Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah: Dosen Pembimbing:

Fiqih Khairul Akhyar

KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM AGAMA ISLAM

Disusun Oleh:
Raihan ( 12070113385 )
Siti Khairani ( 12070120648 )
Wahyuni Lestari ( 12070120763 )

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah dan petunjuknya sehingga kami dapat menyclesaikan makalah ini tepat pada waktu
yang telah direncanakan. Dimana hasil laporan ini semoga saja bermanfaat dan diharapkan
dapat dijadikan panduan atau sebagai informasi Penyusunan makalah ini adalah sebagai bukti
bahwa penulis telah melaksanakan dan menyelesaikannya. Dengan ini penulis berterima
kasih kepada Bapak Khairul Akhyar yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini. kami juga mengharapkan saran dan
kritik demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bermanfaat bagi semua pembaca.

Dalam kesempatan ini juga tidaklah berlebihan apabila saya sampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan
dukungan terutama kepada teman-teman yang telah membantu pada saat pembuatan makalah
sehingga makalah ini dapat dibuat sebagaimana mestinya.

Mohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan dari isi yang
terkandung di dalam makalah ini, namun kami berharap semoga bermanfaat dan bisa
dijadikan pedoman dan sumber informasi untuk kita semua. Mudah-mudahan Allah SWT
memberikan kelancaran, kesuksesan kepada kita semua.

Pekanbaru, 22 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………..………………………………………..
Daftar Isi……………………………………………………………………..…………

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah……..………………………………………………..
1.3 Tujuan Penulisan……..…………………………………..……………..
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertan Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Islam………………
2.2 Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam…………………………..…
2.3 Kewajiban Suami terhadap Istri menurut Al-Qur’an……………..…….
2.3 Kewajiban Istri terhadap Suami menurut Al-Qur’an…………………...
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………
3.2 Saran…………………….……..……………………………………..…

Daftar Pustaka……. …………………………………………………………………..


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah SWT menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan tanpa kecuali,


sekecil apapun ciptaan Allah SWT pasti mempunyai pasangannya masing-masing
tidak terkecuali manusia. Sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna dan
juga sebagai khalifah di muka Bumi, manusia mempunya tanggung jawab mematuhi
ketentuan-ketentuan yang Allah SWT. telah tetapkan baik melalui Firman-Nya
maupun melalui Sabda Rasul-Nya. Salah satu ketentuan-Nya adalah tentang
pernikahan dan tanggung jawab yang timbul akibat adanya pernikahan tersebut.
Setiap manusia pasti punya keinginan untuk menikah dan membangun rumah tangga
yang harmonis karena menikah merupakan salah satu sunnatullah. Namun banyak
sekali rumah tangga yang tidak bahagia disebabkan kurangnya pengetahuan pasangan
suami istri tentang bagaimana membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawadah
dan rahmah sesuai petunjuk Al-Qur’an.

Menikah bukan hanya bertujuan untuk meneruskan keturunan, namun


seyogyanya menikah merupakan ikatan sah dari dua insan berbeda, dua karakter yang
berbeda, dua pikiran yang berbeda, dan dua sifat yang berbeda yang kemudian
disatukan dalam bahtera rumah tangga sebagai suami isteri. Penyatuan tersebut tentu
akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, sehingga Allah SWT sebagai
Sang Maha Pencipta dalam Firmannya telah memberikan aturan-aturan bagi manusia,
agar manusia menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami istri sehingga
pada akhirnya dapat mengantarkan rumah tangganya sebagai suatu lingkungan yang
harmonis sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
a. Apa itu pernikahan ?
b. Apa tujuan dari pernikahan?
c. Bagaimana kedudukan suami istri?
d. Apa kewajiban suami terhadap istri?
e. Apa kewajiban istri terhadap suami?
f. Bagaimana kewajiban bersama?
C. Tujuan penulisan
a. Mengetahui apa saja kewajiban suami terhadap istri
b. Mengetahui apa saja kewajiban istri terhadap suami
c. Mengetahui apa saja kewajiban bersama
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Dari pengertiannya menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara
laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Secara istilah, pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahramnya.

Dari akad itu juga, muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-
masing pasangan. Ketentuan mengenai pernikahan ini tergambar dalam firman Allah
SWT dalam Alquran surah Ar-Rum ayat 21:

َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل‬
‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن‬
٢١ - َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬ ٍ ‫فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri


dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia [juga] telah
menjadikan di antaramu [suami, istri] rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,"
(Ar-Rum [30]: 21).

Dilansir dari NU Online, pada dasarnya hukum menikah adalah sunnah.


Artinya, siapa yang mengerjakannya mendapatkan pahala, namun tidak berdosa jika
meninggalkannya. Hal ini berdasarkan imbauan dari Nabi Muhammad SAW:

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih
membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah
ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya," (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kendati demikian, berdasarkan konteks dan keadaan yang dialami seorang


muslim, hukum sunah tadi dapat berubah menjadi makruh. Sebagai misal, jika ada
keinginan menikah, namun sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan untuk
menafkahi keluarganya.

Demikian juga hukum sunah tadi dapat menjadi wajib jika seseorang sudah
memiliki kelapangan harta dan mampu memberikan hak dan kewajiban dalam rumah
tangga, namun ia meninggalkan ibadah nikah ini tanpa alasan yang jelas. Malahan,
tanpa menikah, ia cenderung akan jatuh ke dalam dosa dan perzinahan. Dalam kondisi
ini, maka seorang muslim lebih utama untuk menikah dan hukumnya menjadi wajib.
B. Tujuan Pernikahan
Dalam uraian "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga" yang
diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan beberapa tujuan
dilangsungkannya pernikahan.

Tujuan-tujuan ini berupaya untuk mengantarkan seorang muslim agar memperoleh


kebahagiaan di dunia dan akhirat :
1. Memenuhi kebutuhan dasar manusia
Pernikahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan itu
terdiri dari kebutuhan emosional, biologis, rasa saling membutuhkan, dan lain
sebagainya.
2. Mendapatkan ketenangan hidup.
Dengan menikah, suami atau istri dapat saling melengkapi satu sama lain. Jika merasa
cocok, kedua-duanya akan memberi dukungan, baik itu dukungan moral atau materil,
penghargaan, serta kasih sayang yang akan memberikan ketenangan hidup bagi kedua
pasangan.
3. Menjaga akhlak.
Dengan menikah, seorang muslim akan terhindar dari dosa zina,
4. Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
Perbuatan yang sebelumnya haram sebelum menikah, usai dilangsungkan perkawinan
menjadi ibadah pada suami atau istri.
Sebagai misal, berkasih sayang antara yang berbeda mahram adalah dosa, namun jika
dilakukan dalam mahligai perkawinan, maka akan dicatat sebagai pahala di sisi Allah
SWT.
5. Memperoleh keturunan yang saleh dan salehah
Salah satu amal yang tak habis pahalanya kendati seorang muslim sudah meninggal
adalah keturunan yang saleh atau salehah.
Dengan berumah tangga, seseorang dapat mendidik generasi muslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT, yang merupakan tabungan pahala dan amal
kebaikan yang berkepanjangan.

C. Kedudukan Suami Istri


Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama di masyarakat, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

D. Kewajiban suami terhadap istri


Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad
pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya.
Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya
berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara
tentang kewajiban suami terhadap istri, maka bisa juga berarti hak istri atas suami. Kewajiban
adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah segala
sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu.

Dari definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan
yang harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan hak
Adam. Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang menyangkut
hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori hak Adam.
Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap istri adalah
sebagai berikut:

1. Mahar
Menurut Mustafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon istri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:

َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َسآ َء‬


‫فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْی ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ْٓیــٴًـا َّم ِر ْٓیــٴًـا‬-ًؕ‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن نِحْ لَة‬

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ‫ النِحْ لَة‬menurut ibnu ‘Abbas artinya
ًِ َ‫ احْ ل‬adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut
mahar/maskawin. Menurut ‘Aisyah, ؕ‫ةلن‬
Ibnu Zaid ًؕ‫ النِحْ لَة‬dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan
kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat
penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.

Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah memberikan
mahar (dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan
langsung kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan untuk diberikan
kepada isteri.

Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah dilangsungkan,
ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar istrinya ataupun membayarnya
dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya kesepakatan dari
kedua belah pihak, hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi, “sebaik-baik mahar
adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan
“Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

2. Nafkah, Pakaian dan Tempat Tinggal.


Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Fuqaha telah sependapat
bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang merdeka dan berada di tempat.
Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap mewajibkan suami atas
nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kecuali dengan
putusan penguasa. Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan Allah SWT. dalam Al-
Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.

ٗ‫و َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَه‬-ؕ


َ َ‫ضا َعة‬ َ ‫ض ْعنَ اَوْ اَل َدهُ َّن َحوْ لَی ِْن َكا ِملَی ِْن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن ُّیتِ َّم ال َّر‬ ُ ‫َو ْال َوالِ ٰد‬
ِ ْ‫ت یُر‬
‫ف نَ ْفسٌ اِاَّل ُو ْس َعهَا‬ ِ ْ‫ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
ُ َّ‫اَل تُ َكل‬-ؕ‫ف‬

Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”

ْ pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya,


Maksud dari kata ٗ‫ال َموْ لُوْ ِد لَه‬
ayah si anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara
ْ ِ‫ ب‬adalah menurut kebiasaan yang telah
yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan ِ‫ال َم ْعرُوْ ف‬
berlaku di masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan
disesuaikan juga dengan kemampuan finansial ayahnya. Adapun menyediakan tempat tinggal
yang layak adalah juga kewajiban seorang suami terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah
SWT berikut:

ْ‫ُّوجْ ِد ُكم‬ ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ هُ َّن ِم ْن َحی‬


‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن‬

Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut
kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaq: 6).

3. Menggauli istri secara baik.


Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Quran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
‫ْض َم ۤا‬
ِ ‫ضلُوْ هُ َّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬ ُ ‫ٰۤیا َ ُّیهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا اَل یَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسآ َء َكرْ هًاؕ َواَل تَ ْع‬
‫ـفَا ِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ هُ َّن فَ َع ٰۤسى اَ ْن‬-‫ف‬ ِ َ‫ٰاتَ ْیتُ ُموْ هُ َّن اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ ْینَ بِف‬
ِ ‫اح َش ٍة ُّمبَیِّنَ ۚ ٍة َوع‬
ِ ۚ ْ‫َاشرُوْ هُ َّن بِ ْال َم ْعرُو‬
‫تَ ْك َرهُوْ ا َشیْــٴًـا َّویَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْی ِه خَ ْیرًا َكثِ ْیرًا‬

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Maksud dari kata ‫ف‬ِ ْ‫َاشرُوْ هُ َّن بِ ْال َم ْعرُو‬


ِ ‫ َوع‬adalah ditujukan kepada suami-suami agar
berbicara dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam perbuatan dan
penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka hendaklah
suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadits dari riwayat ‘Aisyah ra., bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya,
dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah
saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu bergembira bermain dengan
keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi kelapangan dalam hal nafkah,
dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.

Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ِ ْ‫ َوعَا ِشرُوْ هُ َّن بِ ْال َم ْعرُو‬,
‫ف‬
ْ memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah.
Kata ‫ال َم ْعرُوْ ف‬
Karena makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya
didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan
keberadaan orang itu. Adapun kata ‫ ا ْل َم ْعرُوْ ف‬maknanya kita berbuat baik kepada seseorang
yang belum tentu kita sukai atau kita senangi. Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak
lagi menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi bahkan
membangkitkan kebencian di hati, maka tetaplah berlaku ma'ruf terhadapnya dan bergaul
dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut, karena bisa
jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya yang bisa
menutupi keburukannya tersebut.

4. Menjaga istri dari dosa.


Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan
pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya.
Dengan ilmu agama seseorang mampu membedakan baik dan buruknya perilaku dan dapat
menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan
nasehat atau teguran ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan
kata-kata bijak yang tidak melukai hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-
Tahrim ayat 6 berikut :
‫ٰۤیا َ ُّیهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا قُ ۤوْ ا اَ ْنفُ َس ُك ْم َو اَ ْهلِ ْی ُك ْم نَارًا َّو قُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْیهَا َم ٰلٓ ٕى َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد‬
‫هّٰللا‬
َ‫رهُ ْم َو یَ ْف َعلُوْ نَ َما یُْؤ َمرُوْ ن‬ َ ‫اَّل یَ ْعصُوْ نَ َ َم ۤا اَ َم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

5. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.


Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat ‫َو‬
ًؕ‫ َج َع َل بَ ْینَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمة‬dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta
dan kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu
membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri
sekaligus ibu rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian,
ketulusan, keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.

Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa
cinta kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami
istri saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah
SWT. maka as-sakinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.

E. Kewajiban Istri Terhadap Suami Menurut Al-Qur’an

1. Taat kepada suami


Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

-ؕ‫ْض َّو بِ َم ۤا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ ٰ ‫اَلرِّ جا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا‬
ٍ ‫ْضهُ ْم عَلى بَع‬ َ ‫ض َل ُ بَع‬ َِ ِ َ ُ َ
ٰ ‫هّٰللا‬ ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ّ ٰ ‫فَال‬
‫ َو الّتِ ْی تَخَ افُوْ نَ نُ ُشوْ َزهُ َّن فَ ِعظُوْ هُ َّن َو ا ْه ُجرُوْ هُ َّن‬-ُؕ َ‫ب بِ َما َحفِظ‬ ِ ‫ت لِّ ْل َغ ْی‬ ُ ‫صلِ ٰح‬
‫اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا‬-ؕ ‫فَا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َسبِ ْیاًل‬-‫ضا ِج ِع َو اضْ ِربُوْ هُ ۚ َّن‬ َ ‫فِی ْال َم‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang solehah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari “
َ َ‫ “ اَل ِّر َجا ُل قَ ٰ ّو ُموْ ن‬adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum
‫علَى النِّ َسآ ِء‬
wanita. Artinya dalam rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus
didengar dan ditaati perintahnya, oleh karena itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati
suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata ‫ت‬ ٌ ‫ٰقنِ ٰت‬
adalah para istri yang taat kepada suami. Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah
taat kepada suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.

2. Mengikuti tempat tinggal suami


Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal,
karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di
rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal sendiri. Dalam
hal ini seorang istri harus mengikuti kemana suami bertempat tinggal, entah itu di rumah
orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri
untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai
berikut:

ُ ‫ُّوجْ ِد‬
ْ ‫كم‬ ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ هُ َّن ِم ْن َحی‬
‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut
kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaq: 6).

3. Menjaga diri saat suami tak ada


Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus
membatasi tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang harus
dilakukan adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada suami yang
menemani dan seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi mendatangkan fitnah
haruskah dihindari. Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah
dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.”
(QS. Annisa:34).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi
petunjuk kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah
tangga agar dapat mendatangkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam rumah
tangga. Tentu caranya tidak lain adalah dengan menjalankan kewajiban masing-
masing sebagai suami istri.
Adapun kewajiban suami terhadap istri yakni memberikan mahar kawin, nafkah
yang layak sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Tinggal, menggauli istri secara
makruf (baik), menjaga istri dari dosa, memberikan cinta dan kasih sayang. Selain
suami, istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati
suami, mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali
ada halangan syar’i, menjaga diri saat suami tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali
dengan izin suami.

B. Saran
1. Untuk masyarakat umum di Indonesia, bahwa melaksanakan kewajiban
suami-istri perlu ada pembelajaran yang harus benar-benar dipahami, sehingga
hak dan kewajibannya bisa terpenuhi secara maksimal, sehingga setelah
menikah suami maupun istri mengetahui dimana yang harus dilakukannya
sebagai kewajiban, dan dimana yang harus didapatkannya sebagai hak, jangan
sampai hal ini terbalik dan akhirnya bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam
rumah tangga.
2. Untuk suami istri, dalam melaksanakan kewajiban, haruslah ada
keterkaitannya dengan hal yang bersangkutan, artinya di antara kedua belah
pihak baik suami maupun istri mendapatkan haknya dengan baik. Karena
ketika seseorang menuntut haknya dengan baik, tentu dia akan sadar mana
yang harus dilakukannya sebagai kewajiban. Agar dalam menjaga keutuhan
rumah tangga tetap dalam bahtera yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman.
3. Untuk pembaca karya tulis ini, bahwa hidup dalam sebuah rumah tangga pasti
ada masalah yang berkaitan dengan suami maupun istri, oleh karena nya
cobalah untuk saling mengerti dan memahami sifat perbedaan diantara kedua
belah pihak tersebut, sehingga kerukunan tetap terjalin dengan baik. Oleh
karena itu suami maupun istri alangkah lebih baiknya mengetahui dan
memahami terlebih dahulu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya
sehingga hak-haknya pun akan terpenuhi, dan yang paling penting adalah
suami istri saling menerima dan saling memberi.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Shalah ‘Abdul Fattah. Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 Shahih, Sistematis,
Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al, cet. kedua. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.

________ Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos
Kosasih, et al. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.

Arifandi, Firman. Serial Hadist 6 : Hak Kewajiban Suami Istri. Jakarta : Rumah Fiqih
Publishing. 2020.

Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu Barnawa,
cet. kelima. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Bigha, Musthafa Diibul. Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, alih bahasa oleh Uthman
Mahrus. Semarang: Asy Syifa’, 1994.

Dahlan, Abdul Azis et al. Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000.

Departemen Agama RI. Bahan Penyuluhan Hukum, ed. V. Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2001.

Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al
Barsany dan Moh. Tolhah Mansoer, Ed. I, cet. VII. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Ma’ani, Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur. Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis,
terj. Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari. Tafsir Ath-Thabari Jilid 6. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.

Anda mungkin juga menyukai