Anda di halaman 1dari 9

ABSTRAK

Fenomena yang berkembang di masyarakat telah bisa terjadi praktik


pernikahan dini dengan berbagai alasan. Salah satunya kekhawatiran terjadinya
kehamilan di luar nikah, dalam hukum Islam sendiri sebenarnya batasan usia
pernikahan banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama, sehingga
alasan tersebut perlu dikaji dari sudut maqashid syariah sehingga ditemukan
makna secara rinci dari kebolehan atau tidaknya dari sudut maslahah maupun
mafsadah.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana tinjauan maqasid
syariah terhadap pernikahan dini dengan alasan kekhawatiran terjadinya hamil di
luar nikah?
Hasil penelitian menunjukan: Pernikahan dini dengan alasan kekhawatiran
terjadinya hamil di luar nikah dalam tinjauan Maqasid Syari’ah diperbolehkan
dilihat dari aspek Hifz al-nasl, karena pernikahan dini bisa menjadi pilihan terbaik
saat diyakini secara pasti dapat menyelamatkan seseorang dari perbuatan zina atau
hubungan seksual di luar nikah dan hal tersebut merupakan perintah agama,
namun maksud maslahah dan mafsadat dalam Maqasid Syari’ah tidak hanya dari
sudut pribadi, Karena itu harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat
menolak kemudaratan yang menimpa nash orang banyak sehingga keberadaan
pernikahan dini dari Aspek Hifz al-nafs mengandung resiko terhadap reproduksi
wanita yang rawan kematian, aspek hifz al-qal, merenggut kesempatan
mengembangkan potensi akal dan pengetahuan, aspek hifz al- mall berdampak
pada rendahnya ekonomi keluarga karena minimnya skill dan pada aspek Hifz al-
din rendahnya tingkat pendidikan orang tua dapat berdampak terhadap kurangnya
pengetahuan anak dalam bidang agama. Sehingga usia perkawinan perspektif
maqasid syariah merupakan usia di mana seseorang telah siap dan sanggup
melakukan perkawinan hingga dapat mencapai tujuan utama dari perkawinan
yang sesuai dengan anjuran syari’at.

Kata kunci: Maqasid Syari’ah, Pernikahan Dini, Kehamilan, Diluar Nikah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt.,
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.1 Allah telah menjadikan segala sesuatu di dunia ini
berpasangpasangan. Sesuai dengan pernyataan Allah Swt. dalam Al-Qur’an
surat al-Dzariyat: 49

‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْق َنا َز ْو َج ِنْي َلَعَّلُك ْم َتَذ َّك ُر ْو َن‬

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan


supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.

Menikah sesungguhnya merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah


Swt kepada umat manusia. Maka seseorang yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah diperintahkan untuk menjalankan syari’at ini.
Sebab dengan jalan pernikahan maka akan terpelihara dua perangkat penting
dari setiap diri manusia, yakni pandangan mata dan juga kemaluan (farji).
Dengan adanya perkawinan akan membuat seseorang merasa tenteram
dan dapat berkasih sayang dengan pasangannya. Perasaan kasih sayang yang
menyertai setiap diri manusia akan tersalurkan dengan baik sehingga
tenteramlah perasaan orang yang bersangkutan. Demikian pula dengan
pasangannya. Agama Islam sangat menjaga kehormatan manusia. Cara yang
diridhai Allah untuk menjaga kehormatan manusia dengan cara pernikahan.
Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur'an, sunah, dan iima'.
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka kawinilah
wanita-wanita lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (an Nisaa':
3). Juga firman-Nya yang artinya, “Dan kawinkanIah orang-orang yang

1
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), 6.
sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan.” (an-Nuur:32.)
Sedangkan di dalam sunah, Nabi saw. Bersabda,

‫ِط‬ ‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِم‬


‫ َو َمْن ْمَل َيْس َت ْع‬، ‫ َو َأْحَص ُن ْلَف ْر ِج‬، ‫ َفِإَّنُه َأَغُّض ْلَبَص ِر‬، ‫َيا َم ْع َش َر الَّش َباِب َم ِن اْس َتَطاَع ْنُك ُم اْلَباَءَة َفْلَيَتَز َّو ْج‬
‫ِه ِب ِم ِإ‬
‫َفَعَلْي الَّص ْو َف َّنُه َلُه وجاٌء‬
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah
mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat
menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang
belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu
merupakan obat baginya. (HR Bukhari-Muslim)2
Menurut para ahli ilmu usul fiqih dan bahasa, kata nikah digunakan
secara haqiqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara
majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekiranya kata nikah tertera di dalam Al-
Qur'an dan sunah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah
hubungan intim.3
Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk
larangan, yang terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang
hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan,
dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud
dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan
Maqashid al-syariah.
Maqashid al-Syariah ialah tujuan al-syar’i (Allah Swt dan Rasulullah
Saw) dalam menetapkan hukum Islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dari
nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebagai alasan logis bagi

2
Abu ‘Abdillah Abdul Salam, Ibanatul Ahkam, (Al-Bidayah, 2018) hlm. 182 vol. 03
3
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr 1984)
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.
Fenomena yang berkembang di masyarakat telah biasa terjadi praktik
pernikahan dini dengan berbagai alasan. Salah satunya kekhawatiran
terjadinya kehamilan di luar nikah. Dalam hukum Islam sendiri sebenarnya
batasan usia pernikahan banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Di Indonesia mengacu pada undang – undang perkawinan pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dimana Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Berdasarkan aturan tersebut maka pernikahan di bawah usia yang
telah ditetapkan undang – undang pada prinsipnya tidak diperbolehkan.
Akan tetapi, dalam kondisi tertentu permohonan pernikahan di bawah umur
dapat dikabulkan jika memenuhi alasan-alasan hukum. Maka dari itu
penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut ditinjau dari
perspektif Maqasyid Syari’ah, dengan judul “Tinjauan Maqasid Syari’ah
Terhadap Pernikahan Dini Dengan Alasan Kekhawatiran Terjadi Kehamilan
Diluar Nikah.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti dapat
mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan Maqasid Syari’ah terhadap perikahan dini dengan
alasan kekhawatiran terjadinya hamil di luar nikah?

C.Tujuan
1. Untuk menganalisis tinjauan Maqasid Syari’ah terhadap perikahan dini
dengan alasan kekhawatiran terjadinya hamil di luar nikah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Praktek Pernikahan Dini Dengan Alasan Kekhawatiran Terjadinya


Hamil Di Luar Nikah
Pernikahan dini adalah fakta sosial yang terjadi di masyarakat yang
sangat kontra produktif terhadap anjuran normatif usia kawin legal formal.
Fenomena tersebut terjadi karena di masa sekarang banyak sekali terjadi
remaja yang hamil dahulu sebelum menikah yang disebabkan pergaulan
yang bebas. Hal tersebut juga menjadikan banyak orang tua dan remaja
sendiri yang ingin menikah mudah karena takut berbuat zina, terlebih
orang tua yang tidak ingin malu gara-gara anaknya hamil terlebih dahulu
sebelum menikah sedangkan anaknya dilihat berhubungan terlalu serius
dengan lawan jenisnya atau pacarnya dan terlihat sangat intim sekali.
demikian terkait pula dengan akibat keterbelakangan ekonomi keluarga
dan struktur anggota keluarga yang besar, yang menyebabkan mendorong
anggota keluarga untuk segera mengawinkan anaknya.
Disamping itu banyak juga remaja yang melakukan pernikahan dini
karena adanya kemauan sendiri dari remaja tersebut. Faktor diri dari
remaja itu sendiri menyebabkan pernikahan dini banyak terjadi pada masa
pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku
seksual yang kencendrungannya saat ini sebagai akibat pergaulan bebas
dan dipicu oleh akses layanan teknologi informasi tanpa batas dalam tanda
petik nuansa pornografi dan pornoaksi yang membuat mereka melakukan
aktivitas seksual sebelum menikah sehingga menyebabkan kehamilan,
yang kemudian solusinya adalah dengan menikahkan mereka.
Namun ada beberapa hambatan ketika berupaya memberikan
penyuluhan dan penyadaran terhadap ketidakbolehan pernikahan dini yang
terjadi di masyarakat antara lain
1. Perbedaan makna pernikahan dibawah umur dalam sudut pandang
agama dan Negara. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal
undang-undang perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah, kalau
tidak ada izin dari pengadilan agama, sedangkan dalam sudut pandang
agama, pernikahan dibawah umur ialah pernikahan yang dilakukan oleh
orang yang belum baliqh. Hal ini menyebabkan pandangan ulama lebih
condong pada aturan Islam dan menjadi.
2. Pergaulan bebas
Pergaulan bebas merupakan salah faktor penghambat dalam
menanggulangi pernikahan dini, kasus kehamilan di luar nikah karena
pergaulan bebas menjadi salah satu alasan menikahkan anak di usia
dini.
3. Pemahaman Masyarakat yang Masih Minim
Minimnya pemahaman masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah
pemahaman tentang dampak negatif dari pernikahan dini khususnya
bagi kesehatan mental, ibu saat hamil begitupun terhadap bayi yang ada
dalam kandungan.
Menurut para sosiolog, ditinjau dari segi sosial, pernikahan
Dibawah Umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara
berfikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai
aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya
pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 (sembilan belas)
tahun.4 Karena dengan bertambahnya umur dari seseorang, diharapkan
keadaan psikologinya juga akan makin bertambah matang. Perkawinan
pada unsur yang masih mudah akan banyak mengundang masalah yang
tidak diharapkan, karena segi psikologinya belum matang. Tidak jarang
pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena
perkawinan yang masih terlalu muda. Salah satu sebab kurang adanya
harmonisasi dalam keluarga itu dapat bertitik tolak pada umur yang relatif
masih muda ini, sehingga dengan bertambahnya umur cakrawalanya

4
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/islam_kontemporer/1240. pernikahan
dini dalam perspektif agama dan negara
makin bertambah luas. kesiapan pribadi untuk melaksanakan peran-peran
tertentu dan kesanggupannya untuk membentuk identitas dan kepribadian
anggota keluarga kelak. Begitu juga kematangan umur diharapkan terjadi
kematangan emosi dan pikiran. Seseorang telah mampu mengendalikan
emosinya, berpikir dengan baik, dan dapat menempatkan persoalan sesuai
dengan keadaan yang subjek inginkan. Faktor psikologis ini antara lain
seseorang dapat saling menerima, saling mengerti dan saling mempercayai
dan saling menolong.
Tidak dapat dipungkiri, ternyata batas umur yang rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan
berakibat pula pada kematian ibu hamil yang juga cukup tinggi pula.
Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi
terganggu. Wanita yang menikah di usia dini (di bawah 19 tahun) secara
mental belum siap menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan,
belum siap menjalankan peran sebagai seorang ibu dan belum siap
menghadapi masalah-masalah berumah tangga yang seringkali melanda
kalangan keluarga yang baru menikah karena masih dalam proses
penyesuaian. Sementara itu, remaja yang menikah di usia muda umumnya
belum memiliki kematangan jiwa dalam arti kemantapan berpikir dan
berbuat. Salah mengerti, mau menang sendiri (egois), mudah putus asa,
tidak bertanggung jawab merupakan ciri-ciri belum matangnya seseorang.
Hal itu terjadi karena mereka masih berada tahap peralihan dari masa
kanakkanak menuju masa dewasa. Pada umumnya remaja yang menikah
belum memiliki pandangan dan pengetahuan yang cukup tentang
bagaimana seharusnya peran seorang ibu dan seorang istri atau peran
seorang laki-laki sebagai bapak dan kepala rumah tangga. Keadaan
semacam itu merupakan titik rawan yang dapat mempengaruhi
keharmonisan dan kelestarian perkawinan. Maka dari itu kematangan jiwa
bagi calon mempelai sangat diperlukan agar perkawinan dapat
mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota
keluarga.5
B. Analisis Tinjauan Maqasid Syari’ah terhadap Perikahan Dini Dengan
Alasan Kekhawatiran Terjadinya Hamil Di Luar Nikah
Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang sangat penting.
Karena dengan perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan
hidup baik secara psikologis, social, maupun biologis. Seseorang yang
melangsungkan perkawinan, maka dengan sendirinya semua kebutuhan
biologisnya bisa terpenuhi. Kematangan emosi merupakan aspek yang
sangat penting untuk menjaga kelangsungan rumah tangga. Keberhasilan
suatu rumah tangga banyak ditentukan oleh kematangan emosi baik suami
maupun istri. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak
dilakukan dibawah tanggan, karena perkawinan bersifat sakral dan tidak
dapat dimanipulasikan dengan apapun.
Pernikahan merupakan salah satu sunah dan syariat Nabi
Muhammad Saw. Kata nikah sama juga memiliki arti al- wath yang
artinya berhubungan seksual. Sementara nikah secara terminologis
menurut para ahli fikih adalah akad (kontrak) sebagai cara agar sah
melakukan hubungan seksual. Hukum asal pernikahan adalah
jawaz/mubah (dibolehkan). Jumhur ulama’ berpendapat bahwa nikah
hukumnya sunah. Sementara az-Zahiri menyatakan wajib. Menurut Ulama
Malikiyah, bagi sebagian orang sunnah, sebagian lainnya mubah.
Perubahan hukum ini mengikuti berbagai latarbelakang penyebab
terjadinya perkawinan.6
Pernikahan dini merupakan suatu permasalahan yang tidak
dijelaskan khusus oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Karena itu Ulama tidak
serta merta menjastifikasikan hukum pernikahan dini sebagai sesuatu yang
dilarang atau dibolehkan. Al-syatibi mengemukakan bahwa tujuan pokok

5
Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hlm. 44
6
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu
Al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 2
disyari’atkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan itu akan terwujud dengan
terpeliharanya kebutuhan yang bersifat dharuriyat, hajiyat, dan
terealisasinya kebutuhan tahsiniyat bagi manusia itu sendiri.7
1. Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat yaitu segala hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan
mereka. Hal ini tersimpul kepada lima sendi utama: agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Adapun diantara lima sendi di atas yang
berhubungan dengan pernikahan dini adalah sebagai berikut:
a. Hifz al-nasl
Hifz al-nasl adalah kewajiban menjaga dan memelihara
keturunan dengan baik. Dalam hal menjaga keturunan, maka
dianjurkan untuk menikah. Pernikahan yang dilakukan seorang
lakilaki dan perempuan yang masih di bawah umur bisa mencapai
tujuan mulia sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah di dalam
AlQur’an, yakni agar terhindar dari perbuatan zina, sehingga hifz
al-nasl terjaga dengan baik.
Syari’at Islam sebenarnya memberikan sanksi yang tegas
terhadap pelaku zina, baik pria maupun wanita. Sanksi tersebut
diberlakukan wajib dengan hukuman dera 100 kali, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah Surat an-Nur (24) ayat 2.

7
Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwaafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, 6.

Anda mungkin juga menyukai