Anda di halaman 1dari 15

HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD

Tugas Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Hermeneutika Al-Qur’an Pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
FakultasUshuluddin dan Dakwah IAIN Bone

Oleh

Fahmi Mutmainnah
762312019002

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2022
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah serta nikmat sehat sehingga penyusunan

tugas ini selesai sesuai dengan apa yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu

tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw., dan tak lupa kami ucapkan

terima kasih untuk pihak yang ikut membantu dalam penyusunan tugas

Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd yang difokuskan pada Biografi, Metode,

dan Teori hermeneutika .

Semoga apa yang saya sampaikan melalui makalah ini dapat menambah

wawasan untuk semua orang. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan

dalam penyusunan karya tulis ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan

adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan karya tulis

ini.

Watampone, 26 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................2

C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd...........................................................3

B. Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd........................................5

C. Metode Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd...........................................7

BAB III PENUTUP...................................................................................10

A. Kesimpulan ..........................................................................................10

B. Saran.....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................11

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran Islam terdapat banyak sarjana Muslim yang

progresif dalam membuahkan pemikiran-pemikiran.Pemikiran-pemikiran

mereka tidak selalu bersifat teologis transedental tetapi juga bersifat sosial

kultural, bahkan pemikiran sosio-kultural mereka jauh melebih pemikiran

bersifat teologis transedental. Tokih-tokoh Muslim seperti Ibnu khaldun, Ibnu

Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd adalah tokoh-tokoh Muslim yang sangat

berpikiran progresif di zamannya. Pemikiran-pemikiran mereka banyak

membuahkan pengetahuan modern mulai dari filsafat, matematika sampai

dengan ilmu-ilmu sosial.

Secara khusus pada masa dinasti Abbasiyah, dunia Islam bahkan

pernah mengalami fase di mana pemikiran-pemikiran Islam begitu

berkembang. Kontak langsung dengan kebudayaan Yunani menyebabkan

pemikiran Islam berkembang ke dalam bentuk yang sangat logis dan rasional.

Penempatan akal manusia begitu tinggi yang bahkan di sandingkan dengan Al-

Qur’an. Diskursus kemudian muncul dalam meletakkan posisi mana lebih

tinggi antara akal dan Al-Qur'an. Kaum rasionalis yang kemudian di kenal

sebagai Mu’tazilah ini mendominasi pemikiran dunia Islam saat itu. Salah satu

teori mereka yang terkenal adalah teori yang menempatkan Al-Qur’an sebagai

makhluk. Teori ini bahkan pernah di jadikan sebagai doktrin wajib umat Islam

saat itu. Perdebatan tentang kedudukan Al-Qur’an ini kemudian memunculkan

berbagai madzhab teologi Islam yang tetap bertahan sampai saat ini seperti Al-

Asy’ari, Al-Maturidi, dan Mu’tazilah.

Setelah sekian abad tenggelam, diskursus ini kembali muncul melalui

gagasan-gagasan pemikiran Cendikiawan Muslim saat ini. Tokoh-tokoh seperti

1
Amir Al-Khalli, Muhammad Arkoun dan Nasir Hamid Abu Zayd adalah tokih-

tokoh yang berhasil membawa kembali diskursus ini ke permukaan masyarakat

Islam. Pemikiran mereka terbilang progresif dan berani dengan menempatkan

Al-Qur’an sebagai “skrip suci” yang bersifat transedental tetapi juga sebagai

produk sosial, budaya dan kemanusiaan. Nasir Hamid Abu Zayd adalah salah

satu tokoh di antara tokoh-tokoh ini yang terbilang kontroversial dan

mendapatkan kecaman dari masyarakat di negara. Kecaman yang berbuntut

ancaman pembunuhan ini pada akhirnya membuat Abu Zayd meninggalkan

negaranya sebagai “exil” dalan waktu cukup lama. Tentulah dangat menarik

untuk membahas pemikiran-pemikiran Abu zayd yang terbilang kontroversial

untuk kemudian memperluas wacana modernitas Islam.

B. Rumusan Masalah

Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam

makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan. Beberapa rumusan masalah

tersebut antara lain

1. Bagaimana biografi Nasr Hamid Abu Zayd?

2. Bagaimana teori hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd?

3. Bagaimana metode penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai

dalam penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

2. Untuk mengetahui mengetahui metode penafsiran Hamid Abu Zayd.

3. Untuk mengetahui pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd


Nasr Hamid Abu Zaid (yang selanjutnya di sebut dengan Abu Zaid)

lahir di Thantha, Mesir, pada tanggal 7 Oktober 1943.Dilahirkan dari

keluarga yang taat beragama, pengajaran agama diterimanya sejak dini di

keluarga. Konon, sejak kecil, dia adalah anak yang pendiam. Sejak remaja ia

sudah tertarik pada dunia sastra dan sangat berminat dengan kajian bahasa

dan filsafat. Tidak aneh ketika kemudian dia menempuh Pendidikan tinggi,

dari S1 (1968-1972) sampai S3 di Jurusan Sastra Arab,Universitas Kairo. Dan

sejak 1972, dia mengabdi sebagai dosen di almamaternya ini. Pada tahun

1978 dia memperoleh beasiswa untuk penelitian doctoralnya di Institute of

Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia.1

Selama kurang lebih dua tahun (1978-1980) Nasr Hamid tinggal di

Amerika. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang.

Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli

1989). Abu Zaid mengakui, pengalamannya belajar di Amerika sangat

berharga. Di negeri Paman Sam itu ia mengenal dan mempelajari filsafat dan

hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka

matanya. Menurut Abu Zaid, “My academic experience in the United States

turned out to be quite fruitful. I dida lot of reading on my own, especially in

the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of

interpreting texts, opened up a brand-new world for me.”(Artinya,

Pengalaman akademiku di USA sangat bermanfaat. Aku banyak membaca,

terutama di bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu

1
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan (Yogyakarta: elSAQ
Press, 2003), h. 39.

3
pengetahuan menginterpretasikan teks, telah membuka suatu dunia yang amat

baru untuk aku).

Selanjutnya, mengenai hubungan Nasr Hamid Abu Zaid dengan al-

Qur’an terjalin sejak dia masih kanak-kanak. Sebagaimana kebiasaan

masyarakat muslim Mesir, sejak sekitar 4 tahun dia belajar al-Qur’an di

kuttāb di desanya Qahafah, dan pada usia 8 tahun dia telah menghafal

keseluruhan al-Qur’an. Karena itulah kawan-kawannya memanggilnya

“syaikh Nasr”.Termasuk murid Amin al-Khulli adalah Binti Syathi yang

kemudian jadi istrinya dalam teori tafsirnya menekankan pada aspek kajian

al-Qur’an dengan fokus utamanya kosa kata dan struktur ujaran al-Qur’an.2

Abu Zaid dalam teori tafsirnya menggabungkan dua pandangan

mengenai al-Qur’an yang muncul di awal masa kebangkitan Islam ini, yaitu

di satu sisi mengikuti pandangan al-Khulli sebagai langkah awal yang bersifat

individual bagi upaya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, di sisi lain

mengikuti pandangan Muhammad Abduh sebagai langkah kelanjutannya,

bahkan mungkin tujuan akhir baik secara individual maupun sosial. Sejak

digesernya Amin al-Khulli dari posisi staf pengajar, pos pengampu mata

kuliah studi-studi al-Qur’an lowong. Ketika itu, Abu Zaid ditunjuk sebagai

asisten dosen pada tahun 1972, dan Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Universitas Kairo mewajibkan bagi asisten dosen baru untuk mengambil

studi-studi al-Qur’an untuk penelitian MA dan Ph.D-nya. Dia sempat agak

ragu menerima kebijakan itu, disebabkan karena pada saat itu dia mempunyai

kecenderungan pada studi dan kritik sastra yang sangat kuat, dan studi Islam

yang dekat dengan minatnya adalah studi al-Qur’an. Namun, pada akhirnya

2
Lailatul Rohmah, Hermeneutika Studi al-Qur'an: Studi Atas Metode Penafsiran Nasr
Hamid Abu Zayd (Yogyakarta :HIKMA, 2016 ), h. 226

4
dia harus menentukan, dan sejak saat itulah dia memulai konsentrasi barunya,

yakni studi al-Qur’an dengan pendekatan susastra.3

B. Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran,

Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra. Sebelum Nasr

Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir seperti Thaha Husain, Amin al-

Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalaf Allah (1916-1998) dan

Shukri Muhammad „Ayyad (1921-1999) sudah mengaplikasikan metode

kritik sastra terhadap AI-Qur‟an. Dalam pandangannya, metode tersebut

merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam. Nasr Hamid

menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya

metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti

memahami Islam. Metodologi kritik sastra (Literary Criticism) yang

diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika. 4

Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, Abu Zaid

membahas mengenai hakikat teks yang menjadi problem mendasar dalam

sistem hermeneutika. Menurutnya wahyu Allah telah turun dengan medium

bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak akan bisa dipahami

manusia. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa al-Quran adalah perkataan

Muhammad yang diriwayatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi. Menurutnya,

firman Tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia, sebab ketika

Allah ingin berkomunikasi kepada manusia, Maka Dia harus berbicara lewat

bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang

3
Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, Metode Tafsir Sastra, Penerjemah: Khairon
Nahdiyyin (Yogyakarta: Adab Press, 2004), h. 10
4
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Kelompok Gema
Insani, 2010), h. 69-70

5
Allah kehendaki. Ini berujung bahwa al-Quran adalah bahasa manusia

(Human Language).5

Penyebab pertama yang membuat pemikiran Islam tertinggal dan

berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah karena terpusat

pada masalah teologis. Jadi dalam pandangan Nasr Hamid, Al-Qur’an adalah

bahasa manusia. Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi

teks manusiawi sejak dia pertama kali diturunkan kepada Muhammad SAW.

Hal itu karena menurutnya, teks sejak pertama kali diwahyukan dan sejak

dibaca oleh Nabi SAW, ia telah berubah dari teks ilahi menjadi teks

manusiawi. Ia berubah dari tanzil kepada takwil. Pemahaman Muhammad

atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan

akal manusia. Jadi menurut pandangannya Al-Qur‟an adalah Teks manusiawi

(Human Text).

Dalam pandangan Nasr Hamid. Teks Al-Qur‟an terbentuk dalam

realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an

adalah “Produk Budaya”. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa

dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr hamid juga menganggap Al-

Qur’an sebagai Teks Bahasa (Nas Lughawi). 6


Realitas, budaya dan bahasa

merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifiknya sendiri.

Oleh sebab itu, al-Qur’an adalah Teks Historis (a Historical Text).

Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa menunjukkan bahwa

AL-Qur‟an adalah Teks Manusiawi (Nas Insani).

Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-

teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan


5
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Kelompok Gema
Insani, 2010), h. 220
6
Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani,
2005) cet. Ke-1, h. 72.

6
teks-teks yang lain dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, mengkaji al-

Quran tidak memerlukan metode khusus. Sekalipun asal mulanya dari Tuhan.

Namun, Nasr Hamid berpendapat studi Al-Qur‟an tidak membutuhkan

metode yang khusus. Karena jika menggunakan metode khusus seperti yang

disyaratkan oleh ulama‟ terdahulu (menghafal al-Quran, Hafal hadis dan

sebagainya) itu hanya akan menghalangi umat islam untuk memahami teks-

teks agama. Maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja

yang bisa memahaminya. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa keimanan

terhadap wujud metafisik Al-Qur‟an akan menghalangi sebuah pemahaman

ilmiah terhadap fenomena teks Al-Qur‟an. Dengan menyamakan status Al-

Qur‟an dengan teks manusia seperti teks-teks lain pada umumnya, dia

berharap kajian al-Qur‟an dapat dinikmati oleh siapa saja. Nasr Hamid

menyatakan “saya mengkaji Al-Qur‟an sebagai sebuah teks berbahasa Arab

agar dapat dikaji oleh kaum muslim, Kristen bahkan atheis sekalipun”.7

C. Metode Penafsiran Nasr Hamid

Nasr Hamid Abu Zayd mencoba merumuskan sebuah metodologi yang

akan mengungkap makna asli (meaningma’na) al-Qur’an, yang kemudian

akan melahirkan sebuah makna baru (significance/magzha). Sebagai landasan

metodologi yang di bangun, ia membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil.

Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak

diketahui yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah. Sedangkan

ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan

maghza. Ma’na merupakan dalalah yang dibangun berdasarkan gramatikal

teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik.

7
Moch. Nur lchwan, Meretas Kesarjaan Kritis Alquran: Teori hermenutika Nasr Abu
Zayd (Bandung: Teraju, 2003),h. 194.

7
Sedangkan maghza menunjukkan pada makna dalam konteks sosio historis.

Dalam proses penafsiran kedua hal ini sangat berhubungan kuat satu sama

lain, maghza selalu mengikuti ma’na begitu pula sebaliknya.

Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya

dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun juga teks al-

Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki

budaya. Paling tidak keberadaan asbab al-nuzul merupakan bukti bahwa teks

al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab

itu, bagi Nasr Hamid persoalan konteks budaya secara luas (asbabal-nuzul

makro) yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak

bisa di tinggalkan.8 Dengan demikian, konteks pada saat al-Qur’an diturunkan

adalah sebuah hal yang sangat urgen untuk dilihat oleh seorang penafsir. Hal

ini untuk melihat substantif di dalam teks atau ideal moral menurut istilah

Fazlur Rahman. Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang

beragam seiring dengan perjalanan waktu.

Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan

teks dianggap sebagai pemahaman absolut. Bahasa al-Qur’an pada dasarnya

sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami perkembangan

secara dinamis yang mengalami proses secara terus-menerus. Hal ini berarti

teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikansi, atau dengan

kata lain akan selalu terjadi produksi makna. Dinamika makna teks tersebut

membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus

menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir dan

reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.

8
Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010),
h.125

8
Dalam membangun teori penafsirannya, Nasr Hamid sangat

memandang penting persoalan al-siyaq (konteks) dalam memproduksi

makna. Menurutnya di dalam al-Qur’an terdapat beberapa level konteks,

yaitu: konteks sosio kultural, konteks eksternal, konteks internal, konteks

linguistik, dan konteks pembacaan atau penakwilan. Penggalian makna hanya

dengan menggunakan atau memenuhi kelima konteks ini sudah cukup.

Pandangan Nasr Hamid ini pada dasarnya sama dengan kerangka teori yang

dibangun dalam Semiotika. Semiotika memandang fakta-fakta dan fenomena-

fenomena masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda yang

bermakna, sedangkan bahasa termasuk bagian dari fakta itu.9

BAB III
PENUTUP

9
Moch Nur Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd,
(Jakarta: Teraju, 2003), h. 90.

9
A. Kesimpulan
Nasr Hamid Abu Zayd di kenal sebagai pemikir Islam yang progresif

Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr

Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra. Dalam

pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk

mengkaji Islam. Abu Zaid membahas mengenai hakikat teks yang menjadi

problem mendasar dalam sistem hermeneutika. Dalam metode penafsiran

Nasr Hamid mencoba untuk mengungkap makna asli dalam al-Qur’an yang

kemudian akan menghasilkan sebuah makna baru, sesuai dengan konteks

kekinian.

B. Saran

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di

dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca

untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat bermanfaat bagi

penulis, dan juga dapat menambah wawasan dan pengalaman sehingga

nantinya penulis dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

10
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan,
Yogyakarta: elSAQ Press, 2006.
Rohmah, Lailatul, Hermeneutika Studi al-Qur'an: Studi Atas Metode Penafsiran
Nasr Hamid Abu Zayd, Yogyakarta: HIKMA, 2006.

Al-Khulli, Amin dan Abu Zaid, Nasr Hamid, Metode Tafsir Sastra, ter.:
Khairon Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004.
Armas, Adnin MA, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta:
Gema Insani, 2010
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjaan Kritis al-Qur’an: Teori
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Bandung : Teraju, 2003.
Imron, Ali. dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta :Elsaq Press,
2010.

11

Anda mungkin juga menyukai