FIQIH MUNAKAHAH
DISUSUN OLEH :
ALIF DAFA
NURHAN RAMADHAN
(2002624)
DOSEN PENGAMPU :
MAWARDI, S.Sy.,MH
NIDN: 2122029005
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yamg dengan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah FIQIH MUNAKAHAH tepat pada waktu nya. Sholawat serta
salam semoga tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad saw sang manajer sejati
islam yang selalu bercahaya dalam sejarah hingga saat ini. Dalam penulisan makalah ini tidak
lupa pula saya mengucapkan terimaksih banyak kepada dosen pengampu mata kuliah fiqih
munakahah. Tentunya dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kesalahan dan
ketidak sempurnaan maka dari pada itu saya selaku penulis meminta maaf yang sebesar-besar
nya kepada dosen pengampu dan kawan-kawan semua nya.
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................i
I. PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
I.1 Latar belakang........................................................................................................................1
I.2 Rumusan masalah ..................................................................................................................1
II. PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................
2.1 Pengertian Poligami..................................................................................................................2
2.3 Hukum Poligami......................................................................................................................2
2.3 Persyaratan Poligami ...............................................................................................................3
2.4 Pengertian dan Hukum Poliandri..............................................................................................3
III. PENUTUP.....................................................................................................................................7
4.5 Kesimpulan..............................................................................................................................7
PENDAHULUAN
Manusia pada hukumnya harus mengetahui syariat-syariat islam atas apa yang ingin
dilaksanakan dan di buat secara islam dan keagamaan, terutama pada pembahasan kita pada
saat ini yaitu mengenai poligami dan poliandri yang sering kita jumpai di kehidupan kita
sehari-hari yang banyak sekali menjadi pro dan kontra bagi setiap masyarakat. Disini saya
juga akan membahas mulai dari pengertian poligami dan poliandri,hukum melakukan
poligami dan poliandri, dan persyaratan melakukan poligami. Banyak pandangan yang
berbeda antara poligami dan poliandri secara hukum islam dan undang-undang yang berlaku
di Indonesia. Maka dari pada itu akan kita bahas Bersama-sama pada materi poligami dan
poliandri berikut ini.
Rumusan Masalah
A. Pengertian Poligami
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari
dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan.
Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84). Secara terminologis
(ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki
pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang
memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun
dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan
yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.
Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih
dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan ini
didasarkan pada QS. al-Nisa‟ (4): 3 yang berbunyi:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”
Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu boleh
lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan maksimal empat
isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam sejarah dan Nabi
Muhammad Saw. melarang melakukan poligami lebih dari empat isteri (al-Syaukani, 1973, I: 420)
B. Hukum Poligami
Syarat poligami di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan, yang
menyebutkan bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada suami untuk beristri
lebih dari satu jika sang istri nggak bisa menjalankan kewajibannya, istri memiliki cacat
badan atau penyakit yang nggak bisa disembuhkan, dan jika istrinya nggak dapat melahirkan
keturunan.
Suami yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari satu orang harus memenuhi
syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan, yakni:
D. Pengertian Poliandri
Secara etimologis, poliandri berasal dari bahasa Yunani yaitu polus: banyak, aner:
negative, andros: laki-laki. Secara terminologis, poliandri diartikan dengan perempuan yang
mempunyai suami lebih dari satu. Dalam masyarakat, perkawinan poligami lebih banyak
dikenal daripada perkawinan poliandri.
Poliandri adalah satu orang perempuan memiliki banyak suami, atau seorang istri yang
memiliki dua suami atau lebih, secara bersamaan.Disebut poliandri fraternal jika si suami
beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik
kandung.Apabila disinkronkan dengan definisi dari poligini, maka bentuk perkawinan
poliandri tidak dapat menemui sisi legalnya, baik secara hukum.
E. Hukum Poliandri
Dalam perspektif normatif yuridis, para ulama fikih sepakat bahwa hukum poliandri
adalah haram, hal ini berdasarkan firman Allah:“dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki” Ayat di atas menunjukkan
bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikah oleh laki-laki adalah wanita yang sudah
bersuami yang dalam hal ini disebut al-Muhshanât.Allah menamakan mereka dengan al-
Muhshanât karena mereka menjaga farji-farji(kemaluan) mereka dengan menikah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Imam Syâfi’i
yang menyatakan bahwa kata al-Muhshanât yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah
bermakna wanita merdeka tetapi wanita yang bersuami (Dzawah al-Azwâj).
Bahkan Imam Syâfi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan “wanita-
wanita yang bersuami, baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami
mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai atau
fasakh nikah, kecuali al-sabâyâ (budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang yang
suaminya tidak ikut tertawan bersama.Untuk itu jelas bahwa wanita yang bersuami haram
dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain bahwa ayat di atas merupakan dalil Alquran
atas haramnya poliandri. Adapun dalil al-Sunnah yang melarang poliandri adalah hadis
Rasulullah yang berbunyi:
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka (pernikahan yang
sah)
wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya”
Hadis tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap
sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang pertama, dengan kata lain hadis tersebut
menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami
saja.Dengan demikian jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah, baik
berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun dalil al-Sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas
PENUTUP
KESIMPULAN
Poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang
dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan ini
didasarkan pada QS. al-Nisa‟ (4): 3.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Hal ini
tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya
boleh mempunyai seorang suami.
Suami yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari satu orang harus
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan, yakni:
1. Adanya persetujuan dari istri pertama atau istri-istri lainnya
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka
Poliandri adalah satu orang perempuan memiliki banyak suami, atau seorang istri
yang memiliki dua suami atau lebih, secara bersamaan.Disebut poliandri fraternal jika
si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan
kakak adik kandung.
Dalam perspektif normatif yuridis, para ulama fikih sepakat bahwa hukum poliandri
adalah haram, hal ini berdasarkan firman Allah:“dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki” Ayat di
atas menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikah oleh laki-laki
adalah wanita yang sudah bersuami yang dalam hal ini disebut al-Muhshanât.Allah
menamakan mereka dengan al-Muhshanât karena mereka menjaga farji-
farji(kemaluan) mereka dengan menikah. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam
Syâfi’i yang menyatakan bahwa kata al-Muhshanât yang dimaksud dalam ayat
tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka tetapi wanita yang bersuami (Dzawah al-
Azwâj).