“MASALAH POLIGAMI”
Kelompok : 6
NIM. 182621598
SEMESTER IV C
T.A. 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya karena saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam
penulisan makalah ini, materi yang akan dibahas adalah “Masalah Poligami”.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata
kuliah yang bersangkutan
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah wawasan kita serta dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah akad antara seorang calon mempelai pria dengan salon
mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang
dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan
syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain
saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.
Tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia.
Namun tidak sedikit pernikahan itu hancur akibat ketidak harmonisan antara suami
dan istri diakibatkan oleh hal-hal yang mendasar seperti keegoisan masing-masing
ataupun hal lain yakni akibat dari suami yang poligami.
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli
artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak
empat orang.1
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani , polus yang artinya banyak, dan
gamein yang artinya kawin. Jadi, poligami artinya kawin banyak atau suami beristri
banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa arab poligami disebut dengan ta’did al-
zawjah (berbilangnya pasangan). Dalam bahasa indonesia disebut permaduan.
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129
2
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, 2013, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
(Bandung: Pustaka Setia), h. 30.
3
Sebagaimana jika seorang suami sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai
pemimpin akan berbuat kezaliman kepada rakyatnya.
Poligami bukan dimulai oleh adanya islam yang datang ke bumi. Sebelum
islam datang, poligami telah dilakukan oleh manusia. Jauh sebelum islam lahir,
poligami telah dilakukan oleh semua bangsa, seperti bangsa Asia, Eropa, Afrika
dan Amerika. Di Jazirah Arab, terkenal tidak suka melihat anak perempuan yang
masih kecil sehingga berusaha membunuhnya, mereka berlomba-lomba
mendapatkan perempuan dewasa dengan berbagai cara, melalui harta atau
kekuasaan. Menurut Rahmat Hakim, poligami telah dijalankan oleh bangsa-bangsa
semenjak zaman primitif, bahkan hingga sekarang. Bangsa Romawi menerapkan
3
Ibid, h. 31
4
peraturan ketat kepada rakyatnya untuk tidak beristri lebih dari seoang, kaum raja
dan bangsawan banyak memelihara gundik yang tidak terbatas jumlahnya. 4
Bangsa Romawi adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan
kemuliaan setelah bangsa Yunani. Diantara ungkapan mereka yang berkaitan
tentang wanita adalah: “sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya
belum lepas”. Yakni didalam masyarakat mereka, suami mempunyai hak yang
penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak-hak raja atas rakyatnya. Sehingga ia
mengatur istrinya sesuai hawa nafsunya. Bahkan disebabkan kekuasaan yang
teramat besar ini, ia dibolehkan melakukan apa saja sampai dibolehkan melakukan
pembunuhan terhadap istrinya pada sebagian keadaan.5
4
Ibid, h.32
5
Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi, Sirah Shahabiyah,
(Pekalongan: Maktabah Salafy Press, 2007), h. 18
5
Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa memiliki dua istri, kemudian ia
lebih condong kepada salah satu dari keduanya. Maka ia akan datang pada hari
kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi,
Ahmad, an-Nasa-i)6
Menurut Sayyid Sabiq poligami adalah ”salah satu ajaran islam yang sesuai
dengan fitrah kaum laki-laki, laki-laki adalah makhluk Allah yang memiliki
kecenderungan seksual lebih besar dibandingkan dengan kaum perempuan. Secara
genetik, laki-laki dapat memberikan keturunan kepada setiap wanita karena kodrat
wanita adalah hamil dan melahirkan setelah masa pembuahan. Jika perempuan
melakukan poliandri, tidak hanya bertentangan dengan kodratnya, tetapi sangat naif
dan irrasional. Dari sisi genetik akan kesulitan mencari dari keturunan siapa yang
dibuahkan oleh perempuan yang hamil tersebut. Dengan demikian, syariat islam
tentang poligami tidak bertentangan dengan hukum alam dan kemanusiaan, bahkan
relevan dengan fitrah dan kodrat kaum laki-laki. ”
6
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, (Bogor: Pustaka
At-Taqwa, 2008), h.188
7
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Op Cit, h. 33
6
B. Dasar Hukum Poligami
ًٱلن َسآءِ َم ۡثن ََٰى َوث ُ َٰلَثَ َو ُر َٰ َب َع فَإِ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَ اَّل تَعۡ ِدلُواْ ف َٰ ََوحِ َدة
ِ َاب لَكُم مِن
َ طَ َو ِإ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَ اَّل ت ُ ۡقسِ طُواْ فِي ۡٱل َي َٰتَ َم َٰى فَٱن ِكحُواْ َما
٣ ْأَ ۡو َما َملَك َۡت أَ ۡي َٰ َمنُكُ ۡۚۡم َٰذَلِكَ أَ ۡدن َٰ َٓى أَ اَّل تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
َْولَن تَسۡ تَطِ يعُ ٓواْ أَن تَعۡ ِدلُواْ بَ ۡينَ ٱلنِ َسآءِ َولَ ۡو َح َرصۡ تُمۡ ف َََل تَمِ يلُواْ كُ ال ۡٱل َم ۡي ِل فَتَذَ ُروهَا كَٱ ۡل ُمعَلاقَ ۚۡ ِة َو ِإن تُصۡ ِلحُواْ َوتَتاقُوا
ٗ ُغف
١٢٩ ورا ارحِ ٗيما َ فَإِنا ا
َ َٱَّلل كَان
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
8
Ibid, h. 34
7
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin dapat dicapai jika
berkaitan dengan perasaan atau hati dan emosi cinta. Keadilan yang harus dicapai
adalah keadilan materiel, sehingga seorang suami yang poligami harus menjamin
kesejahteraan istri-istrinya dan mengatur waktu secara adil. Sayyid Sabiq
mengatakan bahwa Surat An-Nisa ayat 129 isinya meniadakan kesanggupan
berlaku adil kepada sesama istri, sedangkan ayat sebelumnya (An-Nisa: 3)
memerintahkan berlaku adil, seolah-olah ayat tersebut bertentangan satu sama
lainnya. Padahal, tidak terdapat pertentangan dengan ayat yang dimaksud. Kedua
ayat tersebut menyuruh berlaku adil dalam hal pengaturan nafkah keluarga,
pengaturan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Suami yang poligami tidak
perlu memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal perasaan, cinta dan kasih
sayang, karena semua ittu diluar kemampuan manusia.9
Hadis diatas adalah perintah kepada para pemuda untuk menikah apabila
telah mampu secara biologis dan materi, karena pernikahan adalah solusi yang
terbaik dari perbuatan maksiat dan perzinaan. Apabila belum mampu untuk
menikah, lakukanlah puasa karena puasa dapat menjadi benteng yang menghalangi
perbuatan maksiat dan nafsu birahi yang datang dari godaan setan yang terkutuk.10
"Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Ghailan bin Umayah As-Saqafi telah masuk
islam. Ketika masih jahiliah ia memiliki sepuluh istri, istri-istrinya masuk islam
9
Ibid, h. 35
10
Ibid, h. 36
8
beserta dia, lalu dia disuruh oleh Rasulullah SAW. Memilih empat istri diantara
mereka (yang enam diceraikan)."(HR. Imam Tirmidzi)
"Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan
beliau pernah berdoa, ‘Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Oleh karena
itu, janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau kuasai, sedangkan aku
tidak menguasainya. ’Abu Dawud berkata, ‘yang dimaksud dengan Engkau kuasai,
tetapi aku tidak menguasainya adalah hati ’. ”(HR. Abu Dawud dari Siti Aisyah)
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya;
2. Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
11
Ibid, h. 38
9
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 12
Dengan penjelasan pasal 5 ayat (1) dapat dipahami bahwa suami harus
meminta izin dari isteri, maka istri yang mandul pun memiliki hak prerogatif untuk
memberi atau tidak memberi izin kepada suaminya yang bermaksud poligami.
Akan tetapi, karena kondisi istri yang demikian, sangat tidak rasional atau tidak
mungkin apabila istri tidak memberi izin kepada suaminya. Tentu keadaan tersebut
sangat memprihatinkan bagi istri dan beralasan sangat kuat bagi suami untuk
melakukan poligami.
Dengan pemahaman terhadap pasal 4 ayat (2) (a) yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, posisi perempuan atau
istri yang tidak dapat melahirkan keturunan ada dalam posisi dilematis, artinya
terjebak dalam dua pilihan yang merugikan dan terpojok pada pelaksanaan undang-
undang yang keadilannya dipertanyakan atau lebih menguntungkan pihak laki-laki
atau suami.
12
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Op Cit, h. 41
13
Ibid, h. 43
10
• Bercerai secara baik-baik, walaupun praktiknya sangat dilematis. Suami
atau istri tidak bertengkar, tidak bermusuhan, dan tidak bertentangan,
bahkan mempunyai tujuan membina keluarga serta sama-sama
mendambakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Disamping
itu, jika perceraian alternatif yang dilakukan, akan terjadi kemudaratan baru.
Kaidah hukum tidak membenarkan melakukannya, yakni mencari
kemaslahatan, namun meninggalkan kemudaratan dibelakangnya.
Mudaratnya bagi wanita adalah sulit mengganti suaminya karena
ketidakmampuannya bertindak sebagai istri. Akan tetapi, di sisi lain jika
kondisinya yang mengakibatkan istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, hal itu menjadi alasan bolehnya perceraian
dilakukan atas inisiatif suaminya.
• Merelakan suaminya untuk menikah lagi, sebagai kemungkinan terakhir
dan hanya satu-satunya. Tindakan ini pun dirasakan berat, terutama bagi
wanita. Sulit bagi istri menerima kenyataan pahit ini, bahkan kemungkinan
ini merupakan keadaan terburuk sepanjang hidupnya. Betapa tidak,
suaminya akan bercumbu dengan orang lain, perbuatan yang selama ini
dilakukan suami kepada dirinya. Kini hal yang sama dilakukan kepada
orang lain walaupun hal itu terjadi atas izinnya.
C. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh islam memang
tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Kompilasi Hukum
Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut:14
• Pasal 56
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
14
Abdul Rahman Ghozali, Op Cit, h. 136-138
11
2. Pengajuan pemohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata
cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
• Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:15
• Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu:
2. Adanya persetujuan istri.
3. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
4. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
pengadilan agama.
5. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
15
Ibid, h. 134-136
12
dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab
lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
• Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
D. Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan
syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut: 16
• Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
• Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat
badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
• Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan
krisis akhlak lainnya.
• Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi SAW beristri lebih dai seorang, bahkan
melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut:
16
Abdul Rahman Ghozali, Op Cit, h. 138
13
mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat,
terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan.
• Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan
untuk menarik mereka masuk agama islam. Misalnya perkawinan Nabi
dengan Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian
pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhah
dan Bani Nazhir).
• Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi
dengan beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya, seperti
Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah
Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti
Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami
gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan
agamanya, serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun larangan itu tidak berlaku untuk Nabi SAW, karena beliau adalah
manusia yang terjaga dari kesalahan dan tidak pernah menyalahi Al Qur’an dalam
segala keadaan. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bernama Ghailan masuk
islam, sedangkan istrinya berjumlah 10 orang, maka Rasulullah menyuruhnya
untuk memilih empat diantara mereka. Disebutkan pula Qais bin Al Harits masuk
17
Ibid, h. 139
14
islam dengan 8 istri, maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat diantara
mereka. Dalam kitab Al-Bada’i disebutkan:
Dalam hadis diatas Rasulullah menyuruh orang itu untuk memisahkan sisa
yang lain. Kalau saja kawin lebih dari empat diperbolehkan karena Rasulullah
menyuruh umpamanya hal itu akan menunjukkan bahwa kawin lebih dari empat
istri itu melampaui batas. Kawin lebih dari empat itu dikhawatirkan akan
menimbulkan aniaya karena tidak mampu memberikan hak-hak istri-istrinya.
Jadi singkatnya, hikmah dilarangnya nikah lebih dari empat istri (bagi
manusia biasa) adalah:
• Batas maksimal beristri bagi manusia biasa adalah empat istri. Jika lebih
dari empat istri berarti melampaui batas kemampuan, baik dari segi
kemampuan pissik, mental maupun tanggung jawab, sehingga nantinya
akan repot sendiri, bingung sendiri, dan akhirnya akan menimbulkan
gangguan kejiwaan (stres).
• Karena melampaui batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan
kezaliman (aniaya), baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap istri-
istrinya.
Manusia biasa pada umumnya didominasi oleh nafsu syahwatnya, yang cenderung
melakukan penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan
untuk memberikan hak-haknya kepada istri-istrinya.18
18
Ibid, h. 140
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
• Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat
badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
• Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan
krisis akhlak lainnya.
• Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
A. Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada makalah ini, Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian
dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
16
DAFTAR PUSTAKA
17