PENDIDIKAN AGAMA
TENTANG PERKAWINAN DALAM AGAMA ISLAM
DOSEN PENGAJAR
Dra. Istiqomah, M.Si
Oleh
Agun Andika Saputra(2101220028)
Said Rahantoknam (2101220011)
Kemas Sayidina Al Akshar (2101220092)
Puji dan syukur kita panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan atas
nikmatnya kepada kita semua dan juga yang telah memberikan kesempatan
dalam penulisan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar,sholawat dan
salam tak lupa kita curuhkan kepada baginda kita nabi MUHAMMAD SAW yang
telah membawa kita dari zaman gelap gulita dan sehingga sampai pada zaman
terang benderang ini.
Semoga ilmu yang ada dalam makalah ini dapat menambah wawasan kita
semua. Demi kesempurnaan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pihak pembaca.
Dan yang paling terutama kepada ibuk dosen yang telah mengajarkan mata
kuliah ini kami ucapkan terima kasih.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih serta mohon maaf yang sebesar
besarnya apabila didalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan kata
maupun tulisan.
A. Latar belakang
Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui atau mempelajari lebih dalam tentang pernikahan menurut agama
Islam, dengan adanya penulisan makalah secara tidak langsung kami telah
memahami arti pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ) النكاح, adapula yang
mengatakan Perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali Dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan
tetapi pada prinsipnya Perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja. Perkawinann adalah Sebuah ungkapan tentang
akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukunrukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) Pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada Akad yang
membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan Badan dengan
seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah Atau kawin,
atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.
Tujuan pernikahan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu Menurut UU
No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan menurut hukum islam , Yang dapat di
jelaskan sebagai berikut :
Selain itu untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani Manusia, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara Serta meneruskan
keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, Juga untuk mencegah
perzinaan, agar tercipta ketenangan dan Ketentraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Rukun yaitu mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk
shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam
pernikahan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat”. Atau menurut islam calon
pengantin laki-laki dan perempuan itu harus beragama islam. Sah yaitu suatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat-syarat.
3) Rukun pernikahan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
a) Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan pernikahan
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c) Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya Yang akan menikahkannya.
d) Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila
dua Orang saksi yang menyaksikan.
Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul Saja (akad
yang dilakukan oleh para wali perempuan dan calon pengantin Laki-laki),
sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat yaitu:
Pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan Lisan.Inilah yang
dinamakan akad nikah (Ikatan atau perjanjian Pernikahan).Bagi orang bisu
pernikahannya sengan isyarat tangan Atau kepala yang bisa di pahami. Ijab
dilakukan oleh pihak wali Mempelai perempuan atau walinya , sedangkan
qabul oleh Mempelai laki-laki atau wakilnya.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang lakilaki, muslim,baliq,
berakal, melihat dan mendengar serta Mengerti(paham) akan maksud akad
nikah. Tetapi menurut hanafi Dan hambali boleh juga saksi itu satu orang
lakilaki dan satu orang Perempuan.
3. Hikmah Pernikahan
Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit. Pernikahan
pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.Manusia itu jika
telah mati terputuslah semua amal perbuatannya yang Mendatangkan rahmat
dan pahala kepadanya. Namun apabila masih Meninggalkan anak dan isteri,
mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus
dan pahalanya pun tidak ditolak. anak yang shaleh merupakan amalnya yang
tetap yang masih tertinggal meski ia telah mati.
Hingga saat ini, tercatat ada lebih dari 1340 suku bangsa di Indonesia
berdasarkan sensus BPS pada tahun 2010. Suku-suku tersebut memiliki adat
dan istiadat masing-masing, termasuk dalam menentukan pernikahan.
Maka, untuk menentukan hukum pernikahan secara adat akan sangat
ditentukan oleh adat yang dipilih. Pada dasarnya proses pernikahan
berdasarkan hukum adat tidak terlepas dari hukum pernikahan agama Islam
maupun hukum pernikahan secara perdata.
Sebagai contoh, adat pernikahan dalam budaya Betawi dan Jawa proses
intinya tetap sama jika keluarga mempelai menggunakan hukum pernikahan
Islam. Perbedaannya hanya terletak pada acara sebelum pernikahan, saat
resepsi, dan setelah pernikahan.
Sementara akad nikah pada umumnya masih dilakukan dengan mengikuti
syarat dan rukun agama Islam bagi para pemeluk agama Islam.
Begitu juga dengan adat istiadat lain yang menggunakan tradisinya masing-
masing. Mereka masih tetap bisa melaksanakan tradisi pernikahannya
kemudian melangsungkan akad yang dijamin keabsahannya oleh hukum
perdata. Kemudian didaftarkan pada catatan sipil.
Itulah beberapa hukum pernikahan yang digunakan di Indonesia. Kekayaan
ragam budaya Indonesia tetap bisa dilestarikan. Bahkan negara pun menjamin
bahwa pernikahan dapat diselenggarakan selama sesuai dengan ajaran agama
dan kepercayaannya masing-masing berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan
yang Maha Esa seperti yang tertuang dalam Undang-undang
B. Pengertian Mahar
Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus
diberikan oleh sang suami baik karena akad maupun persetubuhan hakiki.
“Faridhah” dalam Al-quran, yang secara harfiah adalah nafkah yang diwajibkan
atau suatu bagian yang telah ditekankan.
1 . Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an dijelaskan yaitu firman Allah SWT dalam surah An-nisa’ : 4
yang artinya:
2. Sunnah
Sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya berbunyi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun Telah menceritakan kepada
kami Hammad dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d ia berkata: seorang wanita
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata bahwasanya, ia telah
menyerahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka beliau bersabda: Aku tidak berhasrat terhadap wanita itu. Tiba-tiba
seorang laki-laki berkata, Nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda:
Berikanlah mahar (berupa) pakaian padanya. Laki-laki itu berkata, aku tidak
punya. Beliau pun bersabda Kembali, Berikanlah meskipun hanya berupa cincin
besi. Ternyata ia pun tak punya. Kemudian beliau bertanya, apakah kamu
memiliki hafalan Al Qur`an? Laki-laki itu menjawab, Ya, surat ini dan ini. Maka
beliau bersabda: Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu, dengan mahar
hafalan Al Qur`anmu. (HR. Bukhari)
“Para ummat sepakat bahwa memberikan mahar kepada istri adalah wajib”
2. Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar
musammah dan mahar mitsil.
1. Mahar Musammah
2. Mahar Mitsil
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang
biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad Nikah jumlah
mahar itu belum lagi ditetapkan bentuknya.
3. Syarat-syarat Mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, Jasa,
harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga.
disyaratkann bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya
sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari
Berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka
Menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya
batal.
Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah) dan di-
faskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad
dinyatakan sah dengan mahar mitsil.
Syarat lain bagi mahar adalah, hendaknya yang dijadikan mahar itu barang
yang halal dan dinilai berharga dalam syari’at Islam. Jadi, kalau mahar
musammah itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang
tidak bisa dimiliki secara sah, maka maliki mengatakan bahwa bila belum
terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar
mistil.
Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan si istri berhak
atas mahar mitsil. Sementara itu, Imamiyah dan Hanafi berpendapat Bahwa,
bagaimanapun akad tetap sah. Akan hanya mahar, maka kalau sipemiliknya
memberikan barangnya tersebut. Barang itu pulalah yang menjadi mahar
musamma-nya. Tetapi ia tidak memberikannya, maka si istri Berhak
memperoleh pengganti berupa barang yang sama. Sebab, dalam kasus seperti
ini, mahar musamma merupakan barang yang bisa (sah) dimiliki, sedangkan
ketidaksahannya adalah dari sisi penetapannya. Berbeda dengan khamr dan
babi, kedua barang itu tidak halal dimiliki.
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat
Sebagai berikut :
2. Barangnya suci dan bisa diambil mamfaat. Tidak sah mahar dengan Khamar,
babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
4. Hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak
jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan Memberikan barang yang tidak
jelas keadaannya, atau tidak disebutkan Jenisnya.
4. Hikmah Mahar
2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, Karena
maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an
diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan) bukan sebagai
pembayar harga wanita.