PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at
Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi
yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita. Salah satu dari syari’at Islam adalah
tentang perkawinan hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an
maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang
sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang
melakukan perkawinan, dimana perkawinan ini mencegah perbuatan yang
melanggar norma-norma agama dan menghindari zina.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul.
Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun
1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Keinginan untuk menikah adalah
fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah
SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat
mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah
SAW bersabda: ”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup
2
menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan
memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah
berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti adanya calon pengantin laki-laki /perempuan dalam perkawinan. Syarat
yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan.
Menurut islam, calon pengantin laki-laki / perempuan itu harus beragama islam.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan
dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
3. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua
orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
4. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki.
Menurut Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad
yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
3
2.4 Syarat Sahnya Pernikahan
d. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
e. Calon mempelai laki-laki kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal baginya.
4
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
‘iddah.
f. Tidak dipaksa/ikhtiyar.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah
yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Menurut
Hanafiah, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan kabul
oleh pihak permpuan (wali atau wakilnya ) apabila perempuan itu telah baligh dan
berakal. Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majelis, dan tidak boleh ada jarak
yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan
akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua
belah pihak dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih di
dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak
berpaling dari maksud akad itu. Adapun lafadz yang digunakan untuk akad nikah
adalah lafaz nikah , yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-
kalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah. Sedangkan hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur’an, misalnya
menggunakan kalimat hibah, sedekah , pemilikan dan seagainya, dengan alasan,
kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa
yang artinya perkawinan.
5
Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab. Akad
nikah itu wajib di hadiri oleh : dua orang saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi,
karena saksi merupakan syarat sah perkawinan. Adapun dasar dari perkawinan itu
wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz atau kalimat tertentu adalah
berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
3. Syarat-syarat Wali
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan
bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan
menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum
(agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu
dewasa pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu
yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria.Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali
dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak
mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang
dilakukan tanpa wali dinyatakan batal. Wali adalah rukun dari beberapa rukun
pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki.
6
hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar
tercapai dengan sempurna.
Menurut Imam Hanafi, berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan
berakal, mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah.
Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas
mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka
dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan
mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda) diberikan hak
sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain
dalam urusan pernikahannya. Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah
nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak
sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
4. Syarat-syarat Saksi.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad
nikah. Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki
dan dua orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua
orang fasik. Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan
menurut hukum syariat Islam. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki /perempuan
dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan. Menurut islam, calon pengantin laki-laki / perempuan itu harus
beragama islam. Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
8
DAFTAR PUSTAKA