Anda di halaman 1dari 49

Pengertian Nikah

Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakatagama
islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan untuk membangun
rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai jalan
untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali
silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan berasal dari
kata nikah, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”.

Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Pernikahan dalam islam juga
berkaitan dengan pengertian mahram (baca muhrim dalam islam) dan wanita yang
haram dinikahi.

1. Pengertian menurut etimologi

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata an-nikh
dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan
bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu,
yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang
ramah. adapun pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun
atau mengumpulkan. Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ( ‫) زواج‬, ( ‫) نكاح‬
keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu
( ‫ ) والضم الوطء‬baik arti secara hakiki ( ‫ ) الضم‬yakni menindih atau berhimpit serta arti
dalam kiasan ( ‫ ) الوطء‬yakni perjanjian atau bersetubuh.

2. Pengertian Menurut Istilah

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki
pendapatnya sendiri antara lain :

1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan
menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal
َ
ِ ِ ‫حاك‬
‫كن ح‬ , atau ‫ ج ح وا ك ز ك‬, yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan
kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang
dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal ‫ن ان‬
‫ ح ح كا ك ن‬atau ‫ ج ح ن و ن ن ك‬yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan perempuan dapat
memiliki kepuasan satu sama lain.
5. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-laki dan
perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain dan untuk
membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih
6. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan bahwa nikah
adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam melakukan
bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dasar Hukum Pernikahan


Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya
disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum pernikahan
berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang


layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S.
An-Nuur : 32)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri


dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk
menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

Hukum Pernikahan
Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau
situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam
 Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah ia bisa
tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
 Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika tidak
menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
 Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari zina tapi ia
memiliki keinginan yang kuat untuk menikah
 Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk menikah dan
mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata
 Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan jika
menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban suami terhadap
istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan
juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.

Rukun dan Syarat Pernikahan


Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar
pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi maupun
nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang harus dipenuhi
dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab kabul hukumnya tidak
sah.

a. Rukun Nikah

Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan,
mencakup :

1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan


2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saksi
4. Ijab kabul yang sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon
mempelai laki-laki.

b. Syarat Nikah

Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah

1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini

 Beragama Islam
 Berjenis kelamin Laki-laki
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak memiliki halangan untuk menikah

2. Calon istri dengan syarat-syarat


 Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani maupun
yahudi)
 Berjenis kelamin Perempuan
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak terhalang untuk menikah

3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga urutan wali
nikah).

 Laki-laki
 Dewasa
 Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
 Adil
 Beragama Islam
 Berakal Sehat
 Tidak sedang berihram haji atau umrah

4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;

 Minimal terdiri dari dua orang laki-laki


 Hadir dalam proses ijab qabul
 mengerti maksud akad nikah
 beragama islam
 Adil
 dewasa

5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :

 Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh pelaku akad dan
penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas dan dapat didengar oleh para
saksi.

Fikih pernikahan atau munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan
diketahui umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai dengan
tuntunan syariat agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat membatalkan pernikahan.

Hukum-Hukum Pernikahan – Tuntunan


Praktis Fiqih Wanita (Ustadz Ahmad
Zainuddin, Lc.)
Beranda Download Kajian Ustadz Ahmad Zainuddin Fiqih Wanita Hukum-Hukum
Pernikahan – Tuntunan Praktis Fiqih Wanita (Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc.)

By Radio Rodja | Rabu, 11 Rajab 1439 / 28 Maret 2018 pukul 9:39 am

Terakhir diperbaharui: Rabu, 11 Rajab 1439 / 28 Maret 2018 pukul 10:55 am

Tautan: http://rodja.id/1qv

Share

Tweet

Share

Share

0 comments

Hukum-Hukum Pernikahan adalah kajian Islam yang disampaikan oleh: Ustadz


Ahmad Zainuddin, Lc. pada 28 Jumadil awal 1439 H / 14 Februari 2018 M.

Kajian ini membahas Kitab “‫ ”بالمؤمنات تختص أحكام على تنبيهات‬Tanbiihaat ‘alaa Ahkaamin
Takhtashshu bil Mu’minaat atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan “Tuntunan
Praktis Fiqih Wanita” yang merupakan karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafidzahullah.

Download kajian sebelumnya: Hukum Khusus Tentang Rumah Tangga dan


Perceraiannya – Tuntunan Praktis Fiqih Wanita (Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc.)
Kajian Tentang Hukum-Hukum Pernikahan –
Tuntunan Praktis Fiqih Wanita
Pada kajian sebelumnya, telah disebutkan pada kajian sebelumnya. Hukum menikah
dalam lima hukum pembebanan dalam agama Islam. Menikah dapat berupa wajib,
sunnah, mubah, makruh, atau bahkan menikah bisa haram.

Baca Juga: Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib

Dalil yang lain, yang menunjukkan bahwa menikah merupakan sesuatu yang disyariatkan
dalam agama Islam dengan hadits:

‫شبَاب َم ْعش ََر يَا‬َّ ‫ال‬، ‫ع َمن‬ َ َ‫فَ ْليَت َزَ َّو ْج ْالبَا َءة َ م ْن ُك ُم ا ْست‬، ُ‫صر أَغَض فَإنَّه‬
َ ‫طا‬ َ َ‫صنُ ل ْلب‬
َ ‫ل ْلفَ ْرج َوأ َ ْح‬، ‫فَعَلَيْه يَ ْست َط ْع لَ ْم َو َم ْن‬
َّ ‫بال‬، ُ‫و َجاء لَهُ فَإنَّه‬.
‫ص ْوم‬

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena
puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).‘” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits di atas dibawakan oleh penulis dalam rangka dua hal. Pertama bahwa menikah
adalah sesuatu yang disyariatkan dalam agama Islam. Lalu yang kedua adalah tentang
keutamaan menikah.

Baca Juga: Setiap Bid'ah Adalah Kesesatan - Prinsip Dasar Islam (Ustadz
Fachrudin Nu’man, Lc.)

Kalau kita perhatikan hadits di atas, keutamaan menikah ada dua. Yaitu yang pertama
adalah agar lebih menjaga pandangan. Maksud dari hal ini karena diharamkan bagi
seorang muslim untuk melihat kepada wanita-wanita yang tidak halal untuk dilihat.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

‫صاره ْم م ْن يَغُضوا لِّ ْل ُمؤْ منينَ قُل‬ ُ َ‫صنَعُونَ ب َما خَبير اللَّـهَ إ َّن ۗ لَ ُه ْم أَ ْزك ََٰى َٰذَلكَ ۚ فُ ُرو َج ُه ْم َويَحْ ف‬
َ ‫ظوا أَ ْب‬ ْ ‫﴿ َي‬٣٠﴾

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS.
An-Nur[24]: 30)

√Fiqih Pernikahan Dalam Islam Yang


Harus Kamu Ketahui | Pengertian,
Tujuan, dan Penjelasan
Oleh Admin

Pernikahan dalam islam-Merupakan syariat Allah Ta’ala dan merupakan ibadah


penyempurna agama adalah menikah. Pernikahan dalam islam menerangkan bahwa salah
satu untuk menjaga fitnah dan pandangan dari hal yang haram dengan nikah.

Dengan menikah maka Allah akan menurunkan rezeqi yang tak disangka-sangka.

Amalan ibadah orang yang sudah menikah dan belum menikah sangatlah berbeda. Kalau
misalnya orang yang sudah menikah menunaikan sholat maka mendapat 10 kebaikan.
Sedangkan orang yang belum menikah cuman mendapat 5 saja.

Maka sangatlah beruntung bagi orang yang sudah menyempurnakan setengah agamanya.
Pahala yang ia dapat lebih banyak dari pada orang yang masih jomblo atau sendirian.

Contents [hide]

 1 Pernikahan Dalam Islam | Apa Itu Pernikahan


o 1.1 Pernikahan Dalam Islam | Pengertian Menurut Etimologi
o 1.2 Pernikahan Dalam Islam | Menurut Istilah Ulama’
 2 Dalil Hukum Pernikahan Dalam Islam

o 2.1 Pernikahan Dalam Islam Qs. An-nuur : 32


o 2.2 Pernikahan Dalam Islam Qs. An-nisa’ : 1
o 2.3 Pernikahan Dalam Islam Qs. Ar-ruum : 21
o 2.4 Hadist Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
 3 Syarat dan Rukun Dalam Pernikahan

o 3.1 Rukun Nikah


o 3.2 Syarat Nikah
 4 Hukum pernikahan Dalam Islam
 5 Apa Tujuan Menikah Dalam Islam

o 5.1 Agar Menjadi Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah


 6 Penutup

o 6.1 Share this:


o 6.2 Menyukai ini:

Pernikahan Dalam Islam | Apa Itu Pernikahan

Pernikahan Dalam Islam


Pernikahan merupakan menjalin hubungan antara dua jenis yang berbeda dengan ikatan
suci atau akad.

Dalam kamus besar bahasa indonesia, pernikahan dimakanai sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan yang sah.

Dengan menikah maka bisa menjalin silaturahim kepada orang lain dan membentuk
penerus generasi rabbani.

Pernikahan Dalam Islam | Pengertian Menurut Etimologi


Pernikahan Dalam Islam

Banyak dalil dalam quran maupun hadist yang menyebutkan tentang pernikahan.

Menurut bahasa nikah berasal dari kata arab an-nikah atau az-zawaaj berarti bersenggama,
bersetubuh, dan menaiki.

Bisa juga nikah berasal dari istilah kata adh-dhammu yang mempunyai arti menyatukan
dan menggabungkan dua insan yang berbeda.

Pernikahan Dalam Islam | Menurut Istilah Ulama’

Pernikahan Dalam Islam


Dalam syariat islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu ushul dan furu’.

Masalah ushul atau pondasi merupakan tentang akidah yang harus diyakini oleh semua
orang yang beriman. Ulama’ bersepakat dalam masalah akidah atau keyakinan tidak
boleh ada perbedaan satu sama lain.

Adapun furu’ adalah syariat yang menuju dalam masalah fiqih atau kepahaman. Sudah
semenjak para salafussholiih terdahulu mereka berbeda pendapat dalam masalah fiqih.

Hal ini sudah menjadi sunnatullah semenjak wafatnya nabi Muhammad Shallallahu
A’laihi wa Sallam. Perbedaan pendapat antara para ulama bukan berarti saling
menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain.

Dengan perbedaan pendapat menjadikan kita saling menghormati dan melengkapi satu
sama lainya.

Begitu pula masalah pernikahan dalam islam, para imam madzhab berbeda pendapat
dalam mengartikanya.

Para ulama fiqih memiliki pendapat sendiri dan dalil masing-masing, diantaranya sebagai
berikut :

1. Ulama malikiyyah berpendapat bahwa nikah adalah suatu perjanjian atau akad yang ditunaikan
agar memperoleh kepuasan tanpa adanya harga patokan yang dibayar.
2. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa nikah adalah sebagai suatu perjanjian atau akad yang
denganya menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan seluruh anggota badan
perempuan untuk mendapatkan kepuasan dan kenikmatan hasrat birahi.
3. Ulama Syafiiyyah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang menyebabkan halal untuk
mendapatkan kepuasan dan kesenangan.
4. Imam Saleh Al-Utsaimin mengartikan nikah sebagai perjalinan hubungan dua jenis yang berbeda
yaitu laki dan perempuan untuk mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah.

Baca Juga :” Doa Khatam Quran”

Dalil Hukum Pernikahan Dalam Islam


Pernikahan Dalam Islam
Suatu ibadah atau perbuatan amalan sholeh harus ada tuntunan dari Rosulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Baik yang disebutkan dalam al quran maupun hadist atau
as-sunnah.

Begitu pula halnya dengan syariat pernikahan dalam islam, ada beberapa dalil untuk
mengamalkanya.

Berikut dalil atau dasar hukum pernikahan dalam islam yang disebutkan dalam al quran
maupun hadist :

1.

Pernikahan Dalam Islam Qs. An-nuur : 32

2.

“Dan nikahillah oleh kalian orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang
yang sudah pantas (untuk menikah) dari kalangan hamba-hamba sahaya kalian yang laki
maupun perempuan. Jika mereka dalam kondisi miskin maka Allah yang akan
mencukupkan mereka atas karunia-Nya. Dan ALLAH MAHA LUAS (karunia) lagi
Maha Mengetahui,”

Pernikahan Dalam Islam Qs. An-nisa’ : 1


Pernikahan Dalam Islam

“Wahai para manusia sekalian, kalian bertaqwalah kepada pemelihara kalian yang telah
menciptakan kalian dari seorang diri, dan Dia (Allah) menciptakan darinya seorang istri.
Dan dari keduanya (pasutri) ALLAH mengembang biakkan menjadi laki dan perempuan
yang banyak. Dan kalian bertaqwalah kepada Allah Dzat yang kalian saling meminta satu
sama lain, dan (jagalah) hubungan silaturrahim . Sesungguhnya Allah Maha menjaga dan
Maha mengawasi kalian”

Pernikahan Dalam Islam Qs. Ar-ruum : 21

“Dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah adalah Dia (Allah) menciptakan untuk
kalian istri-istri dari kalangan kalian sendiri. Supaya kalian merasa tentram dan tenang
padanya (istri), dan Dia menjadikan diantara kalian rasa kasih dan sayang. sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan bagi orang-orang yang mau
berfikir’

Hadist Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang sudah memiliki kemampuan untuk
menikah hendaklah dia segera menikah, karena dengan menikah dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi sesiapan yang belum mampu maka
hendaklah dia menunaikan ibadah puasa (sunnah), karena dengan berpuasa dapat
merendamkan syahwat birahi.

Syarat dan Rukun Dalam Pernikahan


Nikah merupakan ibadah yang paling lama dilakukan, karena denganya kita harus bisa
membentuk keluarga yang mendatangan pahala yaitu sakinah mawaddah wa rahmah.

Seperti halnya ibadah lainya, pasti ada syarat dan rukun. Begitu pula halnya dengan
pernikahan harus memenuhi syarat dan rukun.

Rukun Nikah

 Sudah ada calon mempelai baik laki maupun perempuan


 Harus ada wali dari pihak perempuan
 Harus ada minimal dua orang saksi
 harus ada ijab kabul yang dilafadzkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon
mempelai laki-laki.

Syarat Nikah

Syarat dari masing-masing tiap rukun tersebut adalah :

 Adanya calon istri yang sudah memenuhi kriteria syariat : islam, berakal sehat, baligh, wanita,
tidak ada halangan untuk nikah, dst
 Adanya calon suami yang sudah memenuhi kriteria syariat :islam, berakal sehat, baligh, laki-laki,
tidak ada halangan untuk nikah, dst
 Adanya wali nikah : Laki-laki, baligh, islam, adil, berakal sehat, memiliki hak perwalian atas
mempelai perempuan
 Adanya saksi nikah : Beragama islam, adil, berakal sehat, mengerti maksud akad nikah, hadir
dalam proses ijab dan qobul, minimal berjumlah dua orang laki-laki
 Harus ada ijab dan qobul : dilafadzkan dalam bahasa arab atau bahasa daerah yang difahami oleh
kedua pihak dengan jelas dan didengar oleh para saksi nikah.

Hukum pernikahan Dalam Islam


Para ulama menghukumi pernikahan dalam islam tergantung situasi dan kondisi yang
dialaminya.

Berikut perincian hukum pernikahan dalam islam :

1. Menjadi Wajib jika sudah mempunyai kemampuan dalam menikah entah persiapan dhohir
maupun batin, dan jika tidak segera menikah khawatir terjerumus dalam perzianaan.
2. Menjadi sunnah jika sudah mampu dalam segi dhohir maupun batin, dan jika tidak menikah tidak
tergelincir dalam kemaksiatan.
3. Menjadi haram apabila dia dia belum memiliki kemampuan dalam menikah dan sangat
dikhawatirkan jika ia menikah nantinya akan melantarkan istrinya atau tidak bisa melaksanakan
tugas sebagai suami.

Apa Tujuan Menikah Dalam Islam


Pernikahan Dalam Islam

Ketahuilah bahwa merupakan salah satu yang banyak menjerumuskan manusia kedalam
neraka disebabkan oleh mulut dan kemaluan.
Dan yang menjadi fitnah terbesar bagi kaum laki-laki adalah fitnahnya perempuan. Maka
dari itu para laki diperintah untuk menundukkan pandangan, sedangkan para wanita
diperintah menjaga aurat.

Kedua pihak harus saling menjaga dan menunaikan perintah Allah agar tidak ada fitnah
yang menjerumuskan kedalam api neraka. Menikah adalah salah satu cara untuk
menghindari fitnah tersebut.

Setiap insan juga harus mengetahui apa itu tujuan dalam pernikahan agar menggapai
masa depan yang cerah.

Berikut beberapa tujuan pernikahan dalam islam :

 Untuk memenuhi tuntutan naluri dan hasrat nafsu.

Allah Ta’ala menciptakan manusia sebaik-baik penciptaan, sebagaimana yang telah


difirmankan dalam Qs. At-tiin.

Manusia diberi oleh Allah Ta’ala akal pikiran yang sehat sehingga bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu pula Allah juga memberikan kepada
manusia akan hawa nafsu.

Barang siapa yang tidak bisa menjaga diri maka dia akan terbawa oleh nafsu keji dan
menghantarkanya dalam api neraka. Sebagai manusia yang sehat mempunyai nafsu itu
adalah hal yang wajar.

Bahkan nafsu merupakan pemberiaan dari Allah kepada sebaik-baik makhluk ini. Tinggal
pribadi masing-masing, bagaimana dia menempatkan nafsu tersebut. Jangan sampai nafsu
birahi disalurkan kepada hal yang haram sehingga terjerumus dalam perzinaan.

Adanya akad nikah tali yang menghalalkan dua insan yang berbeda maka membolehkan
untuk menyalurkan nafsu kepada pasangan.

 Untuk mencegah akan terjadinya perzinaan dan kemaksiatan


 Untuk membentuk keluarga mawaddah wa rohmah

Siapa yang tidak mengingkan dalam pernikahan menjadikan keluarga yang penuh kasih
sayang.

Agar Menjadi Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Sebagai seorang muslim maka wajib memperhatikan kewajiban antara suami dan istri.
Jika semua sudah terlaksana dengan baik maka terbentuklah keluarga yang tentram dan
mendekatkan diri pada allah Ta’ala.
 Untuk memperbanyak anak keturunan generasi rabbani

Merupakan salah satu tujuan menikah adalah agar bisa mendapatkan keturunan yang
sholih dan sholihah. Ketahuilah buah hati merupakan suatu amanah yang harus diemban
dengan benar.

Jika amanah tersebut berhasil ditunaikan dengan baik sehingga karena jerih payah dalam
mendidik anak maka besok bisa menjadi invensitas akhirat.

Seandainya orang tua sudah meninggal maka anak tersebut akan mendoakan keduanya.
Ganjaran dan pahala pun terus mengalir kepada orang tua berkat hadirnya anak yang
sholih dan sholihah.

 Untuk menyempurnakan dari separuh agamanya.

Sudah menjadi penyemangat bagi para jomblwan bahwa menikah merupakan ibadah
yang paling mudah dan nikmat.

Gimana tidak nikmat coba?, ibadah orang yang sudah menikah dinilai oleh Allah Ta’ala
dengan sempurna.

Berbeda dengan para jomblo yang belum menikah, ketika ibadah maka masih dinilai
setengah oleh Allah Ta’ala. Hal ini disebabkan menikah merupakan penyempurna
separuh agama.

Penutup
Sungguh mulia agama islam ini dienullah azza wa jalla. Sangat menjunjung tinggi nilai
pernikahan dalam islam. Oleh karenanya bagi teman-teman yang belum
menyempurnakan agama, maka segera sempurnakanlah.

Jika dirasa diri udah mampu dalam dhohir maupun batin maka tidak boleh
menunda-nunda pernikahan dalam islam. Semoga yang jomblo saya doakan tahun ini
segera ditemukan jodohnya. Aamien….

Share this:

Fikih Ringkas Pernikahan


24 November 2014 Redaksi Featured, Fiqih 4 comments

Buletin At-Tauhid edisi 45 tahun ke X


Pernikahan merupakan
gerbang membangun suatu rumah tangga. Dengan melakukan akad nikah, maka sesuatu
yang sebelumnya haram menjadi halal, bahkan menjadi amalan ibadah yang bernilai
pahala besar disisi Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, kami akan mengulas sedikit
tentang fikih seputar pernikahan.

Definisi Nikah
Nikah secara syar’i adalah suatu akad yang mengandung konsekuensi dibolehkannya
pasangan suami istri untuk bersenang-senang antara satu dengan yang lainnya dengan
cara yang diizinkan oleh syari’at.

Dalil disyari’atkannya nikah


Dasar dari disyari’atkannya pernikahan adalah berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan
Ijma’. Dalil dari Al Qur’an diantaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri diantara kamu, dan juga orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur : 32).

Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai para pemuda, siapa diantara
kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah” (HR. Bukhari
dan Muslim). Bahkan nikah merupakan sunnahnya para rasul, sebagaimana firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan” (QS. Ar Ra’d :
38).

Hikmah Pernikahan
Pernikahan mengandung hikmah yang sangat besar. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar Ruum :
21).

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan hikmah dari pernikahan yaitu agar terwujud
ketentraman dan ketenangan ketika seseorang bersama istrinya. Selain itu, dengan
menikah akan lebih terjaga kemaluan, menjaga nasab, dan memperbanyak jumlah kaum
muslimin.

Kriteria calon istri


Dianjurkan menikahi perempuan yang memiliki agama yang baik, yaitu perempuan yang
paling baik dalam mengamalkan ilmunya. Tidak hanya pandai dalam hal pengetahuan
saja, namun juga baik dalam hal amalnya. Kriteria lain adalah perempuan yang pandai
menjaga kehormatan, berasal dari keluarga dan nasab yang baik, serta memiliki
kecantikan. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Perempuan dinikahi
karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang baik
agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR. Bukhari
dan Muslim).

Ibnu Hajar menjelaskan, sudah seharusnya kriteria agama menjadi pertimbangan utama
dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam memilih seorang istri. Nabi memerintahkan
kepada kita untuk mendapatkan pasangan yang baik agamanya, karena agama yang baik
merupakan puncak dari yang dikehendaki syari’at (lihat Fathul Bari). Oleh karena itu
seseorang harus menjadikan kriteria agama sebagai asas dalam memilih pasangan, bukan
kriteria yang lain. Namun jika bisa mengumpulkan beberapa faktor sekaligus, misalnya
seseorang mendapatkan calon istri yang baik agamanya, cantik wajahnya, santun
akhlaknya, serta berasal dari keturunan yang baik, maka hal tersebut adalah nikmat besar
dari Allah yang wajib untuk disyukuri.

Selain itu, Rasulullah menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur (tidak mandul)
sebagaimana sabda Rasulullah, “Menikahlah kalian dengan perempuan yang sangat
penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya
umatku pada hari kiamat” (HR. Abu Dawud dan An Nasaa-i. Al Albani mengatakan,
“hasan shahih”).

Khitbah (lamaran)
Setelah seseorang telah menentukan calon istrinya, maka diperbolehkan baginya untuk
melamar calon istrinya tersebut. Khitbah / lamaran adalah menampakkan keinginan untuk
menikah dengan perempuan tertentu dan memberitahu pihak wali dari perempuan tentang
keinginannya tersebut. Islam mengatur adab-adab yang berkaitan dengan lamaran,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Haram melamar wanita yang sudah dilamar oleh saudara muslim yang lain. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melamar wanita yang
telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu menikahinya atau meninggalkannya”
(HR. Bukhari). Yaitu lamaran yang telah mendapatkan tanggapan positif walaupun hanya
berupa isyarat. Namun jika lamaran tersebut belum jelas diterima atau tidak, maka tidak
mengapa bagi laki-laki lain untuk melamar perempuan yang sama (lihat Fathul Bari).
2. Tidak boleh secara terang-terangan melamar perempuan dalam kondisi ‘iddah karena
berpisah dengan suaminya (baik karena perceraian talak tiga atau meninggal). Namun
diperbolehkan memberikan isyarat kepada perempuan tersebut. Sebagaimana firman
Allah (yang artinya), “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang
masih dalam masa ‘iddah) itu dengan sindiran” (QS Al. Baqarah : 235). Misalnya
seorang laki-laki mengatakan kepada perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya
dengan perkataan, “Aku berharap agar Allah memberikan kemudahan bagiku untuk
memiliki istri yang shalihah”, tanpa menyebut nama perempuan tersebut.
3. Lamaran adalah semata-mata janji untuk menikah sebagai permulaan untuk menuju
pernikahan. Sehingga seorang yang sudah melamar, status hubungannya masih
sebagaimana laki-laki dan perempuan yang ajnabi (bukan mahrom). Tidak boleh
berdua-duaan dan bersentuhan satu dengan yang lainnya.
4. Dianjurkan bagi laki-laki yang hendak menikahi perempuan untuk melihat perempuan
tersebut dari bagian tubuh yang biasa terlihat yaitu wajah dan telapak tangan.
Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak melamar perempuan, maka
jika dia mampu untuk melihat bagian badannya (yang biasa terlihat) yang mendorongnya
untuk menikahinya, maka lakukanlah” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim, Shahih).

Syarat dan Rukun Nikah


Pernikahan memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Jika tidak, maka pernikahan
tersebut tidak sah. Syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan adalah sebagai berikut :
1. Harus diketahui secara jelas nama atau sifat dari masing-masing pasangan yang akan
menikah. Tidak boleh seorang wali menikahkan anaknya dengan perkataan umum,
seperti “Saya nikahkan engkau dengan salah seorang putriku”, padahal ia memiliki anak
lebih dari satu dan semua belum menikah. Oleh karena itu harus disebutkan secara jelas
seperti dengan nama atau sifat yang bisa membedakan antara anak-anaknya.
2. Keridhoan dari laki-laki dan perempuan yang akan menikah untuk menerima calon
pasangannya masing-masing. Maka tidak sah nikah dalam keadaan terpaksa sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang janda tidak dinikahkan sehingga
dimintai perintahnya. Dan seorang gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izinnya”
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Adanya wali perempuan. Tidak boleh menikahkan seorang perempuan kecuali walinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada nikah kecuali
dengan wali” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, Shahih). Syarat bagi wali
adalah seorang laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan secara umum baik agamanya
(bukan orang fasik)
4. Adanya dua orang saksi. Tidak sah akad nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi
yang beragama Islam, baligh, dan secara umum baik agamanya (bukan orang fasik).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali
dan dua orang saksi yang baik agamanya. Jika tidak ada kedua hal tersebut, maka akad
nikahnya tidak sah” (HR. Ibnu Hiban, dinilai shahih oleh Ibnu Hazm)
5. Tidak adanya penghalang yang menghalangi sahnya pernikahan, baik dari nasab (yang
tidak boleh dinikahi), saudara persusuan, perbedaan agama, dan sebab-sebab yang
lainnya.

Sedangkan rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :


1. Dua orang yang melakukan akad nikah, yaitu calon pasangan suami istri.
2. Ijab, yaitu ucapan yang berasal dari wali nikah perempuan atau orang yang
menggantikannya.
3. Qobul, yaitu ucapan yang berasal dari pengantin laki-laki. Ijab harus terlebih dahulu
dilakukan sebelum Qobul.

Mahar dan Walimatul ‘urs


Salah satu kewajiban yang harus diberikan suami kepada istrinya adalah mahar. Mahar
adalah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya karena sebab akad nikah. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban” (QS. An Nisa : 24). Sedangkan untuk besarnya nilai mahar, maka tidak ada
batasan minimal atau maksimal nilai suatu mahar. Kaidahnya adalah segala sesuatu yang
sah dijadikan alat transaksi jual beli atau alat pembayaran sewa menyewa, maka ia sah
untuk dijadikan mahar.
Setelah pelaksanaan akad nikah dianjurkan (menurut mayoritas ulama) untuk
mengadakan walimah, yaitu makanan yang disuguhkan untuk tamu undangan karena
suatu acara pernikahan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja menikah, ”Adakan walimah walaupun
dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim). Semoga Allah Ta’ala memberikan
kepada kita pasangan yang shalih dan shalihah, yang menjadi sebab mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Referensi utama : Al Fiqh Al Muyassar Fii Dhouil Kitaabi Was Sunnah

Penulis : Ndaru Triutomo, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Belajar Fiqih Wanita Itu Penting. Mengapa?

by : Aini Aryani, Lc
Tue 23 February 2016 11:27 | 11141 views | bagikan via
Setiap cabang ilmu tidak lah disusun dan dipelajari kecuali ada kepentingan dan
urgensinya. Namun, jika boleh bertanya:

Mengapa kita butuh ilmu fiqih wanita secara khusus?

Bukankah Allah SWT menciptakan laki-laki dan wanita dalam kedudukan yang sama dan
sederajat?

Mengapa harus dibeda-bedakan antara fiqih secara umum dan fiqih wanita secara
khusus?

Lalu hal-hal apa saja yang bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk membahas ilmu fiqih
wanita secara khusus.

Ada begitu banyak alasan dan latar belakang mengapa kita membutuhkan kajian khusus
ilmu fiqih wanita. Di antaranya karena Allah SWT tidak hanya menciptakan laki-laki
tetapi juga menciptakan wanita dan disebutkan secara khusus dan tersendiri. Juga karena
Allah SWT menciptakan wanita berbeda dengan laki-laki, baik secara fisik dan psikis.
Dan pada akhirnya hukum-hukum yang Allah SWT turunkan juga banyak yang berbeda
antara wanita dan laki-laki.

Mari kita bedah satu persatu alasan-alasannya berikut ini :

1. Al-Quran Banyak Sekali Bicara Tentang Wanita

Al-Quran yang merupakan kitab samawi terakhir dan menjadi mukjizat terbesar bagi
Rasulullah SAW banyak sekali mengangkat masalah wanita. Hal itu bisa dengan mudah
kita ketahui lewat nama-nama surat di dalamnya, dimana nama-nama surat biasanya
mencerminkan perkara-perkara penting di dalam suatu surat.

Di antara surat-surat itu adalah Surat An-Nisa', Maryam, An-Nur, Saba', Al-Hujurat,
Al-Mujadalah, Al-Mumtahanah, At-Thalaq, dan At-Thahrim.

a. Surat An-Nisa'
Surah ini letaknya pada urutan keempat setelah Surat Al-Fatihah, Al-Baqarah dan Ali
Imran. Di dalam surat yang berjumlah 176 ayat ini Allah SWT banyak mengupas
masalah-masalah fiqih yang terkait dengan wanita. Setidaknya ada sepuluh tema terkait
wanita di dalam surat ini, yaitu :

 Penetapan bolehnya laki-laki menikahi empat orang wanita sekaligus adanya di dalam surat ini
(ayat 3).
 Kewajiban suami untuk memberikan mas kawin alias mahar juga di surat ini (ayat 4).
 Menikahkan anak wanita yang sudah siap menikah (ayat 6).
 Islam memberikan hak kepada wanita harta warisan (ayat 11-12).
 Kasus istri yang selingkuh dan berzina juga dibahas di surat ini (ayat 15).
 Siapa saja wanita yang haram untuk dinikahi juga ada di dalam surat ini (ayat 22-23)
 Bila laki-laki tidak mampu menikahi wanita yang maharnya tinggi, maka silahkan menurunkan
kriterianya dengan menikahi wanita yang maharnya lebih rendah (ayat 25).
 Suami menjadi pemimpin wanita di dalam urusan domestik (ayat 34).
 Meminta fatwa tentang wanita (ayat 127).
 Masalah wanita yang nusyuz dari suaminya (ayat 128).

b. Surat Maryam

Selain itu juga ada surat Maryam yang berkisah tentang peran seorang ibunda Nabi Isa
alaihissalam. Kisah bagaimana kesulitannya melahirkan anak yang atas kehendak Allah
SWT tidak ada ayahnya dan cacian serta makian dari masyarakat sekitarnya. Kisah ini
sekaligus juga memberikan peran besar kepada seorang wanita dalam agama Islam, salah
satunya dalam hal menjaga kehormatan dan kemuliaan diri.

c. Surat An-Nur

Meski nama surat ini tidak ada kaitannya dengan urusan wanita, namun ketika kita
mendalami ayat-ayat di dalamnya, kita akan menemukan banyak perkara yang terkait
dengan masalah wanita.

 Perkara wanita yang berzina dengan laki-laki yang bukan suaminya serta bagaimana hukumannya
(ayat 2-10).
 Kisah tentang fitnah dan tuduhan perselingkuhan yang dilakukan istri Rasulullah SAW Aisyah
radhiyallahuanha yang disebarkan oleh orang munafiqin Madinah (ayat 11-20).
 Hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik dengan tuduhan zina (ayat 23-26).
 Kewajiban wanita menutup aurat kepada laki-laki yang bukan mahram, serta siapa sajakah
mereka (ayat 31).
 Kewajiban minta izin masuk ke kamar suami istri dalam tiga waktu (ayat 58).

d. Surat Al-Hujurat

Makna Al-Hujurat adalah kamar-kamar. Maksudnya adalah kamar-kamar yang dihuni


oleh para istri Rasulullah SAW. Meski ayat ini tidak membahas secara langsung tentang
masalah wanita, namun penggunaan istilah hujurat yang berarti kamar-kamar para istri
Nabi terkait dengan ganggungan para shahabat ketika Nabi SAW sedang berada di kamar
para istrinya.

Dan ini menjadi persoalan penting dalam adab bersama Rasulullah SAW ketika beliau
sedang berada di dalam kamar.

e. Surat Al-Mujadalah

Inti surat ini menceritakan adanya wanita yang melakukan perdebatan atau dialog dengan
Rasulullah SAW terkait dengan hak-haknya yang diambil oleh suaminya dengan cara
dsiihar. Wanita itu adalah Khaulah binti Tsa'labah yang mengadukan nasibnya kepada
Allah SWT lalu dari langit yang tujuh Allah SWT menjawab pengaduannya.

f. Surat Al-Mumtahanah

Surat ini bicara tentang kisah Rasulullah SAW bersama para istri beliau dalam lika-liku
rumah tangganya. Salah satunya ketika Rasulllah SAW menguji para istrinya itu.

g. At-Thalaq

Surat ini bicara tentang talak, yaitu pemutusan hubungan ikatan pernikahan antara suami
dan istri. Surat ini juga menjelaskan ketentuan-ketenuan bagi wanita yang menjalankan
masa iddah pasca terjadinya perceraian atau kematian suaminya.

h. At-Thahrim

Surat ini bicara tentang sikap Rasulullah SAW ketika mengharamkan dirinya bagi
istri-istrinya, yang kemudian ditegur oleh Allah.

2. Karena Allah SWT Tidak Hanya Menciptakan Laki-laki Tetapi Juga


Menciptakan Wanita

Allah SWT berfirman :

‫اس أَي َها يَا‬ ُ َّ‫َواحدَة نَّ ْفس ِّمن قَ ُكمََخَل الَّذي َربَّ ُك ُم اتَّقُواْ الن‬
َ‫ث زَ ْو َج َها م ْن َها َو َخلَق‬ َّ َ‫يرا ر َجالا م ْن ُه َما َوب‬
‫ساء َكث ا‬
َ ‫َون‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. (QS. An-Nisa : 1)

Kita mendapatkan sebuah penekanan tersendiri dari ayat ini atas keberadaan,
jati diri dan eksistensi para wanita. Allah SWT secara khusus menyebutkan
adanya para wanita dengan disebutkannya laki-laki dan perempuan yang banyak.

Walaupun asal muasalnya Allah hanya menciptakan satu orang saja, yang dalam
hal ini maksudnya adalah Nabi Adam alaihissalam yang nota bene adalah
laki-laki, namun dari satu orang laki-laki ini Allah kemudian menciptakan
banyak laki-laki dan perempuan.

Maka penyebutan wanita secara khusus di awal penciptaan ini telah memberikan
isyarat yang kuat tentang keberadaan para wanita, yang secara khusus mereka
ada. Keberadaan yang khusus dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan untuk
itu kita butuh kajian khusus tentang ilmu fiqih wanita.

3. Karena Allah SWT Menciptakan Wanita Dengan Laki-laki Berbeda

Banyak kalangan yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama saja.
Padahal dalam kenyataannya, baik laki-laki ataupun perempuan Allah ciptakan
dengan segala perbedaan dan keunikannya. Intinya jelas dan pasti, bahwa
laki-laki dan perempuan itu tidak sama. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

َ ‫َكاألُنثَى الذَّ َك ُر َولَي‬


‫ْس‬
Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan. (QS. Ali Imran : 36)

Bahkan dalam hal pembagian harta warisan, Allah SWT menetapkan bahwa bagian yang
diterima anak laki-laki setara dengan bagian dari dua anak perempuan.

ِّ ‫األُنثَيَيْن َح‬
ِّ ‫ظ مثْ ُل للذَّ َكر أَ ْولَد ُك ْم في‬
‫للاُ يُوصي ُك ُم‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Bagian
untuk anak lelaki sama dengan dua bagian untuk anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

Maka kajian khusus terkait dengan ilmu fiqih wanita adalah hal yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya.

4. Secara Fisik Wanita Berbeda Dengan Laki-laki

Dalam kenyataannya Allah SWT memang menciptakan wanita berbeda dengan


laki-laki. Sejak kelahirannya pertama kali di dunia ini, bahkan sejak masih di dalam
kandungan ibu, Allah SWT sudah menciptakan janin bayi yang secara biologis berbeda
antara janin laki-laki dan janin wanita.

Meskipun belum berfungsi, namun semua organ kewanitaan sudah diciptakan, termasuk
organ-organ untuk reproduksi seperti rahim, saluran indung telur dan lain-lainnya. Semua
itu secara biologis dan faal tubuh, sudah Allah ciptakan meski baru akan berfungsi pada
waktunya nanti.

Dengan perbedaan secara biologis sejak sebelum lahirnya wanita di dunia, maka sudah
bisa dipastikan seorang wanita itu pasti berbeda dengan laki-laki.

 Wanita pada usianya akan secara sunnatullah mendapatkan darah haidh yang keluar bulanan,
dimana laki-laki tidak akan pernah mengalaminya.
 Bentuk tubuh seorang wanita dipastikan akan tubuh berbeda dengan bentuk tubuh laki-laki. Dan
semua itu akan ikut berpengaruh pada peran dan fungsinya.

5. Secara Pisikis Wanita Berbeda Dengan Laki-laki

Ketika secara biologis Allah SWT menciptakan wanita berbeda dengan laki-laki, maka
otomatis secara psikis pun wanita punya kondisi yang sudah pasti berbeda juga. Secara
psikis wanita tidak boleh disamakan begitu saja dengan laki-laki.

Oleh karena itulah maka dalam syariat Islam dibedakan peran dan fungsinya. Salah
satunya dalam hal perkara untuk menjadi saksi, kesaksian seorang wanita harus dikuatkan
dengan wanita yang lain, sehingga minimal ada dua wanita. Hal ini sebagaimana Allah
SWT sebutkan di dalam Al-Quran :

ْ‫ِّر َجال ُك ْم من شَهيدَيْن َوا ْست َ ْشهدُوا‬ ‫َر ُجلَيْن يَ ُكونَا ْمََ ِّل فَإن‬
‫ض ْونَ م َّمن َو ْام َرأَتَان فَ َر ُجل‬ َ ‫تَ ْر‬ َ‫تَض َّل أَن دَاءََالشه من‬
‫إْ ْحدَا ُه َما‬ ‫األ ُ ْخ َرى إ ْحدَا ُه َما فَتُذَ ِّك َر‬
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah : 282)
6. Hukum-hukum Yang Allah Turunkan Berbeda Antara Wanita dan Laki-laki

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kenyataannya ada begitu banyak ayat Al-Quran dan
hadits-hadits nabawi yang memperlakukan para wanita dengan perlakuan hukum yang
berbeda. Apa yang halal untuk wanita belum tentu halal bagi laki-laki dan berlaku
sebaliknya. Apa yang wajib bagi wanita belum tentu wajib bagi laki-laki dan begitu pula
sebaliknya.

Sebutlah yang mudah saja dalam ketentuan batasan aurat wanita dan aurat laki-laki. Sejak
awal Allah SWT telah membuat batasannya yang berbeda, dimana aurat wanita di
hadapan laki-laki yang tidak halal baginya adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan
kedua telapak tangan.

‫يض بَلَغَت إذَا ال َم ْرأَة َ إ َّن أ َ ْس َماء يَا‬


ُ ‫صلُ ُح لَ ال َمح‬ْ َ‫ي أ َ ْن ي‬
َ ‫هَذا َ إلَّ م ْن َها يُر‬
َ ‫َو َكفَّيْه َو ْجهه إلَى َوأَش‬
‫َار َو َهذَا‬
Dari Aisyah radhiyallahu‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Asma', bila
seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini".
Lalu beliau SAW menunjuk kepada wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud).

Sedangkan batasan aurat laki-laki tidak seperti wanita, cuma antara pusat dan lutut,
sebagaimana hadits berikut ini :

َ ‫َع ْو َرة الر ْك َبة إ‬


َ ‫لى الس َّرة ت َ ْح‬
‫ت َما‬
Bagian tubuh yang di bawah pusar hingga lutut adalah aurat. (HR. Ahmad)

ُ‫ْالعَ ْو َرة منَ الر ْكبَة‬


Lutut termasuk aurat. (HR. Ad-Daruquthny)

‫ْال َع ْو َرة منَ الر ْكبَتَيْن َوفَ ْوقَ َالس َّرة أ َ ْسفَل َو َما ْال َع ْو َرة منَ الر ْكبَتَيْن فَ ْوقَ َما‬
Bagian tubuh yang berada di atas kedua lutut termasuk aurat, dan yang di bawah pusar
juga termasuk aurat. (HR. Ad-Daruquthny)

Jadi intinya tidak bisa dipungkiri bahwa ketentuan syariah yang Allah SWT tetapkan buat
wanita tidak selalu sama dengan laki-laki. Sehingga kajian khusus tentang ilmu fiqih
wanita adalah hal yang mutlak dibutuhkan.
7. Islam Turun Untuk Mengangkat Harkat Wanita

Di masa jahiliyyah, wanita diperlakukan mirip dengan harta benda. Dahulu, seorang
wanita dapat diwariskan. Artinya, jika seorang ayah menikahi seorang wanita, kemudian
si ayah ini meninggal dunia, maka wanita yang pernah dinikahinya itu dapat diwariskan
kepada anak lelakinya.

Dalam Islam, wanita diperlakukan dengan terhormat. Ia dapat memiliki harta eksklusif
dimana ia dapat mengelolanya sendiri tanpa harus ada intervensi dan paksaan dari orang
lain. Ia juga punya hak untuk memilih lelaki mana yang ia kehendaki untuk jadi
suaminya. Sebagai wali, ayahnya punya kewajiban untuk menikahkan anak gadisnya
dengan lelaki yang diridhai.

Dalam tradisi kaum jahiliyyah ada pernikahan yang disebut 'nikah syighar',
wanita diperlakukan layaknya benda yang dijadikan mahar. Contoh nikah
syighar misalnya : Seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan seorang
pemuda, dimana pemuda itu memiliki adik perempuan lajang. Si ayah ini setuju
untuk menikahkan anak gadisnya dengan si pemuda, dengan syarat bahwa si
pemuda mau menikahkan adik perempuannya dengan dirinya sebagai pengganti
mahar.

Dalam islam, pihak yang paling berhak atas mahar adalah calon mempelai wanita. Dan
setekah akad nikah dilaksanakan dan resmi menjadi isteri, mahar itu adalah milik isteri
sepenuhnya. Suaminya tak boleh mengambilnya kembali tanpa seizinnya. Maka dalam
Islam, seorang wanita tidak bisa dijadikan mahar. Justeru dialah yang berhak menentukan
dan menerima mahar.

Di zaman jahiliyyah, orang Arab terbiasa menikahi banyak wanita. Bahkan jumlahnya
belasan dan puluhan. Kebiasaan tersebut juga menjadi lumrah di kalangan laki-laki
non-arab, dimana raja atau kaisar memiliki banyak selir yang diposisikan hampir sama
dengan isteri.

Kemudian Islam datang membatasi menjadi maksimal 4 orang sebagaimana disebutkan


dalam surah an-Nisa.

Penutup

Tujuan poin diatas hanyalah sebagian dari alasan pentingnya mempelajari Fiqih Wanita.
Adapun ruang lingkup pembahasannya, dan juga sub tema yang masuk dalam ranah Fiqih
Wanita insyaa Allah akan disampaikan di artikel berikutnya.
Wallahu a'lam bishshowab.

Aini Aryani, Lc

PERNIKAHAN DALAM FIQIH ISLAM

PERNIKAHAN DALAM FIQIH ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan umat muslim, pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat

penting dan dianjurkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Karena pernikahan

dapat mencegah perbuatan zina dan keji yang sangat di benci dan di laknat oleh Allah

Swt.pernikahan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh rasul , dan merupakan

ibadah bagi manusia.

Jika tidak ada pernikahan, maka akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan

antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan antar sesama

manusia.

Pada zaman sekarang ini, banyak masyarakat yang mau melakukan perbuatan zina

tersebut. Mereka melakukan zina tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi yang

akan datang. Mereka hanya memikirkan hawa nafsu sesaat yang dapat merusak masa

depannya.

Oleh karena itu, syariat islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga

keselamatan pernikahan ini. Dalam Al-Quran dan Hadist juga diterangkan tentang
pernikahan yang dapat menambah wawasan dan menjauhkan umat muslim dari perbuatan

yang terlarang.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh dosen yang

bersangkutan.

2. Menambah wawasan tentang pernikahan.

3. Wawasan untuk masa depan bagi diri kita sebagai mahasiswa/i

4. Menambah wawasan pemikiran tentang pernikahan secara syariat islam yang

baik dan benar.

C. Permasalahan Dan Pembatasan Masalah

Penulis mengemukakan bahwa permasalahan dan pembatasan masalah dalam

makalah ini meliputi :

1. Bagaimana pernikahan yang baik buat umat muslim?

2. Bagaimana cara agar mahasiswa dapat memahami tentang pernikahan.

3. Apakah arti pernikahan sebenarnya dalam islam.

4. Bagaimana pandangan islam mengenai talak , cerai ,& rujuk .

D. Manfaat Penulisan
Menambah wawasan pemikiran kita mengenai masalah pernikahan, karena

pernikahan merupakan hakikat kita sebagai manusia,dan insha Allah kita

semua akan menjalani pernikahan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kitab Nikah ( Pernikahan)

Dalam Al-quran dan hadist, pernikahan disebut dengan an-nikah, az-ziwaj/ az-zawj

atau az-zijah. Terambil dari kata zawwaja –yuzawwiju-tajwijan yang secara harfiah

berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai, dan

memperistri.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan

perempuan menjadi suami istri, (2) beristri atau berbini, (3) dalam bahasa pergaulan

artinya bersetubuh.1[1] Pengertian senada juga di jumpai dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kawin diartika menikah, bersetubuh dan berkelamin. Dalam Kamus lengkap

Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengaqn bersuami

istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh.2[2]


Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak

dan kewajiban serta tolong – menolong antara seorang laki-laki antara seorang laki – laki

dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Firman Allah Swt :

. . . . ‫الث َو َمثْنى‬ َ ‫واحدَة ً ت َ ْع ِدلُوا أَالَّ ِخ ْفت ُ ْم فَإ ِ ْن ُربا‬


َ ُ ‫ع َو ث‬ ِ َ‫طاب ما فَا ْن ِك ُحو ف‬
َ ‫ساء ِمنَ لَ ُك ْم‬
ِ ِ‫ن‬. ..

“ Maka nikahilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja.”(An-Nisa : 3)

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau

masyarakat yang sempurna.

Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh- teguhnya dalam hidup dan kehidupan

manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan dua keluarga.Sabda

Rasulullah Saw :

“Hai pemuda – pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu


sertaberkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena
sesungguhnyapernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata
terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari
godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah
dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunyaterhadaqp perempuan akan
berkurang.”(Rwayat Jama’ahahli hadis)

Dalam hal ini, faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan

memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab perempuan wajib

ditanggung sama suaminya apabila sudah menikah, untuk memelihara kerukunan anak

cucu (keturunan), juga untuk kemashalatan masyarakat.

B. Meminang

Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki – laki

kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang


dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama islamterhadap

gadis atau janda yang habis masa iddahnya, kecuali perempuan yang masih dalam iddah

ba’in, sebaliknya dengan jalan sindiran saja.

Firman Allah Swt :

. . . . . . . َ‫ضتُم ِفي َما َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا َح َوال‬ ْ ‫ساء ِخ‬


ْ ‫ط َب ِة ِم ْن ِب ِه َع َّر‬ َ ‫الن‬
ِ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran.”(Al-Baqarah : 235)

Adapun terhadap perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah, maka haram

meminangnya karena secara hukum masih berstatus sebagai istri bagi laki- laki yang

menceraikannya, dan dia boleh kembali kepadanya. Demikian juga tidak boleh

meminang seorang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain, sebelum nyata

bahwa permintaannya ini tidak diterima.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum melihat orang yang akan dipinang itu

boleh saja, dan ada juga sebagian ulam yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang

akan dipinang itu hukumnya sunat.

Jadi, sekiranya tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan seorang perempuan

yang dipercayai, supaya dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan

dipinangnya itu.

Sabda rasulullah Saw :

“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan,


sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga
bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud)

C. Hukum Nikah dan Rukun Nikah


a) Hukum Nikah

 Jaiz ( diperbolehkan), ini asal hukumnya.

 Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dll.

 Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda

pada kejahatan (zina).

 Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.

 Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.

b) Rukun Nikah

 Calon Mempelai

 Wali (wali si perempuan)

Rasulullah Saw bersabda :

“Barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya,

maka pernikahannya batal.”(riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasai)

 Ijab Kabul

Pernikahan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut

hukum pernikahan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri

dalam ikatan pernikahan dari wali pihak perempuan dan sebagai lambang saling

meridhoi dan sebagai tanda bahwa pasangan tersebut sudah terikat.3[3] Kabul

adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang di ucapkan

oleh mempelai pria.4[4]


 Dua orang saksi

Sabda Rasulullah Saw:

“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”

D. Wali

1. Susunan Wali :

 Bapaknya

 Kakeknya ( bapak dari bapak mempelai perempuan)

 Saudara laki-laki yang seibu bapak dengannya

 Saudara laki- laki yang sebapak saja dengannya

 Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya

 Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya

 Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)

 Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya

 Hakim

2. Syarat Wali dan Dua Saksi

 Islam, orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi.

Firman Allah Swt :

. . . . . . ‫ارى ْاليَ ُهودَ تَت َّ ِخذُواْ الَ آ َمنُواْ الَّذِينَ أَيُّ َها يَا‬
َ ‫ص‬َ َّ‫أَ ْو ِليَاء َوالن‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu).”(Al-Maidah :51)

 Baliq (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)


 Berakal

 Merdeka

 Laki-laki, karena tersebut dalam hadist riwayat Ibnu Majah dan Darutqi.

 Adil

3. Keistimewaan Bapak dari Wali-wali lain

Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang bikir/perawan dengan

tidak meminta izin anak terlebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik.

Kecuali anak yang sayib (tidak perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan

izinnya terlebih dahulu.

Ulama-ulama yang memperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan

tanpa izin dengan syarat :

- Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak

- Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara(se-kufu)

- Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding)

- Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar

- Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan si anak kelak dalam

pergaulannya dengan laki-laki itu.

4. Enggan atau Keberatan wali

Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan

dengan seorang laki- laki yang setingkat (se-kufu), dan walinya berkeberatan dengan

tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya dan setelah memberi nasehat
kepada wali agar mencabut keberatannya itu. Apabila wali tetap berkeberatan, maka

hakim berhak menikahkan perempuan itu.

5. Dua Orang Wali Masing-masing menikahkan

Seorang perempuan dinikahkan oleh dua orang walinya yang sederajat kepada

dua orang laki-laki. Jika yang terdahulu di antara keduanya diketahui, maka yang te

rdahulu itulah yang sah, sedangkan yang terakhir tidak sah.

Jika yang terdahulu tidak diketahui, atau diketahui bersamaan, maka kedua

perkawinan itu batal; karena asalnya perempuan itu haram, sehingga penyebab halalnya

wajib diketahui dengan jelas.

E. Mahram

Mahram (orang yang tidak halal dinikahi)ada 14 macam, yaitu :

 Tujuh orang dari pihak keturunan

1) Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.

2) Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.

3) Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.

4) Saudara perempuan dari bapak.

5) Saudara perempuan dari ibu.

6) Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.

7) Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.

 Dua orang dari sebab menyusu

1) Ibu yang menyusui.


2) Saudara perempuan sepersusuan.

 Lima orang dari sebab pernikahan

1) Ibu istri (mertua)

2) Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya

3) Istri anak (menantu)

4) Istri bapak (ibu tiri)

Firman Allah Swt :

. . . . . . . .‫ساء ا ِمنَ آباؤُ ُك ْم نَ َك َح ما ت َ ْن ِك ُحوا َول‬


ِ ‫الن‬
ِ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh


ayahmu.”(An-Nisa : 22)

5) Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu

dua perempuan yang ada hubungan mahram.

F. Kufu (Setingkat)

Setingkat dalam pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu

menurut tingkat kedua ibu bapak.

1. Agama

2. Merdeka atau hamba

3. Perusahaan

4. Kekayaan

5. Kesejahteraaan
Kufu adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan

keridhoan bersama. Kufu itu hanya berlaku mengenai keagamaan, baik mengenai pokok

agama seperti islam – maupun kesempurnaan, misalnya yang baik (taattidak sederajat

dengan orang jahat atau tidak taat.

G. Pembagian Waktu

Bagi orang yang memiliki istri lebih dari satu, hendaklah memisahkan tempat

kediaman masing-masing istri itu. Pembagian waktu diantara istri-istri itu hendaklah

sama dan betul dilakukan, baik yang mempunyai kediaman di dalam sebuah rumah

maupun masing-masing berumah sendiri-sendiri.

Apabila suami hendak bepergian hanya dengan salah seorang istrinya, hendaklah dia

mengadakan undian di antara istri-istrinya itu, siapa yang memperoleh undian, hendaklah

dia yang dibawa, dan yang lain boleh tinggal.

H. Mahar (Maskawin)

Mahar adalah pemberian dari seorang suami yang diwajibkan memberi sesuatu

kepada istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda).

Firman Allah Swt :

َ ً‫نِحْ لَة‬
. . . . . . . .‫صدُقاتِ ِه َّن النِسا َء آتُوا َو‬

“Berikanlah maskawin ( mahar ) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”(An-Nisa : 4)

Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki yang mengawini

seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu.5[5]


Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada istrinya sewaktu dia

menceraikannya. Pemberian ini wajib utk laki-laki apabila penceraian itu terjadi karena

kehendak suami. Tetapi kalau penceraian itu kehendak istri, pemberian itu tidak wajib

Orang yang menikah hendaklah mengadakan perayaan menurut kemampuannya.

Mengenai hukumnya, sebagian ulama mengataka wajib dan sebagian lagi mengatakan

sunat. Memenuhi undangan perayaan pernikahan hukumnya wajib, bagi orang yang tidak

berhalangan.

I. Talak ( Penceraian )

Secara bahasa Ta’rif talak adalah “melepaskan ikatan” atau melepaskan ikatan

pernkahan. Apabila tujuan-tujuan yang dalam membangun kehidupan berumah tangga

tidak tercapai dapat mengakibatkan berpisahnya dua keluarga dan berujung kepada

perceraian.

Hukum talak ada 4, yaitu :

1. Wajib : Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang

mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.

2. Sunat : Apabila suami tidak sanggp lagi membayar dan mencukupi kewajibannya

(nafkahnya), perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

3. Haram : (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam

keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampuri sewaktu suci

itu.

4. Makruh : yaitu hokum asal dari talak yang tersebut diatas.


Ada beberapa Lafazh Talak yang dipakai untk perceraian :

 Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu.

 Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu

Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menalak istrinya dari talak satu sampai

talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh rujuk sebelum habis iddahnya, dan boleh

menikah kembali setelah iddah. Dan talak tiga tidak boleh menikah rujuk atau nikah

kembali, kecuali apabila si perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak

juga.

Istisna artinya mengurangkan maksud perkataan yang telah terdahulu dengan

perkataan yang terkemudian. Istisna dalam kalimat talak hukumnya sah, dengan syarat

“ Perkataan yang pertama berhubungan dengan yang kedua, dan kalimat kedua tidak

menghabisi maksud kalimat yang pertama.

Ta’liq talak sama hukumnya dengan talak tunai, yaitu makruh. Tetapi kalau adanya

ta’liq itu akan membawa kerusakan (kekacauan), sudah tentu hukumnya jadi terlarang

(haram).

Khulu’ ( Talak tebus) artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran

dari pihak istri kepada pihak suami. Penceraian dengan cara ini diperbolehkan dalam

agama kita dengan disertai beberapa hokum perbedaan dengan talak biasa.

Ila’ artinya si suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4

bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Ila’ ini di zaman jahiliyah

berlaku talak, kemudian diharamkan oleh agama islam.


Zihar adalah seorang laki-laki yang menyerupakan istrinya dengan ibunya sehingga

istrinya itu haram atasnya. Misalnya suami berkata : “engkautampak olehku seperti

punggung ibuku.” Suami tersebut wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan

istrinya sebelum membayar kafarat itu.)

Denda (kafarat) zihar yaitu :

- Memerdekakan hamba sahaya

- Atau puasa dua bulan berturut-turut

- Atau member makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang ¼ sa’ fitrah (3/4) liter)

Li’an ialah perkataan suami “saya persaksikan kepada allah bahwa saya benar

terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia telah berzina.”

J. Iddah dan Rujuk

Iddah ialah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan

suaminya, gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak. Ada ketentuan

iddahnya sebagai berikut :

 Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah sampai lahir anak, baik cerai mati ataupun

cerai hidup.

 Perempuan yang tidak hamil. Cerai mati iddahnya yaitu 4 bulan 10 hari. Cerai hidup

iddahnya : tiga kali suci waktu haid atau tiga bulan jika perempuan itu tidak sedang haid.

Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal

sebelum diceraikan. Hukum rujuk yaitu :

 Wajib, suami yang menalak istri sebelum dia sempurnakan waktunya untuk

istrinya.
 Haram, apabila rujuknya untuk menyakiti istri

 Makruh, kalau percerain merupakan jalan yang lebih baik.

 Jaiz, hukum rujuk asli

 Sunat, jika untuk memperbaiki keadaan istrinya dan rujuk berfaedah bagi

keduanya.

K. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Pernikahan bertujuan untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan

generasi yang akan mendatang dan untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh

ketenangan hidup dan merasa kasih sayang. Hikmah pernikahan yaitu :

1. Hikmah pernikahan yaitu dapat menjaga kehormatan diri dari terjatuh kepada

kerusakan seksual

2. Dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta

antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.6[6]

BAB III

KESIMPULAN

Pernikahan adalah hakikat kita sebagai manusia & pernikahan merupakan suatu cara

yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan juga sebagai sunnatullah, apabila
seseorang telah berkemampuan untuk berkeluarga dan takut akan terjerumus kejurang

dosa, maka menikah adalah solusi yang paling tepat dalam pertanyaan ini.

Dengan demikian pernikahan bukan saja penyaluran kenikmatan duniawi saja, tetapi

juga sebagai perintah agama agar pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan

terpelihara ketaqwaannya, Di dalam memiliki prinsip-prinsip kerelaan atau tidak ada

paksaan, dan juga ketentuan bahwa laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang wanita

bukanlah maksud yang sebenarnya, tapi menyangkut nasib anak-anak yatim dan

janda-janda miskin , dan ini adalah maksud yang sebenarnya.

Pernikahan memiliki rukun tertentu, diantaranya ada calon suami dan calon istri ,

wali, dua orang saksi, dan sighat akad, Di setiap unsur rakun memiliki syarat

masing-masing sehingga tercapai tujuan pernikahan. Dan dalam pernikahan terkandung

beberapa hikmah , yaitu menghalangi mata dari melihat kepada hal –hal yang diizinkan

syara’ , menjaga kehormatan diri dari terjatuh kepada kerusakan seksual , untuk

memperbanyak keturunan,melestarikan hidup manusia serta memelihara keturunan,

naluri orang tua akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup, pembagian tugas

dimana seorang istri mengatur dana mengurus rumah tangga sedangkan suami bekerja

dan berusaha mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga, dapat

membuahkan tali kekeluargaan , mempertumbuh kelanggengan rasa cinta antara keluarga

dan memeperkuat hubungan kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo

http://www.al-shia.org/html/id/quran/tarjomeh/004.htm

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor : Kencana

Sabiq, Sayid. 1996. Fiqih Sunnah. Bandung : PT. Al- Ma’arif

Anda mungkin juga menyukai