Anda di halaman 1dari 23

TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG PERNIKAHAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Tafsir 3

Dosen Pengampu: M. Lisanuddin Ramdlani, S.Sos M. Pd

Disusun oleh Kelompok 5:

MAR’I MUHAMMAD HAIKAL ( 12018.0239)


NYAI NUROHMAH (12018.0337)

SEMESTER 7-PAI B

INSTITUT MADANI NUSANTARA (IMN) SUKABUMI


Jl. Lio Balandongan Sirnagalih No.74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi Telp/Fax (0266) 225465
2020-2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang selalu dan tetap
memberikan kenikmatan, kekuatan, kesehatan, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyusun makalah yang berjudul “Tafisr Al-Qur’an Tentang Pernikahan”
ini dengan sebaik-baiknya.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya kami memperoleh banyak dukungan


dari berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata
kuliah Tafsir 3 Bapak M. Lisanuddin Ramdlani S.Sos M.Pd, orangtua, serta kepada
rekan mahasiswa yang ikut membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Karena tidak ada kesuksesan tanpa adanya kerjasama dan dukungan. Semoga makalah
yang kami susun ini dapat membantu pada langkah yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Adapun kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini tentunya kami
menyadari karena masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi bagi pembaca.

Sukabumi, 28 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
A. Pengertian Pernikahan .................................................................................. 3
B. Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 221, Surat An-Nisa Ayat 3-4, Surat
An-Nur Ayat 32 Tentang Pernikahan ........................................................... 5
C. Hikmah, Dalil, dan Hukum Pernikahan ....................................................... 14
BAB III .................................................................................................................... 18
PENUTUP ............................................................................................................... 18
A. Simpulan ....................................................................................................... 18
B. Saran ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berpasang-pasangan merupakan sunnatullah yang berlaku pada semua
makhluk Allah Swt, baik pada manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Untuk
hidup berpasang-pasangan, terlebih dahulu manusia harus diikat dengan ikatan
pernikahan yang sah, disinilah letak perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk
lainnya.

Pernikahan merupakan jalan bagi manusia untuk menyalurkan naluri


biologisnya, dan jalan untuk berkembang biak dan melestarikan keturunannya.
Untuk itu Allah Swt telah menggariskan aturan-aturan-Nya yang tertuang di dalam
al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt yang menjadi rujukan manusia
dalam segala bidang, termasuk pernikahan. Dengan demikian pernikahan menurut
Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari
itu adalah menjalankan perintah Allah Swt.

Kata nikah dalam al-Qur’an disebut sebanyak 23 kali. Terdapat beberapa


ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur tentang pernikahan. Ayat-ayat tersebut bersifat
umum, sehingga masih memerlukan penjelasan. Allah Swt memberikan
wewenang kepada Nabi Muhammad Saw untuk memberikan penjelasan terhadap
wahyu Illahi itu. Maka dari itu kajian singkat pada makalah ini akan membahas
secara tematik mengenai Tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang anjuran
pernikahan yang terdapat pada beberapa ayat al-Qur’an yaitu Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 221, Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3-4, dan Al-Qur’an surat An-Nur
ayat 32.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pernikahan?
2. Bagaimana Tafsir Al-Qur’an Dari Surat Al-Baqarah Ayat 221, Surat An-Nisa
Ayat 3-4, Surat An-Nur Ayat 32 Tentang Pernikahan?
3. Bagaimana Hikmah, Dalil, dan Hukum Pernikahan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pernikahan
2. Untuk Mengetahui Tafsir Al-Qur’an Dari Surat Al-Baqarah Ayat 221, Surat
An-Nisa Ayat 3-4, Dan Surat Ar-Nur Ayat 32.
3. Untuk Mengetahui Hikmah, Dalil, dan Hukum Pernikahan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan
Kata “nikah” atau “menikah” merupakan sebuah istilah yang sudah tidak
asing lagi di telinga masyarakat, khusunya di Indonesia. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). Sedangkan menurut syariat Islam,
kata “nikah” berasal dari Bahasa Arab ‫انكاح‬, bermakna akad perkawinan. Adapun
Al-Qadhi ‘iyad rahimahullah mendefinisikan kata ‘nikah’ dengan Akad dan
persetubuhan sekaligus.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nikah adalah


sebuah proses diucapkannya akad secara mutlak oleh mempelai laki-laki dengan
disaksikan oleh wali dari pihak mempelai perempuan dengan adanya dua orang
saksi yang dapat dipercaya. Ketika akad telah sah diucapkan, maka mempelai laki-
laki mendapatkan persetubuhan yang halal dari istrinya.

Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan


membatasi hak dan kewajiban antara soerang laki-laki seorang perempuan yang
bukan mahram. Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 3:

‫اب لَ م ُْك ِم َن ِالن َس ۤا ِء َمث ْٰٰن َوثم ٰل َث َو مربٰ َع فَ ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل‬ َ ‫َوا ِْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف الْ َي ٰت ٰمى فَانْ ِك مح ْوا َما َط‬
.ۗ ‫تَ ْع ِدلم ْوا فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َملَ َك ْت َايْ َمانم م ُْك ۗ ٰذ ِ َِل َاد ٰ ىْٰن َا اَّل تَ مع ْولم ْوا‬

(Qs. An-Nisa:3)

Artinya:

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang

3
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim”.

Anwar Harjono (1987:220) mengatakan bahwa perkawinan adalah Bahasa


(Indonesia) yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah atau
zawaj dalam istilah fiqh. Para fuqaha dan madzhab empat sepakat bahwa makna
nikah atau jawaz adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti
tentang sahnya hubungan kelamin. Perkawinan adalah suatu perjanjian untuk
melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.

Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang
mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh
“nikah” atau “tazwij”.

Nikah atau jima’ sesuai dengan makna linguistiknya, berasal dari kata “al-
wath” yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung
pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafazh “an-nikah” atau “at-tazwij”,
artinya bersetubuh dengan pengertian menikahi perempuan makna hakikatnya
menggauli istri.

Nikah adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan atau embrio
bangunan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu
jalan yang amat mulia untuk mrngatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu
kaum dan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan interelasi antara satu
kaum dengan yang lain.

Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam
hidup dan kehidupan manusia. Bukan saja antara suami istri dan keturunannya
melainkan antara dua keluarga. Baiknya pergaulan antara istri dan suaminya, kasih-

4
mengasihi, akan berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak, sehingga
mereka menjadi integral dalam segala urusan sesamanya dalam menjalankan
kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan, seseorang
akan terpelihara dari godaan hawa nafsunya.

B. Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 221, Surat An-Nisa Ayat 3-4, Surat
An-Nur Ayat 32 Tentang Pernikahan.
1. Qs. Al-Baqarah Ayat 221

ِ ْ ‫َو ََّل تم ْن ِك محوا الْ مم‬


‫ْش ِك ْ َْي‬ ‫ْش َك ٍة اول َ ْو َا ْ َْع َب ْت م ُْك‬
ِ ْ ‫ْش ٰك ِت َح ّٰت يم ْؤ ِم ان ۗ َو َ ََّل َم ٌة ُّم ْؤ ِمنَ ٌة خ ْ ٌَْي ِم ْن ُّم‬ ِ ْ ‫َو ََّل تَ ْن ِك محوا الْ مم‬
‫اّلل يَدْ ع ْموْٓا ِا ََل الْ َجنا ِة‬
‫َو ٰ م‬ ‫ْش ٍك اول َ ْو َا ْ َْع َب م ُْك ۗ ماو ٰلۤى َك يَدْ ع ْمو َن ِا ََل النا ِار‬ ِ ْ ‫َح ّٰت يم ْؤ ِمنم ْوا ۗ َول َ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن خ ْ ٌَْي ِم ْن ُّم‬
ِٕ
ࣖ ‫َوالْ َم ْغ ِف َر ِة ِ ِِب ْذ ِن ٖه َويم َب ِ مْي ٰايٰ ِت ٖه ِللنا ِاس ل َ َعلاهم ْم يَتَ َذكا مر ْو َن‬

Artinya:

“Dan Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka


beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu
menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran.” (Qs. Al-Baqarah : 221)

Ini adalah pengharaman bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-


wanita musyrik, para penyembah berhala. Jika yang dimaksudkan adalah kaum
wanita musyrik secara umum yang mencakup semua wanita, baik dari kalangan
ahlul kitab maupun penyembah berhala, maka Allah Ta’ala telah
mengkhususkan wanita ahlul kitab, melalui Frman-Nya:

5
‫) َوالْ مم ْح َصنٰ مت ِم َن الْ مم ْؤ ِم ٰن ِت َوالْ مم ْح َصنٰ مت ِم َن ا ِاَّل ْي َن ما ْوتموا الْ ِك ٰت َب ِم ْن قَ ْب ِل م ُْك ِا َذا ى ٰاتَيْ مت مم ْوه امن ما مج ْو َره امن مم ْح ِص ِن ْ َْي‬
ِ ِ ٰ‫غَ ْ َْي مم ٰس ِف ِح ْ َْي َو ََّل ممتا ِخ ِذ ْ ىي َاخْدَ ٍ ۗان َو َم ْن ي ا ْك مف ْر ِِب ْ َِّليْ َم ِان فَقَدْ َح ِبطَ َ ََع م ُٗل َوه َمو ِِف ْ ٰاَّل ِخ َر ِة ِم َن الْخ‬
(ࣖ ‫ِس ْي َن‬
Artinya:

“(Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga


kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab
suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan
(mereka) pasangan gelap (gundik)”. (Qs. Al-Maaidah:5)

Mengenai Firman Allah Ta’ala: (ۗ ‫ي م ْؤ ِم ان‬ ِ ْ ‫َ)و ََّل تَ ْن ِك محوا الْ مم‬
‫ْش ٰك ِت َح ّٰت‬ “Dan

Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!” Ali


bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas “Dalam hal ini, Allah SWT telah
mengecualikan wanita-wanita ahlul kitab”.

Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair,
Makhul, Hasan al-Bashri, ad-Dhahhak, Zaid bin Aslam, Rabi’ bin Anas, dan
ulama lainnya.

ْ ‫ْش َك ٍة اول َ ْو َا ْ َْع َب ْت م‬


Firman Allah SWT. ( ‫ُك‬ ِ ْ ‫“ َ)و َ ََّل َم ٌة ُّم ْؤ ِمنَ ٌة خ ْ ٌَْي ِم ْن ُّم‬Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik,
meskipun dia menarik hatimu”.

As-Suddi mengatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin


Rawahah yang mempunyai seorang budak wanita berkulit hitam. Suatu ketika
Abdullah marah dan menamparnya, lalu ia merasa takut dan mendatangi
Rasulullah SAW. dan menceritakan peristiwa yang terjadi diantara mereka
berdua (Abdullah dan Budaknya). Maka Rasulullah bertanya: “Bagaimana
budak itu?” Abdullah bin Rawahah menjawab: “Ia berpuasa, shalat, berwudhu

6
dengan sebaik-baiknya, dan mengucapkan syahadat bahwa tidak ada illah yang
hak selain Allah dan engkau adalah Rasul-Nya”. Kemudian Rasulullah bersabda:
“Wahai Abu Abdullah, wanita itu adalah mukminah”. Abdullah bin Rawahah
mengatakan: “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, aku akan
memerdekakan dan menikahinya”. Setelah itu Abdullah pun melakukan
sumpahnya itu, maka beberapa orang dari kalangan kaum muslimin mencelanya
serta berujar: “Apakah ia menikahi budaknya sendiri?” padahal kebiasaanya
mereka ingin menikah dengan orang-orang musyrikin atau menikahkan anak-
anak mereka dengan orang-orang musyrikin, karena menginginkan kemuliaan
leluhur mereka. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ( ‫ْش َك ٍة‬
ِ ْ ‫َو َ ََّل َم ٌة ُّم ْؤ ِمنَ ٌة خ ْ ٌَْي ِم ْن ُّم‬
‫“ ا)ول َ ْو َا ْ َْع َب ْت م ُْك‬Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik

daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu” ( ‫ِم ْن‬ ‫َول َ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن خ ْ ٌَْي‬
ۗ ‫ْش ٍك اول َ ْو َا ْ َْع َب م ُْك‬
ِ ْ ‫“ ) ُّم‬Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu”.

Dalam kitab shahih pun (al-Bukhari dan Muslim) telah ditegaskan dari
Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

) َ‫ تَ ِرب َ ْت يَدَ اك‬,‫ فَا ْظ َف ْرب َ َذ ِات اِلا يْ ِن‬,‫ َو ِ ِِليِْنِ َا‬,‫ َو ِل َج َما ِلهَا‬,‫ َول َ َح َس ِبِ َا‬,‫ ِل َم ِلهَا‬:ٍ‫(تم ْن َك مح الْ َمر َأ مة ِ َِل ْربَع‬

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan,


kecantikan, dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, niscaya engkau
beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim, dari Jabir bin Abdullah, dari
Umar, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

‫ َوخ ْ مَْي َمتَا ِع اِلُّ نْ َيا ا لْ َم ْر َأ مة ا‬,‫( َا ِلُّ نْ َيا َمتَا ٌع‬
)‫الصا ِل َح مة‬

7
“Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunai adalah
wanita yang shalihah” (HR. Muslim)

Dan Firman-Nya (ۗ ‫ي م ْؤ ِمنم ْوا‬ ِ ْ ‫) َو ََّل تم ْن ِك محوا الْ مم‬


‫ْش ِك ْ َْي َح ّٰت‬ “Jangan pula kamu

menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka


beriman”. Artinya janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik dengan
wanita-wanita yang beriman.

Sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman ( ‫) ََّل ه امن ِح ٌّل لاه ْمم َو ََّل م ُْه َ َِيل ُّ ْو َن لَه ا ۗمن‬
“Mereka (wanita-wanita yang beriman) tidak halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka”. (Qs. Al-
Mumtahanah:10)

ْ ‫َا ْ َْع َب م‬
Selain itu, Allah SWT. berfirman: (ۗ ‫ُك‬ ِ ْ ‫َ)ول َ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن خ ْ ٌَْي ِم ْن ُّم‬
‫ْش ٍك اول َ ْو‬
“Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki
musyrik meskipun dia menarik hatimu”. Artinya, seorang budak laki-laki yang
beriman meskipun ia seorang budak keturunan Habasyi (Ethiophia) adalah lebih
baik daripada seorang laki-laki musyrik meskipun ia seorang pemimpin yang
mulia.

(‫“ ) ماو ٰلۤى َك يَدْ ع ْمو َن ِا ََل النا ِار‬mereka mengajak ke Neraka”. Maksudnya, bergaul
ِٕ
dan berhubungan dengan mereka hanya akan membangkitkan kecintaan kepada
dunia dan kefanaannya serta lebih mengutamakan dunia daripada akhirat dan hal
ini berakibat buruk. (‫ِ ِِب ْذ ِن ٖه‬ ‫اّلل يَدْ ع ْموْٓا ِا ََل الْ َجنا ِة َوالْ َم ْغ ِف َر ِة‬
‫“ َ)و ٰ م‬sedangkan Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”. Yaitu melaui syari’at, perintah, dan
larangan-Nya.

8
(ࣖ ‫) َويم َب ِ مْي ٰا ٰي ِت ٖه ِللنا ِاس ل َ َعلاه ْمم يَتَ َذكا مر ْو َن‬ “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya

(Perintah-perintah) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

2. Tafsir Surat An-Nisa Ayat 3-4

‫اب لَ م ُْك ِم َن ِالن َس ۤا ِء َمث ْٰٰن َوثم ٰل َث َو مربٰ َع فَ ِا ْن‬ َ ‫َوا ِْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف الْ َي ٰت ٰمى فَانْ ِك مح ْوا َما َط‬
ۗ ‫) َو ٰاتموا ِالن َس ۤا َء َصدم ٰقِتِ ِ ان ِ ِْن َ ًَل‬3( ۗ ‫ِخ ْف م ُْت َا اَّل تَ ْع ِدلم ْوا فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َملَ َك ْت َايْ َمانم م ُْك ۗ ٰذ ِ َِل َاد ٰ ىْٰن َا اَّل تَ مع ْولم ْوا‬
ْ َ ‫فَ ِا ْن ِط ْ َْب لَ م ُْك َع ْن‬
)4( ‫َش ٍء ِمنْ مه ن َ ْف ًسا فَ م مُك ْو مه َه ِن ْۤيـًٔا ام ِر ۤيْـًٔا‬
Artinya:

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak
berbuat zalim (3)”.

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati (4)”.

Firman-Nya:

( ‫اب لَ م ُْك ِم َن ِالن َس ۤا ِء َمث ْٰٰن َوثم ٰل َث َو مربٰ َع‬


َ ‫“ ) َوا ِْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف الْ َي ٰت ٰمى فَانْ ِك مح ْوا َما َط‬Jika
kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat”. Artinya apabila dibawah pemeliharaan salah
seorang kamu terdapat wanita yang yatim dan ia merasa takut tidak dapat

9
memberikan mahar sebanding, maka carilah wanita lainnya. Karena mereka
cukup banyak, dan Allah tidak akan memberikan kesempitan kepadanya.

Al-Bukhari meriwayatkan, dari Aisyah: “Sesungguhnya seorang laki-


laki yang memiliki tanggungan wanita yatim, lalu dinikahinya, sedangkan
wanita itu memiliki sebuah pohon kurma yang berbuah. Laki-laki itu
menahannya sedangkan wanita itu tidak mendapatkan sesuatu pun dari laki-
laki itu maka turunlah ayat ini:

( ‫تم ْق ِس مط ْوا‬ ‫“ ) َوا ِْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل‬Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil”.
Aku mengira ia mengatakan “Ia bersekutu dalam pohon kurma dan hartanya”.

Al-bukhari meriwayatkan “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul


‘Aziz bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari
Shalih bin Kaisan dari Ibnu Syihab, ia berkata: Urwah bin Az-Zubair
mengabarkan kepadaku bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a tentang Firman
Allah SWT (‫الْ َي ٰت ٰمى‬ ‫““ ) َوا ِْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف‬Jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya)” beliau menjawab: “Wahai anak saudariku, anak yatim
perempuan yang dimaksud adalah wanita yatim yang berada pada
pemeliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya.” Sedangkan ia
menyukai harta dan kecantikannya. Lalu, walinya ingin mengawininya tanpa
berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan
mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang untuk menikahinya
kecuali mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan
memberikan mahar yang terbaik untuk mereka. Dan mereka diperintahkan
untuk menikahi wanita-wanita yang mereka sukai selain mereka.

10
Firman Allah SWT : ( ‫“ ) َمث ْٰٰن َوثم ٰل َث َو مر ٰب َع‬Dua, tiga atau empat.” Artinya
nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka. Jika
kalian suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka silahkan empat.

ْ ‫َايْ َمانم م‬
Firman-Nya:ۗ ‫ُك‬ ‫“ فَ ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا اَّل تَ ْع ِدلم ْوا فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َملَ َك ْت‬Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-
budak yang kamu miliki.” Artinya, jika kamu takut memiliki banyak isteri dan
tidak mampu berbuat adil kepada mereka, sebagaimana firman Allah:

“Dan tidak akan pernah kamu mampu berbuat adil di antara isteri-
isterimu, walaupun kamu sangat menginginkannya.”(QS. An-Nisaa’: 129)

Barangsiapa yang takut berbuat demikian, maka cukuplah satu isteri


saja atau budak-budak wanita. Karena, tidak wajib pembagian giliran pada
mereka (budak-budak wanita), akan tetapi hal tersebut dianjurkan, maka
barangsiapa yang melakukan, hal itu baik dan barangsiapa yang tidak
melakukan, maka tidaklah mengapa.

Firman-Nya:ۗ ‫ۗ ٰذ ِ َِل َاد ٰ ىْٰن َا اَّل تَ مع ْولم ْوا‬ “Yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.” Yang shahih, artinya adalah janganlah kalian
berbuat aniaya. (Dalam bahasa Arab dikatakan “… ‘aala fil hukmi”
)menyimpang dari hukum( apabila ia menyimpang dan zhalim.

Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Hibban dalam shahihnya
meriwayatkan dari ‘Aisyah dari Nabi saw. “Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya, ” beliau bersabda: “Janganlah kalian
berbuat aniaya.”

11
Firman Allah: ‫“ َو ٰاتموا ِالن َس ۤا َء َصدم ٰقِتِ ِ ان ِ ِْن َ ًَل‬Berikanlah mas kawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan.”.

`Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: an-nihlatu adalah
mahar. Muhammad bin Ishaq berkata dari ‘Aisyah “nihlatun”, adalah
kewajiban. Ibnu Zaid berkata: “an-nihlatu” dalam bahasa Arab adalah suatu
yang wajib, ia berkata, “Janganlah engkau nikahi dia kecuali dengan sesuatu
yang wajib baginya.”

Kandungan pembicaraan mereka itu adalah, bahwa seorang laki-laki


wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai suatu keharusan dan
keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan memberikan
hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia memberikan mahar
kepada wanita dengan penuh kerelaan.

Dan jika si isteri secara suka rela menyerahkan sesuatu dari maharnya
setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh memakannya dengan halal
dan baik.

Untuk itu Allah berfirman:

ْ َ ‫فَ ِا ْن ِط ْ َْب لَ م ُْك َع ْن‬


‫َش ٍء ِمنْ مه ن َ ْف ًسا فَ م مُك ْو مه َه ِن ْۤيـًٔا ام ِر ۤيْـًٔا‬

“Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari


maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

3. Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 32

12
‫َو َا ْن ِك محوا ْ َاَّل ََي ٰمى ِم ْن م ُْك َو ٰالص ِل ِح ْ َْي ِم ْن ِع َبا ِد م ُْك َو ِا َم ۤاى م ُْك ۗ ِا ْن ي ا مك ْون ْموا فمقَ َرۤا َء يمغِْنِ ِ مم ا ٰ مّلل ِم ْن فَضْ ِ ٖ ُۗل َو ٰ م‬
‫اّلل َو ِاس ٌع‬
ِٕ
‫عَ ِل ْ ٌي‬
Artinya:

“Nikahkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu


dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu,
baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. An-Nur: 32).

ْ ‫“ َو َأنْ ِك محوا ا أِل ََي َمى ِمنْ م‬Dan nikahkanlah orang-orang yang
Firman Allah: ‫ُك‬

sendirian di antara kalian”. Ini merupakan perintah untuk menikah.


Segolongan ulama berpendapat bahwa setiap orang yang mampu menikah
diwajibkan melakukanya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis
Nabi Saw. yang berbunyi:

ِ َ ‫ َم ِن ْس تَ َطا َع ِمنْ م مُك الْ َب َاء َة فَلْ َي َ ََت او ْج فَا ِءن ا مه َأغَ ُّض ِللْ َب‬,‫الش اب ِاب‬
‫َص َو َأ ْح َص من ِللْ َف ْر ِج َو َم ْن ل َ ْم‬ ‫ْش ا‬ َ َ ‫ََي َم ْع‬
.‫ي َْس تَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه ِِب الص ْو ِم فَا ِءن ا مه َ مَل ِو َجا ٌء‬
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang sudah mampu
menikah, menikahlah, sesungguhnya hal itu lebih menundukkan
pandanganmu dan menjaga kehormatan, barang siapa yang tidak mampu
maka sebaiknya dia berpuasa karena itu lebih baik dan aman”.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna
ayat ini mengandung anjuran kepada mereka untuk menikah. Allah
memerintahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak untuk menikah,
dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan kecukupan.

Untuk itu Allah Swt. berfirman:

13
ۗ ٖ ِ ْ‫فَض‬
(‫ُل‬ ‫) ِا ْن ي ا مك ْون ْموا فمقَ َرۤا َء يمغِْنِ ِ مم ٰ م‬
‫اّلل ِم ْن‬

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-


Nya”. (Qs. An-Nur: 32)

C. Hikmah, Dalil, dan Hukum Pernikahan


1. Hikmah Pernikahan

Hikmah pernikahan banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut:


a. Pernikahan adalah Fitrah Manusia
b. Pernikahan merupakan Kemaslahatan bagi Masyarakat
- Memelihara spesies manusia
- Memelihara keturunan (nasab)
- Menyelamatkan masyarakat dari kemerosotan akhlak
- Menyelamatkan masyarakat dari penyakit

2. Dalil-Dalil yang Mensyari’atkan Pernikahan

Sebagaimana telah kita jelaskan, pernikahan diatur dalam Al-Kitab


(Al-Qur’an) Sunnah, dan Ijma’. Adapun dalil yang berasal dari Al-Qur’an
banyak sekali diantaranya:

‫اب لَ م ُْك ِم َن ِالن َس ۤا ِء َمث ْٰٰن َوثم ٰل َث َو مربٰ َع‬


َ ‫فَانْ ِك مح ْوا َما َط‬
Artinya:

“Maka Nikahilah perempuan yang kamu anggap baik, dua, tiga atau
empat orang” (Qs. An-Nisa:3)

‫َو َا ْن ِك محوا ْ َاَّل ََي ٰمى ِم ْن م ُْك َو ٰالص ِل ِح ْ َْي ِم ْن ِع َبا ِد م ُْك َو ِا َم ۤاى م ُْك ۗ ِا ْن ي ا مك ْون ْموا فمقَ َرۤا َء يمغِْنِ ِ مم ا ٰ مّلل ِم ْن فَضْ ِ ٖ ُۗل َو ٰ م‬
‫اّلل َو ِاس ٌع‬
ِٕ
‫عَ ِل ْ ٌي‬
Artinya:

14
“Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu
dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu,
baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. An-Nur: 32).

Adapun Dalil Sunnah (Hadis) yang berbicara tentang pernikahan di


antaranya:

ِ َ ‫ َم ِن ْس تَ َطا َع ِمنْ م مُك الْ َب َاء َة فَلْ َي َ ََت او ْج فَا ِءن ا مه َأغَ ُّض ِللْ َب‬,‫ْشال اش با ِاب‬
‫َص َو َأ ْح َص من ِللْ َف ْر ِج َو َم ْن ل َ ْم ي َْس تَ ِط ْع‬ َ َ ‫ََي َم ْع‬
.‫فَ َعلَ ْي ِه ِِب الص ْو ِم فَا ِءن ا مه َ مَل ِو َجا ٌء‬
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang sudah
mampu menikah, menikahlah, sesungguhnya hal itu lebih menundukkan
pandanganmu dan menjaga kehormatan, barang siapa yang tidak mampu
maka sebaiknya dia berpuasa karena itu lebih baik dan aman”.

.‫َا ِلن ََك مح ِم ْن مسن ا ِّت فَ َم ْن ل َ ْم ي َ ْع َم ْل ب مِسن ا ِ ّْت فَلَيْ َس ِم ِ ْٰن‬


“Pernikahan itu termasuk sunnahku, barang siapa yang tidak
melaksanakan sunnahku, dia bukan golonganku”.

Adapun berdasarkan ijma’ ulama, kaum Muslimin telah sepakat


terhadap pensyariatan pernikahan sejak zaman Rasulullah SAW. sampai
sekarang.

3. Hukum Pernikahan

Para ulama sepakat tentang hukum nikah bagi seorang yang sudah
tidak bisa bersabar menahan hasratnya dan mempunyai kemampuan untuk
membayar mahar dan nafkah. Para ulama sepakat bahwa orang itu wajib
menikah. Jika tidak menikah, dia berdosa, sama dosanya jika meninggalkan
kewajiban-kewajiban agama lainnya.

15
Sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang laki-laki
jika Hasrat bercintanya belum membara, mampu menikah, baik lahir maupun
batin, mampu membayar mahar, dan belum cenderung pada ibadah-ibadah
sunnah, maka menikah baginya lebih baik dari pada meninggalkannya agar
tidak terjerumus pada kemaksiatan. Ini sama seperti pernyataan Jalaluddin
Al-Mahalli. Adapun jika dia memilih menahan hasratnya dengan ibadah,
maka pilihan ibadah lebih baik daripada menikah.

Hukum ini terkandung dalam al-ahkam al-khamsah (lima macam


hukum) yaitu:

a. Sunnah bagi seseorang yang berhasrat untuk berhubungan seks, memiliki


modal untuk menikah mulai mahar, pakaian, dan nafkah batin, layak
mempunyai keturunan dan bisa menjadi nasab, dan maslahatnya lebih
‫ْش ا‬
ِ ‫الش با‬
banyak, berdasarkan hadis Rasulullah SAW.,….‫اب‬ َ َ ‫ََي َم ْع‬ kalimat

perintah pada hadis di atas bukanlah lil-wujub (Menunjukan wajib) tetapi


berubah menjadi li an-nadb (sunnah) karena sebagian sahabat waktu itu
belum menikah dan mereka adalah orang-orang yang mampu menikah
saat hadis ini diucapkan.
Rasulullah SAW. juga bersabda:
.‫َم ْن َأ َح اب ِف ْط َر ِ ِْت فَلْيَ مس ان ِب ِف ْط َر ِ ِْت َوا ان ِم ْن مسن ا ِ ّْت َا ِلن ََك َح‬
ِٕ
“ Barang siapa yang menyukai fitrahku, maka ikutilah. Sesungguhnya di
antara sunnahku adalah menikah”.
b. Ada yang mengatakan bahwa hukum nikah adalah fardu atau wajib
apabila seseorang takut terjerumus ke dalam zina, sementara dia memiliki
kemampuan untuk menikah. Atau apabila seorang perempuan takut
dirinya menyeleweng dan tidak ada jalan keluar lain, kecuali menikah,
saat itu hukumnya wajib.

16
c. Ada kalanya hukum nikah makruh apabila keinginan nikah seseorang
belum mendesak. Dari segi biaya ia juga belum mampu, atau karena
kebutuhan lain yang harus ia lakukan. Demikian juga seorang perempuan
yang belum mempunyai keinginan menikah atau belum membutuhkan
menikah, kemudian dia takut terjerumus berbuat dosa, maka makruh
baginya menikah.

As-Syarqowi dalam hasyiah-nya mengatakan bahwa diantara


nikah-nikah yang dimakruhkan adalah nikah orang yang belum
membutuhkan seks. Kemudian seorang muslim yang zymmi, nikah
perempuan yang di duga hamil setelah selesai iddah-nya, dan perempuan
fasik atau anaknya yang fasik.

d. Haram menikah apabila diperkirakan terjadinya kezaliman, yaitu


menzalimi istrinya nanti. Begitu juga kalau seorang dipastikan terjerumus
pada hal yang haram setelah menikah, seperti tidak berlaku adil bagi yang
berpoligami. Bila tahu mereka tidak akan mampu memenuhi
kewajibannya dalam pernikahan nanti, pernikahan belum perlu dilakukan.

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Nikah adalah sebuah proses diucapkannya akad secara mutlak oleh
mempelai laki-laki dengan disaksikan oleh wali dari pihak mempelai perempuan
dengan adanya dua orang saksi yang dapat dipercaya. Ketika akad telah sah
diucapkan, maka mempelai laki-laki mendapatkan persetubuhan yang halal dari
istrinya.

Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 221 adalah pengharaman bagi


kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita musyrik, para penyembah berhala.
Yang dimaksudkan adalah kaum wanita musyrik secara umum yang mencakup
semua wanita, baik dari kalangan ahlul kitab maupun penyembah berhala.

Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3-4 adalah berkenaan dengan


seorang laki-laki wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai suatu
keharusan dan keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan
memberikan hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia
memberikan mahar kepada wanita dengan penuh kerelaan.

Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 32 mengandung anjuran kepada


mereka untuk menikah. Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan
budak-budak untuk menikah, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk
memberikan kecukupan.

Diantara hikmah pernikahan adalah: pernikahan adalah fitrah manusia,


pernikahan merupakan kemaslahatan bagi masyarakat, memelihara spesies
manusia, memelihara keturunan (nasab), menyelamatkan masyarakat dari
kemerosotan akhlak dan menyelamatkan masyarakat dari penyakit.

18
Hukum pernikahan ada yang sunnah, wajib, makruh dan haram itu
tergantung bagaimana kondisinya.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari kata
sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.

19
DAFTAR PUSTAKA

DR. Abdullah Wahab Hawwas, 2007, Kunikahi Engkau Secara Islami, Bandung:
Pustaka Setia

DR. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurahman Bin Ishak Al-Syeikh, 1994, Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 6, Bogor: Pustaka Imam Syafe’i.

DR. Beni Ahmad Saebani, M.Si, 2018, Fiqih Munaqahat 1, Bandung: CV. Pustaka
Setia

Muhammad Fu’ad ‘Abd Al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-


Karim, (Beirut: Dar al Fikrt: 1412), h. 829

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, hal 1003

Buku Kiat-Kiat Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Pustaka At-Taqwa. 2007, hal 7

Al-Qur’an Kemenag

20

Anda mungkin juga menyukai