Anda di halaman 1dari 21

POLIGAMI

Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia

Dosen pengampu

Hilmi Yusron Rofi’i, M.H.

Disusun Oleh :

Erik Adi Pangestu 1921030520

Fira Saputri Amanda 1921030502

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS SYARIAH

2021

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Puji syukur kehadirat Allah SWT  yang senantiasa melimpahkan karunia-


Nya kepada kita semua, khususnya kami sehingga kami mampu menyusun
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi
umat Islam sedunia. Semoga syafaatnya mengiringikita di hari akhir.Amin.

Makalahini, kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada


Bapak Dosen matakuliah yang bersangkutan atas tugas yang diberikan kepada
kami . Makalah ini juga kami persembahkan kepada Beliau untuk dapat dijadikan
sebagai salah satu acuan pembelajaran selanjutnya.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait


dengan penyusunan makalah ini.sehingga kritik dan perbaikan serta penilaian
terhadap makalah ini sangat kami butuhkan.Mohon maaf apabila ditemukan
beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk penulisan  dan
ejaan. Semoga bermanfaat.

Pringsewu, 04 Oktober 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................5

PENDAHULUAN...................................................................................................5

A. Latar Belakang.................................................................................................5

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................6

A. Pengertian Poligami......................................................................................6

B. Dasar Hukum Poligami.............................................................................7

1. An-Nisa ayat 3 yang artinya yaitu:............................................................7

2. An-Nisa ayat 129 yang artinya:.................................................................8

C. Rukun dan Syarat Poligami..........................................................................9

1. Mampu Berlaku Adil.................................................................................9

2. Jumlah Istri Dibatasi, Maksimal 4 Orang................................................10

1. Mampu Memberikan Nafkah Lahir dan Batin........................................10

2. Niatkan Semata untuk Ibadah kepada Allah...........................................11

3. Dilarang Menikahi Dua Wanita yang Bersaudara...................................11

4. Mampu Menjaga Kehormatan Para Istri.................................................12

D. Pendapat Para Fuqaha Tentang Poligami...................................................12

1. Mazhab Hanafi........................................................................................12

2. Mazhab Maliki........................................................................................13

3. Mazhab Syafi`i........................................................................................14

4. Mazhab Hambali.....................................................................................14

3
E. Ketentuan Poligami Dalam Perundang-Undangan.....................................15

F. Akibat Hukum Dalam Poligami..................................................................15

PENUTUP..............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena sosial dalam
masyarakat, dimana fenomena poligami pada saat ini menemui puncak

4
kontroversinya, begitu banyak tanggapan-tanggapan dari khalayak mengenai
poligami, baik yang pro ataupun kontra. Masalah poligami bukanlah masalah baru
lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya yang sebagian besar dinilai karena
perbedaan pandangan masyarakat dalam memberikan sudut pandang pada
berbagai hal yang terkait masalah poligami baik ketentuan, batasan, syarat,
masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.

Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan
masih juga berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini
terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber
hukum dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat
serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang
harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri juga terdapat kebijakan
hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat dalam Undang-
undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud poligami?
2. Apa landasan/dasar hukum poligami?
3. Apa saja syarat dan rukun poligami?
4. Bagaimana pendapat para fuqaha mengenai poligami?
5. Bagaimana ketentuan poligami dalam undang-undang?
6. Apa akibat hukum dari poligami?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani secara etimologis, poligami


merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti
istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih
dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat
dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari
satu orang.1
Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa Inggris adalah “Poligamy”
dan disebut ‫د ال َّزوْ َجات‬Lُ ‫تَ َع ُّد‬dalam hukum Islam, yang berarti beristri lebih dari seorang
wanita. Begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa Inggris
“poliandry” dan disebut ‫تع ّدداألزوج‬atau ‫تعددالبعول‬dalam hukum Islam, yang berarti
bersuami lebih dari seorang pria. Maka poligami adalah seorang pria yang
memiliki istri lebih dari seorang wanita, sedangkan poliandri adalah seorang
wanita yang bersuami lebih dari seorang pria.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan
sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami
lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau
suami kedua, ketiga dan seterusnya.3
Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini
poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut
tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai
pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya.
Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara

1
A. Rodly Makmun dan Evi Muafiah (eds), Poligami dalam penafsiran Muhammad Syahrur,
Ponorogo; STAIN Ponorogo Press, 2009, hlm, 15
2
Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003. Hlm. 59-40
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa, Eds. Empat,
Jakarta: PT. Gramedia,2008, hlm. 1089

6
seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan
antara laki-laki dengan beberapa orang perempuan.
Dalam perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan
bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi dikalangan masyarakat, kecuali
dikalangan antropolog saja. Sehingga istilah poligami secara langsung
menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-
laki dengan beberapa orang perempuan disebut poligami, dan kata ini
dipergunakan sebagai lawan polyandri. M enurut Sayyid Qutub, poligami
merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan
darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisa
berbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah, mu’amalah, pergaulan dan
pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak sanggup berbuat adil, maka
diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi suami yang
sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya
empat orang istri

B. Dasar Hukum Poligami

Kaitannya dengan dasar hukum poligami, maka untuk poligami dasar


hukumnya adalah sebagai berikut:

1. An-Nisa ayat 3 yang artinya yaitu:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu milki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat tersebut menurut Khazim Nasuha merupakan ayat yang memerikan


piihan kepada kaum laki-laki bahwa menikahi anak yatim dengan rasa
takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau menikahi perempuan
yang disenangi hingga jumlahnya empat. Akan tetapi, jika semuanya

7
dihantui rasa takut tidak berlaku adil,lebih baik menikah dengan seorang
perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari
berbuataniaya.

2. An-Nisa ayat 129 yang artinya:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri
(mu), walaupun kamu sanga ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan
dan memeihara diri (dari kecurigaan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin dapat dicapai


jika berkaitan dengan perasaan atau hati dan emosi cinta. Keadilan yaang
harus dicapai adalah keadilan material, sehingga seorang suami yang
poigami harus menjamin kesejahteraan istri-istrinya dan mengatur waktu
secara adil. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Surat An-Nisa ayat 129
isinya meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri,
sedangkan ayat sebelumnya (An-Nisa: 3) memerintahkan berlaku adil,
seolah-olah ayat tersebut bertentangan satu sama lainnya. Kadua ayat
tersebut menyuruh berlaku adil dalam hal pengaturan nafkah keluarga,
pengaturan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Suami yang poligami
tidak perlu memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal perasaan, cinta
dan kasih sayang, karena semua itu diluar kemampuan manusia.

“Dari Ibnu Ummar.a,, bahwa Ghalian bin Umayah As-Saqafi masuk islam.
Ketika masih jahiliah ia memiliki sepuluh istri, istri-istrinya masuk islam
beserta dia, lalu dia disuruh oleh Rasulullah SAW. Memilih empat istri

8
diantara neraka (yang enam diceraikan).” (HR.Imam Trimidzi).”

“Rasululah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil.


Dan beliau pernah berdoa, ‘Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku
kerjakan. Oleh karena itu, janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang
Engkau kuasai, sedangkan aku tidak menguasainya adalah hati’.”
(HR.Abu Dawud dari Siti Aisyah)

Hadis-hadis diatas telah dikemukakan tersebut merupakan dasar hukum


poligami. Beristri leboh dari seorang dilakukan oleh para sahabat dan
Rasululah SAW. Bahkan Rasululah digambarkan dalam hadis tersebut
tentang tata cara mempraktikkan keadilan dalam poligami. Rasulullah
membagi nafkah lahiriah keluarganya menurut kemampuannya. Sementara
keadilan dalam hal “hati” beliau menyatakan tidak mempunyai
kemampuan untuk menguasainya. Rasulullah hanya mampu melaksanakan
keadilan dalam pemberian nafkah hal cinta dan batin, tetapi untuk hal cinta
dan kasih sayang beliau menyatakan tidak mampu.

C. Rukun dan Syarat Poligami

Sebagaimana telah disampaikan, rukun dan syarat pernikahan yang


disyariatkan dan ditetapkan dalam islam pada pernikahan pertama juga
menjadi rukun dan syarat yang disyariatkan dalam pernikahan poligami.
Sebab, keduanya sama-sama pernikahan yang disyariatkan dalam islam.
Jadi, ketika seseorang berpoligami, dia wajib memenuhi rukun dan syarat
tersebut. Meski poligami diperbolehkan, nyatanya poligami tidak boleh
dilakukan sembarangan. Poligami bukanlah perkara main-main. Syarat
poligami dalam islam telah diatur sedemikian terstruktur dan sangat ketat.
Syarat poligami sebagai berikut:

1. Mampu Berlaku Adil

Seorang pria berpoligami harus mampu bersikap adil di antara


para istrinya dalam banyak hal, termasuk nafkah lahir dan batin. Apabila

9
ia condong kepada salah satu istri saja, maka ini akan menimbulkan
kezaliman bagi istri-istri lain. Aturan ketat poligami ini ditegaskan
Rasulullah dalam hadis riwayat Abu Dawud , An-Nasa’i, At-Tirmidzi
yang berbunyi: “Siapa saja orangnya yang memiliki 2 istri lalu lebih
cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan
datang dalam keadaan bagian pundaknya miring sebelah.”
Dalam hal ini, ada baiknya seorang pria berpoligami mengatur
jadwal bermalam untuk istri-istrinya dengan musyawarah terlebih
dahulu. Meski terkesan mudah, berlaku adil itu nyatanya sulit sekali
diamakan. Oleh karena itu, jika memang merasa tidak mampu berlaku adil,
maka sebaliknya hidarilah poligami.

2. Jumlah Istri Dibatasi, Maksimal 4 Orang

Syaratpoligamimenurut syarat Islam hanya boleh dilakukan


sebanyak 4 kali saja. Artinya, seseorang dibatasi untuk menikahi wanita
lebih dari 4 orang. “Maka berkawinlah dengan sesiapa yang kamu
berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat.” (Q.S
An-Nisa ayat 3). Dalam hal ini, Rasulullah telah mebatasi praktik
poligami, mengkritik perlaku sewenang-wenang, dan menegaskan
keharusan berlaku adil dalam beristri lebih darisatu wanita.

Batas menikahi 4 wanita dalam hal berpoligami ini ditegaskan oleh


Rasulullah kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi,
dan Qais bin al-Harits.”Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk
Islam saya memiiki delapan istri, saya menemui Rasulullah dan
menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: “Pilih empat di antara
mereka.” (HR. Ibnu Majah).

1. Mampu Memberikan Nafkah Lahir dan Batin

Dalam berpoligami, setiap pria harus mampu memberi


nafkah lahir dan batin bagi para istrinya. Apabila merasa masih
sulit menafkahi satu orang istri, maka orang semacam ini sangat

10
berhak dilarang poligami. “Dan orang-orang yang tidak mampu
menikahi, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah
memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya.”
(QS. An-Nur:33). Sebab, Rasulullah dahulu poligami bukanlah
semata untuk kesenangan diri sendiri, melainkan demi memilki
wanita-wanita yang tidak memiliki seseorang yang menafkahinya.

2. Niatkan Semata untuk Ibadah kepada Allah

Ketika memutuskan hendak berpoligami, maka niatkan


semata untuk beribadah kepada Allah Ta’alaa. Dengan tetap
mengingat Allah, seseorang tidak akan terlupa dengan akhirat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melainkan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa
yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi.” (Q.S Al-Munafiqun: 9).

Oleh sebab itu, salah satu syarat mutlak poligami sesuai


syariat Islam yaitu memulai menikah dengan niatan beribadah
kepada Allah. Selain sebagai sarana ibadah, menikah dapat
menaikkan kedudukan wanita serta memerpmudah wanita untuk
masuk surga.

3. Dilarang Menikahi Dua Wanita yang Bersaudara

Bagi pria yang berpoligami, hendaklah ia menghindari


pernikahan terhadap dua wanita yang memiliki hubungan darah
erat (misal, saudara atau bibi). Ha semacam itu dilarang dalam
hukum poligami Islam, sebagimana firman Allah subahanahu wa
ta’alaa dalam Surah An-Nisa ayat 23:

11
“(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
MahaPenyayang.”

Larangan menikahi dua wanita bersaudara diperkuat dalam hadits


Rasulullah, dimana salah satu istri Rasululah –Ummu Habibah-
mengusulkan agar Baginda menikahi adik kandungnya. Keinginan itu
lantas ditolak oleh Rasuullah. Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya ia
tidak halal untukku.” (HR Imam Bukhari, An-Nasa’i).

4. Mampu Menjaga Kehormatan Para Istri

Syarat penting poligami sesuai syariat Islambagi setiap pria


yang hendak beristri lebih dari satu adalah mampu membimbing,
mendidik, serta menjaga kehormatan para istri. Apabila ia
memberikan salah satu istrinya bersikap bebas dan berbuat
maksiat, maka dalam hal ini suami pun ikut menanggung dosa
perbuatan istri tersebut. “Wahai orang-orang yang beriman, jagaah
diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan keluarga dari kalian api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6).

D. Pendapat Para Fuqaha Tentang Poligami

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi menginterpretasikan surat al-Nisa [4]: 3 secara


berbeda dengan pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar
Jassas Razi yang mengatakan dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim

12
dalam ayat tersebut tidak berarti anak yang ditinggal mati ayahnya
semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya juga.4
Al-Kasyani (W. 1191M)5 berpendapat, poligini dibolehkan tetapi
syaratnya harus adil. Namun jika seseorang khawatir tidak bisa berbuat
adil dalam nafkah lahir (sandang, pangan dan papan) dan nafkah batin
(membagi giliran tidur) terhadap istri-istrinya, maka Allah menganjurkan
kaum lelaki untuk menikah dengan satu istri saja. Karena bersikap adil
dalam nafkah [lahir-batin] merupakan kewajiban syar’i yang bersifat
dlarurah6, 40 dan itu sungguh berat sekali. Dlarurah berarti suatu
keperluan yang harus ditunaikan karena ia sangat penting dan pokok.
Antara bentuk perlakuan adil terhadap beberapa istri adalah nafkah lahir
yang berkaitan dengan materi (seperti makanan, tempat tinggal dan
pakaian) harus sama. Baik diberikan pada istri merdeka maupun hamba
sahaya, karena semua itu merupakan keperluankeperluan primer. Suami
juga dilarang mengganti kewajiban nafkah batinnya dengan uang.
Demikian pula bagi istrinya, tidak boleh memberikan uang kepada
suaminya agar mendapat jadwal giliran lebih dari istri yang lain.7

2. Mazhab Maliki

Dalam kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar


hukum poligini hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang
serta kewajiban membagi jadwal giliran terhadap istri-istrinya. Menurut
Imam Malik (w.179H/796 M) dalam buku AlMuwattha`--yang merupakan
buku fiqh pertama yang ditulis secara sistematik-- seorang hamba sahaya
dalam hal poligini juga sama dengan orang merdeka, mereka sama-sama
dibolehkan mempunyai istri sampai empat orang, karena ayat tersebut
bersifat umum.8 Meskipun ketika ini sudah tiada hamba-hamba sahaya,

4
Abu Bakar Jassas Razi, Ahkam al-Qur’an, Vol. 2, 57-58
5
Abu Bakar bin Mas`ud bin Ahmad Al-Kasyani (W. 1191M) adalah salah satu representasi ulama
Hanafiyah. Beliau adalah penulis buku Bada`i` al-Shana`i`fi Tartib al-Shara`i`, buku fiqh yang ditulis
dalam tujuh jilid.
6
Al-Kasyani, Bada`i` al-Shana`i`, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-`Arabi, 1982), cet. II, juz 2, 333
7
Ibid
8
Imam Malik, Al-Muwatha`, (Kairo: Dar Ihya Kutub al-Arabiyah, (t.th)) , juz 2, 543

13
tetapi tetap harus diakui bahwa pendapat ini progresif daripada pendapat
ulama fiqh lain yang sezamannya dalam mengakui hak-hak seorang hamba
sama dengan hak-hak yang merdeka. Menjadikan pendapat ini berbeda
dengan pendapat sebagian besar fuqaha yang mengatakan bahwa seorang
hamba hanya diperbolehkan menikahi dua istri saja, karena hak-hak hamba
sahaya ditetapkan hanya separo dari hak-hak orang merdeka. 9 Sementara
masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kewajiban bersikap
adil di antara para istri sudah menjadi ijma’ ulama yang tidak boleh
ditawar-tawar lagi.10 Secara umum, dalam masalah ‘keadilan’ di sini
menunjukkan bahwa poligini (baik untuk yang merdeka maupun hamba)
dalam pandangan ulama Malikiyah tak berbeda dengan pendapat sebagian
besar ulama lainnya, yakni poligini dibolehkan tetapi yang menjadi
pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.

3. Mazhab Syafi`i

Imam Syafi`i (w.204 H/820 M) tidak membahas poligini secara


spesifik dalam buku fiqhnya yang sangat monumental, yakni al-Umm.
Beliau hanya membicarakan perempuan yang boleh atau tidak boleh
dipoligini dan mengenai batasan jumlah istri. Menurut Imam Syafi`I,
perempuan yang tidak boleh dipoligini secara mutlak dalam waktu yang
sama adalah kakak beradik, baik ia seorang hamba maupun merdeka. 11
Demikian juga larangan mengawini antara perempuan dan tantenya
(baik‘ammah maupun kholah), sebagaimana dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah12

9
Iffatul Umniati dan Fathonah, Ibid
10
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid fi nihayah al-Muqtashid, (Dar al-fikr, (t.th). juz 2), 42
11
Imam Al-Syafi`I, Al-Umm, (Kairo: Dar al-Wafa`, cet I, juz V, 2001), 6
12
Ibid., 10. Hadits Abu Hurairah tersebut berbunyi: ‚La yaj`ma baina al-mar`ah wa ammatiha wa
baina al-mar`ah wa khalatiha‛. Hadith riwayat Al-Bukhari dalam kitab al-Nikah, bab La tunkah al-
mar`ah ala ammatiha, hadith no. 4820, juz 5, 1965

14
4. Mazhab Hambali

Dalam hal ini, Ibnu Taymiyah (w.728 H/1328 M) menjelaskan,


poligini termasuk salah satu keistimewaan dalam syariat Islam sepanjang
masa karena mengandung banyak hikmah di sebaliknya, baik bagi lelaki
dan perempuan maupun masyarakat sosial pada umumnya.13Manakala di
sudut lain, masalah monogami malah menjadi perhatian penting bagi Ibnu
Quddamah. Senada dengan Imam Al-Nawawi (mazhab Syafi’i), Ibnu
Quddamah pun berpendapat bahwa monogami adalah lebih baik karena
bersikap adil bukanlah hal yang mudah dalam poligini. Sedangkan
bersikap adil adalah wajib bagi yang berpoligini. 14 Sehubungan itu, Ibnu
Quddamah bersama Imam Al-Hajawi, Ibnu Taymiyah dan Ibnu AlQayyim
menjelaskan, jika calon seorang istri mengajukan syarat agar tidak dimadu,
dan calon suami setuju, maka suami tidak boleh poligini. Tetapi jika suami
melakukannya, maka istri tersebut berhak mengajukan gugatan untuk
membubarkan pernikahannya. Begitu juga kalau seorang lelaki menikahi
wanita yang berasal dari keluarga yang tidak biasa dimadu, maka secara
otomatis kebiasaan tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh
suami, yaitu tidak berpoligini. 55 Pendapat ini merujuk kepada hadits Nabi
yang melarang Ali ibn Abi Talib menikahi perempuan lain setelah
menikah dengan puteri beliau.

E. Ketentuan Poligami Dalam Perundang-Undangan

Pasal 5 Ayat 1 Hukum A Undang-Undang No 1 Tahun 1974


Tentang perkawinan, yaitu mengenai adanya persetujuan istri/istri-istri bagi
suami yang mengajukan izin poligami,adalah barsifat mengatur kebolehan
berpoligami, bukan menutup kebolehannya. Dalam pandangan fiqih

13
Ibnu Taymiyah, Majmu` Fatawa Ibnu taymiyah, (tahkik Abdurrahman bin Muhammad bin
Qasim An-Najdi), (Beirut: Dar Al-Arabiyah, juz 32, 1398 H), 269.
14
4Ibnu Quddamah, Abdurrahman, Al-Syarh Al-Kabiir dan Al-Bahuty, Kasyaaf Al-Qanna` fisyarh al-
Iqna`I karya Al-Hajawy, Beirut: Daar al-Fikr, 1402 H, 339

15
poligami diperbolehan dengan beberapa persyaratan : Yang menikah adalah
laki-laki, jumlahnya hanya dibatasi empat orang perempuan sesuai dengan
surat An-Nisa ayat 3, dam kesanggupan laki-laki untuk dapat berbuat adil
atas cinta, giliran menggaulinya, dan pemberian nafkah.

F. Akibat Hukum Dalam Poligami

Poligami adalah suatu perkawinan lebih dari satu. Poligami di


bedakan menjadi dua, yaitu poligami dan poliandri. Poligami adalah
seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu. Poliandri adalah seorang
istri yang memiliki suami lebih dari satu. Fokus penulis dalam skripsi ini,
yaitu Akibat Hukum Poligami Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Matra Thailand
Nomor 1448 tentang perkawinan.

Akibat Hukum menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,


hak-hak dan kewajiban suami dan istri-istri yang berpoligami sama dengan
hak-hak dan kewajiban suami-istri yang monogami. Sedangkan Akibat
hukum poligami menurur Matra 1448 Thailand, hak-hak dan kewajiban
suami-istri yang berpoligami tidak sama dengan hak-hak dan kewajiban
suami-istri yang monogami. Permasalan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:

1) Akibat Hukum Poligami Menurut Undang-undang Indonesia


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
2) Akibat Hukum Poligami Menurut Matra Thailand Nomor 1448
Tentang Perkawinan,
3) persamaan dan perbedaan akibat hukum poligami menurut
Undang-undang di Indonesia dan Matra Thailand.

Tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui tentang akibat


hukum poligami menurut Undang-undang di Indonesia dan Thailand,
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan poligami di Indonesia dan di
Thailand. Metode penelitian ini adalah: dengan berdekatan Library

16
Research. yaitu membuat penelitian atau penyelidikan terhadap sesuatu
nash yang terdapat dalam buku-buku atau kitab-kitab, dan menghayati
serta menganalisi masalah yang berkaitan dengannya. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti adalah dapat diketahui
bahwa:

1) Akibat Hukum menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,


hak-hak dan kewajiban suami dan istri-istri yang berpoligami
sama dengan hak-hak dan kewajiban suami-istri yang monogami.

2) Akibat hukum poligami menurur Matra 1448 Thailand, hak-hak


dan kewajiban suami-istri yang berpoligami tidak sama dengan
hak-hak dan kewajiban suami-istri yang monogami.
3) Persamaan akibat hukum poligami dalam Undang-undang nomor
1 tahun 1974 dan Matra Thailand nomor 1448 yaitu kedudukan
anak, sebagaimana menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan atau anak yang dilahir tanpa izin maka anak tersebut
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja.
Perbedaan akibat hukum poligami dalam

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Matra Thailand nomor


1448 yaitu hak-hak dan kewajibannya, dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 hakhak dan kewajiban suami-istri yang
berpoligami sama dengan hak-hak dan kewajiban suami-istri yang
monogami, sedangkan menurut Matra Thailand nomor 1448, hak-
hak dan kewajiban suami-istri yang berpoligami tidak sama dengan
hak-hak dan kewajiban suami-istri yang monogami. Kata Kunci:
Akibat Hukum Poligami Menurut Undangundang Nomor 1 Tahun
1974 dan Matra Thailand Nomor 1448.

17
18
19
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani secara etimologis, poligami


merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti
istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih
dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat
dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari
satu orang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan
sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami
lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau
suami kedua, ketiga dan seterusnya.
Berdasarkan dasar hukum yang sudah dijelaskan dalam pembahasan Poligami
diperbolehkan dalam islam dengan ketentuan :
1. Mampu berlaku adil
2. Jumlah istri maksimal 4 orang
3. Mampu memberi nafkah lahir dan batin
4. Berniat semata-mata untuk ibadah kepada Allah
5. Dilarang menikahi dua wanita yang bersaudara
6. Mampu menjaga kehormatan para istri

2. Saran
Materi Poligami sangat penting untuk dipelajari untuk menghindari
kesalahpahaman tentang arti dan hukum poligami di masyarakat. Dengan
demikian pembaca diharapkan lebih paham mengenai hukum berpoligami dalam
islam

20
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/mobile/Yudanese/poligami-dalam-perspektif-ulama

https://id.theasianparent.com/syarat-poligami/

21

Anda mungkin juga menyukai