Disusun Oleh:
Raihan ( 12070113385 )
Siti Khairani ( 12070120648 )
Wahyuni Lestari ( 12070120763 )
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah dan petunjuknya sehingga kami dapat menyclesaikan makalah ini tepat pada waktu
yang telah direncanakan. Dimana hasil laporan ini semoga saja bermanfaat dan diharapkan
dapat dijadikan panduan atau sebagai informasi Penyusunan makalah ini adalah sebagai bukti
bahwa penulis telah melaksanakan dan menyelesaikannya. Dengan ini penulis berterima
kasih kepada Bapak Khairul Akhyar yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini. kami juga mengharapkan saran dan
kritik demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bermanfaat bagi semua pembaca.
Dalam kesempatan ini juga tidaklah berlebihan apabila saya sampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan
dukungan terutama kepada teman-teman yang telah membantu pada saat pembuatan makalah
sehingga makalah ini dapat dibuat sebagaimana mestinya.
Mohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan dari isi yang
terkandung di dalam makalah ini, namun kami berharap semoga bermanfaat dan bisa
dijadikan pedoman dan sumber informasi untuk kita semua. Mudah-mudahan Allah SWT
memberikan kelancaran, kesuksesan kepada kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………..………………………………………..
Daftar Isi……………………………………………………………………..…………
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah……..………………………………………………..
1.3 Tujuan Penulisan……..…………………………………..……………..
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertan Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Islam………………
2.2 Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam…………………………..…
2.3 Kewajiban Suami terhadap Istri menurut Al-Qur’an……………..…….
2.3 Kewajiban Istri terhadap Suami menurut Al-Qur’an…………………...
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………
3.2 Saran…………………….……..……………………………………..…
A. LATAR BELAKANG
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu pernikahan ?
b. Apa tujuan dari pernikahan?
c. Bagaimana kedudukan suami istri?
d. Apa kewajiban suami terhadap istri?
e. Apa kewajiban istri terhadap suami?
f. Bagaimana kewajiban bersama?
C. Tujuan penulisan
a. Mengetahui apa saja kewajiban suami terhadap istri
b. Mengetahui apa saja kewajiban istri terhadap suami
c. Mengetahui apa saja kewajiban bersama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Dari pengertiannya menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara
laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Secara istilah, pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahramnya.
Dari akad itu juga, muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-
masing pasangan. Ketentuan mengenai pernikahan ini tergambar dalam firman Allah
SWT dalam Alquran surah Ar-Rum ayat 21:
َ ََو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل
ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن
٢١ - َت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن ٍ فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih
membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah
ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya," (H.R. Bukhari dan Muslim).
Demikian juga hukum sunah tadi dapat menjadi wajib jika seseorang sudah
memiliki kelapangan harta dan mampu memberikan hak dan kewajiban dalam rumah
tangga, namun ia meninggalkan ibadah nikah ini tanpa alasan yang jelas. Malahan,
tanpa menikah, ia cenderung akan jatuh ke dalam dosa dan perzinahan. Dalam kondisi
ini, maka seorang muslim lebih utama untuk menikah dan hukumnya menjadi wajib.
B. Tujuan Pernikahan
Dalam uraian "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga" yang
diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan beberapa tujuan
dilangsungkannya pernikahan.
Dari definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan
yang harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan hak
Adam. Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang menyangkut
hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori hak Adam.
Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap istri adalah
sebagai berikut:
1. Mahar
Menurut Mustafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon istri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ النِحْ لَةmenurut ibnu ‘Abbas artinya
ًِ َ احْ لadalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut
mahar/maskawin. Menurut ‘Aisyah, ؕةلن
Ibnu Zaid ًؕ النِحْ لَةdalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan
kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat
penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.
Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah memberikan
mahar (dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan
langsung kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan untuk diberikan
kepada isteri.
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah dilangsungkan,
ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar istrinya ataupun membayarnya
dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya kesepakatan dari
kedua belah pihak, hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi, “sebaik-baik mahar
adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan
“Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut
kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaq: 6).
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ِ ْ َوعَا ِشرُوْ هُ َّن بِ ْال َم ْعرُو,
ف
ْ memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah.
Kata ال َم ْعرُوْ ف
Karena makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya
didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan
keberadaan orang itu. Adapun kata ا ْل َم ْعرُوْ فmaknanya kita berbuat baik kepada seseorang
yang belum tentu kita sukai atau kita senangi. Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak
lagi menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi bahkan
membangkitkan kebencian di hati, maka tetaplah berlaku ma'ruf terhadapnya dan bergaul
dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut, karena bisa
jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya yang bisa
menutupi keburukannya tersebut.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa
cinta kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami
istri saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah
SWT. maka as-sakinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.
-ْؕض َّو بِ َم ۤا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم ٰ اَلرِّ جا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا
ٍ ْضهُ ْم عَلى بَع َ ض َل ُ بَع َِ ِ َ ُ َ
ٰ هّٰللا ٌ ت ٰحفِ ٰظٌ ت ٰقنِ ٰت ّ ٰ فَال
َو الّتِ ْی تَخَ افُوْ نَ نُ ُشوْ َزهُ َّن فَ ِعظُوْ هُ َّن َو ا ْه ُجرُوْ هُ َّن-ُؕ َب بِ َما َحفِظ ِ ت لِّ ْل َغ ْی ُ صلِ ٰح
اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا-ؕ فَا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َسبِ ْیاًل-ضا ِج ِع َو اضْ ِربُوْ هُ ۚ َّن َ فِی ْال َم
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang solehah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari “
َ َ “ اَل ِّر َجا ُل قَ ٰ ّو ُموْ نadalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum
علَى النِّ َسآ ِء
wanita. Artinya dalam rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus
didengar dan ditaati perintahnya, oleh karena itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati
suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata ت ٌ ٰقنِ ٰت
adalah para istri yang taat kepada suami. Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah
taat kepada suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.
ُ ُّوجْ ِد
ْ كم ُ …اَ ْس ِكنُوْ هُ َّن ِم ْن َحی
ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut
kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaq: 6).
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi
petunjuk kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah
tangga agar dapat mendatangkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam rumah
tangga. Tentu caranya tidak lain adalah dengan menjalankan kewajiban masing-
masing sebagai suami istri.
Adapun kewajiban suami terhadap istri yakni memberikan mahar kawin, nafkah
yang layak sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Tinggal, menggauli istri secara
makruf (baik), menjaga istri dari dosa, memberikan cinta dan kasih sayang. Selain
suami, istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati
suami, mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali
ada halangan syar’i, menjaga diri saat suami tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali
dengan izin suami.
B. Saran
1. Untuk masyarakat umum di Indonesia, bahwa melaksanakan kewajiban
suami-istri perlu ada pembelajaran yang harus benar-benar dipahami, sehingga
hak dan kewajibannya bisa terpenuhi secara maksimal, sehingga setelah
menikah suami maupun istri mengetahui dimana yang harus dilakukannya
sebagai kewajiban, dan dimana yang harus didapatkannya sebagai hak, jangan
sampai hal ini terbalik dan akhirnya bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam
rumah tangga.
2. Untuk suami istri, dalam melaksanakan kewajiban, haruslah ada
keterkaitannya dengan hal yang bersangkutan, artinya di antara kedua belah
pihak baik suami maupun istri mendapatkan haknya dengan baik. Karena
ketika seseorang menuntut haknya dengan baik, tentu dia akan sadar mana
yang harus dilakukannya sebagai kewajiban. Agar dalam menjaga keutuhan
rumah tangga tetap dalam bahtera yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman.
3. Untuk pembaca karya tulis ini, bahwa hidup dalam sebuah rumah tangga pasti
ada masalah yang berkaitan dengan suami maupun istri, oleh karena nya
cobalah untuk saling mengerti dan memahami sifat perbedaan diantara kedua
belah pihak tersebut, sehingga kerukunan tetap terjalin dengan baik. Oleh
karena itu suami maupun istri alangkah lebih baiknya mengetahui dan
memahami terlebih dahulu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya
sehingga hak-haknya pun akan terpenuhi, dan yang paling penting adalah
suami istri saling menerima dan saling memberi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalidi, Shalah ‘Abdul Fattah. Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 Shahih, Sistematis,
Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al, cet. kedua. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.
________ Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos
Kosasih, et al. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.
Arifandi, Firman. Serial Hadist 6 : Hak Kewajiban Suami Istri. Jakarta : Rumah Fiqih
Publishing. 2020.
Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu Barnawa,
cet. kelima. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Bigha, Musthafa Diibul. Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, alih bahasa oleh Uthman
Mahrus. Semarang: Asy Syifa’, 1994.
Dahlan, Abdul Azis et al. Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000.
Departemen Agama RI. Bahan Penyuluhan Hukum, ed. V. Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al
Barsany dan Moh. Tolhah Mansoer, Ed. I, cet. VII. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Ma’ani, Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur. Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis,
terj. Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari. Tafsir Ath-Thabari Jilid 6. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.