.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Titik taut adalah Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang
menunjukkan pertautan antara perkara ini dengan suatu tempat (dalam hal ini: negara)
tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan
dengan sistem hukum dari tempat itu.
Titik taut terbagi menjadi dua yaitu, titik taut primer dan titik taut sekunder.
Keduanya memiliki perbedaan yaitu titik taut primer merupakan fakta yang
membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada
satu aturan/ sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan bahwa kasus
tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Sedangkan titik taut sekunder merupakan
fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana yang
seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem
hukum/kaidah hukum/peraturan.
B. SARAN
Demikian makalah yang di buat, besar harapan semoga dapat bermanfaat bagi
kalangan banyak. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu saran dan keritik yang membangun sangat di harapkan agar makalah ini
dapat di susun menjadi lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA

gautama, s. (1986). hukum perdata internasional, jilid kedua bagia pertama (buku2).
bandung: ERESCO.
Hartono, S. (1976). pokok-pokok hukum perdata internasional. bandung: BINACIPTA.
jaelani, e. (2023). dasar-dasar hukum internasional. bandung : Winda Bhakti Persada.
Puwardi, A. (2016). dasar-dasar hukum perdata internasional. surabaya: (PPHP).
seto, b. (2001). dasar-dasar hukum perdata internasional, buku kesatu,edisi ketiga. bandung:
PT. Aditiya Bakti.
Widiatedja, I. G. (2015). buku ajar hukum perdata internasional. Bali: Udayana University
Press.

Anda mungkin juga menyukai