SANTUY SQUAD
Hukum Fiqih :
Pernikahan dalam
Tinjauan Hukum
Islam
Nama Anggota:
- Ainan Ahmad
- Lutfa Amalia Fikana
- Muhammad Nugraha
- Nikentalia Putri
- Novitriana Caroline Dewanto
- Rahma Khoirunnisa
- Restu Agung Pambudi
Pernikahan dalam Tinjaun Hukum Islam
Pernikahan adalah anjuran Allah SWT bagi manusia untuk mempertahankan
keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai
dan menurut kaidah norma agama. Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang
saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan dilangsungkan untuk mencapai
tujuan hidup manusia (baca tujuan pernikahan dalam islam) dan mempertahankan
kelangsungan jenisnya.
Fiqih pernikahan atau munakahat adalah ilmu yang menjelaskan tentang syariat
suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata cara yang dalam hal ini
menyangkut pernikahan. Adapun hal-hal tersebut dapat disimak dalam penjelasan
berikut ini
A. Pengertian Nikah
Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
masyarakatagama islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu
jalan untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan
juga dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan
memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi
bahasa Indonesia pernikahan berasal dari kata nikah, yang kemudian diberi
imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”.
Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Pernikahan
dalam islam juga berkaitan dengan pengertian mahram (baca muhrim dalam
islam) dan wanita yang haram dinikahi.
1. Pengertian menurut etimologi
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata
an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di
atas, menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal
dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan
mengumpulkan serta sikap yang ramah. adapun pernikahan yang berasalh dari
kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam
istilah ilmu fiqih disebut ) ( نكاح,) ( زواجkeduanya berasal dari bahasa arab. Nikah
dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ) ( الوطء والضمbaik arti secara hakiki )
( الضمyakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ) ( الوطءyakni
perjanjian atau bersetubuh.
C. Hukum Pernikahan
Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi
atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam
Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak
menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun
jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri
dari zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Ditakutkan
akan menimbulkan mudarat salah satunya akan menelantarkan istri dan anaknya
Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk
menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk
kesenangan semata
Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan
dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat
memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat
memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya
apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.
D. Rukun dan Syarat Pernikahan
Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi
agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi
maupun nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang
harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab
kabul hukumnya tidak sah.
a. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan,
mencakup :
Beragama Islam
Berjenis kelamin Laki-laki
Ada orangnya atau jelas identitasnya
Setuju untuk menikah
Tidak memiliki halangan untuk menikah
Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani
maupun yahudi)
Berjenis kelamin Perempuan
Ada orangnya atau jelas identitasnya
Setuju untuk menikah
Tidak terhalang untuk menikah
3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga urutan
wali nikah).
Laki-laki
Dewasa
Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
Adil
Beragama Islam
Berakal Sehat
Tidak sedang berihram haji atau umrah
4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;
Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh
pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas
dan dapat didengar oleh para saksi.
Fikih pernikahan atau munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan
diketahui umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai
dengan tuntunan syariat agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat
membatalkan pernikahan.
Rukun dan Syarat Akad Nikah
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun
dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan
dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat
adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari
amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada
dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun
wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat
namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih
pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul
Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam
Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang
ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan
syarat ini.
Rukun Nikah
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i
untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu
pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram
dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan.
Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya
misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya
seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan
posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” )“Aku
nikahkan engkau dengan si Fulanah”( atau “Ankahtuka Fulanah” )“Aku nikahkan
engkau dengan Fulanah”(.
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij”
)“Aku terima pernikahan ini”( atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang
datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah k:
Dan firman-Nya:
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan,
yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah t, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim t, memilih pendapat
yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang
menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan
bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz
tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti
Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah
seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan
isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5,
Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita
dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang
khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku
nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu
Hurairah z secara marfu’:
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi n bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” )HR. Al-Khamsah kecuali An-
Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839)
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil,
nikahnya batil, nikahnya batil.” )HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka
nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan
hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah g.
Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan
Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila,
Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti
ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada,
karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan
urusan nikahnya kepada selain walinya. )Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil
Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya.
Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam
pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-
laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara
laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak
keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki,
paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita
adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas
(bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu
laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-
lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak
laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu
barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus
ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).
Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan),
kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah
sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin
Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya(. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan
dalil sabda Rasulullah n:
ُي لَه
َّ ي َم ْن الَ َو ِل َ فَالس ُّْل
ُّ طانُ َو ِل
“Maka sulthan )penguasa( adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi
Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan,
dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki
‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan
dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta
anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam
dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam
mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab
Syafi’iyyah.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya
sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga
bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu
memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia
memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil,
tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. )Fiqhun Nisa` fil
Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan
wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan ; kelompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak
menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-
syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau
sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin
Abdullah c secara marfu’:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” )HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’
no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557(
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang
adil.
Pasal 24
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak
dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang
diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
Dalam sebuah pernikahan ada yang namanya ijab dan qabul.Ijab adalah suatu
pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada
seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat-syarat dan rukun yang
telah ditentukan oleh syariat islam. Sedangkan Qabul adalah suatu pernyataan
penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau
wakilnya.
Pernikahan merupakan salah satu sendi pokok dari pergaulan bermasyarakat. oleh
karena itu agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan
pernikahan bagi yang sudah mampu sehingga dapat terhindar dari perbuatan yang
terlarang.
Selain itu juga merupakan satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
beragama dan bermasyarakat. Pernikahan bukan hanya suatu jalan untuk
membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan, Pernikahan juga
dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas
serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. akan tetapi dalam syariat
islam ada beberapa macam bentuk pernikahan yang dilarang, berikut ini adalah
beberapa macam pernikahan yang dilarang dalam agama islam.
Nikah Mut’ah adalah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenang-senang dan
hanya untuk jangka waktu seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya. Nikah
mut’ah awalnya diperbolehkan oleh Rasulullah Saw yaitu pada saat sering terjadi
peperangan yang menyita waktu yang sangan panjang. dikarenakan para suami
meninggalkan para istri ke medan peperangan dengan waktu yang lama. dengan
pertimbangan untuk menghindari para sahabat melakukan perbuatan zina, maka
pada waktu itu Rasulullah saw membolehkan nikah mut’ah karena dianggap
darurat dan sifatnya sementara.
Nikah Mut’ah juga dilarang oleh Rasulullah, hal ini dikwatirkan akan terjadi
pelecehan terhadap wanita dan tidak sesuia dengan tujuan pernikahan yaitu
membentuk kehidupan yang bahagia, melestarikan keturunan, menjaga martabat
manusia dan yang lainnya. Mengenai larangan melakukan nikah mut’ah
Rasulullah Saw menjelaskan dalam sebuah hadist berikut ini.
Artinya: Dari Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:”
Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk menikahi perempuan secara
mut’ah. Sekarang Allah Swt mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Kemudian
siapa yang mempunyai istri hasil nikah mut’ah hendaklah ia melepaskannya dan
jangan kalian mengambil sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka.” )HR.
Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban(
2. Nikah Syighar
Nikah Syighar merupakan pernikahan yang disasari oleh janji atau kesepakatan
penukaran, yaitu menjadiakan dua orang perempuan sebagai jaminan atau mahar
masing-masing. ucapan akadnya bisa sabagai berikut : “ Saya nikahkan anda
dengan anak atau saudara perempuan saya, dengan syarat anda menikahkan saya
dengan anak/saudara perempuan anda.” Pernikahan Syighar termasuk pernikahan
dalam adat jahiliyah karena pernikahan ini dilarang oleh agama islam dan apa bila
terjadi pernikahan seperti ini maka pernikahannya batal. Rasullah saw bersabda:
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, ia berkata Rasulullah saw telah melarang nikah
syighar, yaitu seorang mengawinkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki
dengan syarat laki-laki itu harus mengawinkan anak perempuannya kepada laki-
laki pertama dan masing-masing tidak membayar mahar.” )HR Bukhari dan
Muslim)
3. Nikah Muhallil
Artinya: ”Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah saw,.
Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kambing jantan yang dipinjam?’ para
sahabat menjawab ,’Mau wahai rasulullah ,’ Nabi bersabda ,’Yaitu Muhallil.
Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu’,” )HR Ibnu Majah(
4. Pernikahan Silang
Apabila laki-laki Mukmin yang menikahi wanita ahli kitab (perempuan yang
memeluk agama samawi selain islam), menurut mayoritas ulama hukumnya boleh
asalkan dengan syarat mereka harus dari golongan muhsnat atau wanita yang
terpelihara kehormatannya. Pendapat seperti ini berdasarkan firman Allah Swt
surat Al-Maidah ayat 5. Akan tetapi ahli kitab sebagaimana yang telah disebukan
dalam Al-Qur’an untuk masa sekarang sangat sulit untuk ditemukan. Karena
menurut keyakinan islam agama samawi yang masih orisinil atau asli hanyalah
islam dan yang lainnya sudah dicemari atau dipalsukan oleh para pengikutnya.
oleh karena itu alhi kitab baik laki-laki maupun perempuan sudah tidak ada.
5. Pernikahan Khadan
Khadan sendiri artinya adalah peliharaan, baik laki-laki yang menjadikan wanita
sebagai peliharaan maupun wanita yang menjadikan laki-laki sebagai peliharaan.
Pernikahan seperti ini pada jaman jahiliyah menjadi tradisi dan sering terjadi
dilakukan pada masa sekarang. Dan menurut orang arab jahilyah pernikahan
seperti ini apabila tidak diketahui orang maka tidak apa-apa dan yang tercela
apabila diketahui orang.
Diantara jumhur ulama ada yang menyatakan bahwa ayat diatas telah dinasakh
oleh QS An-Nur ayat 32.
Begitu juga perempuan-perempuan yang berzina itu termasuk kategori yang tidak
bersuami.
Artinya: “Dari Jabir ra, bahwa sanya Rasulullah Saw telah bersabda,’
sesungguhnya perempuan menghadap (dari depan) menyerupai setan
dan membelakangi juga menyerupai setan, jika seorang diantara kamu
tertarik kepada seseorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya agar
nafsunya dapat tersalurkan.” (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
3. Nikah merupakan jalan terbaik untuk menciptakan keturunan yang baik
dan mulia sekaligus merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup
sesuai dengan ajaran agama. dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik Nabi Saw menyatakan:
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami dan istri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dan
pasanganmu.” (QS An-Nahl :72)
Baca juga : Penjelasan Wali Nikah dan Urutan Wali dalam Pernikahan