Anda di halaman 1dari 21

11/4/2019 KELOMPOK 6

SANTUY SQUAD

Hukum Fiqih :
Pernikahan dalam
Tinjauan Hukum
Islam

Nama Anggota:
- Ainan Ahmad
- Lutfa Amalia Fikana
- Muhammad Nugraha
- Nikentalia Putri
- Novitriana Caroline Dewanto
- Rahma Khoirunnisa
- Restu Agung Pambudi
Pernikahan dalam Tinjaun Hukum Islam
Pernikahan adalah anjuran Allah SWT bagi manusia untuk mempertahankan
keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai
dan menurut kaidah norma agama. Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang
saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan dilangsungkan untuk mencapai
tujuan hidup manusia (baca tujuan pernikahan dalam islam) dan mempertahankan
kelangsungan jenisnya.
Fiqih pernikahan atau munakahat adalah ilmu yang menjelaskan tentang syariat
suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata cara yang dalam hal ini
menyangkut pernikahan. Adapun hal-hal tersebut dapat disimak dalam penjelasan
berikut ini

A. Pengertian Nikah

Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
masyarakatagama islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu
jalan untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan
juga dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan
memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi
bahasa Indonesia pernikahan berasal dari kata nikah, yang kemudian diberi
imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”.
Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Pernikahan
dalam islam juga berkaitan dengan pengertian mahram (baca muhrim dalam
islam) dan wanita yang haram dinikahi.
1. Pengertian menurut etimologi
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata
an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di
atas, menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal
dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan
mengumpulkan serta sikap yang ramah. adapun pernikahan yang berasalh dari
kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam
istilah ilmu fiqih disebut ) ‫ ( نكاح‬,) ‫ ( زواج‬keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah
dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ) ‫ ( الوطء والضم‬baik arti secara hakiki )
‫ ( الضم‬yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ) ‫ ( الوطء‬yakni
perjanjian atau bersetubuh.

2. Pengertian Menurut Istilah


Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih
memiliki pendapatnya sendiri antara lain :

1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat


pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan
perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah
kepuasan atau kenikmatan.
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal ‫ ُح حاكَكنِن‬, atau ‫ كَ ز كَ وا ُح ج‬, yang memiliki arti pernikahan
menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau
perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang
dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafal ‫ان ْن ن كَ كا ُح ح‬
ِ atau ‫ كَ ْن ِن و ْن ُح ج‬yang artinya pernikahan
membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
5. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara
laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati
yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat
yang bersih
6. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan
bahwa nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi
halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara
keduanya.

B. Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang


menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar
hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

(Q.S. An-Nisaa’ : 1(.


”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha
mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan
untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum
mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan
peredam (syahwat)nya”.

C. Hukum Pernikahan

Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi
atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam

 Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak
menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
 Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun
jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
 Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri
dari zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Ditakutkan
akan menimbulkan mudarat salah satunya akan menelantarkan istri dan anaknya
 Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk
menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk
kesenangan semata
 Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan
dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat
memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat
memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya
apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.

D. Rukun dan Syarat Pernikahan

Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi
agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi
maupun nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang
harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab
kabul hukumnya tidak sah.
a. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan,
mencakup :

1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan


2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saksi
4. Ijab kabul yang sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan
dijawab oleh calon mempelai laki-laki.
b. Syarat Nikah
Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah

1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini

 Beragama Islam
 Berjenis kelamin Laki-laki
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak memiliki halangan untuk menikah

2. Calon istri dengan syarat-syarat

 Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani
maupun yahudi)
 Berjenis kelamin Perempuan
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak terhalang untuk menikah

3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga urutan
wali nikah).
 Laki-laki
 Dewasa
 Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
 Adil
 Beragama Islam
 Berakal Sehat
 Tidak sedang berihram haji atau umrah

4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;

 Minimal terdiri dari dua orang laki-laki


 Hadir dalam proses ijab qabul
 mengerti maksud akad nikah
 beragama islam
 Adil
 dewasa

5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :

 Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh
pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas
dan dapat didengar oleh para saksi.

Fikih pernikahan atau munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan
diketahui umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai
dengan tuntunan syariat agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat
membatalkan pernikahan.
Rukun dan Syarat Akad Nikah

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun
dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap.

Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan
dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat
adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari
amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada
dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun
wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat
namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.

Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih
pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul
Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam
Ahmad, 2/154)

Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang
ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan
syarat ini.

Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i
untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu
pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram
dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan.
Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya
misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya
seorang muslimah.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan
posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” )“Aku
nikahkan engkau dengan si Fulanah”( atau “Ankahtuka Fulanah” )“Aku nikahkan
engkau dengan Fulanah”(.

3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij”
)“Aku terima pernikahan ini”( atau “Qabiltuha.”

Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang
datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah k:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya


(menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang
telah diceraikan Zaid(.” )Al-Ahzab: 37)

Dan firman-Nya:

“Janganlah kalian menikahi )tankihu2( wanita-wanita yang telah dinikahi oleh


ayah-ayah kalian )ibu tiri(.” )An-Nisa`: 22)

Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan,
yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah t, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim t, memilih pendapat
yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang
menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan
bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz
tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti
Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah
seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan
isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5,
Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)

Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita
dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang
khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku
nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.

Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu
Hurairah z secara marfu’:

َ‫الَ ت ُ ْن َك ُح ْاْلَيِِّ ُم َحتَّى ت ُ ْست َأ ْ َم َر َوالَ ت ُ ْن َك ُح ْالبِ ْك ُر َحتَّى ت ُ ْستَأْذَن‬

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai


pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya
menikahkannya tanpa seizinnya.

Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi n bersabda:

ِّ ‫الَ نِكَا َح ِإالَّ ِب َو ِل‬


‫ي‬

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” )HR. Al-Khamsah kecuali An-
Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839)

Beliau n juga bersabda:

ِ ‫ َف ِنكَا ُح َها َب‬،ٌ‫اطل‬


‫اط ٌل‬ ِ ‫ فَ ِنكَا ُح َها َب‬،ٌ‫اطل‬ ْ ‫أَيُّ َما ْام َرأَة نَ َك َح‬
ِ ‫ت ِب َغي ِْر ِإذْ ِن َم َوا ِل ْي َها فَ ِنكَا ُح َها َب‬

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil,
nikahnya batil, nikahnya batil.” )HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka
nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan
hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah g.
Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan
Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila,
Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti
ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada,
karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan
urusan nikahnya kepada selain walinya. )Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil
Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya.
Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam
pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-
laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara
laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak
keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki,
paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.

Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal),


saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena
mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-
Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib(

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita
adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas
(bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu
laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-
lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak
laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu
barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus
ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).
Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan),
kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah
sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin
Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya(. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan
dalil sabda Rasulullah n:

ُ‫ي لَه‬
َّ ‫ي َم ْن الَ َو ِل‬ َ ‫فَالس ُّْل‬
ُّ ‫طانُ َو ِل‬

“Maka sulthan )penguasa( adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi
Dawud)

Syarat-syarat Wali

Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:

1. Laki-laki

2. Berakal

3. Beragama Islam

4. Baligh

5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah n bersabda:

ُ ‫الَ يُ ْن ِك ُح ْالـ ُمحْ ِر ُم َوالَ يُ ْن َك ُح َوالَ َي ْخ‬


ُ‫طب‬

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan,
dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki
‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan
dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta
anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam
dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam
mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab
Syafi’iyyah.

Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya


sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani
terang-terangan berbuat dosa.

Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya
sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga
bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu
memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia
memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil,
tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. )Fiqhun Nisa` fil
Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan
wali nikah, disebutkan:

Pasal 19

Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim

Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan ; kelompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai.

Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.

Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah


kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak
menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-
syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau
sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya.

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau adhal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin
Abdullah c secara marfu’:

‫ي َعدْل‬ ِّ ‫الَ نِكَا َح ِإالَّ ِب َو ِل‬


ْ َ‫ي َوشَا ِهد‬

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” )HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’
no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557(

Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang
adil.

Al-Imam At-Tirmidzi t mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul


ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi n maupun orang-orang setelah mereka dari
kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah
pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang
menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.”
(Sunan At-Tirmidzi, 2/284)

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai


saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut
jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:

Pasal 24

1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.

2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.

3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak
dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang
diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.

4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari


Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Pernikahan Yang Dilarang Oleh Islam

Pernikahan Yang Dilarang Dalam Syariat Islam – Pernikahan adalah ikatan


lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah tangga
yang berdasarkan pada tuntunan agama. pernikahan dapat pula diartikan suatu
perjanjian atau akad ijab dab qabul antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan badaniyah sebagai suami istri yang sah serta
mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah di tentukan dalam syariat
islam.

Dalam sebuah pernikahan ada yang namanya ijab dan qabul.Ijab adalah suatu
pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada
seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat-syarat dan rukun yang
telah ditentukan oleh syariat islam. Sedangkan Qabul adalah suatu pernyataan
penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau
wakilnya.
Pernikahan merupakan salah satu sendi pokok dari pergaulan bermasyarakat. oleh
karena itu agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan
pernikahan bagi yang sudah mampu sehingga dapat terhindar dari perbuatan yang
terlarang.

Selain itu juga merupakan satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
beragama dan bermasyarakat. Pernikahan bukan hanya suatu jalan untuk
membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan, Pernikahan juga
dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas
serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. akan tetapi dalam syariat
islam ada beberapa macam bentuk pernikahan yang dilarang, berikut ini adalah
beberapa macam pernikahan yang dilarang dalam agama islam.

Macam-macam pernikahan yang dilarang dalam Islam


1. Nikah Mut’ah

Nikah Mut’ah adalah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenang-senang dan
hanya untuk jangka waktu seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya. Nikah
mut’ah awalnya diperbolehkan oleh Rasulullah Saw yaitu pada saat sering terjadi
peperangan yang menyita waktu yang sangan panjang. dikarenakan para suami
meninggalkan para istri ke medan peperangan dengan waktu yang lama. dengan
pertimbangan untuk menghindari para sahabat melakukan perbuatan zina, maka
pada waktu itu Rasulullah saw membolehkan nikah mut’ah karena dianggap
darurat dan sifatnya sementara.

Nikah Mut’ah juga dilarang oleh Rasulullah, hal ini dikwatirkan akan terjadi
pelecehan terhadap wanita dan tidak sesuia dengan tujuan pernikahan yaitu
membentuk kehidupan yang bahagia, melestarikan keturunan, menjaga martabat
manusia dan yang lainnya. Mengenai larangan melakukan nikah mut’ah
Rasulullah Saw menjelaskan dalam sebuah hadist berikut ini.

Artinya: Dari Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:”
Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk menikahi perempuan secara
mut’ah. Sekarang Allah Swt mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Kemudian
siapa yang mempunyai istri hasil nikah mut’ah hendaklah ia melepaskannya dan
jangan kalian mengambil sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka.” )HR.
Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban(

2. Nikah Syighar

Nikah Syighar merupakan pernikahan yang disasari oleh janji atau kesepakatan
penukaran, yaitu menjadiakan dua orang perempuan sebagai jaminan atau mahar
masing-masing. ucapan akadnya bisa sabagai berikut : “ Saya nikahkan anda
dengan anak atau saudara perempuan saya, dengan syarat anda menikahkan saya
dengan anak/saudara perempuan anda.” Pernikahan Syighar termasuk pernikahan
dalam adat jahiliyah karena pernikahan ini dilarang oleh agama islam dan apa bila
terjadi pernikahan seperti ini maka pernikahannya batal. Rasullah saw bersabda:

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, ia berkata Rasulullah saw telah melarang nikah
syighar, yaitu seorang mengawinkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki
dengan syarat laki-laki itu harus mengawinkan anak perempuannya kepada laki-
laki pertama dan masing-masing tidak membayar mahar.” )HR Bukhari dan
Muslim)

3. Nikah Muhallil

Muhallil adalah menghalalkan atau membolehkan, jadi yang dimaksud dengan


nikah mutahallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan
untuk menghalalkan perempuan yang dinikahinya agar dinikahi lagi oleh mantan
suaminya yang telah menalak tiga )talak ba’in(. Dengan kata lain nikah muhallil
ialah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang
sudah di talak tiga, dengan tujuan agar mantan suaminya yang menalak tiga dapat
menikahi kembali perempuan tersebut setelah diceraikan oleh suaminya yang
baru.

Disebut pernikahan muhallil, sebab pernikahan tersebut menjadikan mantan suami


yang telah menalak tiga halal menikahi dengan mantan istrinya kembali. Suami
yang baru disebut muhallil atau orang yang menghalalkan dan suami yang telah
menalak tiga di sebut muhallal lahu atau orang yang dihalalkan untuknya. Nihah
seperti ini dilarang oleh agama bahkan Rasullah Saw melaknatnya. Dalam sebuah
hadist diriwayatkan bahwa rasulullah saw melaknat baik muhallil maupun
muhallal lahu.

Artinya: ”Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah saw,.
Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kambing jantan yang dipinjam?’ para
sahabat menjawab ,’Mau wahai rasulullah ,’ Nabi bersabda ,’Yaitu Muhallil.
Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu’,” )HR Ibnu Majah(

4. Pernikahan Silang

Kemudian pernikahan yang dilarang selanjut adalah pernikahan silang, yang


dimaksud dengan pernikahan silang adalah pernikahan antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda agama atau keyakinan, pernikahan yang dilarang seperti
ini terdiri dari dua macam.
a. Laki-laki Mukmin menikahi perempuan non muslim.

Allah Swt berfirman:

Artinya:” dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka


beriman . sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun di menarik harimu.” )QS Al-Baqarah : 221)

Apabila laki-laki Mukmin yang menikahi wanita ahli kitab (perempuan yang
memeluk agama samawi selain islam), menurut mayoritas ulama hukumnya boleh
asalkan dengan syarat mereka harus dari golongan muhsnat atau wanita yang
terpelihara kehormatannya. Pendapat seperti ini berdasarkan firman Allah Swt
surat Al-Maidah ayat 5. Akan tetapi ahli kitab sebagaimana yang telah disebukan
dalam Al-Qur’an untuk masa sekarang sangat sulit untuk ditemukan. Karena
menurut keyakinan islam agama samawi yang masih orisinil atau asli hanyalah
islam dan yang lainnya sudah dicemari atau dipalsukan oleh para pengikutnya.
oleh karena itu alhi kitab baik laki-laki maupun perempuan sudah tidak ada.

b. Perempuan Mukmin yang menikah dengan laki-laki non muslim.

Allah Swt berfirman:

Artinya : “Dan jangan kamu nikahkan orang )laki-laki) musyrik (dengan


perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-
laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik
hatimu.” )QS Al-Baqarah : 221)

5. Pernikahan Khadan

Khadan sendiri artinya adalah peliharaan, baik laki-laki yang menjadikan wanita
sebagai peliharaan maupun wanita yang menjadikan laki-laki sebagai peliharaan.
Pernikahan seperti ini pada jaman jahiliyah menjadi tradisi dan sering terjadi
dilakukan pada masa sekarang. Dan menurut orang arab jahilyah pernikahan
seperti ini apabila tidak diketahui orang maka tidak apa-apa dan yang tercela
apabila diketahui orang.

Allah Swt berfirman:

Artinya:”Dan bukan )pula( perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai


peliharaannya.” )QS An-Nisa: 25)

Artinya:”Dan bukan untuk menjadikan perempuan peliharaan.” )QS Al-Maidah:


5)

6. Menikahi perempuan yang berzina

Artinya:”Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan


atau dengan perempuan musyrik , dan pezina perempuan tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki yang musyrik dan yang
seperti itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” )QS An-Nur: 3)
Berdasarkan ayat diatas tentu saja memeberi gambaran kepada kita bahwa laki-
laki yang berzina boleh menikah dengan perempuan yang berzina atau permpuan
musyrik , demikian pula sebaliknya, perempuan yang berzina boleh menikah
dengan laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, mengenai masalah tersebut
para ulama sepakat namun berbeda pendapat tentang laki-laki yang bukan berzina
menikahi perempuan yang berzina. Menurut Ali, Siti Aisyah, Al-Barraj dan Ibnu
Majah hukumnya haram berdasarka firman Allah Swt diatas. Sedangkan menurut
Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas dan Jumhur Ulama manyatakan Boleh. Mereke
menyatakan berzina itu haram sedang nikah itu halal. Yang haram tidak dapat
mengharamkan yang halal sesuai dengan sabda Nabi Saw berikut ini.

Artinya: “ Permulaan perzinaan, tetapi akhirnya adalah pernikahan. Dan yang


haram itu tidak mengharamkan yang halal.” )HR at-Thabrani dan Daruquthny)

Diantara jumhur ulama ada yang menyatakan bahwa ayat diatas telah dinasakh
oleh QS An-Nur ayat 32.

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu.”

Begitu juga perempuan-perempuan yang berzina itu termasuk kategori yang tidak
bersuami.

E. Hikmah Manfaat Pernikahan Dalam Islam

Hikmah manfaat Pernikahan Dalam Islam– Pernikahan adalah ikatan


lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah
tangga yang berdasarkan pada tuntunan agama. pernikahan dapat pula
diartikan suatu perjanjian atau akad ijab dab qabul antara seorang laki-laki
dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniyah sebagai suami
istri yang sah serta mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah
di tentukan dalam syariat islam.

Pernikahan merupakan salah satu sendi pokok dari pergaulan


bermasyarakat. oleh karena itu agama Islam memerintahkan kepada
umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu
sehingga dapat terhindar dari perbuatan yang terlarang. Selain itu juga
merupakan satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan beragama
dan bermasyarakat. Pernikahan bukan hanya suatu jalan untuk
membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan, Pernikahan juga
dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan
memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia.
Allah Swt dan Rasulullah saw menganjurkan kepada kita sebagai manusia
untuk menikah, pernikahan bagi manusia mempunyai hikmah dan manfaat
yang sangat banyak, baik untuk kehidupan diri sendiri, keluarga dan
masyarakat. berikut ini merupakan beberapa hikmah atau manfaat
pernikahan diantaranya yaitu:

Baca juga : Hukum Walimah Dalam Pernikahan

i. Hikmah atau manfaat pernikahan bagi


Individu dan Keluarga
1. Menjadikan hidup tenang dan tenteram karena terjalinnya rasa cinta
dan kasih sayang diantara sesama. Allah Swt berfirman:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu, dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Rum :21)

2. Terhindar dari perbuatan maksiat, dengan adanya pernikahan maka


seseorang dapat menyalurkan naluri seksualnya ke jalan yang benar,
halal dan di ridhai Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Wahai para pemuda siapa yang sudah mempunyai kesempatan


untuk menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih dapat memelihara
pandangan dan memelihara kemaluan.”

Dalam sebuah hadist lain disebutkan.

Artinya: “Dari Jabir ra, bahwa sanya Rasulullah Saw telah bersabda,’
sesungguhnya perempuan menghadap (dari depan) menyerupai setan
dan membelakangi juga menyerupai setan, jika seorang diantara kamu
tertarik kepada seseorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya agar
nafsunya dapat tersalurkan.” (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
3. Nikah merupakan jalan terbaik untuk menciptakan keturunan yang baik
dan mulia sekaligus merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup
sesuai dengan ajaran agama. dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik Nabi Saw menyatakan:

Artinya: “Bahwasanya Nabi saw, memerintahkan nikah dan melarang


keras membujang seraya beliau bersabda, ‘Nikahlah kamu dengan
perempuan pecinta dan banyak anak, karena sesungguhnya saya akan
berbangga-bangga dengan banyaknya kamu terhadap umat lain dihari
kiamat nanti’.”

Dengan adanya pernikahan yang diatur oleh agama, maka anak-anak,


keturunan akan terpelihara dengan baik baik yang berkaitan dengan asal-
usul seseorang (nasab) dan terpelihara jasmani dan rohaninya. karena
salah satu harapan dalam pernikahan adalah mempunyai keturunan yang
baik, sahaleh dan shalehah. Allah Swt berfirman:

ِ ‫َّللاُ َج َع َل لَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا َو َج َع َل لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْز َو‬


ً ‫اج ُك ْم َبنِينَ َو َحفَ َدة‬ ‫َو ه‬

Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami dan istri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dan
pasanganmu.” (QS An-Nahl :72)

4. Denga menikah dan mempunyai anak, naluri kebapakan dan keibuan


akan tumbuh dan berkembang untuk saling melengkapi

5. Nikah dapat mendorong seseorang terutama laki-laki untuk


bersungguh-sungguh dalam mencari rezeki yang banyak dan halal, sebab
laki-laki lah yang harus bertanggung jawab terhadap istri dan anak-
anaknya, baik yang berkaitan dengan jasmani maupun rohani mereka.

6. Memperluas persaudaraan, pernikahan dalam arti luasa tidak hanya


menyatukan dan memperluas kekerabatan diantara dua keluarga besar
yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. terlebih lagi jika terjadi
pernikahan di luar suku, daerah maka kekerabatan akan semakin luas,
karena menyatukan kedua suku yang berbeda tradisi dan kebudayaan.

7. Mendatangkan keberkahan, pernikahan akan mendorong seseorang


terutama suami untuk sungguh-sungguh untuk mencari nafkah yang
banyak dan halal untuk anak dan istrinya, sehingga dengan kerja
kerasnya akan menimbulkan kemakmuran, kebahagiaan dan keberkahan
dalam hidup berumah tangga.

Baca juga : Penjelasan Wali Nikah dan Urutan Wali dalam Pernikahan

ii. Hikmah atau manfaat pernikahan bagi


Masyarakat
Selain dalam lingkungan keluarga pernikahan juga menpunyai hikmah
dalam kehidupan bermasyarat diantaranya yaitu:

1. Terjaminnya ketenangan dan ketentraman anggota masyarakat, karena


masyarakat dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat akibat
dorongan naluri seksual yang tidak tersalurkan kejalan yang benar dan
halal.

2. Dapat meringankan beban masyarakat, karena semakin banyak jumlah


keluarga dalam masyarakat, maka tingkat kebersamaannya akan semakin
tinggi, terutama dalam bidang pembangunan fisik. banyak pekerjaan yang
tidak disesaikan sendiri dan hanya bisa diselesaikan dengan cara
bergotong royong.

3. Dapat memperkokoh hubungan tali persaudaraan dan memperteguh


rasa cinta dan kasih sayang serta tolong menolong antar keluarga dalam
bermasyarakat,sehingga masyarakat akan menjadi kuat dan
kesejahteraannya pun meningkat.

Anda mungkin juga menyukai