FIQIH MUNAKAHAT
Kelompok: 01
Nama: 1. Annisa istiqomah (2120104037)
2. Oktareni (2120104038)
3. M. dimas satriawan (2120104039)
Kelompok 01
DAFTAR ISI
Cover
Kata penantar
Daftat isi
Bab I Pendahuluan
Latar belakang
Rumusan masalah
Bab II Pembahasan
A. Pengertian prnikahan/perkawinan
B. Syarat perkawinan
C. Hukum pernikahan/perkawinan
Bab III Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dasarnya hukum islam sudah mengatur tentang pernikahan
sesuai dengan ketentuan syari’at islam. secara garis besar hukum
islam terbagi menjadi dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. dalam
fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan
sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan tuhannya. sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya seperti perikatan,sanksi hukum dan
aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara
perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud
dengan nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha
yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah adalah ikatan
suami istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta
kewajiban bagi suami istri. dalam hukum kekeluargaan harus disertai
dengan kuat agama yang disyariatkan islam. beberapa hukum tersebut
dapat dipelajari dalam al-qur’an dan as-sunnah. Selanjutnya akan di
bahas di bab pembahasan.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dari latar belakang:
1. Apa dasar hukum islam yang telah di atur tentang pernikahan?
2. Apa yang di maksud dengan nikah ?
3. Apa kewajiban suami terhadap istri?
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian pernikahan/perkawinan
Istilah nikah berasal dari bahsa arab, yaitu (alnikah) ada pula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah
dan perkataan zawaj1. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara
pernikahan dan perkawinan, akan tetapi prinsipnya pernikahan dan
perkawinan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.2
Perkawonan adalah;
5
Oyoh bariah, rekonstruksi pencatatan perkawian dalam hukum islam, solusi, vol 1,no 04, 2015 hlm 20-29
a. Wajib
Wajib apabila seseorang telah mampu baik fisik maupun
finansial, apabila tidak segera menikah maka dikwatirkan
membuat zina.
Keadaan seseorang seperti diatas wajib untuk menikah
tetapi tidak sama dengan kewajiban pada fardhu nikah di atas.
Karena dalam fardu, dalilnya pasti yakni (qath’i)sebab sebabnya
pun pasti. Sedangkan wajib nikah, dalil dan sebang sebabnya
adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk hukumnya pun
tidak qath’I tetapi zhanni.6
b. Sunnah
Apabila nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan menikah tetapi hasih bisa menahan diri.
Alasan menetapkan hukum sunnah itu adalah dari anjuran
al-qur’an seperti tersebut dalam surat an-nur ayat 32 dan hadits
nabi yang di riwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
mas’ud yang di kemukakan dalam menerangkan sikap agama
islam dalam perkawinan. Baik ayat al-qur’an maupun as-sunnah
tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qorinah-qorinah
yang ada, perintah nabi tidak mengfaedahkan hukum wajib,
tetapi hukum sunnah saja.7
c. Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemapuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukumnya
melakukan perkawinan tersebut adalah haram. Al -Qur’an surah al
Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang aka n
mendatangkan kerusakan:
6
Abi Zahrah, al ahwal asy-syakhshiyah,Qismu Az-Zawaj, Hlm. 21
7
Perkawinan yang hukumnya sunnah berarti perkawinan itu lebih baik di lakukan dari pada di tinggalkan,
ditinggalkan tidak mrdapatkan dosa, dikerjakan mendapat pahala
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan.”8
d. Makruh
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi
istrinya.
Tidak ada asumsi bahwa di perbolehkan berzina bagi
seseorang dalam kondisi seperti di atas hal ini tidak mungkin
pernah terlintas dalam hati seorang ahli syariah. Hal tersebut
dimaksudkan mencegah kejahatan terhadap istri dan
melemahkannya agar memeliharanya dengan cara berpuasa
sebagaimana sabda nabi saw bahwa berpuasa itu Sebagian
perisai baginya dan lain-lain.9
e. Mubah
Orang yang hendak menikah tetapi madih mampu menahan
nafsunya dari zina dan dia belum berniat untuk segera menikah
dan mempunyai anak.
Seorang dalam keadaan normal ataupun tidak akan
melakukan perbuatan zina. Akan tetapi yang menjadi wajib
adalah berhati-hati terhadap dirinya yang memeliharanya
dengan menikah. Nikah ini di tuntun dengan tuntutan yang kuat
seperti melihat aurat Wanita lain hukumnya haram, karena
pertanda mendatangkan perbuatan zina dan mendorong nafsu
dan mencarinya. Dalam hal ini hukumnya sama yaitu fardu atau
wajib.10
8
Perkawinan yang hukumnya haram dilarang keras dilakukan ,jika dilakukan berdosa, jan dika di tinggalkan
mendapat pahala.
9
Nail Al-Authar,juz 6, hlm. 7
10
Abi Zahrah, al-ahwalasy-syakhshiyah,Qism az-zawaj, hlm. 23.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga yang
sakinah, tenteram, dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang, dengan
menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Perkawinan itu sah apabila telah memenuhi rukun dan
syaratnya. Hukum dalam melakukan perkawinan itu ada 5 yaitu
wajib, sunnah, makruh, mubah, haram, hukum perkawinan tersebut
tergantung pada manusia atau seseorang dalam kemampuan fisik,
finansial maupun menahan nafsunya.
Dan perkawinan yang baik itu sebaiknya dicatatkan yang
disertai pembuktikaannya dengan akta nikah sehingga akan
mendatangkan maslahat (kebaikan dan manfaat) untuk pihak istri dan
keturunannya. Apabila perkawinan itu tidak dicatat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku akan membawa kemudaratan kepada pihak-
pihak yang melakukannya dan juga kepada keturunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kamal mukhtar,asas-asas hukum islam tentang perkawinan, Jakarta:
bulan bintang, 1974, hlm, 79.
Sudarsono, hukum keluarga nasional, Jakarta: Rineka cipta, 1997,
hlm, 62.
Al-imam taqi al-din abi bakr bin Muhammad al-husaini al-damsyiqi
al-syafi’I, kifayah al-akhyar fi halli ghayat al-ikhtishar,semarang:
usaha keluarga, t.th., juz 2, hlm. 36.
Abdurrahman al-jazari, al-fiqh ‘ala madzahib al-arba’ah, Beirut: dar
al-fikr,1986,jilid IV, hlm. 212.