Disusun Oleh:
Kelompok 2 (HKI 6B)
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi monogami dan poligami?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam mengenai monogami dan
poligami?
3. Bagaimana thalaq (perceraian) menurut hukum perspektif hukum
Islam dan Undang-Undang.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Chandra Sabtia Irawan, Perkawinan Dalam Islam: Monogami atau Poligami?, (Yogjakarta: An-
Naba, 2007), hlm. 17-18
karena istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal
dengan poliandri. Jadi kata poligami khusus bagi laki-laki yang
mempunyai lebih seorang istri.
Dapat disimpulkan poligami adalah suatu ikatan perkawinan,
dimana sorang suami dibolehkan untuk memiliki lebih dari satu orang
istri sebagai pasangan hidupnya dalam waktu bersamaan dan dibatasi
hanya empat orang istri.2
B. Monogami dan Poligami Dalam Pandangan Islam
Mahfud Zuhdi menjelaskan asas monogami telah diletakkan oleh
Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam
Islam yang bertujuan landasan dan modal utama guna membina kehidupan
rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Pada dasarnya dapat
dikatakan bahwa asas perkawinan dalam islam adalah monogomi. Hal ini
dapat dipahami dari surat an-Nisa ayat 3:
وان خفتم اال تقسطىا فى اليتمى فاوكحىا ما طاب لكم مه الىساء مثىى و ثلث وربع
)٣( فاوخفتم اال تعذلىا فىاحذة اوما ملكت ايما وكم رلك ادوى اال تعىلى
Artinya: “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Allah menjelaskan boleh beristri empat tetapi peluang itu dibarengi
oleh kelanjutan ayat tersebut yakni berlaku adil sesama istri-istri dan anak-
anak. Jika seseorang suami takut atau cemas untuk tidak mampu berlaku
adil, maka baginya cukup satu istri saja.
Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara
lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena Allah telah berfirman bahwa
2
Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima, Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia, (Vol. III No.2, 2015), hlm. 100-101
manusia tidak bisa berlaku adil secara hakiki. Oleh sebab itu berpoligami
harus di hindari agar isteri-isteri itu nantinya tidak terkatung-katung.
Perkawinan dalam Islam bukan sekedar hanya untuk memenuhi
kebutuhan secara biologis saja, akan tetapi yang lebih penting adalah
mewujudkan ketentraman batin serta rasa cinta dan kasih sayang satu sama
lain. Berpoligami dipandang boleh oleh sebagian kalangan karena mereka
berpandangan bahwa dasar hukum berpoligami terdapat dalam QS. An-
nisa Ayat (3).
Jelas dan dapat dipahami walaupun Allah memberi peluang untuk
beristri sampai dengan empat, tetapi sangat ditekankan adanya keadilan
sedangkan sifat dari manusia itu tidak akan mampu berlaku adil.3
Walaupun hukum perkawinan Islam berasaskan monogami,
poligami bukanlah hal yang sama sekali dilarang. Dalam beberapa
keadaan, dapat diadakan penyimpangan terhadap asas monogami. Namun,
penyimpangan terhadap asas monogami tersebut, harus memenuhi
beberapa ketentuan, diantaranya adalah:
1. Bertujuan untuk mengurus anak yatim.
2. Pembatasan jumlah istri.
3. Akan sanggup adil diantara isteri-isterinya itu.
4. Jangan ada hubungan saudara antara isterinya dengan calon istri
yang akan dinikahinya.4
C. Thalaq (Perceraian)
1. Pengertian Perceraian
Secara bahasa talak atau perceraian dalam hukum Islam menurut
Zainuddin al-Malibari berasal dari kata hallul qaid yakni “melepaskan
ikatan”. Sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan nikah
dengan lafadz yang akan disebut kemudian. Pada prinsipnya tujuan
perkawinan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk
3
Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima, Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia, (Vol. III No.2, 2015) hlm. 101-102
4
Nur Hayati, Poligami dalam Perspektif Hukum Islam, (Vol. 3 No.1, 2005), hlm. 41-42
mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah, oleh karenanya untuk menggapai tujuan tersebut dalam
hukum perkawinan Islam menganut prinsip mencegah terjadinya
perceraian.5
2. Dasar Hukum Thalaq atau Perceraian
Adapun dasar hukum adanya talak atau perceraian adalah firman
Allah dalam surat At-Talaq ayat 1:
...يايهاالىبي ارا طلقتم الىساء فطلقىهه لعذتهه واحصىا العذة والتقىا هللا ربكم
)١(
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat menghadapi
iddahnya (yang wajar) dan hitungan waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah tuhanmu”.
Selanjutnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 227.
)٢٢٧( وان عزمىا الطالق فان هللا سميع عليم
Artinya: “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
3. Syarat-syarat Thalaq atau Perceraian
Syarat-syarat talak atau perceraian meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Pihak yang menjatuhkan talak.
b. Kata-kata yang dipergunakan menjatuhkan talak (sighah talak).
c. Niat atas dasar kehendak bebas.
d. Bilangan talak.
e. Waktu menjatuhkan talak.
f. Persaksian dalam talak.6
4. Hukum Perceraian dalam Islam
Perceraian dalam hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang
jelek dan sebisa mungkin untuk dihindari. Adapun untuk hukum
5
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 276.
6
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004), hlm.
169
perceraian dilihat dari sisi kemaslahatan dan kemudharatannya
Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam membagi hukum
percerian menjadi empat bagian yaitu: Wajib, makruh, sunat dan
haram.7
a. Wajib
Hukum melaksanakan perceraian menjadi wajib apabila atas
putusan hakim dalam hal terjadinya perselisihan yang
berkepanjangan antara suami isteri dan sudah diadakan upaya
perdamaian oleh dua orang hakim, selanjutnya kedua hakim
sudah memandang perlu umtuk mengadakan perceraian yang
bersifat ba’in sughra’.8
b. Haram
Adapun hukum talak menjadi haram apabila ikrar talak
dilakukan tanpa adanya alasan yang jelas. Karena tidak ada
kemaslahatan yang akan dicapai dari perbuatan tersebut.
c. Makruh
Yaitu hukum asal dari talak itu sendiri.
d. Sunat
Adapun hukum talak bisa menjadi sunah apabila suami
tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibanya
(nafkahnya) atau perempuan tidak mampu menjaga kehormatan
dirinya.
5. Macam-Macam Perceraian
a. Perspektif Hukum Islam
Perceraian dalam hukum Islam atau putusnya hubungan
perkawinan selanjutnya disebutkan sebagai talak, perceraian atau
putusnya perkawinann dalam hukum Islam terjadi karena
kematian dan thalaq.
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1986), hal. 402.
8
ibid. hal 403.
1) Putusnya Perkawinan Karena Kematian
Putusnya perkawinan karena adanya sebab kematiann
salah satu dari suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan
berhak mewarisi atas harta peninggalan yang meninggal,
karena adanya kesepakatan yang umum dikalangan ulama
tentang kausalitas sebab-sebab kewarisan yakni karena
adanya hubungan perkawinan, Bagi pihak isteri yang dengan
meninggalnya suami tidak dibolehkan segera melangsungkan
perkawinan yang baru dengan laki-laki yang lain karena
harus menanggung masa iddah.
2) Putusnya Perkawinan Karena Talak
Talak adalah suatu perbuatan yag dilakukan oleh suami
berupa menolak berlangsungnya perkawinan. Adapun thalaq
adalah cara yang lazim digunakan untuk menghentikan
perkawinan Sedangkan perceraian yang dimaksud disini
adalah perceraian dengan mengucapkan ikrar talak yang
langsung jatuh (munjas) yaitu ikrar talak yang diucapkan dan
jatuh tanpa adanya sarat apapun, juga tidak disandarkan pada
waktu yang akan datang maupun adanya penangguhan
jatuhya talak.
b. Perspektif Undang-undang
Macam-macam perceraian atau putusnya perkawinan
menurut undang-undang perkawinan bisa terjadi sebab kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan, hal ini sebagaimana
tercantum dalam Pasal 38 huruf a, b dan c Undang-Undang
perkawinan No.1 tahun 1974. Adapun penjelasan sebab-sebab
perceraian adalah sebagai berikut9:
1) Kematian
9
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004), hlm.
171
Putusnya perkawinan sebab kematian dari salah satu
suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan berhak untuk
mewarisi harta peninggalan yang ditingalkan sesuai dengan
Pasal 35 ayat 1 undang-undang perkawinan. Walaupun
dengan kematian salah satu dari suami atau isteri perceraian
secara langsung terjadi dan tidak dimugkikan hubungan
mereka disambung lagi namun bagi pihak isteri tidak bisa
segera melangsungkan perkawinan yang baru dengan laki-
laki lain, karena bagi isteri berlaku masa tunggu.
Adapun bagi isteri yang cerai karena kematian
suaminya ditentukan jangka waktu masa tunggu selama 130
hari hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 39 ayat (1) dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi
“Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan selama 130 (seratus tiga puluh hari).
2) Perceraian
Perceraian atau putusnya hubungan perkawinan yang
dimaksudkan di atas adalah perceraian yang dilakukan atas
kehendak suami atau isteri yang diajukan dan dilakukan atas
adanya izin setelah melalui proses persidangan dan
disaksikan oleh pihak pengadilan, apabila terdapat alasan-
alasan perceraian yang dimaksudkan. Adapaun mengenai
prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam Pasal 20 ayat
(1) peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 bahwa putusnya
perkawinan dengan jalan perceraian dapat terjadi dengan dua
cara dan pengajuan yaitu: perceraian yang diajukan oleh
pihak suami ataupun pihak isteri ataupun kuasa hukum dari
suami atau isteri tersebut dan selanjutnya perceraian yang
diajukan oleh pihak suami disebut dengan cerai talak dan
yang diajukan oleh pihak isteri disebut cerai gugat.
6. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang
Alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam PP No.9 Tahun 1975
tersebut adalah:
a. Salah satu pihak tersebut berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.10
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan lain
yang sah.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun
atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan pekerjaanya sebagai
suami atau iseri.
e. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam
rumah tangga.
10
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 87
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syari’at Islam maupun Undang-Undang sebenarnya menganjurkan
setiap pernikahan hanya untuk memiliki satu orang istri saja atau dalam
hal ini menganut asas monogami. Namun, naluri setiap manusia berbeda-
beda. Ada kalanya seorang laki-laki memiliki nafsu lebih untuk menikahi
dua orang perempuan atau lebih. Ketika seorang suami memiliki dua
orang istri maka lazim disebut sebagai poligami.
Tidak semua keadaan kehidupan rumah tangga dalam keadaan
baik-baik saja. Setiap rumah tangga pasti memiliki problematika masing-
masing, dan hal itu merupakan hal yang wajar. Namun, ketika
kegoncangan dirumah tangga sudah tidak dapat dicarikan solusi terbaik
lagi, maka jalan satu-satunya adalah perceraian. Perceraian memang
sebuah perkara yang halal hukumnya, namun dibenci oleh Allah Swt.
Namun tidak mengapa, jika jalan perceraian itu ditempuh dengan tujuan
untuk kebaikan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA