Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD

Disusun oleh:

Angga Permana Putra

(2042115065)

M. Riyadi

(2042115013)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH

UNIVERSITAS SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA

Tahun 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dan tidak
lupa pula sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Saw yang mana atas berkat rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami
mampu menyelesaikan makalah ini, sesuai dengan harapan dengan judul “Konsep
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd”.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hermeneutika semester 6 di Fakultas Ushuluddin,Adab,dan Dakwah,
Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat banyak hambatan-
hambatan yang ditemui. Namun dengan usaha maksimal serta dorongan dan
bantuan dari beberapa pihak, maka makalah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr.Muhammad Yusuf Qardlawi, MA sebagai penanggung
jawab mata kuliah Hermeneutika yang sudah memberikan kami
kepercayaan untuk menjelaskan dan membahas materi “Konsep
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd”.
2. Pihak-pihak yang telah memberikan dukungan baik secara moral
maupun secara spiritual dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritikan dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan batasan atas
kebaikan dan bantuan dari semua pihak yang telah memberikan doa dan
dukungannya. Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Kelompok 6

Samarinda,25 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I ...............................................................................................................1

PENDAHULUAN ............................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................1

C. Tujuan ...........................................................................................................2

BAB II ...............................................................................................................3

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd ...................................................................3

B. Karya-Karya Nasr Hamid Abu Zayd ............................................................4

C. Pemikiran Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd ..............................................5

D. Contoh Penafsiran ........................................................................................8

BAB III ...........................................................................................................12

PENUTUP .......................................................................................................12

A. Kesimpulan ...............................................................................................12

B. Saran ...........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan seputar al-Qur’an dan penafsirannya merupakan pembahasan


yang tak pernah usai. Al-Qur’an selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain ) yang
berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-
hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran.1 Al-Qur’an yang selalu
salih li kuli zaman wa makan, memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang
luas tidak terbatas. Dengan demikian ayat-ayatnya selalu terbuka untuk ditafsirkan,
tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.
Metodologi tafsir sesungguhnya tidaklah baku karena ia merupakan respons
terhadap tantangan yang tengah berkembang pada zamannya. Dengan
berkembangnya zaman metode-metode tersebut menghendaki adanya
pembaharuan. 2 Pada dasarnya, tidak ada metode yang sempurna dan bersifat final
karena masing-masing selalu ada kelemahannya. Dewasa ini, muncul upaya-upaya
untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Qur’an
menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Salah satu tokoh
penggagas metode baru dalam penafsiran al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd.
Oleh karena itu makalah ini akan membahas lebih jauh bagaimana konsep
hermeneutika sebagai metode penafsiran menurut Nasr Hamid Abu Zayd.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Nasr Hamid Abu Zayd?


2. Apa saja Karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd?
3. Pemikiran Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd?

1
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika Dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd”
dalam Jurnal Al-Makrifat, edisi no. 1, Vol 1, 2016.

2
Fatkul Chodir, “Tafsir Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd” dalam Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, edisi no. 1, Vol 1, 2019.

1
4. Bagaimana contoh penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui biografi Nahr Hamid Abu Zayd .


2. Untuk mengetahui Karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd.
3. Untuk mengetahui bagaimana Pemikiran Penafsiran Nashr Hamid Abu
Zayd.
4. Untuk mengetahui contoh penafsiran ayat Nasr Hamid Abu Zayd.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qahafah, dekat kota Tantha Mesir, 10
Juli 1943 dan wafat 5 Juli 2010 di Mesir dan dimakamkan didaerah tempat ia
dilahirkan. Pada usia 4 tahun dia belajar Qur’an di Kuttab di desanya seperti
kebiasaan masyarakat muslim di Mesir, dan usia 8 tahun dia telah menghafal al-
Qur’an.1 Nasr Hamid mengawali pengembaraan keilmuwannya di sekolah teknik
Tantha dan lulus dari sekolah pada tahun 1960. Pada tahun 1968 Nasr Hamid kuliah
di jurusan bahasa dan sastra Arab pada Fakultas Sastra di Universitas Kairo. Dari
situlah awal mula Nasr Hamid menunjukan bakatnya dalam ilmu bahasa dan sastra
yang kemudian mampu menghasilkan sebuah pembacaan baru dengan pendekatan
linguistik dalam studi Qur’an. Tahun 1972 ia memperoleh gelar kesarjanaannya,
dan diangkat menjadi asisten dosen di jurusan yang sama.
Nasr Hamid melanjutkan studinya pada program magister di jurusan yang
sama dan selesai pada tahun 1981. Sejak tahun 1976 sampai 1987 Nasr Hamid
mengajar untuk orang asing di pusat diplomat dan menteri pendidikan. Karena
melihat bakat yang luar biasa dari Nasr Hamid, pengurus jurusan itu
menetapkannya untuk menjadi asisten dosen dengan mata kuliah pokok “Studi al-
Qur’an ” pada tahun 1982, dan mendapat kehormatan sebagai “profesor penuh”
pada tahun 1995 di bidang yang sama. Pada tahun 1975-1977 mendapat bantuan
dana beasiswa dari ford Foundation Fellowship untuk studi di Universitas Amerika
Kairo. Selanjutnya ia juga mendapat beasiswa pada tahun 1978 sampai 1979 untuk
belajar di Center For Middle East Studies. Karirnya semakin memuncak ketika ia
diangkat menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign Studies Jepang

1
Anwar Mujahidin, “Hermeneutika al-Qur’an” , (Ponorogo: STAIN Po PRESS,2013) h,
56.

3
pada tahun 1985 sampai 1989 dan di Universitas Laiden Netherland pada tahun
1995 sampai 1998.2

B. Karya-Karya Nasr Hamid Abu Zayd


Abu Zayd dalam kehidupannya memiliki banyak karya, baik tentang studi
al-Qur’an ataupun tentang keislaman. Namun, dari hasil karyanya tersebut banyak
menuai kontroversi di kalangan para tokoh Muslim. Karena menurut mereka dalam
karangan Abu Zayd terdapat pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari tuntutan
syari’at.3 Salah satunya yaitu ketika Abu Zayd menyebutkan dalam bukunya
Mafhum al-Nas Dirasah fi Ulum al-Qur’an (“Konsep Teks” Kajian atas ilmu-ilmu
al-Qur’an) bahwa al-Qur’an tercipta dari sebuah budaya (produk budaya /Muntaj
al-Tsaqafi ). Oleh sebab itu untuk mengetahui asumsinya, diperlukan untuk
membaca karya-karya yang telah dipublikasikannya. Diantara karya-karya Abu
Zayd yaitu: 4
a. Al-Ittijahad al-Aql fi al-Tafsir ; Dirasah fi Qadiyah al-Majaz ‘inda al-
Mu’tazilah’ (Pendekatan Rasional dalam Interpretasi: Studi terhadap Majaz
menurut Kaum Mu’tazilah).
b. Falsafat al-Ta’wil; Dirasat fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘Ind Muhyiddin Ibn
‘Arabi (Interpretasi Filosofis; Studi Terhadap Interpretasi al-Qur’an
menurut Ibn ‘Arabi).
c. Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan).
d. Al-Imam al-Syafi’I wa Ta’sis al-Aidiulujiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi’i
dan Pembentukan Ideologi Moderat).
e. Al-Nass, al-Sultat, al-Haqiqat (Teks, Wewenang Kebenaran).
f. Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil (Problematika Pembacaan dan
Mekanisme Interpretasi).

2
Fikri Hamdani, “ Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Intrepretasi” dalam Jurnal Alauddin,
edisi no 1, Vol 1, 2019.

3
M.Tohir, “Al-Qur’an Dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd” dalam Jurnal al-
Thiqah, edisi no.1, Vol 2, 2019.
4
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.3.

4
g. Al-Tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran di era Pengkafiran).
h. Dawair al-Khauf ( Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah).

C. Paradigma Penafsiran Nashr Hamid Abu Zayd


Paradigma penafsiran Nasr Hamid tentang al-Qur’an, adalah berangkat dari
pemahaman tentang hakikat teks al-Qur’an. hal ini berkaitan dengan perdebatan
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah mengenai hakikat al-Qur’an. Bagi Mu’tazilah al-
Qur’an adalah bukan merupakan sifat melainkan perbuatan Tuhan, dengan
demikian al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan.
Sedangkan menurut Asy’ariyah, al-Qur’an adalah sifat Tuhan, dan sebagai sifat
Tuhan mestilah kekal sebagaimana kekekalan Tuhan itu sendiri.
Dari kedua pandangan tersebut, Nasr Hamid lebih sepakat pada pandangan
Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu diciptakan Tuhan, hal tersebut kemudian
memunculkan pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebuah fenomena historis dan
mempunyai konteks spesifiknya sendiri. dan hal ini berimplikasi pada tiga hal,
Pertama, al-Qur’an adalah sebuah teks, dan lebih khususnya teks linguistik, karena
bahasa tidak bisa dipisahkan dari budaya dan sejarah, al-Qur’an juga sebuah teks
cultural dan historis. Kedua, teks haruslah dikaji dengan menggunakan pendekatan
linguistik dan sastra yang memperhatikan aspek-aspek cultural dan historis teks,
dan Ketiga, titik berangkatnya bukan keimanan, namun obyektifitas keilmuan,
sehingga baik Muslim maupun non Muslim dapat memberikan kontribusi kepada
studi al-Qur’an. Paling tidak bahwa, al-Qur’an tidak dianggap sebagai sebuah kitab
yang sifatnya historis ataupun mitologis.5
Di antara sejumlah pemikir kontemporer, Nasr Hamid tergolong paling
artikulatif dalam mengelaborasikan isu keterciptaan al-Qur’an. Ia berargumen,
sekali diwahyukan kepada Nabi Muhammad, al-Qur’an memasuki sejarah manusia
dan menjadi teks, seperti teks lainnya. Nasr Hamid membuat distingsi antara teks
metafisikal dan teks fisikal. Menurutnya “ keadaan teks suci yang orisinil bersifat
metafisikal sehingga tidak bisa kita ketahui melaui apa yang dikatakan teks fisikal

5
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.4.

5
yang sampai kepada kita melalui dimensi kemanusiaan yang secara historis
senantiasa berubah. Titik berangkat Nasr Hamid adalah ketika al-Qur’an yang
metafisik dan sakral diwahyukan kepada Nabi Muhammad, ia mulai memasuki
ruang sejarah dan tunduk pada aturan main sejarah dan sosiologis. Berbeda dengan
asalnya yang bersifat Ilahi, teks tersebut menjadi manusiawi merangkul ke dalam
dirinya semua elemen masyarakat Arab abad ke 7 M seperti elemen cultural, politik,
dan ideologi.6
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa al-Qur’an adalah kitab berbahasa
Arab dan diturunkan dalam bahasa Arab (dalam bahasa al-Qur’an disebutkan dalam
surat yusuf ayat 2; Qur’anan ‘Arabiyyan). Di awal pembahasan dalam buku
Mafhum al-nas, Nasr Hamid mengatakan bahwa sebagai teks bahasa, al-Qur’an
disebut sebagai teks sentral dalam sejarah Arab. Maksudnya adalah dasar-dasar
ilmu dan budaya Arab dengan Islam tumbuh dan berdiri di atas landasan teks.
Walaupun begitu, teks tidak akan membentuk sebuah peradaban jika teks berdiri
sendiri. Akan tetapi, peradaban dan kebudayaan akan terbentuk jika adanya proses
dialektika antara manusia realitas dan teks. Dan ketiga unsur tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain, karenanya paradigama besar dari konsep yang
ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari
realitas budaya dan masyarakat ketika al-Qur’an itu diturunkan. Oleh karena itu,
Nasr Hamid menganggap al-Qur’an sebagai “produk budaya”. Yang dimaksudkan
oleh Nasr Hamid tentang Muntaj al-Tsaqafi itu adalah teks terbentuk dalam suatu
realitas budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Hal ini berarti
bahwa segala aspek dalam al-Qur’an, baik itu aspek bahasa, hukum-hukum maupun
aspek-aspek yang lainnya tidak lepas dari realitas budaya pada saat itu.
Quraish Shihab juga berpandangan demikian, bahwa teks/bahasa yang
digunakan Tuhan dalam al-Qur’an adalah bahasa manusia, sedangkan bahasa
manusia adalah produk budaya, atau al-Qur’an menyampaikan pesan-pesannya
dalam masyarakat yang memilki budaya yakni dia tidak hadir ke dalam masyarakat
yang hampa akan budaya, kemudian Allah melaui al-Qur’an berinteraksi dengan

6
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.5.

6
masyarakat yang berbudaya serta menggunakannya dalam member contoh dan
bimbingan. Tapi sepertinya, Quraish Shihab kurang sepakat dengan istilah “produk
budaya” karena baginya “produk budaya” lebih berorientasi kepada pemahaman
bahwa teks al-Qur’an adalah hasil karya, rasa, dan cipta manusia. Akan tetapi
berdasarkan maksud/tujuan, Quraish Shihab sangat sepakat dengan yang
dimaksudkan oleh Nasr Hamid.
Terlepas dari perdebatan mengenai istilah “produk budaya” di atas, istilah
ini pada intinya bahwa al-Qur’an itu berbahasa Arab dan bahasa itu sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial pada saat al-Qur’an diturunkan, dan bahasa itu
merepresentasikan sistem tanda dalam struktur budaya secara umum. Karena itu,
pembacaan Nasr Hamid tentang Ulumul Qur’an, misalnya pembahasan tentang
makkiyah dan madaniyyah, adalah sebuah pembahasan yang dimaksudkan untuk
melihat periodesasi/fase yang dianggap berperan dalam membentuk teks. Hal ini
berarti bahwa teks merupakan output dari interaksinya dengan realitas yang dinamis
historis. Begitu pula pembahasan tentang Asbab al-Nuzul, Nasikh Mansukh, adalah
suatu pembahasan di dalam Ulumul Qur’an yang sangat bermuara pada dialektika
antara teks dan realitas.7
Maka menurut Nasr Hamid perlu adanya suatu metodologi baru, yaitu
membaca al-Qur’an dengan melihat aspek-aspek diluar dari teks al- Qur’an (sosio
cultural) dan pendekatan kebahasaan/linguistik (al-Manhaj altahlil al-lugawi)
(Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Semantik). Pada dasarnya, pemikiran Nasr
Hamid ini tidaklah murni dari pemikirannya sendiri. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh gurunya yaitu Amin al- Khuli yang dikenal sebagai pemikir dan
menjadi peletak pertama metode sastra/linguistik dalam kajian al-Qur’an. Bagi al-
Khuli metode tafsir sastra bertujuan untuk mengurangi atau membatasi
subyektifitas penafsir yang cenderung teologis dan ideologis. Inilah yang menjadi
dasar Nasr Hamid dalam kajian al-Qur’an kemudian membuat sebuah
pengembangan terhadap metode al-Khuli tersebut dengan melihat makna dan
signifinkasi teks/ayat al-Qur’an. Dalam modifikasi ini, Nasr Hamid merujuk kepada

7
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.6.

7
teori E. D. Hirch tentang makna dan signifikansi. Makna menurut Nasr Hamid
adalah makna yang direpresentasikan oleh teks dan signifikansi adalah apa yang
muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca. Makna bersifat statis dan
signifikansi sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Makna
digunakan untuk melihat makna historis/makna awal kosa kata al- Qur’an dan
signifikansi digunakan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kekinian, untuk
menjadikan al-Qur’an sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang
ada.

D. Contoh Penafsiran
Poligami adalah salah satu isu penting dalam pembaruan Islam dan gerakan
feminisme, sebut saja Amina Wadud, Riffat Hassan, Nazaruddin Umar, Musdah Mulia di
era kontemporer ini. berbagai macam bentuk metode dan teori yang digunakan oleh tokoh-
tokoh tersebut dalam usaha untuk menafsirkan kembali ayat-ayat poligami dalam al-
Qur’an. Riffat Hassan misalnya menafsirkan ayat-ayat poligami tersebut dengan metode
historis-kritis-kontekstual yang berakar pada metode holistic (maudhu’i). baginya
menafsirkan ayat-ayat poligami dengan metode tahlili (analitis) seperti yang dilakukan oleh
mufassir klasik, akan mempermudah seseorang untuk berpoligami asal dapat memenuhi
syarat adil.8
Akan tetapi, makalah ini tidak akan panjang lebar membahas tentang pandangan
Riffat Hassan tersebut. Selanjutnya penulis memaparkan secara singkat tentang poligami
dalam perspektif teori hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Sebagai landasan ayat
poligami adalah sebagai berikut, (QS. an-Nisa’ (4): 3) :

ۤ ِ ِ
‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِ َسا ِء َمثْ ٰٰن‬ ِ ِ
َ َ‫َوا ْن خ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْقسطُْوا ِِف الْيَ ت ٰٰمى فَانْك ُح ْوا َما ط‬

َ ِ‫ت اَْْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬ ِ ‫ث وربٰع ۚ فَِا ْن ِخ ْفتم اَاَّل تَع ِدلُوا فَ و‬


‫ك اَ ْد ٰىٰن اَاَّل‬ ْ ‫اح َدةً اَ ْو َما َملَ َك‬ َ ْ ْ ُْ َ ُ َ َ ‫َوثُ ٰل‬

ۗ‫تَعُ ْول ُْوا‬

8
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.9

8
“Terjemahnya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.9

Nasr Hamid menginterpretasikan ayat di atas dengan tiga langkah. Pertama,


konteks teks ayat. Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara
keseluruhan. Ketiga, mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam (contribution
to knowledge).
Pertama, melihat konteks ayat ketika turun, dan mengaitkan dengan tradisi-
tradisi Arab pra Islam. Nasr Hamid berargumen bahwa sebelum datangnya Islam
(pra Islam) poligami tidaklah dibatasi sampai empat, melainkan lebih dari itu.
Kemudian ketika Islam datang dengan al- Qur’annya, izin seorang laki-laki untuk
menikah dibatasi sampai empat kali.
Langkah kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara
keseluruhan. Pada langkah ini, Nasr Hamid mencoba untuk menemukan makna
yang “tak terkatakan” dalam al-Qur’an. Pada konteks poligami ini, Nasr Hamid
membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, ia membandingkan
surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, (QS. an-Nisa ayat 3)”, Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa ayat 129).

9
Kemenag Indonesia, "Mushaf Al-Qur'an Terjemah", (PT Pustaka Jaya Ilmu: Jakarta,
2014),h 77

9
Nasr Hamid menganalisis kedua ayat tersebut dengan analisis linguistik. Di
dalam ilmu linguistik Arab, dikenal dengan adanya istilah ‘adad syarth, fi’il syarth,
dan jawab syarth, pada kata “Jika” di atas adalah merupakan suatu partikel
kondisional (kalimat pengandaian) atau dalam istilah linguistik sebagai adad
syarth. Dan kata adil pada ayat yang pertama adalah fi’il syarth, dan kata “seorang”
adalah sebagai jawab syarth, kemudian ditegaskan oleh ayat sesudahnya (an-Nisa
129) bahwa adil adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia, hal itu
berdasar pada penggunaan kata lan yang berarti tidak akan pernah). Dari sini Nasr
Hamid ingin mengungkapkan bahwa salah satu syarat seseorang boleh berpoligami
adalah masalah keadilan, tapi untuk bisa berbuat adil, seseorang tidak akan mampu
melakukannya, karenanya Nasr Hamid menyimpulkan bahwa “poligami
dilarang”.10
Langkah yang ketiga adalah mengusulkan pembaharuan dalam hukum
Islam. Dalam hukum Islam klasik poligami diklasifikasikan masuk dalam bab “hal-
hal yang diperbolehkan”, istilah pembolehan menurut Nasr Hamid, tidaklah sesuai
karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara
pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan
dari praktek poligami yang tak terbatas, pembatasan tidak berarti pembolehan.

10
Fikri Hamdani, “ Nasr … h.10

10
Praktek poligami pra-Islam:
Poligami tidak terbatas

Arah
teks
Islam membatasi poligami; empat
Istri dengan syarat suami bisa

Sikap adil dalam poligami

tidaklah mungkin;

monogamy lebih di Tekankan

Signifikasi

Yang tak

terkatakan

Poligami dilarang

Tujuan akhir legislasi Islam

Tujuan akhir lesgislasi Islam;

Monogami

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nasr Hamid Abu Zayd merupakan seorang tokoh muslim yang menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan metode hermeneutika dengan sebuah konsepnya al-
Qur’an tidak bisa dilepaskan dari realitas budaya dan masyarakat ketika al-Qur’an
itu diturunkan. Oleh karena itu, Nasr Hamid menganggap al-Qur’an sebagai
“produk budaya”.

Dari istilah konsepnya inilah yang membuat Nasr hamid Abu Zayd menuai
kontra karena di anggap melecehkan dan menyimpang. Hingga dia di tolak untuk
menjadi guru besar karena karya-karyanya yg menyudutkan islam.

B. Saran

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak


kekurangan. Untuk itu kami mengaharapkan kritik serta saran yang membangun
dari pembaca, sehingga nantinya makalah ini akan menjadi lebih baik dari
sebelumnya, dan semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi
yang lebih luas.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar Mujahidin, “Hermeneutika al-Qur’an” , (Ponorogo: STAIN Po PRESS,


2013) .

Kemenag Indonesia, "Mushaf Al-Qur'an Terjemah", (PT Pustaka Jaya Ilmu:


Jakarta, 2014).

Jurnal

Chodir,Fatkul “Tafsir Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd” dalam Jurnal


Pendidikan dan Kebudayaan, edisi no. 1, Vol 1, 2019.

Halimah, Sit “Penerapan Hermeneutika Dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu
Zayd” dalam Jurnal Al-Makrifat, edisi no. 1, Vol 1, 2016.

Hamdani,Fikri “ Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Intrepretasi” dalam Jurnal
Alauddin, edisi no 1, Vol 1, 2019.

Tohir,M, “Al-Qur’an Dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd” dalam Jurnal al-
Thiqah, edisi no.1, Vol 2, 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai