Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA
TENTANG PERKAWINAN DALAM AGAMA ISLAM

DOSEN PENGAJAR
Dra. Istiqomah, M.Si

Oleh
Agun Andika Saputra(2101220028)
Said Rahantoknam (2101220011)
Kemas Sayidina Al Akshar (2101220092)

UNIVERSITAS BUNG KARNO JAKARTA PUSAT


FAKULTAS HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan atas
nikmatnya kepada kita semua dan juga yang telah memberikan kesempatan
dalam penulisan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar,sholawat dan
salam tak lupa kita curuhkan kepada baginda kita nabi MUHAMMAD SAW yang
telah membawa kita dari zaman gelap gulita dan sehingga sampai pada zaman
terang benderang ini.

Semoga ilmu yang ada dalam makalah ini dapat menambah wawasan kita
semua. Demi kesempurnaan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pihak pembaca.

Dan yang paling terutama kepada ibuk dosen yang telah mengajarkan mata
kuliah ini kami ucapkan terima kasih.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih serta mohon maaf yang sebesar
besarnya apabila didalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan kata
maupun tulisan.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua


DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................ ¡
KATA PENGANTAR......................................................................................¡¡
DAFTAR ISI.................................................................................................¡¡¡
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar belakang ...........................................................................
1.2 Rumusan masalah .....................................................................
1.3 Tujuaan penulisan .......................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................
2.1 Pengertian Nikah .....................................................
2.2 Tujuan Nikah ...............................................................................
2.3 Rukun dan Syarat-syarat Sahnya Pernikahan ...............................
2.4 Hikmah Pernikahan ...................................................................
2.5 Pernikahan Menurut Negara .....................................................
2.5 Pengertian Mahar ..................................................................
2.6 Dasar Hukum Mahar ..............................................................
2.7 Macam-macam Mahar ............................................................
2.8 Syarat-syarat Mahar ................................................................
2.9 Hikmah Mahar .....................................................................
BAB l
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan


sakral, Bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas Dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan.

Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Ar-Rum

Ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu Pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram Kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang
(mawaddah Warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi
tanda- tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah
warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika
manusia melakukan pernikahan.

Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah dalam


pengertian mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan
diisyaratkan supaya Manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah
menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih
dan ridha Allah SWT, dan hal ini Telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan
sudah banyak sekali dijelaskan di dalam Al Qur’an.
Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin dalam
undang Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam “perkawinan yang sah menurut


hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.

Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga


yang Bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut


selektivitas Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan
pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah
dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar
pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada.
Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk
dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram ( orang yang haram
dinikahi ).
RUMUSAN MASALAH

Yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah


sebagai berikut:

1. Apa pengertian pernikahan dalam islam?

2. Apa makna pernikahan dalam islam?

3. Apa saja tujuan nikah?

4. Apa saja Hikmah dari pernikahan?

5. Apa saja rukun dan syarat-syarat nikah?

6. Apa saja yang menjadi syarat-syarat kedua calon pengantin?

7. Apa pengertian mahar?

8. Siapa saja yang termasuk wali nikah?

9. Apa yang menjadi dasar hukum mahar?

10 apa yang menjadi syarat-syarat mahar?

11. Pandangan Pernikahan Menurut Hukum Dan Adat?

Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui atau mempelajari lebih dalam tentang pernikahan menurut agama
Islam, dengan adanya penulisan makalah secara tidak langsung kami telah
memahami arti pernikahan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) النكاح‬, adapula yang
mengatakan Perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali Dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan
tetapi pada prinsipnya Perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja. Perkawinann adalah Sebuah ungkapan tentang
akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukunrukun dan syarat-syarat.

Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) Pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada Akad yang
membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan Badan dengan
seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah Atau kawin,
atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah


Pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa
terminologi yang Telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa
perkawinan adalah fitrah Ilahi.
1. Tujuan Nikah

Tujuan pernikahan pada dasarnya adalah memeperoleh keturunan yang Sah


dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga Yang
damai dan tentram.

Tujuan pernikahan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu Menurut UU
No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan menurut hukum islam , Yang dapat di
jelaskan sebagai berikut :

1) Menurut UU No. 1 merumuskan bahwa : pernikahan ialah ikatan lahir Batin


antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri denga tujuan
Membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Uraian di atas maka tujuan
pernikahan dapat di jabarkan Sebagai berikut :
a) Melaksanakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang sudah
Dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.
b) Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan
Sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa.
c) Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan
selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa
depan
d) Memberikan ketetapan tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam
Membina kehidupan keluarga.
e) Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

2) Menurut Hukum Islam Tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk


memenuhi tuntutan Hajat tabiat kemanusiaan, untuk berhubungan antara
seorang laki-laki Dan seorang perempuan dalam rangka mewujudkan suatu
keluarga yang Bahagia dorongan dasar kasih, serta untuk memperoleh
keturunan yang Sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-
ketentuan yang telah di atur oleh syariah. Dengan pernikahan maka terjalin
ikatan lahir antara suami istri Dalam hidup bersamaan diliputi rasa
ketentraman (sakinah) dan kasih Sayang (mawaddah wa rahmah).

Firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rum/30:


Terjemahnya : “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia Ciptakan
untuk kamu jodoh dari jenis kamu sendiri, supaya kamu Menemukan
ketentraman (sakinah) pada jodoh itu dan Dia jadikan Diantara kamu rasa
kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)

Selain itu untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani Manusia, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara Serta meneruskan
keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, Juga untuk mencegah
perzinaan, agar tercipta ketenangan dan Ketentraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.

2. Rukun dan Syarat- syarat Sahnya Pernikahan

1) Pengertian rukun,syarat dan sah

Rukun yaitu mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk
shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam
pernikahan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat”. Atau menurut islam calon
pengantin laki-laki dan perempuan itu harus beragama islam. Sah yaitu suatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat-syarat.

3) Rukun pernikahan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
a) Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan pernikahan
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c) Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya Yang akan menikahkannya.
d) Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila
dua Orang saksi yang menyaksikan.

Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul Saja (akad
yang dilakukan oleh para wali perempuan dan calon pengantin Laki-laki),
sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat yaitu:

1) Siqhat (ijab dan qabul). Syarat-syaratnya terpenuhi, maka


Pernikahan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan
Kewajiban suami isteri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya
Pernikahan itu ada dua:
2) Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang Ingin
menjadikannya isteri.jadi perempuannya itu bukan merupakan
Orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk
Sementara maupun untuk selamanya.
3) Akad nikahnya di hadiri para saksi
Secara rinci,masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya
sebagai berikut:

1.)Syarat-syarat kedua mempelai

a ) Syarat-syarat calon pengantin pria

1) Calon suami beragama islam.


2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan
calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon isteri
serta Tahu betul calon isterinya halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) melakukan pernikahan
itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram
8) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan
calon istri
9) Tidak mempunyai istri empat

(b) Syarat-syarat calon pengantin perempuan

1) Beragama islam atau ahli kitab.


2) Terang bahwa ia wanita, bukan khutsa (BANCI).
3) Wanita itu tentu orangnya.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita itu tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak masih
dalam IDDAH.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
2.) Syarat-syarat ijab qabul

Pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan Lisan.Inilah yang
dinamakan akad nikah (Ikatan atau perjanjian Pernikahan).Bagi orang bisu
pernikahannya sengan isyarat tangan Atau kepala yang bisa di pahami. Ijab
dilakukan oleh pihak wali Mempelai perempuan atau walinya , sedangkan
qabul oleh Mempelai laki-laki atau wakilnya.

3.) Syarat-syarat wali

Pernikahan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai Perempuan atau


wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali Hendaknya seorang laki-laki,
muslim, baliq, sehat dan adil (tidak Fasik).

4.) Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang lakilaki, muslim,baliq,
berakal, melihat dan mendengar serta Mengerti(paham) akan maksud akad
nikah. Tetapi menurut hanafi Dan hambali boleh juga saksi itu satu orang
lakilaki dan satu orang Perempuan.

3. Hikmah Pernikahan

Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak Dapat dilepaskan dari


tujuannya di atas, dan sangat Berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya
manusia Di muka bumi ini. Al-Jurjawi menjelaskn bahwa Tuhan Menciptakan
manusia dengan tujuan memakmurkan Bumi, di mana segala isinya diciptakan
untuk kepentingan Manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara
Lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang Bumi masih ada.
Pelestarian keturunan manusia Merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga
eksistensi Bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi siasia. Seperti
diingatkan oleh agama, pelestarian manusia Secara wajar dibentuk melalui
pernikahan, sehingga demi Memakmurkan bumi, pernikahan mutlak
diperlukan. Ia Merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi.

Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah pernikahan diantaranya


adalah sebagai berikut:

1) Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu


Banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah,
karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan sama-sama akan sulit jika
Dilakukan secara individual.Dengan demikian keberlangsunganKeturunan
dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-benar Makmur.
2) eadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah
Tangganya teratur. Ketertiban tersebut tidak mungkin terjadi kecuali
harus Ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu.Dengan alasan
itulah Maka nikah disyariatkan, sehingga keadaan kaum laki-laki menjadi
Tentram dan dunia semakin makmur.
3) Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi
Memakmurkan dunia masing-masing dengan berbagai macam
Pekerjaan.Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung
Mengasihi.Adanya isteri yang bisa menghilangkan kesedihan dan
Ketakutan, isteri berfungsi dalam suka dukapenolong dalam mengatur
Kehidupan.
4) Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghibrah (kecemburuan)untuk
Menjaga kehormatan dan kemuliannya. Pernikahan akan menjaga
Pandangan yang penuh sahwat terhadap apa yang tidak di halalkan
Untuknya
5) Apabila keutamaaan dilanggar maka akan datang baahaya dari dua sisi
Yaitu melakukan kehinaan dan timbulnya permusuhan dikalangan
Pelakunya dengan melakukan perzinahan dan kepasikan. Adanya
Tindakan seperti itu tanpa diragukan lagi akan merusak perataran alam.
6) Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Di dalamnya
Terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam
Warisan, seorang laki-laki yang tidak mempunyai isteri tidak mungkin
Mendapatkan anak, tidak pula mengetahui pokok-pokok serta
cabangnya Diantara sesama manusia. Hal ini tidak di kehendaki oleh
agama dan Manusia.

Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit. Pernikahan
pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.Manusia itu jika
telah mati terputuslah semua amal perbuatannya yang Mendatangkan rahmat
dan pahala kepadanya. Namun apabila masih Meninggalkan anak dan isteri,
mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus
dan pahalanya pun tidak ditolak. anak yang shaleh merupakan amalnya yang
tetap yang masih tertinggal meski ia telah mati.

Islam menganjurkan dan menggembirakan nikah sebagaimana tersebut


karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat
dan seluruh umat manusia. Suatu pernikahan bisa dikatakan sah apabila telah
memenuhi syaratsyarat yang di tentukan.

4. Pernikahan Menurut Agama


Hukum pernikahan secara perdata tidak mensyaratkan unsur agama. Inilah salah
satu landasan hukum yang digunakan bagi warga nonmuslim yang ingin
melakukan pernikahan.
Landasan hukum pernikahan secara perdata adalah Undang-undang No 1 tahun
1974. Di dalamnya dijelaskan bahwa pernikahan atau perkawinan adalah ikatan
lahiriah antara perempuan dan laki-laki dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam pasal
2 disebutkan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Syarat Syarat Pernikahan Menurut Negara ialah:


 Terdapat persetujuan dari kedua mempelai.
 Minimal berusia 21 tahun. Jika belum mencapai usia tersebut wajib
mendapat izin dari kedua orang tua.
 Jika salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak bisa dimintai izin
karena alasan tertentu, maka dapat meminta izin dari salah satu orang tua
yang masih hidup.
 Jika kedua orang tua sudah meninggal dunia, izin didapatkan dari wali
ataupun keluarga yang memiliki hubungan darah dengan garis keturunan
lurus ke atas selama masih hidup.
 Jika tidak ada wali sama sekali, maka dapat melakukan permohonan
kepada pengadilan setempat untuk melangsungkan pernikahan.
 Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.

5.Pernikahan Menurut Adat

Hingga saat ini, tercatat ada lebih dari 1340 suku bangsa di Indonesia
berdasarkan sensus BPS pada tahun 2010. Suku-suku tersebut memiliki adat
dan istiadat masing-masing, termasuk dalam menentukan pernikahan.
Maka, untuk menentukan hukum pernikahan secara adat akan sangat
ditentukan oleh adat yang dipilih. Pada dasarnya proses pernikahan
berdasarkan hukum adat tidak terlepas dari hukum pernikahan agama Islam
maupun hukum pernikahan secara perdata.
Sebagai contoh, adat pernikahan dalam budaya Betawi dan Jawa proses
intinya tetap sama jika keluarga mempelai menggunakan hukum pernikahan
Islam. Perbedaannya hanya terletak pada acara sebelum pernikahan, saat
resepsi, dan setelah pernikahan.
Sementara akad nikah pada umumnya masih dilakukan dengan mengikuti
syarat dan rukun agama Islam bagi para pemeluk agama Islam.
Begitu juga dengan adat istiadat lain yang menggunakan tradisinya masing-
masing. Mereka masih tetap bisa melaksanakan tradisi pernikahannya
kemudian melangsungkan akad yang dijamin keabsahannya oleh hukum
perdata. Kemudian didaftarkan pada catatan sipil.
Itulah beberapa hukum pernikahan yang digunakan di Indonesia. Kekayaan
ragam budaya Indonesia tetap bisa dilestarikan. Bahkan negara pun menjamin
bahwa pernikahan dapat diselenggarakan selama sesuai dengan ajaran agama
dan kepercayaannya masing-masing berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan
yang Maha Esa seperti yang tertuang dalam Undang-undang
B. Pengertian Mahar

Mahar (‫ )صداق‬secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi,mahar


ialah Pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang Istri kepada
calon suaminya.

Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus
diberikan oleh sang suami baik karena akad maupun persetubuhan hakiki.

Dalam kamus Al-Munawwir, kata mahar artinya maskawin3. DalamKamus


besar bahasa Indonesia mahar adalah pemberian wajib berupa uang Atau
barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah.
Mahar merupakan suatu pemberian dalam perkawinan dari mempelai Lelaki
kepada mempelai perempuan dan khusus menjadi harta miliknya Sendiri.
Secara umum kata lain yang dipergunakan untuk mahar di dalam Al-Qur’an
adalah “Ajr” (‫ )اجر‬berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada
pengantin putri. Sesungguhnya “Ajr” (‫ )اجر‬adalah sesuatu yang diberikan dan
tak dapat hilang. Kata “ Shadaqah” (‫ )صداق‬juga dipergunakan di dalam Al-
Qur’an untuk menekankan pemberian/nafkah dalam kehidupan keluarga. Kata

“Faridhah” dalam Al-quran, yang secara harfiah adalah nafkah yang diwajibkan
atau suatu bagian yang telah ditekankan.

Pengarang kitab al-‘Inaayah ‘Alaa Haamisyi al-Fathi mendefinisikan mahar


sebagai harta yang harus dikeluarkan oleh suami dalam akad pernikahan
sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan maupun dengan akad.
Sedangkan sebagian mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang
didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun
persetubuhan.

Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diberikan kepada


seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab Syafi’i
mendefinisikan sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau
persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya
seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi

Mazhab Hambali mendefinisikan sebagai pengganti dalam akad pernikahan,


baik mahar ditentukan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan
keridhaan kedua bela pihak atau hakim. Atau pengganti dalam kondisi
pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki syubhat, dan persetubuhan
secara paksa.

Mahar adalah Pemberian seorang suami kepada istrinya pada waktu


berlangsungnya akad atau sebab akad sebagai pemberian wajib. Mahar juga
didefinisikan sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon istri
dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan
calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi
istrinya.

1. Dasar Hukum Mahar

Dasar hukumnya adalah wajib atas orang laki-laki bukannya Perempuan.


Dalil- dalil wajibnya mahar adalah sebagai berikut ini :

1 . Al-Qur’an

Didalam Al-Qur’an dijelaskan yaitu firman Allah SWT dalam surah An-nisa’ : 4
yang artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkann
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(QS. An-Nisa’ : 4)
Ayat ini mewajibkan atas seorang muslim agar memberikan mahar kepada
wanita yang akan dipersunting menjadi istrinya. Dari surah An-Nisa’ ayat 24 di
atas dapat dipahami bahwa istri-istri yang telah dicampuri, berikanlah
kepadanya mahar yang sempurna sebagai suatu kewajiban.

2. Sunnah

Sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya berbunyi sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun Telah menceritakan kepada
kami Hammad dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d ia berkata: seorang wanita
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata bahwasanya, ia telah
menyerahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka beliau bersabda: Aku tidak berhasrat terhadap wanita itu. Tiba-tiba
seorang laki-laki berkata, Nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda:
Berikanlah mahar (berupa) pakaian padanya. Laki-laki itu berkata, aku tidak
punya. Beliau pun bersabda Kembali, Berikanlah meskipun hanya berupa cincin
besi. Ternyata ia pun tak punya. Kemudian beliau bertanya, apakah kamu
memiliki hafalan Al Qur`an? Laki-laki itu menjawab, Ya, surat ini dan ini. Maka
beliau bersabda: Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu, dengan mahar
hafalan Al Qur`anmu. (HR. Bukhari)

Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberikan mahar


kepada istri meskipun tidak dalam bentuk materi atau barang yang bernilai
tinggi bahkan berupa cincin besi pun boleh dijadikan mahar dan telah
memenuhi syarat sahnya nikah, Atau bahkan mengajarkan Al-Qur’an pun
dibolehkan untuk mahar dan telah memenuhi syarat sahnya nikah apabila
hanya itu kemampuan calon suami.
3. Ijma’

Disamping dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dasar diwajibkannnya Mahar


adalah Ijma’ (kesepakatan ulama). Para ulama sepakat atas diwajibkannya
mahar dalam pernikahan. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab
wath’i (bersetubuh). Hal ini dapat dilihat dalam kitab Al-Hawi Al Kabir yang
artinya sebagai berikut:

“Para ummat sepakat bahwa memberikan mahar kepada istri adalah wajib”

2. Macam-macam Mahar

Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar
musammah dan mahar mitsil.

1. Mahar Musammah

Yang dimaksud mahar dengan mahar musammah ialah mahar yang


telahditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat aqad.

2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang
biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad Nikah jumlah
mahar itu belum lagi ditetapkan bentuknya.

3. Syarat-syarat Mahar

Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, Jasa,
harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga.
disyaratkann bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya
sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari
Berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka
Menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya
batal.

Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah) dan di-
faskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad
dinyatakan sah dengan mahar mitsil.

Syarat lain bagi mahar adalah, hendaknya yang dijadikan mahar itu barang
yang halal dan dinilai berharga dalam syari’at Islam. Jadi, kalau mahar
musammah itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang
tidak bisa dimiliki secara sah, maka maliki mengatakan bahwa bila belum
terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar
mistil.

Sementara itu, Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan mayoritas ulama mazhab


imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar
mistil. Sebagian ulama mazhab imamiyah memberi batasan bagi hak istri atas
mahar mitsil dengan adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain,
sependapat dengan empat mazhab, memutlakkannya (tidak memberi
batasan).

Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan si istri berhak
atas mahar mitsil. Sementara itu, Imamiyah dan Hanafi berpendapat Bahwa,
bagaimanapun akad tetap sah. Akan hanya mahar, maka kalau sipemiliknya
memberikan barangnya tersebut. Barang itu pulalah yang menjadi mahar
musamma-nya. Tetapi ia tidak memberikannya, maka si istri Berhak
memperoleh pengganti berupa barang yang sama. Sebab, dalam kasus seperti
ini, mahar musamma merupakan barang yang bisa (sah) dimiliki, sedangkan
ketidaksahannya adalah dari sisi penetapannya. Berbeda dengan khamr dan
babi, kedua barang itu tidak halal dimiliki.
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat
Sebagai berikut :

1. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga


walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi
apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.

2. Barangnya suci dan bisa diambil mamfaat. Tidak sah mahar dengan Khamar,
babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik


orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena
berniat untuk mengembalikannya kelak.Memberikan mahar dengan barang.

4. Hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak
jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan Memberikan barang yang tidak
jelas keadaannya, atau tidak disebutkan Jenisnya.

4. Hikmah Mahar

Hikmah diwajibkannya mahar adalah menunjukkan pentingnya dan Posisi


akad ini, serta untuk menghormati dan memuliakan perempuan. Adapun
Hikmah mahar adalah:

1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan


laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita
meskipun harus mengorbankan hartanya.

2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, Karena
maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an
diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan) bukan sebagai
pembayar harga wanita.

3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah


main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

4. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga


Dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas Wanita
dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak Itu, wajar
bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus Lebih bertanggung
jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap istrinya.

Anda mungkin juga menyukai