MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia
yang dibina oleh Ibu Dr.Hj.Siti Musawwamah,M.Hum
Disusun oleh :
Rusdiyanto (21382011055)
Badrut Tammam (21382011075)
S.T Nur Fitria Ulfa Rusady (21382012034)
Pamekasan, 2022
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................................
C. Tujuan Masalah................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Poligami
1. Pengertian poligami
2. Prosedur poligami
3. Dasar hukum poligami
B. Kawin Hamil
1. Pengertian kawin hamil
2. Hukum kawin hamil
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara multikultural yang mempunyai berbagai macam suku,ras dan adat
istiadat yang sangat berbeda,sebut ada salah satunya dalam hal melangsungkan
pernikahan.Hampir di setiap daerah di Indonesia dalam melakukan proses perkawinan selalu di
bumbuhi dengan adat yang sangat kental,itu disebabkan oleh kekuatan adat yang dipercaya
secara turun temurun sebagai suatu hal yang harus dijalankan oleh masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Pembahasan
A. POLIGAMI
1. Pengertian Poligami
2. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan
secara pasti.Namun,di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islam nya telah mengatur hal tersebut
sebagai berikut:
Pasal 56
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur
dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat tanpa izin dari pengadilan
agama,tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2),maka untuk memperoleh izin pengadilan
agama,harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun
1974,yaitu
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975,persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis,persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
pengadilan agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau
istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab
lain yang perlu mendapat penilaian hakim. 1
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim." 2
Seandainya kita melihat kembali kedalam hukum poligami,maka kita akan menemukan bahwa
hukumnya bukan wajib,akan tetapi hanya diperbolehkan saja!maka,apa arti semuanya itu?
Artinya,Islam tidak mengharuskan seorang laki-laki untuk menikah dan memiliki istri lebih dari satu.Akan
tetapi,seandainya ia ingin melakukannya,ia diperbolehkan.Biasanya sistem poligami tidak akan
digunakan kecuali dalam kondisi mendesak saja. 3
1
Abdul rahmn ghazaly, fiqh munakahat,,(jakarta:prenadamedia groub,2019)
2
QS. An-Nisa (4) : 3
3
Syaikh mutawalil As-Sya'rawi,Fiqih Perempuan(muslimah),(Jakarta:Amzah,2009)hal 98
B. KAWIN HAMIL
Yang dimaksud dengan "kawin hamil"di sini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil diluar
nikah,baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi perempuan hamil di luar nikah hukumnya boleh dan sah.
Kemudian sang suami (baik dari laki-laki yang telah menghamili atau pun bukan) boleh langsung
berhubungan intim tanpa harus menunggu sampai istrinya melahirkan, namun hukumnya adalah
makruh (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Ibnu Hajar al-Haitami, jilid 5, hal. 183).
Kemudian anak yang ada dalam kandungan perempuan itu statusnya tidak akan bernasab. Kecuali
apabila laki-laki tersebut yakin bahwa sang anak merupakan hasil dari spermanya. Dan anak itu juga lahir
setelah enam (6) bulan dari masa pernikahan (Sayyid Ba Alawi al-Hadhrami, Bughyat al-Mustarsyidin,
hal. 496).
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan yang hamil sebab zina tidak boleh dinikahi. Waktunya
sampai ia melahirkan kandungannya dan otomatis sang anak hanya akan bernasab pada ibunya.
Imam Malik beranggapan jika perempuan yang sedang hamil dinikahkan sebelum melahirkan, maka
akan terjadi kerancuan dalam status nasab sang anak. Hal ini sebab sperma hasil zina akan bercampur
dengan sperma suami yang sah. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, jilid 9, hal. 140).
berpendapat bahwa hukum menikahi perempuan yang hamil di luar nikah adalah boleh dan sah.
Jika sang suami merupakan laki-laki yang telah menghamili, maka ia boleh langsung menggauli istrinya.
Adapun status anak yang ada dalam kandungan akan tetap bernasab kepadanya. Dengan catatan sang
anak terlahir setelah enam bulan dari masa pernikahan
Akan tetapi, jika anaknya terlahir sebelum enam (6) bulan, maka ia tidak bernasab. Artinya, sang ayah
tidak bisa mewariskan hartanya dan tidak bisa menjadi wali saat sang anak menikah nanti.
Sementara itu, jika yang menikahi bukan dari laki-laki yang menghamili, maka ia tidak boleh
berhubungan intim sampai istrinya melahirkan. Sedangkan status anak yang lahir tidaklah bernasab
(Syekh Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, jilid 9, hal. 140).
d. Menurut Mazhab Hambali
Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana keterangan Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (jilid
18, hal. 130) berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan. Selain
itu, perempuan itu harus bertaubat.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Islam tidak mengharuskan seorang laki-laki untuk menikah dan memiliki istri lebih dari satu.Akan
tetapi,seandainya ia ingin melakukannya,ia diperbolehkan.Biasanya sistem poligami tidak akan
digunakan kecuali dalam kondisi mendesak saja.
Terjadinya wanita hamil diluar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh agama,norma,etika dan
perundang-undangan negara),selain karena adanya pergaulan bebas,juga karena lemah (rapuhnya)
Imam pada masing-masing pihak,Oleh karenanya,untuk mengantisipasi perbuatan keji dan terlarang
itu,pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.
B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan,kesalahan,serta masih jauh dari kata sempurna.Untuk itu,penulis mengharapkan
kritik yang membangun dari para pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih
baik lagi.
Daftar Pustaka