Anda di halaman 1dari 12

PEMINANGAN

SYARAT-SYARAT DAN AKIBAT HUKUMNYA

MAKALAH

Disusun Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam di Indonesia

Dosen Pengampu : Masdar, S.Th.,M.H

Oleh :

1. Efa Sufi Nurhayah 20190212039


2. Deni Riski Ramadhan 20190212032

PROGRAM STUDI HUKUM SYARIAH

FAKULTAS SOSIAL, EKONOMI DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA

PURWOKERTO

2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Peminangan
B. Landasan Hukum Peminangan
C. Syarat-syarat Peminangan
D. Akibat Hukum dari Peminangan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
nabi Muhammad SAW keluargannya, sahabat-sahabatnya dan para ahlul baitnya. Kami juga
berterima kasih kepada Bapak Masdar S.Th.I.,M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana
Islam di Indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Dalam makalah yang berjudul “PEMINANGAN SYARAT-SYARAT DAN AKIBAT


HUKUMNYA”. Penulis bermaksud menjelaskan secara detail tentang materi penalaran. Adapun
tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Pidana Islam di
Indonesia”. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan
makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Hukum Pidana Islam di Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa
yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami oleh siapapun pembacanya khususnya
Mahasiswa Hukum Syariah. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Purwokerto, 3 April 2022


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Peminangan dalam ilmu fiqih disebut dengan “khitbah” artinya
permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya
baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung, maupun dengan perantara pihak
lain yang dipercayainya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Di Indonesia,
Peminangan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam bab 1 (ketentuan
umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan. Peminangan merupakan
pendahuluan perkawinan, disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan
tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan atas pengetahuan dan
kesadaran dari masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun salah satu tujuan dari peminangan atau melamar ini adalah agar
dapat mempererat hubungan kedua pihak keluarga pria dan wanita, Namun,
faktanya tidak selamanya peminangan ini berujung pada jenjang pernikahan,
Bahkan ada hubungan pertunangan ini terputus di tengah jalan tanpa ada
kelanjutan, dan tidak sedikit timbulnya sengketa antara kedua belah pihak
keluarga disebabkan oleh putusnya pinangan. Oleh karena itu, melalui penulisan
ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai definisi dari peminangan, dan
akibat hukumnnya dalam perspektif hukum Islam dan undang-undang Islam
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan peminangan?
2. Bagaimana landasan hukum peminangan?
3. Bagaimana syarat-syarat peminangan?
4. Bagaimana akibat hukum dari peminangan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peminangan

Peminangan atau melamar pada masyarakat Indonesia merupakan suatu praktek


yang sudah biasa dilakukan, hal tersebut sudah sangat mendarah daging, sehingga
menjadi sebuah tradisi yang berlaku. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia yang akan
melangsungkan pernikahan akan mengadakan prosesi peminangan atau melamar terlebih
dahulu. Meminang adalah sebuah upaya dari pihak laki-laki untuk meminta kepada pihak
perempuan untuk menjadi istrinya.1 Meminang merupakan sebuah usaha pendahuluan
sebelum dilangsungkannya perkawinan, agar kedua belah pihak saling mengenal,
sehingga pelaksanaan pernikahan nantinya berdasarkan pandangan dan penilaian yang
jelas.

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyariatkan sebelum ada


ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan atas
pengetahuan dan kesadaran dari masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan.2
Sedangkan dalam pasal 1 Bab 1 kompilasi hukum Islam memberi pengertian bahwa yang
dimaksud peminangan ialah kegiatan-kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.3 Sedangkan dalam ilmu fiqh
disebut khitbah, artinya permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya, baik dilakukan oleh
laki-laki itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak yang dipercayainya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan agama.4

Adapun salah satu tujuan dari peminangan atau melamar ini adalah agar dapat
mempererat hubungan kedua pihak keluarga pria dan wanita, Namun, faktanya tidak

1
Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 41.
2
M. Zaenal Afani, Analisis Hukum Islam terhadap Proses Khitbah yang Mendahulukan menginap dalam
satu kamar Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013), 17.
3
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h. 1.
4
Djaman Nur, Fiqh munakahat, Semarang: Toha putra Semarang, 1993, h. 13.
selamanya peminangan ini berujung pada jenjang pernikahan, Bahkan ada hubungan
pertunangan ini terputus di tengah jalan tanpa ada kelanjutan, dan tidak sedikit timbulnya
sengketa antara kedua belah pihak keluarga disebabkan oleh putusnya pinangan.

B. Landasan Hukum Peminangan


Menurut ulama fikih, sebagai pendahuluan dari nikah, melakukan khitbah
hukumnya adalah mubah (boleh), selama tidak ada larangan syarak untuk meminang
wanita tersebut, seperti wanita itu sudah menjadi istri orang atau telah dipinang orang
lain. Karena tujuan peminangan adalah sekedar meninjau kerelaan yang dipinang untuk
dijadikan istri sekaligus sebagai janji untuk menikahinya. Sebagaimana ulama
berpendapat bahwa peminangan boleh melihat wanita yang akan dipinang itu pada
bagian-bagian yang dapat menarik perhatian pada perkawinan yang akan datang untuk
mengekalkan adanya suatu perkawinan kelak tanpa menimbulkan adanya suatu keragu-
raguan atau merasa tertipu setelah terjadi akad nikah. 5 Pinangan atau lamaran seorang
laki-laki kepada seorang perempuan boleh dengan ucapan secara langsung maupun secara
tertulis maupun secara sindiran sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 235.
‫ت َْذ ُكرُوْ نَه َُّن َو ٰل ِك ْن اَّل‬Q‫ ُك ْم ۗ َعلِ َم هّٰللا ُ اَنَّ ُك ْم َس‬Q‫ ۤا ِء اَوْ اَ ْكنَ ْنتُ ْم فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس‬Q‫ ِة النِّ َس‬Qَ‫طب‬
ْ ‫ه ِم ْن ِخ‬Qٖ ِ‫تُ ْم ب‬Q‫َّض‬
ْ ‫ا َعر‬QQ‫َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َم‬
‫ا فِ ْٓي‬Q‫وا اَ َّن هّٰللا َ يَ ْعلَ ُم َم‬Q ْٓ ‫هٗ ۗ َوا ْعلَ ُم‬Qَ‫ َغ ْال ِك ٰتبُ اَ َجل‬Qُ‫اح َح ٰتّى يَ ْبل‬ ِ ‫ْز ُموْ ا ُع ْق َدةَ النِّ َك‬ ِ ‫اع ُدوْ ه َُّن ِس ًّرا آِاَّل اَ ْن تَقُوْ لُوْ ا قَوْ اًل َّم ْعرُوْ فًا ەۗ َواَل تَع‬
ِ ‫تُ َو‬
‫ࣖ اَ ْنفُ ِس ُك ْم فَاحْ َذرُوْ هُ ۚ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َحلِ ْي ٌم‬
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran
atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk
menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang
baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya.
Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-
Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam pasal 11,
12, dan 13 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjelaskan bahwa peminangan dapat
langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan, akan tetapi dapat
pula diwakilkan oleh orang lain atau perantara yang dapat dipercaya. Agama Islam
membenarkan bahwa sebelum dilangsungkannya suatu perkawinan boleh diadakan
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 50.
peminangan atau khitbah. Calon suami diperbolehkan melihat calon istri dalam batas-
batas kesopanan Islam yakni melihat wajah dan telapak tangan, dengan disaksikan oleh
sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan, dengan tujuan saling mengetahui
dan mengenal satu sama lain.
C. Syarat-syarat Peminangan

Ada dua macam syarat-syarat meminang, yaitu:

1) Syarat mustahsinah

Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa


anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar ia
meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu, sehingga akan
menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini
bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, tetapi hanya
berupa anjuran dan kebiasaan yang baik saja. Tanpa syarat-syarat ini dipenuhi,
peminangan tetap sah.Yang termasuk syarat-syarat mustahsinah ialah:

a. Wanita yang dipinang itu hendaklah sejodoh, dengan laki-laki yang


meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama
baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaan, sama-sama berilmu dan
sebagainya.
b. Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang mempunyai sifat
kasih sayang dan wanita yang peranak.
c. Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang jauh hubungan
darah dengan laki-laki yang meminangnya.
d. Hendaklah mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari
wanita yang dipinang. Sebaliknya yang dipinang sendiri harus mengetahui
juga keadaan yang meminangnya.6
2) Syarat lazimah

6
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan bintang, 2010, h. 34-35.
Yang dimaksud syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan.7 Dengan demikian sah peminangan tergantung dengan
adanya syarat-syarat lazimah, yang termasuk di dalamnya yaitu:
a. Wanita yang dipinang tidak istri orang lain dan tidak dalam pinangan laki-
laki atau apabila sedang dipinang oleh laki- laki lain, laki-laki tersebut
telah melepaskan hak pinangnya.8
b. Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah talak raj’i, karena yang
lebih berhak menikahinya adalah mantan suaminya. Mantan suaminya
boleh merujuknya kapan saja dia kehendaki dalam masa iddah itu.

D. Akibat Hukum dari Peminangan


a) Akibat Hukum Peminangan Dalam Pespektif Islam
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa khitbah adalah
perjanjian untuk mengadakan pernikahan. Oleh sebab itu peminangan dapat saja
terputus di tengah jalan, karena akad dari peminangan ini belum mengikat dan
belum menimbulkan kewajiban antara satu pihak dengan pihak yang lain. Namun,
wahbah zuhailiy (1997) menyatakan bahwa akhlak Islam menuntut adanya
tanggung jawab dalam tindakan. Apalagi yang sifatnya janji yang telah dibuatnya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al Isra: 34.
‫ٱلزن ٰ َٓى ۖ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِي ًل‬ ۟ ‫َواَل تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan peminangan,
di tengah-tengah masyarakat ketika proses peminangan ada kebiasaan
memberikan seserahan (pemberian), seperti perhiasan, dll. Hal ini merupakan
bukti keseriusan si peminang untuk menuju ke jenjang pernikahan, tetapi tidak
semua peminangan berujung kepada pernikahan, jika tidak sampai ke tahap
pernikahan, maka perlu adanya kejelasan tentang pemberian tersebut, apakah
pemberian tersebut masih tetap di tangan wanita ataupun dapat di ambil kembali
7
Ibid, h. 33.
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 65.
oleh pihak si peminang. Bahkan, pada saat proses peminang pada sebagian orang
ada yang sudah memberikan mahar.

Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat ulama:

a. Menurut fuqaha Syafi’iyyah peminang berhak meminta kembali apa yang


telah diberikan kepada perempuan yang dipinangnya, jika barang yang
diberikan kepada terpinang masih utuh maka diminta apa adanya, jika
barang itu rusak atau sudah habis (hilang) maka diminta kembali nilainya
seharga barangnya, baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun
perempuan.
b. Menurut fuqaha Hanafiyyah bahwa barang-barang yang telah diberikan
oleh pihak peminang kepada pinangannya dapat diminta kembali apabila
barangnya masih utuh, jika sudah berubah atau hilang, atau sudah dijual
maka pihak laki-laki tidak berhak meminta kembali barang tersebut.
c. Menurut fuqaha Malikiyyah bahwa apabila barang itu datang dari pihak
peminang maka barang-barang yang sudah diberikan tidak boleh diminta
kembali, baik pemberian itu masih utuh maupun sudah berubah.
Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka
jika pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta.
Apabila barang sudah rusak maka haruslah mengikuti syarat dan adat
Alhamdani (1980).
d. Menurut fuqaha Hanabilah dan sebagian fuqaha tabi’in berpendapat
bahwa pihak peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali
barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang
tersebut masih utuh atau sudah berubah, karena menurut mereka bahwa
pemberian tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah
kepada anaknya Hadi Mufaat Ahmad (1992)
b) Akibat Peminangan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
UU perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini
mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat
dengan perkawinan.9 Dalam pasal 11, 12, dan 13 KHI telah mengatur
peminangan. Menurut pasal 11 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”.
Mengenai tata cara perkawinan di Indonesia di atur dalam undang-undang
No 1 tahun 1974. Jika diteliti, undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974,
tidak menjelaskan mengenai aturan peminangan. Hal ini dikarenakan karena
peminangan bukan merupakan suatu hubungan yang bersifat mengikat seperti
perkawinan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah
peminangan dalam pasal 1, 11, dan 13, keseluruhan pasal ini merujuk kepada
mazhab Syafi’i.
Tentang akibat hukum suatu peminangan dijelaskan dalam pasal 13 yang
berbunyi:
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap
terbina kerukunan dan saling menghargai.

Maka dapat dipahami, akibat hukum dari peminangan ini adalah sebagai berikut:

1. Belum menimbulkan akibat hukum, para pihak dapat memutuskan hubungan


kapan saja.
2. Kebebasan memutuskan hubungan harus dilaksanakan dengan cara yang baik,
yakni sesuai dengan tuntunan agama dan tata cara setempat.
3. Antara pemberian (hadiah), dengan mahar haruslah dibedakan.

9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang
Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, h. 57-58.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peminangan adalah langkah awal menuju ke jenjang pernikahan. Peminangan


yang berlaku di Indonesia memiliki ciri khas sesuai dengan adat istiadat yang berlaku
pada masing-masing daerah. Pada saat terjadi peminangan, bisa saja pemberian dilakukan
oleh pihak laki-laki maupun dapat di berikan oleh pihak perempuan, dengan adanya
peminangan merupakan iktikad yang baik dari kedua belah pihak untuk melakukan
pernikahan di kemudian harinya.

Dalam perspektif fiqh, peminangan merupakan suatu perjanjian untuk


melaksanakan pernikahan, tentunya di dalam Islam yang namanya janji harus di tepati
dan tidak boleh di pungkiri. Seandainya terjadi pembatalan peminangan harus lah dengan
alasan rasional dan alasan yang disyariatkan oleh Islam. Hal ini terlihat berbeda dengan
poin-poin yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini terlihat dalam pasal 13,
yang mengatakan bahwasanya ia bersifat tidak mengikat, dan kedua belah pihak di
berikan kebebasan untuk melakukan pembatalan peminangan. Disebabkan karena
peminangan tidak bersifat mengikat, seperti halnya perkawinan, maka kedua belah bebas
untuk memutuskan perjanjian yang telah dibuat, tentu saja hal ini kontradiktif dengan
prinsip perjanjian yang ada dalam fiqh Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Poerwadharminta (1993). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rofiq, A. (1998). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rusyd, ibn. (2005). Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Beirut: Dar


ibn‘Assasah.

Sabiq, S (2006). Fiqh As-sunnah. Beirut: Dar al-fikr.


http://digilib.uinsby.ac.id/1600/5/Bab%202.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/2743/3/102111054_Bab2.pdf

Anda mungkin juga menyukai